Alfathri Adlin
(PICTS, Alumnus STF Driyarkara)
Pada tahun 2017 pernah beredar luas, baik di FB maupun WA, cuplikan dialog berikut ini:
“Kamu kuliah di jurusan apa?”
“Filsafat, Om.”
“Kamu mau jadi ateis ya?”
Seorang sahabat menuliskan tanggapannya bahwa, “Dulu, waktu saya mau kuliah psikologi, diprotes oleh paman: ‘Nanti sekuler…’ Dan ternyata memang sekuler…” Well, dalam atmosfer pendidikan modern seperti sekarang, bukankah hampir semua kuliah itu memang bernuansa sekular?
Kembali kepada cuplikan komentar di atas yang sempat viral, sebenarnya itu hanyalah satu dari sekian stereotip ihwal “efek belajar filsafat”, dan memang kadang terjadi juga, tapi bukan suatu keniscayaan. Namun, lain halnya dengan stereotip bahwa “belajar filsafat akan membuatmu gila.” Penulis sendiri belum pernah menemukan pembelajar filsafat yang jadi gila. Kalau menjadi ateis, memang ada, namun dalam perjalanan waktu seringkali berubah juga.
(Lagi pula, kalau “hanya” sekadar ‘gangguan jiwa’, tak perlulah belajar filsafat, karena menurut Sigmund Freud, kita semua ini menderita neurotik. Mau apa lagi? Maaf, sekadar intermezzo.)
Namun, bagi saya pribadi, ada perbedaan antara mereka yang setelah berpikir malah jadi ragu dan kemudian tak percaya akan agama dan Tuhan, dengan mereka yang juga tak percaya kepada kedua hal tersebut hanya dikarenakan mereka ingin hidup bebas sesuai hasratnya. Tak jarang kalangan yang kedua ini tampak memakai nalar filosofis untuk memberi landasan atas ketidakpercayaannya akan agama dan Tuhan, namun semakin banyak mereka berbicara semakin terlihat bahwa itu semua hanya alibi bagi hasratnya yang menuntut pembebasan.
Adapun terhadap kalangan yang pertama, saya bisa lebih membayangkan dan merasakan apa yang mereka alami, karena setidaknya pada tahun pertama saat kuliah di ITB pun sudah merasakan hal serupa, untuk kemudian mencari dengan jatuh bangun berulang kali hingga akhirnya menjejakkan kaki menempuh suluk dalam sebuah thariqah.
Meskipun demikian, toh ternyata filsafat tetap menarik minat sebagian anak muda untuk mempelajarinya. Pertanyaan yang umumnya mereka lontarkan adalah “sebaiknya buku apa yang dibaca untuk mulai belajar filsafat?”
Di masa sekarang ini, belajar filsafat itu relatif mudah. Sudah banyak buku bagus untuk mengantarkan mengenal filsafat, mulai dari yang berbentuk novel hingga buku teks formal. Selain itu, berbagai buku pdf yang bertebaran di mayantara pun bisa banyak membantu bagi yang terbiasa membaca buku berbahasa Inggris.
Namun, memang yang tidak mudah itu adalah belajar filsafat sambil mendalami agama (terlebih hingga ke dimensi esoteriknya). Permasalahannya, filsafat yang hari ini lazim dikenal adalah filsafat Barat yang lahir dari atmosfer sekular. Akan tetapi, bagi saya pribadi, seseorang yang mencari dengan sepenuh hati, dan bukan mencari pembenaran atas pelepasan hasrat, Insya Allah akan menemukan juga apa yang dicarinya. Pencarian yang semacam ini bisa dikatakan merupakan petualangan menegangkan sepanjang hayat dikandung badan.
Apakah filsafat memang harus dipelajari dalam atmosfer sekular? Jika kita melihat sejarah filsafat, tidak demikian asal mulanya.
Filsafat Sebagai Latihan Untuk Mati Sebelum Mati
Pada awalnya, Platōn menuliskan dalam kitab Phaidon 64b bagaimana Sōkratēs menjelaskan bahwa “…Orang yang telah mengisi waktu hidupnya dengan mempelajari filsafat hendaknya merasa percaya diri pada saat akan mati, dan menyimpan harapan-harapan yang baik akan mendapatkan kurnia yang paling mulia kalau telah mengakhiri hidupnya. Kepada Simmias dan Kebes, hakim-hakimku dalam perdebatan ini, aku akan memperlihatkan pada kalian betapa benarnya hal itu. Yakni, kenyataannya adalah, mereka yang berurusan dengan filsafat sesungguhnya dan semata-mata berlatih untuk mati setiap waktu, tapi tak seorangpun mengetahui hal itu. Jika hal itu benar, maka tentunya tidak masuk akal sama sekali kalau mereka yang telah melakukan latihan itu dengan sungguh-sungguh sepanjang hidupnya, akan menolak kematian yang mendatanginya.”
Filsafat pada awalnya adalah berlatih mati dalam kehidupan ini. Adapun yang dimaksud sebagai mati dan kematian itu dikemukakan lebih jauh dalam Phaidon 64d, bahwa “…mati adalah pemisahan jiwa (psukhé) dari tubuh (soma), adapun kematian adalah keadaan di mana tubuh terpisah dari jiwa dan ada terpisah hanya bersama diri sendirinya serta jiwa terpisah dari tubuh dan ada terpisah hanya bersama diri sendirinya.” Dalam penjelasan tersebut, Sōkratēs membedakan antara “mati sebagai tubuh dan jiwa yang merupakan dua wujud terpisah dan bisa berpisah” dengan “kematian di mana jiwa dan tubuh benar-benar terpisah” atau kematian biologis di mana tubuh pun dikuburkan.
Terkait pembedaan dua jenis mati tersebut, Sōkratēs pun lalu menerangkan lebih jauh bahwasanya seorang filsuf tak akan banyak peduli dengan kesenangan seperti makan atau minum, kesenangan bercinta, juga kepemilikan akan pakaian dan alas kaki yang bagus serta berbagai perhiasan pribadi lainnya, kecuali sejauh diperlukan saja, dan juga tidak diombang-ambingkan oleh perasaan susah maupun senang.
Dalam pengertian inilah maka seorang filsuf, lebih daripada orang-orang lainnya, dikatakan memisahkan jiwa dari persatuannya dengan tubuh, sehingga dalam Phaidon 65a, Sōkratēs pun menandaskan bahwa, “…seseorang yang tak mencicipi kesenangan serta tidak mengambil bagian dalam berbagai hal tersebut berarti juga tidak pantas menerima kehidupan, dan bahwasanya seseorang yang tidak peduli sama sekali dengan kesenangan tubuh itu sama saja dengan sudah mati.”
Manusia yang masih hidup secara biologis dalam wujud soma itu lazimnya menghasrati dan menikmati berbagai kesenangan fisikal yang memanjakan epithumia (hasrat material), serta menghasrati dan menikmati berbagai kesenangan eksistensial yang memanjakan thumos (hasrat imaterial). Namun, ketika manusia itu mati secara biologis, maka dia hanya menjadi tubuh yang terbujur kaku, serta tak lagi menghasrati dan menikmati semua kesenangan tersebut.
Lebih jauh Sōkratēs menandaskannya dalam Phaidon 68c bahwa, “…ketika engkau melihat seseorang bersusah hati karena dia akan mati, maka dia bukanlah seorang pecinta kebijaksanaan (philosophos) melainkan seorang pecinta tubuh (philosōmatos). Dan orang ini juga merupakan seorang pecinta uang (philokrematos) dan pecinta kebesaran (philotimos), salah satu atau keduanya.”
Di sini, Sōkratēs menjelaskan bahwa seorang philosomatos bisa jadi adalah philokrematos yang dikendalikan oleh epithumia sebagai hasrat material, atau philotimos yang dikendalikan oleh thumos sebagai hasrat imaterial.
Seorang philokrematos bisa saja lebih sibuk dengan epithumia, yaitu berupa uang dan harta kekayaan yang bisa memuaskan kesenangan fisikalnya. Sedangkan seorang philotimos bisa saja lebih sibuk dengan thumos, yaitu berupa amarah, nama besar, sanjungan dari orang lain untuk menyombongkan diri, berbagai kesenangan eksistensial lainnya.
Atau bisa saja gabungan keduanya, seorang philosomatos, dengan harta kekayaannya, membangun kekuasaan dan kebesaran nama diri. Atau, sebaliknya, seorang philosomatos membangun popularitas dan kebesaran nama diri, sehingga uang pun dengan mudah dia dapatkan.
Maka, orang seperti ini bukanlah philosophos yang berlatih mati di sepanjang kehidupannya, yang bisa mengendalikan hasrat material (epithumia) dan hasrat imaterial (thumos), agar jiwa bisa memperoleh pengetahuan murni tanpa gangguan hasrat yang memaku jiwa ke tubuh.
Mereka yang menapaki suluk akan mudah memahami maksud filsafat sebagai ilmu latihan mati, sebagaimana dicetuskan oleh Sōkratēs dan Platōn, saat membaca langsung kitab-kitabnya. Dengan kata lain, filsafat yang dimaksudkan oleh Sōkratēs dan Platōn adalah mati sebelum mati. Namun, bagi mereka yang mempelajari pemikiran Platōn dari perspektif filsafat modern yang sekular, hal semacam ini akan sering dilewat dan tak dibahas, dan Platōn pun dihadirkan sebagai “filsuf modern”. Pandangan filsafat sebagai latihan mati ini masih berlanjut sampai era Stoik dan masih bisa ditemui hingga hari ini di umat Islam, yaitu di kalangan sufi (mereka yang telah mencapai ma’rifat) dan para salik (pejalan di suatu thariqah).
Filsafat Sebagai Pelayan Teologi (Philosophia Ancilla Theologiae)
Kemudian masuk era awal Masehi, ketika agama Nasrani mulai menyebar di imperium Romawi hingga bahkan Kaisar Konstantin I pun memeluk agama baru tersebut. Dalam benturan antara agama pagan Romawi dengan agama Nasrani, terjadi upaya rekonsiliasi antara tradisi Platonis yang di satu sisi menekankan pentingnya pengetahuan formal (episteme/scientia) dan filsafat (philosophia) dengan agama Nasrani yang kemudian menjadi sumber kebijaksanaan utamanya, sehingga kedua hal di awal tadi pun berperan menjadi pelayannya. Pemosisian seperti ini yang kemudian menjadi familiar melalui diktum Abad Pertengahan ihwal philosophia ancilla theologiae (filsafat sebagai pelayan teologi) yang sering dinisbatkan kepada Peter Damian.
Para tokoh yang merintis upaya rekonsiliasi ini di antaranya adalah St. Clement dari Alexandria. Namun tradisi semacam ini bukan sesuatu yang murni lahir dari tradisi Kristiani, tapi dari Yahudi, utamanya adalah dari Philo yang berasal dari Alexandria, seorang pemikir Yahudi yang memakai filsafat sebagai pelayan bagi pengetahuan penyingkapan. Tonggak-tonggak awalnya juga kemudian diteguhkan pula oleh St. Agustine, seorang Platōnian hingga semakin teguh di tangan St. Thomas Aquinas, seorang Aristotelian. Akan tetapi dominasi gereja Abad Pertengahan terhadap Eropa, yang lebih sering disebut sebagai Abad Kegelapan, membuat semacam reaksi balik. Atmosfer memento mori (hidup untuk mati) dan dogma teologi Nasrani yang begitu mencengkeram, serta berbagai penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi dalam tubuh gereja, serta hukuman yang dijatuhkan kepada para ilmuwan seperti Copernicus dan Galileo–karena mengajukan pandangan heliosentris yang bertentangan dengan dogma geosentris dari Gereja–pada akhirnya memantik api kelahiran kembali Peradaban Yunani yang biasa kita kenal sebagai Renaissance.
Filsafat Sebagai Berpikir Untuk Meragukan
Salah satu tokoh yang sering dianggap sebagai pemantik kelahiran tersebut adalah René Descartes. Menurutnya, pengetahuan yang baik adalah pengetahuan yang memiliki kepastian, namun untuk memperoleh kepastian maka kita harus meragukannya dulu. Jangan takut. Ragukan semuanya, hingga yang tersisa adalah sesuatu yang pasti, yaitu keraguan itu sendiri. Namun ada satu hal yang tak bisa diragukan, yaitu ‘aku yang meragukan semuanya’, karena untuk meragukan harus ada yang ‘berpikir’, dan untuk berpikir harus ada aku yang berpikir, sehingga dengan demikian, aku ada. Sehingga, lahirlah adagium ‘cogito ergo sum’, ‘aku berpikir, maka aku ada’.
Dengan itu, Descartes menjadikan subjek yang berpikir (yang di kemudian hari nanti dikenal sebagai ‘subjek cogito’) sebagai pijakan atau titik tolak bagi filsafatnya. Hal ini mungkin tampak sederhana, namun justru filsafat yang menjadikan diri sendiri sebagai titik pangkal adalah sesuatu yang revolusioner pada masa tersebut. Sebelum kemunculan Descartes, kebenaran selalu berdasarkan pada kekuasaan yang justru berada di luar diri manusia, yaitu Gereja, Alkitab, tradisi atau negara. Lalu, oleh Descartes, pusat dunia di Abad kegelapan tersebut dia jungkir balikkan, dan menempatkan subjek cogito sebagai pusatnya, sehingga dengan demikian Descartes telah menyalakan Api Pencerahan di Eropa.
Descartes mendapatkan inspirasi ihwal metode keraguan ini dari Imam Al-Ghazali, sang Hujattul Islam. Pada masa itu, karya-karya Al-Ghazali telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Dominicus Gundisalvus, dan salah satunya adalah Al-Munqidz min al-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan) yang merupakan buku autobiografi sang Imam. Descartes memiliki terjemahan bahasa Latin buku tersebut, dan mendapati ungkapan “Keraguan adalah peringkat pertama keyakinan” yang kemudian diberi garis merah dan dilengkapi tulisan tangan dari Descartes di sampingnya “Pindahkan ini ke dalam metode kita.” Kata-kata lainnya yang lebih lengkap dari dalam buku Imam Al-Ghazali itu adalah “Keraguanlah yang mengantarkan pada kebenaran. Barang siapa yang tidak merasa ragu, maka ia tidak memandang. Barang siapa yang tidak pernah memandang, maka ia tidak pernah melihat. Dan barang siapa yang tidak pernah melihat, maka ia akan tetap dalam kebutaan dan kesesatan.” Lalu, Descartes pun membuat parafrasa dari ungkapan Al-Ghazali tersebut menjadi “Keraguan adalah jalan pertama menjadi keyakinan” (La doute est le premier pas vers la certitude).
Di sini filsafat berubah makna menjadi “meragukan dan berpikir”, bukan sebagai latihan mati ataupun pelayan teologi. Hal itu ditandaskan lebih gamblang oleh Immanuel Kant dengan pernyataan “Sapere aude” (berani berpikir) dalam esai berjudul “Menjawab Pertanyaan: Apa itu Pencerahan?” (Jerman: Beantwortung der Frage: Was ist Aufklärung?), pada tahun Desember 1784 yang diterbitkan di majalah Berlinische Monatsschrift (Bulanan Berlin), dieditori oleh Friedrich Gedike dan Johann Erich Biester.
Pada awalnya, ilmu-ilmu itu lahir dari berbagai “pertanyaan filosofis” yang tidak ditentukan oleh observasi atau eksperimen maupun kalkulasi. Namun, dalam perjalanan waktu, pertanyaan-pertanyaan tersebut berkembang menjadi ilmu empirik-faktual dan ilmu logis-formal, akan tetapi tetap dengan bobot filosofis dari masa lalunya. Itulah kenapa, sebagaimana dikemukakan oleh B. Herry-Priyono, sering dikatakan bahwa awal perkembangan ilmu itu berinduk kepada filsafat. Maksudnya, sebelumnya ini tak dikenal ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi dan lain sebagainya. Tidak juga dikenal ilmu-ilmu alam seperti fisika, biologi, astronomi dan lain sebagainya. Pada awalnya, hanya dikenal dua jenis filsafat, yaitu Filsafat Moral dan Filsafat Alam. Adam Smith, misalnya, bukanlah seorang ekonom, tapi filsuf moral, sebagaimana tercermin dalan bukunya yang berjudul The Theory of Moral Sentiments. Isaac Newton pun, misalnya, bukanlah fisikawan, tapi seorang filsuf alam, sebagaimana tercermin dalam buku karyanya yang berjudul Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica.
Filsafat Sebagai Induk dari Ilmu-ilmu
Isaiah Berlin menyebutkan bahwa bisa dibilang sejarah pemikiran itu merupakan serangkaian panjang pembunuhan ‘orangtua’ dari suatu ilmu. Bagaimana suatu disiplin baru mencoba meraih kebebasannya dengan membunuh subjek yang menjadi ‘orang tua’ atau asal-usulnya serta menghapuskan jejak apa pun di dalamnya yang masih merupakan bagian dari permasalahan filosofis, yaitu, pertanyaan yang tidak membawa indikasi jelas ihwal solusi teknisnya sendiri. Itulah sosok ilmu faktual-empirik dan logis-formal yang diidealkan. Namun, terlalu gegabah apabila dikatakan bahwa ilmu apa pun yang sudah berkembang pesat dan semakin canggih pada akhirnya telah berhasil menghapuskan berbagai permasalahan filosofisnya. Dalam berbagai keilmuan yang ada sekarang, berbagai pertanyaan fundamental tersebut masih sering mengemuka dan, dalam banyak hal, merupakan pertanyaan filosofis, yang sama sekali tidak secara langsung mengarahkan pada solusinya. Namun, di sisi lain, siapa pun yang melontarkan pertanyaan fundamental dan filosofis itu justru harus sangat terlatih dan berbakat dalam disiplin ilmunya, karena jawaban apa pun atas pertanyaan fundamental ini akan membangun suatu perkembangan lanjut dalam disiplin ilmu itu sendiri. Di titik ini, filsafat menjadi lebih bermakna sebagai cara bertanya dan berpikir radikal.
Herry-Priyono kembali menjelaskan bahwa sebagaimana terlihat dalam sejarah, ilmu-ilmu sosial muncul dengan belajar dari kaidah-kaidah keilmuan yang dijalankan ilmu-ilmu alam, sebelum kemudian, di tahap lanjut, mengembangkan kriteria atau tolok ukur keilmuan tersendiri. Lebih jauh dia menjelaskan bahwa perbedaan antara ilmu alam dengan ilmu sosial adalah dalam hal hermeneutika tunggal (single hermeneutics) dengan hermeneutika ganda (double hermeneutics). Hermeneutika tunggal artinya bahwa tindakan menafsir dan menganalisis dalam ilmu alam itu berlangsung satu-arah, yaitu dari sang saintis kepada objek yang diamatinya. Tak ada tafsir apa pun yang dilakukan oleh objek sains terhadap sang saintis. Hermeneutika ganda artinya bahwa tindakan menafsir dan menganalisis berlangsung dua arah, karena ilmu-ilmu sosial mengamati manusia. Misalnya, prediksi seorang ekonom soal bencana ekonomi yang akan terjadi di Indonesia 1998 bisa disikapi kepanikan oleh masyarakat dan berdampak pada tindakan para pelaku pasar. Namun, pelaku analisis/pengkaji/ilmuwan sosial dan apa yang dilakukannya merupakan bagian dari praktik sosial, yang pada gilirannya juga dapat dianalisis oleh ‘objek’-nya dalam bingkai ilmu sosial juga. Berbeda dari ilmu-ilmu alam, para pelaku ilmu-ilmu sosial (ilmuwan sosial) tidak sepenuhnya terpisah dari objek yang dikajinya.
Selain itu, Herry-Priyono kembali menambahkan, bahwa di masa modern, antara ilmu dengan filsafat pun dibedakan. Ilmu adalah pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren mengenai bidang tertentu dari kenyataan, sedangkan filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan. Gambarannya sebagai berikut: jika biologi, misalnya, berusaha bertanya: “Siapa dan apakah hidup manusia berdasarkan fungsi dan kinerja organ-organ biologisnya?” Maka, filsafat berusaha bertanya: “Siapa dan apakah hidup manusia? Apakah kinerja organ-organ biologisnya menyingkapkan keseluruhan realitas tentang siapa dan apakah hidup manusia?”
Ternyata upaya “pembunuhan” filsafat sebagai “orang tua dari semua ilmu” melalui berbagai metode dalam ilmu-ilmu empiris-faktual dan logis-formal tak berjalan semulus yang diangankan. Filsafat jadi seperti “penjahat” dalam film-film Hollywood yang selalu bangkit lagi setelah berhasil dikalahkan. Selalu ada saja pertanyaan filosofis yang tersisa dalam semua bidang, sehingga wajar jika, idealnya, mahasiswa yang bisa mendalami ilmunya hingga tataran filosofis mendapat gelar PhD (Philosophiae Doctor). Namun realitas dalam dunia pendidikan tak selalu ideal bukan?
Itulah mengapa, menurut Herry-Priyono, berbeda dengan ilmu-ilmu, filsafat tidak bertujuan memperluas pengetahuan kita melalui penemuan berbagai data atau informasi baru ihwal manusia, masyarakat dan alam semesta, karena hal itu merupakan tugas ilmu pengetahuan. Filsafat ‘hanya’ memperdalam dan menjernihkan pemahaman kita dengan merefleksikan apa yang sudah biasa kita geluti sehari-hari, namun biasanya luput dari kesadaran dan refleksi justru karena kita sudah merasa biasa dengannya. Misalnya: apa itu hidup, kematian, lapar, keadilan, kekuasaan, cinta, kekerasan, Tuhan, jiwa, diri, tubuh, publik, privat, bagaimana berpikir; apa itu hukum, uang, politik, teknologi, kesadaran, waktu, ruang, apa itu baik, buruk, kebaikan, kejahatan, dan seterusnya.
Filsafat Sebagai Seni Mencipta Konsep Baru
Dari pemaparan di atas kita sudah melihat perubahan makna filsafat sebagai cara bertanya dan berpikir radikal yang melahirkan banyak jawaban sehingga kemudian menjadi berbagai aliran filsafat. Di akhir abad ke-20, Gilles Deleuze dan Pierre-Félix Guattari merangkum sejarah filsafat tersebut ke dalam bukunya yang berjudul What is Philosophy?. Dalam buku tersebut, Deleuze & Guattari merumuskan filsafat sebagai seni membentuk, menemukan dan merajut konsep-konsep dalam cara baru, bahkan mengambil dari berbagai disiplin lain seperti biologi dan sains bumi, sehingga akan menantang cara bagaimana filsafat itu sendiri ditulis dan dirumuskan. Berbagai konsep tersebut memerlukan persona konseptual yang memainkan peran penting dalam pendefinisiannya, yaitu para “sahabat”. Deleuze & Guattari mengambil konsep sahabat tersebut dari khazanah Yunani bahwa para filsuf adalah sahabat kebijaksanaan, yakni—mengulangi Phytagoras—mereka yang mengupayakan kebijaksanaan, namun tidak secara aktual memilikinya.
Para filsuf adalah sahabat konsep karena adanya potensialitas konsep. Maksudnya, para filsuf secara potensial memiliki kekuatan dan kemumpunian dalam menciptakan konsep yang selalu baru. Ini merupakan semacam kondisi yang diperlukan untuk pelatihan pemikiran. Gambarannya, para filsuf itu tak ubahnya tukang kayu yang saat berhadapan dengan kayu maka dia berpotensi untuk menciptakan bentuk baru dari kayu tersebut. Deleuze & Guattari sangat menekankan pentingnya kreativitas dalam menciptakan konsep-konsep filosofis baru. Mereka mengajukan konsep tentang ‘jalur-jalur pelepasan’ (lines of flight) yang membuka serta membiarkan pemikiran membebaskan diri dari berbagai kekangan yang mencoba membatasi dan mengurung kreativitas. Bahkan, menurut mereka, nilai dari seorang filsuf itu adalah pada kreativitasnya dalam menciptakan konsep sendiri yang baru, sebab filsuf seharusnya tidak mempercayai kebanyakan konsep yang tidak diciptakannya sendiri. Maka, sampailah kita pada makna filsafat terkini, yaitu sebagai seni mencipta konsep-konsep baru.
Demikianlah, filsafat telah mengalami sekian kali perubahan makna, dari latihan mati menjadi berpikir dan bertanya yang radikal sehingga menghasilkan ilmu-ilmu empiris-faktual (mulanya adalah filsafat alam) dan logis-formal (mulanya adalah filsafat moral) kemudian pada akhirnya menjadi seni mencipta konsep baru. Adalah mudah belajar filsafat sambil mendalami agama, jika kita memegang definisi yang diberikan oleh Sōkratēs dan Platōn. Namun, jika filsafat kita pahami sebagai seni mencipta konsep baru, maka tak usah heran jika tendensi dekonstruktif pun menjadi salah satu aktivitasnya. Misalnya isu LGBT—yang belakangan ini semakin ramai, termasuk oleh kalangan muslim sekolahan—yang disesuaikan dengan pandangan dunia anti-esensialisme dan visi humanisme sekular beserta standar toleransinya yang menghasilkan kesimpulan, misalnya “Bahwa penolakan agama atas LGBT itu tidak masuk akal; harus direvisi. Kini sudah zaman (post)modern, agama harus menyesuaikan diri.”
Itulah apropriasi filsafat Barat untuk “mengoreksi” dan “merevisi” agama agar selaras dengan pandangan filosofis tertentu (walau istilah yang akan lebih sering dipakai adalah “direinterpretasi” sesuai politik wacana tertentu). Misalnya, “Jilbab itu represi terhadap perempuan, atau bahwasanya ada pengondisian represif dari lingkungan sekitar untuk mewajibkan jilbab”; atau “Allah tak melihat orientasi seksual, dia hanya melihat hati, hanya melihat ketakwaan”; akan tetapi saat ada pandangan yang tak sesuai “selera”, misalnya poligami, tinggal dibalikkan saja sudut pandangnya bahwa “itu cuma urusan selangkangan yang mencari pembenaran melalui agama”, “itu hanya hukum yang berlaku buat masyarakat saat itu, sekarang sudah berbeda, terlebih dengan adanya feminisme”; sehingga tak mengherankan jika kesimpulannya adalah “say yes to LGBTQ, say no to polygamy”; dan berbagai pernyataan lainnya yang bisa diutak-atik melalui akrobat nalar filosofis agar sejalan dengan politik wacananya.
Singkatnya, jika dulu filsafat menjadi pelayan bagi agama, maka kini agama yang harus menjadi pelayan bagi filsafat (dan wacana teoretik humaniora lainnya). Agama dituntut harus senantiasa melayani dan menyesuaikan diri terus menerus dengan perubahan wacana rasional sekular. Setidaknya dari sini bisa terlihat bahwa permasalahan pokoknya memang ada pada agama, yang seringkali identik (baca: menempel) dengan para pemuka agama yang tak jarang juga membuat sebal sebagian orang. Belum lagi agama yang seringkali begitu banyak aturan kaku sehingga melahirkan penafsiran kaku yang bahkan bisa berujung pada kekerasan.
Namun Tuhan adalah sesuatu yang lain, sebab “seperti apa Tuhan itu” bisa disesuaikan dengan imajinasi tiap orang, misalnya “Tuhan itu Maha Penyayang karena Dia memberi saya rumah mewah dan mobil mahal”, “Tuhan itu Maha Cinta, dan itulah kenapa bercinta (dengan siapa pun [atau bisa jadi apa pun]) adalah salah satu manifestasinya”, “Tuhan tak melihat orientasi seksual, tapi melihat hati”, dan berbagai imajinasi lainnya yang bisa diberi landasan filosofis apa pun.
Itulah kenapa di masa ini memang jauh lebih sulit untuk belajar filsafat modern yang sekular sambil mendalami agama, apalagi hingga dimensi esoterisnya. Namun, seperti dituliskan di awal dan juga ditegaskan oleh Imam Al-Ghazali, jika semua keraguan itu muncul dengan semangat pencarian akan kebenaran, dan bukannya pembenaran, Insya Allah sang pencari akan menemukan apa yang dicarinya.
Mungkinkah Mempelajari Filsafat Tanpa Mengabaikan Agama dan Tuhan?
Dalam Islam, hal yang seringkali menjadi hambatan bagi seorang pembelajar filsafat modern (sebab nyaris tidak ada orang yang mengawali belajar filsafat dalam pengertian yang diberikan oleh Sōkratēs dan Platōn) agar bisa menekuni agama hingga dimensi esoterisnya adalah tegangan antara perkara keraguan dan kepercayaan. Filsafat modern berangkat dari mendayagunakan segenap kemampuan nalar untuk meragukan segala hal, dan karena semangatnya sekular, maka tak ada agenda pencarian Tuhan di dalamnya kecuali pada niat pribadi sang pembelajar itu sendiri. Sedangkan agama, terutama dimensi esoterisnya, hanya bisa terbuka dialami secara langsung, dan akhirnya dipahami justru dengan adanya kepercayaan dan keberserahdirian kepada Allah untuk mengosongkan diri. Kenapa harus mengosongkan diri? Tak lain agar menjadi tak ubahnya suling yang bisa berbunyi sesuai kehendak Allah. Latihan mati, kalau meminjam ungkapan Sōkratēs dan Platōn. Namun seringkali kedua hal ini memang berseberangan dan sulit disatukan.
Itulah kenapa Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa keraguan adalah awal dari keyakinan jika memang hal itu yang menjadi arah pencarian untuk kembali kepada Allah, dan menggali keraguan tersebut melalui nalarnya. Bagaimanapun, manusia memiliki nalar yang menuntut jawaban, dan adalah haknya untuk dipenuhi juga dengan adil. Ini tak ubahnya seperti kita hendak beribadah di suatu kamar namun ada kucing yang mengeong terus-menerus meminta makan. Solusinya, beri kucing itu makan. Nanti, setelah kenyang dan tak mengeong-ngeong lagi, barulah kita bisa beribadah dengan tenang. Namun, sekali lagi, tanpa adanya niat yang tulus untuk mencari Tuhan, maka pembelajaran filsafat itu hanya akan menjadi penelusuran dari satu teks ke teks lain, dari satu pemikiran ke pemikiran lai, tanpa tujuan akhir (ateleologi). Terlebih lagi bisa dikatakan bahwa sejarah filsafat adalah sejarah pertengkaran, sejarah bagaimana filsuf terkemudian “membantah” filsuf sebelumnya dengan pemikirannya sendiri, sesuai gambaran Deleuze & Guattari tentang filsafat sebagai seni mencipta konsep baru.
Pencarian “kebenaran” tersebut bisa kita lihat pada Descartes. Sebagai bapak rasionalisme, salah satu inspirasi yang menggerakannya justru adalah sesuatu yang irasional (begitu juga dengan Sōkratēs yang “digerakkan” oleh daímōn [δαίμων] yang berbisik di telinganya). Descartes mengalami tiga mimpi beruntun pada 11 November 1619, saat dia menjadi tentara Bavaria dan sedang berkemah di tengah badai salju. Mimpi pertamanya memperlihatkan bagaimana Descartes berjuang melawan angin yang sangat kencang, ketika hendak menuju gereja yang terdapat di kolesenya di la Flèche, lalu dia berbalik untuk menyapa seseorang. Dia pun terlempar menjauh dari gereja tersebut, sehingga terjatuh persis di tengah-tengah sekumpulan orang yang sama sekali tak tergerak oleh angin kencang tersebut. Mimpi yang sepertinya mengisyaratkan bagaimana Descartes ‘dicerabut’ dari segenap doktrin gereja Abad Kegelapan agar bisa meragukan segala hal lalu merumuskan pemikirannya. Kemudian mimpi kedua memperlihatkan bagaimana Descartes tengah mengalami ketakutan, lalu tiba-tiba dia mendengar ‘sebuah suara yang kedengarannya seperti guntur’ dan kamarnya yang gelap pun dipenuhi dengan cahaya yang terang benderang. Suatu mimpi yang mengingatkan pada gambaran tentang orang yang tengah berada dalam gelap gulita, dan tak bisa melihat jalan di depannya, lalu muncul kilat dan guruh yang sesaat menerangi jalan di hadapannya, namun hal itu membuat manusia menutup telinga dengan kedua jarinya serta dilingkupi perasaan takut mati. Kemudian mimpi ketiga menggambarkan bagaimana Descartes tengah memegang kamus yang masih harus dia lengkapi, lalu dia mendengar kata-kata “Quod vitae sectabor iter?” (Jalan hidup manakah yang seharusnya aku tempuh?). Descartes percaya bahwa melalui berbagai visi dan mimpi yang didapatkannya itu, Tuhan telah mengungkapkan tugas yang diberikan kepadanya, sehingga memberinya kepercayaan untuk memenuhi panggilan hidup tersebut, sekaligus kepercayaan terhadap kebenaran penemuan-penemuannya.
Mimpi-mimpi tersebut terasa sangat nyata bagi Descartes, bahkan lebih nyata daripada realitas fisikal ini, sehingga dia pun melontarkan teka-teki ihwal malignus genius (semacam keilahian kecil atau daímōn) yang menipu dengan tipuan realitas. Para malignus genius tersebut memanfaatkan seluruh energinya untuk menipu manusia sehingga mengira bahwasanya angkasa, udara, bumi, warna, bentuk, suara dan segala perkara eksternal semata hanyalah delusi mimpi, yang telah mereka rancang untuk memerangkap penilaian manusia. Penggambaran visual canggih dari malignus genius ini bisa dinikmati dalam film box office garapan Wachowski Bersaudara, yaitu The Matrix, yang menceritakan bagaimana manusia dimanfaatkan menjadi sumber energi bagi Artificial Intelligence sembari dicekoki mimpi yang menipu pikirannya seolah menjalani suatu kehidupan, padahal hanya simulasi ciptaan komputer yang sangat canggih. Pencarian ihwal realitas yang sebenarnya itulah yang menggerakkan Descartes untuk meragukan segala hal hingga menciptakan pemikiran yang membakar Eropa.
Apakah Belajar Filsafat Bisa Membantu Mengendalikan Hasrat?
Kembali kepada cuplikan obrolan di atas, sebenarnya di kalangan pembelajar filsafat menjadi ateis itu bukanlah suatu keniscayaan. Tapi ‘tidak peduli lagi pada agama’ bisa jadi yang lebih lazim terjadi. Atau, seperti diulas sebelumnya, agama menjadi pelayan bagi filsafat. Adapun terkait sikap yang seringkali mengemuka dalam interaksi sosial adalah arogansi. Tentu saja, arogansi bukan hanya sesuatu yang laten di kalangan pembelajar filsafat, karena manusia bisa menyombongkan diri karena harta, keturunan, keelokan fisik, dan lain sebagainya. Adapun arogansi di kalangan pembelajar filsafat bisa jadi dipicu dikarenakan posisi filsafat sebagai induk dari ilmu-ilmu, serta logika dan daya abstraksi yang terasah melalui filsafat memunculkan sindrom manusia setengah dewa. Namun, dalam pandangan filsafat modern itu bukanlah permasalahan, sebab dalam pandangan modern ada pemilahan antara moralitas privat dan publik. Bahwa jika seseorang itu tak pernah berbuat krimininal, taat membayar pajak, tak melanggar peraturan dan berbagai ketertiban di ranah publik, maka dia adalah warga negara yang baik. Namun, jika di atas ranjangnya saban malam di atas ranjangnya dia bergonta-ganti pasangan—entah berbeda atau sesama jenis, atau diselang-seling plus praktik S&M—selama itu semua dilakukan atas dasar suka sama suka, maka tak ada “kesalahan” apa pun. Maka dengan demikian, arogansi, kata-kata sinis, dan berbagai perilaku tak menyenangkan lainnya itu sama sekali tak ada urusan dengan kenjelimetan filsafat di kepala, dan tak usah diambil pusing.
Inilah perbedaan paling jelas antara filsafat yang dirumuskan oleh Sōkratēs dan Platōn dengan filsafat Barat modern yang kini banyak dipelajari. Pada Sōkratēs dan Platōn, filsafat adalah keseluruhan hidup mereka—sebagaimana telah dijelaskan di atas—dan itu maujud jadi integritas dalam etika di ranah privat maupun publik. Misalnya, saat sang algojo memberikan racun untuk diminum oleh Sōkratēs, dia malah menangis dan mengakui belum pernah bertemu terpidana mati sebaik Sōkratēs. Atau bagaimana Sōkratēs menolak usulan muridnya untuk menyogok penjaga penjara, karena dia lebih memilih diperlakukan tak adil daripada berbuat tidak adil. Dia lebih memilih dihukum mati oleh pemerintah yang tak adil daripada harus melanggar peraturan negara. Atau, bagaimana Sōkratēs sama sekali tak pernah memperlihatkan amarahnya kepada Aristophanes yang telah mementaskan teater berisi sekian fitnahan terhadapnya sehingga masyarakat Athena pun terpengaruh dan menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Namun hari ini, tak jarang filsafat malah jadi lebih menyerupai kerumitan isi kepala para pembelajarnya di ranah publik, yang mungkin menjadi kompensasi atas kegagalannya dalam menahan hasrat diri sendiri di ranah privat.
Namun, sebagaimana sudah dikemukakan di atas, toh tetap ada argumen filosofis untuk menolak pengendalian hasrat semacam itu. Misalnya pernyataan Foucault dalam pengantarnya untuk edisi bahasa Inggris buku Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia karya Deleuze & Guattari, bahwa buku tersebut merupakan pengantar terhadap hidup non-fasis. Maksudnya, selama ini kebanyakan orang menerapkan fasisme terhadap dirinya sendiri dengan menekan hasratnya. Jika memakai ungkapan Deleuze & Guattari, berbagai tabu Oedipal telah menciptakan manusia neurotik yang menginternalkan rasa bersalah untuk merepresi hasratnya, tak ubahnya pendeta atau mistikus yang mengalihkan kekuatan aktif hasrat produktif untuk melawan dirinya sendiri dan menciptakan patologi perasaan bersalah. Inilah maksud dari “hidup yang fasis”, sehingga Deleuze & Guattari pun menyatakan bahwa “seorang skizofrenik yang bangkit berjalan-jalan adalah model yang lebih baik daripada seorang neurotik yang berbaring di sofa sang analis.” Pada akhirnya toh kembali kepada masing-masing, filsafat dalam makna seperti apa yang ingin dipilih untuk dipelajarinya. Apakah seperti yang Sōkratēs dan Platōn kemukakan atau seperti yang Deleuze dan Guattari rumuskan, atau seperti yang ada di antara kedua makna filsafat tersebut?
Penutup
Adapun khususnya umat muslim, tentu mengenal istilah “ujub“, yang secara etimologi mempunyai arti “kegembiraan” atau “kebahagiaan“. Namun, kata ini juga memiliki arti pengagungan atau membesarkan. Menurut Ahmad Rifa‘i, secara bahasa, ujub adalah membanggakan diri dalam batin. Sedangkan, menurut terminologis, ujub adalah perasaan takjub terhadap diri sendiri, sehingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Dalam hal ini Al-Qur‘an menegaskan, “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS Luqman [31]: 18). Adapun Rasulullah saw pernah bersabda: “Seandainya kamu tidak melakukan dosa, niscaya Aku (Nabi) mengkhawatirkanmu melakukan dosa yang lebih besar, yaitu ujub.” Syaikh Al-Akbar Ibn ‘Arabi pernah menuliskan bahwasanya ada empat orang yang selama-lamanya tak akan pernah keluar dari neraka dan tak akan pernah bertemu dengan Tuhannya, yaitu, yang ateis, yang sombong, yang munafik, dan yang kafir.
Kembali kepada cuplikan dialog di awal tulisan ini, ketimbang memperingatkan seorang pembelajar filsafat dengan perkataan “Kamu mau jadi ateis?” atau “Hati-hati nanti jadi gila!”, lebih baik diingatkan agar mereka selalu rendah hati. Adapun perkara agama yang dijadikan pelayan filsafat, serta Tuhan yang diantropomorfisasikan sesuai imajinasinya, bisa jadi itu merupakan suatu fase dalam pembelajaran. Biasanya kesadaran yang lain akan mulai muncul bersama hantaman masalah demi masalah, usia mulai menua, dan bayangan akan kematian yang semakin mendekat. Pola yang sama juga sering berlaku pada kalangan yang menolak agama, bahkan Tuhan, hanya dikarenakan ingin membebaskan hasratnya semata. Only time will tell.[]
Daftar Pustaka:
Berlin, Isaiah, “The Purpose of Philosophy”, dalam Isaiah Berlin, The Power of Ideas, dieditori oleh H. Hardy, New Jersey: Princeton Unversity Press, 2000, hlm. 24-35.
De Mowbray, Malcolm, “Philosophy as Handmaid of Theology: Biblical Exegesis in the Service of Scholarship” dalam Traditio, Vol. 59 (2004): Cambridge University Press, hlm. 1-37.
Deleuze, Gilles & Felix Guattari, What is Philosophy? (Revised edition), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Hugh Tomlinson & Graham Burchell, Columbia University Press: Cambridge, 1996.
Herry-Priyono, B., “Pengantar Filsafat”, diktat maupun catatan dalam kuliah Pengantar Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, 28 Agustus dan 4 September 2012.
Plato, Phaedo, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harold North Fowler (1914), London: William Heinemann Ltd., 1914.