Tashawwuf Yes, Thariqah No: Tinjauan Kritis terhadap Fenomena Urban Sufism

Alfathri Adlin2

(Master Filsafat dari STF Driyarkara, Mahasiswa Program Doktoral FSRD ITB)

“Kang Al… Saya boleh sedikit diceritakan, gak, gimana Kang Al bisa ketemu Mursyid? Apa yang Kang Al rasakan dan tanda-tandanya apa? Soalnya guru saya bilang sangat sulit menemukan mursyid di jaman sekarang. Beliau cuma berpesan ‘ibadah aja dulu yang bener.’ Dan, apa benar yang guru saya bilang itu kalo di jaman sekarang sulit sekali mencari mursyid? Kalo memang sulit, saya khawatir sampai ajal menjemput belum bisa bertemu …. Tapi, sebelum itu, ada pertanyaan mendasar: Apa semua orang wajib ber-thariqah? Atau hanya yang memiliki waris saja? Matur nuwun ….” Pertanyaan tersebut penulis terima via media sosial. Menarik bahwa pencarian sosok mursyid jadi pertanyaan utama, sebab di tengah geliat urban sufism yang justru acapkali mengemuka adalah jargon tashawwuf yes, thariqah no. Sedikit banyak ini merupakan bentuk lain dari spirituality yes, organized religion no yang lahir dari kepenatan sebagian kalangan terhadap kekerasan atas nama agama terorganisir. Terkait thariqah, tak mengherankan jika muncul pernyataan, “Saya bukan pengikut tashawwuf formal. Saya tidak pernah bersumpah setia di bawah telapak tangan seorang guru spiritual untuk hanya menaati dia seorang … karena saya tidak menyukainya. Saya pikir, tidak ada pemikiran dan kesadaran sehat yang dapat terbangun jika seseorang telah memutuskan untuk berhenti bertanya dan bersikap kritis.”3

Haidar Bagir mencatat beberapa ekses negatif thariqah, yaitu “pemujaan berlebihan atau bai‘at mutlak kepada sang guru, meminta-minta kepada arwah para wali, wewenang guru yang tertutup dan turun temurun, berikut perilaku lainnya yang tampak aneh dan menyimpang.”4 Catatan khusus untuk “meminta-minta kepada arwah para wali”; hal tersebut mengingatkan langsung kepada perkataan Al-Ghazali seribu tahun lalu ihwal kekacauan pemahaman istilah nafs, ruh, qalb, dan ‘aql.5 Semestinya adalah “meminta-minta pada nafs para wali.” Perbuatan semacam ini tak dibenarkan sebagaimana ditegaskan dalam hadis bahwa siapa pun yang telah meninggal dunia maka urusannya di muka bumi sudah selesai.6

Lebih eksplisit Haidar menekankan ekses negatif thariqah berupa baiat yang menuntut kepatuhan mutlak seorang murid kepada sang guru, seperti mayat di depan pemandinya, serta soal keabsahan (validitas) garis silsilah guru yang diklaim oleh setiap thariqah sampai kepada Nabi saw.7 Dia juga mencatat ihwal “… adanya kepercayaan bahwa seorang murid bisa saja dibaiat tanpa harus bertemu langsung dengan gurunya. […] Jenis bai‘at gaib ini dalam tarekat dikenal sebagai bai‘at uwaysi—diambil dari nama Uways Al-Qarani, seorang Yaman yang semasa dengan Nabi, yang tak pernah berjumpa dengan beliau tapi dipercaya telah diislamkan oleh ruh [ups!] Nabi setelah beliau wafat.”

Penyimpangan berupa baiat ghayb ini masih terjadi di mana seorang syaikh yang telah meninggal dunia diyakini masih berperan menjadi mursyid bagi para muridnya yang masih hidup, lalu pembaiatan “diwakilkan” oleh murid senior yang menyakinkan para murid baru bahwa mereka akan bertemu dengan sang syaikh yang telah meninggal dunia di ‘alam entah apa’. Penyimpangan macam ini mengingatkan ke sebuah kisah dari khazanah Zen.8 Kisah tersebut menggambarkan dengan tepat pola berulang penyimpangan yang terjadi di banyak agama, khususnya di jalan pemurnian jiwa. Hal tersebut dapat diumpamakan seperti air tatkala keluar dari sumbernya dalam keadaan masih jernih lagi segar. Namun, dalam aliran menuju hilir, air tersebut menjadi kotor akibat terkontaminasi berbagai material lainnya. Begitu pula halnya dengan thariqah (dan jalan pemurnian jiwa di berbagai agama). Namun, apakah thariqah dan mursyid selalu seperti yang Haidar paparkan? Atau hanya stereotip yang digeneralisasi akibat penyimpangan generasi berikutnya yang tak lagi memahami inti ajaran pendirinya sehingga melahirkan banyak bid‘ah? Jika memang demikian, gambaran mursyid, thariqah, dan salik yang dipermasalahkan tersebut bukan keniscayaan dan tak terbantahkan, sehingga tak bisa diterima sebagai taken for granted lalu direproduksi terus menerus. Untuk itu, pembahasan ini akan dimulai dengan penjabaran ihwal mursyid, thariqah, dan salik, kemudian bergerak ke bias yang sering diulang lagi dan lagi oleh wacana tasawuf positif khususnya, sebab paling sering mereproduksi hal ini, dan ditutup dengan pemaparan tentang urban sufism dalam kaitannya dengan (post)modernitas.

Ihwal Thariqah dan Dua Rahmat

Thariqah berasal dari kata tharaqa yang berarti memukul, memanjangkan, menyisir, mengetuk, melalui, mengucapkan, dan datang di malam hari. Kata thariq berarti tempat berjalan yang luas dan panjang (jamaknya thuruq). Makna thariqah yang lebih khusus adalah jalan dengan konotasi menanjak. Masyarakat Arab mengenal kata thariqah al-qaum, yaitu suri tauladan yang jalannya diikuti oleh masyarakat. Thariqah juga merupakan bagian integral serta aspek operasional dari tashawwuf. Thariqah adalah suatu sikap hidup di dunia, yaitu berinteraksi dan beraktivitas dengan manusia serta mengolah dunia sedemikian rupa, sehingga nafs tak terbasahi lautan (dunia). Inilah yang dimaksud dengan zuhud, yaitu tak mengisi qalb dengan kecintaan terhadap dunia. Simbolisasinya ada dalam QS. Thâhâ [20]: 77, tatkala Musa membawa bani Israil hijrah dan sesampainya di pantai, dia diperintahkan untuk membuat thariq di laut. Laut adalah simbol dunia; jika air laut diminum malah semakin haus, ini tak ubahnya siapa pun yang mencintai dunia dan tak akan pernah terpuaskan. Untuk menempuh perjalanan di lautan (dunia), manusia harus membelah laut tersebut agar tak terbasahi; itulah thariqah.

Zamzam Ahmad Jamaluddin Tanuwijaya menjelaskan bahwa hakikat thariqah adalah jalan pertaubatan yang tahapan dan tujuannya ada dalam Al-Qur‘an serta dicontohkan para rasul. Adapun taubat itu sendiri diwajibkan juga bagi orang beriman9, sebab merupakan proses perjalanan kembali ke Tuhan yang merentang dari kehidupan di muka bumi hingga akhirat, serta melibatkan seluruh dimensi keinsanan (jasad, jiwa, qalb, dan ruh secara integral). Visi teleologis dalam Islam menggambarkan dunia tak ubahnya rest area untuk mengumpulkan bekal guna menempuh jalan tol yang panjang. Ini menandaskan bahwa perjalanan panjang jiwa manusia justru terjadi setelah kematian, setelah hidup di dunia yang singkat namun menentukan. Itulah maksud dari dunia sebagai oase tempat seseorang singgah mengambil air dan kurma untuk menempuh perjalanan panjang mengarungi padang pasir yang teramat luas. Zamzam pun menjelaskan bahwa Al-Qur‘an menegaskan taubat itu wajib (fardhu ‘ain).10 Hadis menyebutkan bahwa Nabi selalu meminta ampun dan bertaubat setiap harinya.11 Hamzah Fansuri mengatakan bahwa awal dari thariqah itu adalah taubat. Zamzam menambahi bahwa rizqi Allah itu memiliki dua bentuk, lahiriah dan batiniah, dan itu telah tertulis di Lauh Mahfuzh; adapun yang menghalangi turunnya rizqi tersebut adalah dosa di hati. Karenanya kewajiban untuk banyak ber-istighfar dikenakan kepada setiap mu‘min agar kedua bentuk rizqi tersebut disempurnakan oleh Tuhan.12

Sebagai jalan pertaubatan, maka persaingan keunggulan jiwa di antara para salik, juga hasrat mencari pranata lahiriah maupun eksistensi diri, adalah perkara terlarang. Ini salah satunya didasarkan pada pandangan bahwa setiap manusia memiliki kodrat diri yang khusus, dan taqwa yang haqq itu dicapai tatkala seorang salik menemukan amal shalih sesuai yang dengan misi hidupnya (atau bisa juga disebut sebagai dharma dalam istilah Hindu). Dharma merupakan sesuatu yang diperuntukkan bagi manusia lainnya; tak ubahnya pohon yang tidak pernah memakan buahnya sendiri sebab diberikan kepada makhluk lainnya. Ini salah satu maksud dalam QS. al-Maidah [5]: 32,13 sehingga para salik seharusnya saling mendukung satu sama lain dalam menemukan dharma. Lebih jauh Zamzam menjelaskan bahwa thariqah memiliki tiga tujuan, (1) mendapat rahmat pertama; (2) mendapat rahmat kedua; (3) menjadi hamba yang qarib atau didekatkan kepada-Nya. Ihwal rahmat pertama dan kedua disebutkan dalam QS. al-Hadîd [57]: 28.14

Rahmat pertama adalah menjadi al-muthahharun, kembali menjadi sesuci bayi, sebab saat manusia lahir ke muka bumi dalam keadaan suci tanpa dosa. Jika manusia meninggal dalam keadaan membawa dosa, kecil maupun besar, maka keadaannya seperti diungkap dalam QS. Thâhâ [20]: 74.15 Dengan menjadi al-muthahharun, seorang mu‘min bisa memahami makna batin dari Al-Qur‘an.16 Secara fiqih (sebagai syariat lahiriah), seorang muslim dilarang menyentuh Al-Qur‘an secara fisik dalam keadaan ber-hadats, baik hadats besar maupun kecil. Sedangkan secara tashawwuf (sebagai syariat batiniah), seorang muslim tidak akan dapat ‘menyentuh’ aspek makna batin Al-Qur‘an, hanya yang tertulis dan makna harfiahnya saja, jika tak menjadi al-muthahharun.17 Hal ini dijelaskan Rumi sebagai berikut:

Tatkala Al-Qur‘an diturunkan, ramai kaum tak beriman mencemooh.(Mereka mengatakan), “Itu hanya kisah dan cerita masa lalu, bukan kajian baru, bukan pemikiran yang canggih;

Bahkan anak kecil pun bisa memahaminya: hanya tentang berbagai perkara yang diperintahkan dan berbagai perkara yang dilarang.

Kisah ihwal Yusuf—tentang betapa tampannya dia, kisah ayahnya—Ya‘qub, lalu Zulaikha dan gairahnya.

Risalah biasa saja, siapa pun dapat memahami maknanya: tak ada bagian yang membingungkan akal.”

Dia berkata, “Jika menurutmu mudah, buatlah satu surat saja yang semisal dan semudah Al-Qur‘an ini.

Kerahkanlah jin, manusia, dan cerdik pandai di antaramu, menandingi dengan satu ayat yang semisal.”

Ketahuilah, kalimah dalam Al-Qur‘an itu memiliki pengertian harfiah serta makna batin yang sangat agung.

Dan di balik makna batin itu terdapat lapisan makna ketiga yang di sana semua kecerdasan hilang akal.

Ihwal makna lapis keempat dari Al-Qur‘an: sama sekali tak ada yang dapat memahaminya, kecuali Tuhan, yang bagi-Nya tak ada sekutu, yang bagi-Nya tak ada suatu pembanding.

Karena itu, anakku, jangan membaca Al-Qur‘an hanya demi makna luarnya belaka.

Azazil memandang sang Insan dan didapatinya Insan itu terbentuk hanya dari tanah liat belaka.

Aspek luar Al-Qur‘an itu tak ubahnya jasmani insan: ciri-cirinya tampak, sementara jiwanya tersembunyi.

Boleh jadi kau tinggal bersama sanak saudaramu selama seratus tahun, tapi tak setipis rambut pun mereka pernah mengenal jiwamu.18

Dalam puisi di atas, selain mengutip QS al-Baqarah [2]: 23,19 Rumi juga menyinggung ihwal makna batin Al-Qur‘an. Bahwa secara tampilan lahiriah, Al-Qur‘an terlihat biasa, bahkan sebagian akademisi mengatakan Al-Qur‘an itu kitab yang “berantakan” dalam arti narasinya tidak runut (jika dibandingkan kitab suci lain), melompat-lompat dari kisah nabi, ke hukum, lalu kisah nabi lain, kemudian peringatan dan gambaran surga neraka, dan seterusnya. Namun, justru di balik hal yang “tampak biasa” itu tersimpan makna batin berlapis, bagaimana makna lapis ketiga “melumpuhkan” semua kecerdasan nalar, makna lapis keempat hanya Allah yang dapat mengajari langsung sebab hanya Dia yang tahu, dan demikian seterusnya. Adapun terkait wahyu, Al-Qur‘an menyatakan bahwa lebah pun mendapat wahyu,20 begitu pula ibunya Musa.21 Hal ini menunjukkan bahwa wahyu itu bertingkat, dan wahyu tertinggi adalah Al-Qur‘an yang pewahyuannya harus melalui Jibril. Hadis qudsi, sekali pun wahyu Allah, tak disampaikan melalui perantaraan Jibril.22

Beberapa akademisi yang meneliti kitab suci menandaskan bahwa hanya tersisa Al-Qur‘an saya yang merupakan wahyu harfiah, dalam arti bahwa kata demi kata di dalamnya merupakan wahyu langsung dari Tuhan. Dalam QS. al-Baqarah [2]: 1-2, tertulis, “Alif lâm mîm. Itulah al-kitab, tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (al-muttaqin).” Jika dikatakan bahwa tak ada yang tahu makna alif lâm mîm, hanya Tuhan saja, untuk apa diwahyukan dan tak juga menjadi syifa’ (penyembuh).23 Ayat tersebut merujuk kepada al-muttaqin, sebab hanya mereka saja yang diajari langsung oleh Tuhan.24 Bahwa untuk bisa memahami makna batin Al-Qur‘an melalui pengajaran langsung dari Allah—sebagaimana dipaparkan Rumi (dan juga sufi lainnya)—adalah dengan menjadi al-muttaqin. Jenjang ini bisa diraih dengan rahmat pertama, menjadi al-muthahharun, yang merupakan tujuan pertama dari thariqah.

Adapun rahmat kedua adalah bertemu diri atau mencapai ma’rifat. Ini tingkatan di mana seseorang mengenal nafs atau diri sejati serta mengetahui misi hidupnya, mengingat kembali tujuan penciptaan dirinya. Manusia terdiri dari jasad (nâsût), nafs (malâkût), dan ruh (lâhût).25 Sudah sejak 1000 tahun lalu, Al-Ghazali mengidentifikasi kekusutan pemahaman ketiga hal tersebut, dan itu masih berlangsung hingga sekarang.26 Dalam QS. al-A‘râf [7]: 172, yang diambil persaksian bukan ruh, tapi nafs. Ini menunjukkan bahwa tanpa jasad sekalipun, nafs sudah menjadi satu entitas utuh sehingga dapat diambil persaksiannya. Pada tahap ini, ditetapkan amr yang dibawa nafs ke muka bumi.27 Kemudian, di usia kandungan 120 hari, ditiupkan ruh ke dalam janin.28 Wadah bagi ruh adalah nafs, sedang wadah bagi nafs adalah jasad, sehingga ketika dinyatakan bahwa ditiupkan ruh ke dalam janin, pasti dengan nafs-nya. Jika hanya ruh yang ditiupkan ke jasad, itu tak ubahnya binatang sebab jika binatang memiliki nafs, akan dimintai pertanggungjawaban di mauthin mahsyar nanti. Nafs adalah diri manusia sejati, bukan jasad yang merupakan markab (wahana) bagi nafs di alam mulk wa syahadah (alam yang dapat diperintah dan disaksikan oleh mata lahiriah [atau alam material]) untuk membantu nafs kembali (taubat). Rumi menuliskan, “Aku bukanlah rambut ini. Aku bukanlah kulit ini. Aku adalah jiwa yang hidup di dalamnya.”29

Demikian dua dari tiga tujuan thariqah yang merupakan dua rahmat. Adapun menjadi hamba yang qarib atau didekatkan itu adalah tatkala ruh—bukan nafs—menjadi mursyid bagi nafs maupun jasad, menggantikan peran mursyid lahiriah yang dipermasalahkan oleh tasawuf positif. Selain itu, sebagaimana ditulis Haidar, “salah satu ciri utama tasawuf positif adalah rasionalitas.”30 Namun, sebagaimana akan dibahas berikutnya, pengunggulan rasio tersebut kadang malah tergelincir menjadi overrated disebabkan kekacaubalauan pemahaman ihwal struktur insan terkait jasad, nafs, dan ruh.

Ihwal Nafs dan ‘Aql

Al-Ghazali mengumpamakan kuda sebagai jasad, penunggang kuda sebagai nafs, anjing pemburu sebagai hawa nafsu, namun anjing tersebut telah terlatih, jinak serta bisa dipakai menangkap buruan yang sudah dipanah; bukan anjing liar hawa nafsu yang menggonggongi serta menyerang siapa pun yang dianggap mengusiknya. Rumi menggambarkannya sebagai berikut:

Semesta fenomenal ini sebenarnya hanya wujud yang mungkin namun telah menjadi sangat nyata bagimu, sedangkan semesta sejati makin tersembunyi.

Tak ubahnya debu berhamburan dipermainkan angin, bagaikan fatamorgana yang menghijab.

Yang tampak riuh ini sejatinya hampa lagi dangkal bak bebauan; yang tersembunyi itulah inti dan sumbernya.

Debu hanyalah tanda dari adanya angin: angin itulah yang bernilai dan tinggi derajatnya.

Mata yang tersusun dari tanah liat hanya akan menatap debu; untuk melihat angin diperlukan penglihatan yang berbeda.

Seekor kuda mengenal kuda yang lain karena mereka sejenis: hanya penunggang kuda dapat mengenali sesama penunggang.

Yang dimaksud dengan kuda itu ialah mata syahwatiah, sedangkan sang penunggang adalah Cahaya Ilahiah; tanpa sang penunggang, kuda itu sendiri tak berguna.

Karena itu latihlah kudamu, agar dia sembuh dari kebiasaan buruknya; jika tidak, dia akan tertolak dari majelis Sang Raja.

Penglihatan si kuda mendapati jalan dengan bersumberkan pandangan Sang Raja; tanpa pandangan Sang Raja maka penglihatan si kuda kehilangan panduan.

Penglihatan si kuda akan selalu menolak panduan, kecuali ke arah makanan dan padang rumput.

Cahaya Ilahiah itulah yang seyogyanya jadi penentu arah bagi penglihatan si kuda, barulah jiwa dapat merindu Rabb.

Tak mungkin kuda tanpa pengendara dapat membaca tanda-tanda jalan. Hanya penunggang bermartabat Raja yang dapat mengenali jalan Sang Raja.

Tempuhlah arah selaras dengan dzawq (rasa jati) yang dikendarai oleh Cahaya, Cahaya itu pengendara terpercaya. Cahaya Ilahiah mengendarai cahaya dzawq, ini salah satu makna dari Cahaya di atas cahaya.31

Dalam puisi di atas, menggaungkan kembali apa yang berulang kali diungkap Al-Qur‘an maupun hadis ihwal dunia bukan satu-satunya alam dan seringkali menipu manusia. Bayangkan bahwa alam nâsût yang wadak ini jika dibandingkan dengan alam malâkût tak ubahnya virtual reality dibandingkan dengan tubuh yang massif. Tak mudah memahami hal semacam ini, bahwa tubuh tak ubahnya bayang-bayang yang terbentuk di layar, dan nafs adalah wayang kulitnya, wujud sebenarnya yang merupakan manusia sejati, terlebih di masa runtuhnya konsepsi The Great Chain of Being di Barat sejak abad ke-17, lalu menyebar ke seluruh dunia melalui kolonialisasi dan institusi pendidikan yang kemudian menetap setelah kemerdekaan. Rumi mengumpamakan bagaimana manusia hanya melihat debu, padahal anginlah yang menggerakannya. Dilema manusia modern adalah “angin” itu dipahami sebagai realitas mental atau psikis manusia, yang akhirnya hanya kembali kepada otak dan syaraf, sehingga meneguhkan visi materialistik bahwa tak ada realitas apa pun di balik dnia ini, semua akan kembali kepada perkara yang fisik lagi.

Selain itu, Rumi pun menggunakan perumpamaan yang sama dengan Al-Ghazali. Kuda (jasad) dan penunggangnya (nafs) sama-sama memiliki akal, tetapi berbeda dalam kapasitas. Bayangkan akal jasad kapasitasnya seperti akal kuda (binatang tunggangan), lalu bandingkan dengan akal nafs yang kapasitasnya seperti penunggang kuda. Perkara yang mengatur tabiat kuda adalah makan dan minum, lari kencang sesuai instruksi hasil pelatihan, serta penyaluran berahi di musim kawin. Sedangkan, penunggang kuda tak akan tertarik pada pakan kuda dan berbagai hal yang kuda hasrati, sebab dengan akalnya, sang penunggang kuda dapat berpikir jauh lebih kompleks dan cerdas dibandingkan kuda terlatih sekalipun. Begitu pula manusia. Secara jasadiah, manusia punya kehidupan mental yang disebut ‘jiwa’ dan banyak dibahas dalam psikologi modern (disebut psikis), akan tetapi ‘jiwa’ tersebut tak pernah dirumuskan sebagai entitas hidup otonom lagi abadi (setelah jasad mati) disebabkan ilmu ini tak lagi menggamit konsepsi realitas yang hierarkis (The Great Chain of Being). Seperti telah diungkap di atas, dalam perkembangan terkini psikis sebagai ‘jiwa’ dipandang tak lebih dari ilusi bentukan otak dan saraf, sehingga apabila saraf rusak maka rusak pulalah ‘jiwa’. Jika pun masih bisa diperbaiki, obat-obatan kimiawi dapat mengatasinya. Maka, tak mengherankan jika banyak muslim terpelajar pun turut memahami bahwa psikis (dalam konteks psikologi) adalah nafs yang pernah diambil persaksian oleh Allah dan merupakan diri manusia sebenarnya. Akibatnya, nafs pun hanya dipahami sebagai mental (seperti halnya kuda pun punya kehidupan mental tersendiri, berupa insting), sedang yang diambil persaksian serta ternodai dosa (hingga mendapat balasannya) adalah ruh. Haidar misalnya membagi manusia hanya menjadi “dua unsur” yaitu nâsût (jasad) dan lâhût (ruh), tanpa unsur malâkût (nafs), sehingga manusia tak berbeda dengan binatang yang tak memiliki nafs, serta menyebut bahwa yang diambil persaksian primordial adalah ruh dan bukan nafs.32 Al-Ghazali telah mengingatkan kekacaubalauan pemahaman macam ini seribu tahun lalu.

Pemahaman yang tepat ihwal jasad dan nafs (bukan ruh) akan mengantarkan pada pemahaman ihwal dua akal. Jika tubuh memiliki akal yang berpusat di otak, maka nafs pun memiliki qalb yang dipergunakan untuk berpikir sebagai ‘aql (bukan memakai otak).33 Qalb bukan hati dalam pengertian perasaan, emosi, dan berbagai kehidupan mental, seperti dibahas psikologi modern. Jika jasad memiliki otak dan berbagai fungsinya untuk menalar, berimajinasi, mengingat dan lain sebagainya, maka nafs memiliki ‘otak’ juga, namun terdiri dari 7 tingkatan yang hanya bisa dibuka dan difungsikan dengan nafs yang disucikan dan taqwa. Siapa pun yang berhasil membuka dan memfungsikan ‘aql tertinggi—tingkat ke 7—disebut sebagai ulil albab. Ini bukan gelar yang dinisbatkan kepada kalangan berpendidikan tinggi dan berwawasan luas, sebab penyematan tersebut dalam Al-Qur‘an tak terkait dengan capaian akademis. Selain itu ada bias stereotip bahwa para filsuf mengedepankan nalar, sementara para sufi mengedepankan hati (qalb) dalam konteks perasaan emosional. Stereotip semacam ini ‘menyudutkan’ para sufi menjadi tak ubahnya seniman yang selalu diharu biru emosi artistik dan sibuk berpuisi-puisi cinta tentang Allah.

Al-Hakim At-Tirmidzi menjelaskan “… bahwa qalb (hati) adalah sebuah istilah yang mencakup seluruh lapisan batin manusia. Pada batin tersebut ada beberapa tempat. Di antaranya ada yang termasuk bagian luar hati dan ada yang termasuk bagian dalam hati. Hati menyerupai istilah mata. Sebab, mata juga merupakan istilah yang mencakup semua bagian yang berada di antara kedua tepinya. Seperti putih mata, hitam mata, biji mata, dan cahaya di biji mata itu. Tiap-tiap bagian mempunyai hukum dan pengertian yang berbeda. Namun demikian, semuanya saling membantu dan manfaatnya saling berkaitan. Segala yang di luar menjadi landasan bagi sesuatu yang bersambung kepadanya dari dalam, serta kesempurnaan cahaya penglihatan bergantung kepada kesempurnaan semuanya.”34 Tirmidzi menunjukkan bahwa ‘berakal dengan qalb’ itu bukanlah berpikir dengan perasaan ala seniman; itu hanyalah istilah umum yang mewakili 7 lapis persoalan di dalamnya ihwal tingkatan ‘aql.

Kembali kepada alegori kuda dan penunggang kuda, tatkala hendak menaiki kudanya, sang penunggang kuda memerlukan sesuatu yang menghubungkan keduanya, tetapi bukan bagian dari keduanya, sehingga dapat membantu penunggang mengendalikan kudanya, yaitu, tali kekang. Ini adalah ego yang bersifat sangat adaptif dan merupakan unsur dari psikis atau mental manusia. Dalam perjalanan usia, ego dilatih oleh lingkungan sehingga memiliki kekhasan. Ego ini merupakan aradh, yaitu, sifat dan aksiden, sesuatu yang mewujud seiring dengan bertemunya jauhar dan jism; dalam hal ini adalah jiwa dengan jasad.35 Ibn ‘Arabi menyebutnya sebagai al-quwwah an-nafsaniyyah. Dalam pengalaman fana, tatkala nafs lepas dari tubuh dan masuk ke realitasnya (alam malâkût), maka wahana adaptasi bagi nafs di alam tersebut adalah qalb. Sedang tatkala nafs kembali ke jasadnya, masuk ke alam syahadah (ardhiyyah), maka wahana adaptasinya adalah ego. Pada dasarnya ego merupakan wahana adaptasi bagi manusia yang qalb dan nafs-nya telah tercahayai, mau pun yang masih dalam gelap gulita dan diatur oleh konstruksi ego yang salah-bentuk. Kesadaran bagi manusia yang nafs-nya lumpuh, secara psikologis, itu berpusat di ego. Ada pun qalb dan nafs berada jauh di tingkat ketaksadaran (unconsciousness).

Ego, atau aradh dalam penjelasan Al-Ghazali, dibedakan menjadi dua, yaitu motorik (penggerak) dan kognitif. Al-Ghazali menunjuk aspek kognitif itu sebagai “bagian dari tentara qalb, yang disebut dengan divisi al-ilm wal idrak, yaitu divisi yang bertugas untuk meraih pengetahuan dan pemahaman tentang segala sesuatu.”36 Al-Ilm wal Idrak ini merupakan perangkat otak yang paling banyak digunakan oleh manusia pada umumnya, namun bukan perangkat untuk menangkap hakikat segala sesuatu, bukan untuk melihat al-haqq. Oleh karena itu, produk dari al-ilm wal idrak ini sendiri lebih merupakan waham-waham jasadiah yang hanya mampu menangkap realitas yang satu alam dengannya. Dalam psikologi ini sepadan dengan kesadaran (consciousness). Realitas alam malâkût hanya dapat ditangkap oleh bashirah qalb yang telah tercahayai. Seperti Rumi ungkapkan di atas, mata jasadiah hanya akan menangkap realitas alam yang sama dengannya serta menjadi gerbang bagi al-ilm wal idrak untuk mengkonstruksi “pengetahuannya” sendiri. Sementara bashirah qalb akan menangkap realitas alam yang sama dengannya, yaitu, realitas alam malâkût, dan menjadi gerbang untuk pengetahuan al-haqq.

Kemudian pemahaman ihwal dzawq. Haidar mencatat bahwa “Sebagai seorang sufi yang mengandalkan perasaan (dzawq), mudah diduga bahwa catatan-catatan Ibn ‘Arabi dituliskannya dengan penuh perasaan dan romantisme.”37 Dzawq lebih tepat diterjemahkan sebagai rasa jati dan merupakan perasaan di dasar ‘aql. Dzawq juga dikatakan sebagai rasa yang sejalan dengan kehendak Allah karena segenap penglihatan yang diterima oleh seorang salik akan bisa ditangkap pesannya oleh dzawq yang nota bene bukanlah perasaan emosional dan estetik khas seniman. Dzawq menangkap pesan itu dengan ‘topangan’ ‘aql yang telah berilmu. Contoh konkretnya: seorang salik mendapat penglihatan yang benar (ru‘ya, dari akar kata ra‘a) berupa segelas anggur. Simbol dari ‘alam khayal tersebut bisa ‘disadap’ oleh syaithan. Namun, dzawq—bisa dari seorang salik yang telah matang atau, tentu saja, dzawq seorang Mursyid yang haqq—yang dapat menangkap bahwa ‘anggur dalam gelas itu asam dan basi’ sebagai simbol dari suatu urusan bagi salik atau sufi yang menerima penglihatan tersebut. ‘Rasa’ atas pesan itulah yang tak bisa ‘disadapsyaithan; hanya simbol dan bentuknya saja yang dapat disadap, namun tidak dengan pesan dan apa yang dzawq (ditopang ‘aql) pahami dari simbol di penglihatan tersebut. Jadi, dzawq bukanlah emosi dan romantisme estetik ala seniman (yang merupakan bagian dari fakultas jasadiah).

Dalam pembahasan ihwal ‘aql dan ke-7 tingkatannya, Tirmidzi menggambarkan ihwal tingkatan ‘aql dengan alegori “Pesona Kota Cahaya”40 sebagai berikut:


Gambar 7 tingkatan ‘aql dari Al-Hakim At-Tirmidzi

Melihat bagan di atas, jika otak (jasadiah) yang diaktivasi oleh fu‘ad bisa membuat manusia berpikir teoretik abstrak, seperti filsafat dan pemikiran teoretik lainnya dan juga berpikir praktis yang menghasilkan teknologi—harus diingat, ini baru hanya memanfaatkan akal kuda tunggangan saja—maka, dengan ‘aql sang penunggang kuda (yaitu lubb) akan membuat ulil albab dapat memahami rahasia ilahi. Namun, rahasia Ilahi tersebut seringkali tampak irasional bagi kalangan yang hanya terdidik di akal jasadiah; tak ubahnya kuda tunggangan yang memandang aneh berbagai ilmu yang dipahami penunggang kuda.41 Hal senada diungkapkan berulang kali dalam Al-Qur‘an, bagaimana umat-umat terdahulu yang menolak para nabi itu bukanlah kalangan yang bodoh, sebagaimana yang dilontarkan kepada Nuh.42

Dilema semacam itu akan terus dihadapi muslim hingga hari ini, seperti dialami Ahmad Najib Burhani, “Dan setiap kali kita hendak memilih dengan akal dan otak kita, ‘gunakan hatimu, perasaanmu, dan jiwamu dalam memilih’ sering tersodor di muka kita.”43 Dalam QS. Nûh [71]: 5—6 diungkap, “Nuh berkata, ‘Ya, Tuhanku, sesungguhnya, aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran).’” Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa seandainya Nuh menyeru dengan cara memasukkan siang ke dalam malam dan malam ke dalam siang, niscaya dakwahnya berhasil. Zamzam menjelaskan bahwa siang menyimbolkan aspek lahiriah, yaitu keilmuan yang berkembang pada zamannya, sedangkan ‘malam’ menyimbolkan aspek batiniah, yaitu agama atau pemurnian jiwa. Karenanya, di era saat ini diperlukan pembahasaan tashawwuf dalam wacana teoretik yang lebih dapat dipahami untuk berfungsi penjembatan, bukan tujuan. Karena itu, pengunggulan rasio, sebagaimana diusung tasawuf positif, perlu dipertanyakan kembali, karena sebagaimana pernah dinyatakan oleh Ibn ‘Arabi, melalui Ibnu ‘Atha’illah, “Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tidak dapat diandalkan. Karena, ia akan selalu dipengaruhi oleh sanggahan-sanggahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis, melainkan tercurah dari lubuk hati.”44

Dalam sejarah modernisme bisa dilihat bagaimana kepercayaan bahwa visi teleologis ala Hegel yang membayangkan “surga di muka bumi” akan terwujud melalui nalar yang berdialektika lalu membawa sejarah mencapai wujud akhir yang rasional, ternyata malah berakhir dengan dua Perang Dunia, capaian fisika molekuler yang berujung pada penciptaan bom atom untuk memusnahkan dua kota (hingga Oppenheimer berkata, “Kini para fisikawan telah mengenal dosa”), dan berbagai agresivitas manusia yang malah teramplifikasi oleh nalar sebagaimana dicatat Konrad Lorenz, sang pemenang Nobel. Namun, ini bukan berarti bahwa otak dengan berbagai fungsinya tak boleh dimaksimalkan (apalagi tulisan ini pun diperkaya dengan wawasan dari filsafat Barat yang penulis pelajari secara formal). Harus tetap diingat bahwa ‘otak kuda tunggangan tak seharusnya jadi tolok ukur benar tidaknya suatu perkara, apalagi sampai harus mengatur sang penunggang kuda yang memiliki lubb.’ Dalam khazanah Zen ada kisah yang bisa menjadi analogi bagi visi tasawuf positif dalam mengunggulkan rasionalitas (kemungkinan besar karena hanya tahu rasio saja) sebagai berikut: Seorang pemuda sedang berada di atas kuda yang berlari dengan sangat kencang. Seseorang melihatnya, lalu berteriak kepadanya, “Kencang sekali Anda berkuda, mau ke manakah Anda?” Pemuda tersebut berbalik dan menyahut, “Saya tidak tahu, tanya saja kudanya.”

Sejarah abad kejayaan Islam juga ditandai dengan kejayaan berbagai keilmuan tanpa menggamit sekularisme sebagaimana terjadi di Eropa. Karenanya, ilmu apa pun yang dikuasai tiap-tiap muslim, apa pun latar belakang keilmuannya, bisa menjadi jembatan untuk berkarya bagi kemaslahatan manusia. Namun, tak sedikit dari kalangan muslim yang mengharamkan kesemua ilmu modern, bahkan berdampak pada banyak mahasiswa drop out dari bangku kuliah sebab diperingatkan bahaya mempelajari ilmu-ilmu sekular yang sesat. Sebagaimana disinggung di atas, pengajaran langsung dari Tuhan yang diterima al-muttaqin itu berbentuk pemahaman yang diilhamkan. Bagaimana ilham pemahaman tersebut kemudian dibahasakan dan disampaikan akan bergantung pada kecerdasan jasadiahnya. Maka, pandangan bahwa tashawwuf tak dapat diwacanakan tidaklah tepat, sebab ada orang yang memang Allah mudahkan untuk mewacanakannya secara lisan maupun tulisan.45

Hal ini mengantarkan juga pada permasalahan yang acapkali mengemuka di masa ini, yaitu rendahnya kesadaran umat muslim secara global untuk mempelajari suatu ilmu secara mendasar hingga tataran filosofis, tidak tanggung hanya paham permukaan; seperti diungkap pepatah “berburu ke padang datar dapat rusa belang kaki, berguru kepalang ajar bagai bunga kembang tak jadi.” Termasuk di dalamnya keterpesonaan terhadap pemikiran (post)modern, lalu memakainya untuk “merevisi” (atau “mengoreksi” ajaran Islam) sebab mengisyaratkan ketakpahaman akan dimensi esoterik ajaran Islam, juga tak merogoh hingga asumsi dasar dan pandangan dunia (weltaanschaung) yang jadi pijakan pemikiran teoretik tadi, lalu bergegas mendekonstruksi ini itu dalam Islam agar selaras dengan tuntunan wacana teoretik sekular yang lahir dari luka atas agama tersebut. Dalam kaitannya dengan tashawwuf, dimensi esoteris Islam ini seringkali hanya ditelusuri dengan jari tak ubahnya peta, tak dijejaki langsung selain melalui wisata wacana, dipadukan dengan apropriasi sedemikian rupa agar Islam menjadi terkesan up to date sesuai dinamika pemikiran (post)modern, sehingga gejala skizofrenia kultural pun tak terelakkan dan juga tak disadari.46

Problematika pengunggulan rasionalitas di otak manusia bisa direnungkan melalui Phenomenology of Perception karya Maurice Merleau-Ponty. Di dalam buku tersebut dia menganalisis fenomenologi tubuh pada kasus Schneider yang mengalami kerusakan otak akibat pecahan granat, sehingga ‘jiwa’ Schneider tak dapat berfungsi dengan baik, bagaimana dia bisa secara reflek menggaruk bagian tubuhnya yang gatal namun tak bisa mengingatnya sama sekali saat ditanya “barusan kamu menggaruk di bagian tubuh yang mana” atau bagaimana dia tak bisa melakukan gerak abstrak seperti menggerakkan tangannya sambil mata tertutup, sebab Schneider baru bisa menggerakkannya jika dia melihat tangan tersebut. Kasus ini, bagi Merleau-Ponty, meneguhkan kesimpulannya bahwa jiwa sama sekali tak terpisah dari tubuh, sebagaimana banyak berlaku dalam psikologi modern, sebab jika otak manusia mengalami ‘kerusakan’, maka ‘jiwa’ pun kehilangan sebagian kemampuannya. Begitu pula halnya dengan berbagai penyakit degeneratif lain, seperti alzheimer, stroke, dan sebagainya, yang membuat otak tidak berfungsi optimal. Dalam hal ini, Merleau-Ponty memandang manusia itu tak ubahnya laptop (atau perangkat keras sebagai analogi tubuh) yang di-install berbagai perangkat lunak (software) mutakhir beserta Artificial Intelligence, sehingga mampu beroperasi sendiri sesuai programnya (sebagai analogi jiwa). Kerusakan pada perangkat keras (yaitu tubuh) bisa membuat perangkat lunak (yaitu jiwa) rusak juga. Merleau-Ponty tak berpandangan bahwa ada seseorang lagi (yaitu analogi jiwa sebagai entitas otonom dari tubuh) yang mengoperasikan laptop beserta perangkat lunaknya tersebut.

Pandangan kesatuan tubuh-jiwa dari Merleau-Ponty ini, jika diamini oleh (sebagian) kalangan muslim akan memantik pertanyaan: bagaimana jika manusia mati, dikubur, kemudian otaknya hancur bersama tubuh yang terurai? Bukankah semua ingatan dan ilmu yang ada di sel-sel otak itu pun akan hilang bersama terurainya mayat. Maka, hilang pula semua ilmu yang tersimpan dalam sel-sel kelabu otak yang hancur terurai tersebut. Jika dicocokkan kepada pandangan teologi Islam, apakah berbagai ilmu dalam otak itu (serta berbagai sistem syaraf di tubuh) yang nantinya akan menjelma menjadi nafs lalu ditanyai malaikat di mauthin barzakh? Setidaknya ini memunculkan pertanyaan utama: sepenting apa ilmu-ilmu rasional dalam otak di kepala bagi nafs sebagai entitas yang otonom dari tubuh dan memliki lubb? Lalu, apakah lubb (yang tak ubahnya akal sang penunggang kuda) itu bekerja dengan prinsip rasionalitas yang dikuasai nalar di otak (yang tak ubahnya akal kuda)? Berbagai pertanyaan ini merupakan pancingan untuk memikirkan kembali ihwal pemahaman yang kabur lagi campur aduk ihwal jasad (beserta otak dan kehidupan mentalnya yang dikenal sebagai psikis dalam psikologi modern), nafs (sebagai entitas hidup terpisah dari tubuh), qalb, ‘aql, ruh (entitas ketiga dalam diri manusia yang berasal dari amr Rabb), dan berbagai jenis ilmu (ladunni, tasawwur, nur ilmu, ilham, hikmah, wahyu, dan lain sebagainya) sebagaimana diperingatkan Al-Ghazali sejak lebih dari 1000 tahun yang lalu.

Terkait ilmu dan amal, dalam Ihya ‘Ulumuddin, Al-Ghazali mencantumkan hadits, “Ditanyakan, ‘Wahai Rasulullah, amal-amal apakah yang lebih utama?’ Beliau bersabda, ‘Ilmu tentang Allah.’ Lalu, ditanyakan, ‘IImu apakah yang engkau kehendaki?’ Beliau bersabda, ‘Ilmu tentang Allah. Lalu, dikatakan kepadanya, ‘Kami bertanya mengenai amal, sedangkan engkau menjawab mengenai ilmu.’ Maka, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya, amal sedikit yang disertai ilmu tentang Allah itu berguna, sedangkan banyaknya amal yang disertai bodoh mengenai Allah tidak berguna.’” Sedang di bagian lainnya, Al-Ghazali mencantumkan hadis, “Barang siapa mengamalkan apa-apa yang ia ketahui, maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya dan Allah akan menolong dia dalam amalannya, sehingga ia mendapatkan surga. Dan, barang siapa yang tidak mengamalkan ilmunya, maka ia tersesat oleh ilmunya itu. Dan, Allah tidak menolong dia dalam amalannya, sehingga ia akan mendapatkan neraka.” Kedua hadis ini menandaskan ketakterpisahan ilmu dan amal. Seseorang tidak dikatakan berilmu jika tidak beramal; adapun amal yang utama adalah ilmu tentang Allah. Karena itu klasifikasi tashawwuf falsafi dan tashawwuf amali menjadi asing berdasarkan prinsip yang Nabi sampaikan. Klasifikasi semacam ini hanya berlaku di wilayah akademis dan berguna untuk mendapatkan gelar akademik sebab, sebagaimana ditegaskan dalam hadits, “Sesungguhnya, manusia yang paling berat siksanya kelak di hari kiamat adalah orang yang berilmu, akan tetapi ilmunya tidak bermanfaat.” (HR. Ahmad dan Baihaqi).

Ihwal Suluk dan Empat Tahapan

Istilah suluk berasal dari kata salaka yang artinya menempuh sesuatu, melintasi sesuatu, atau memasuki sesuatu. Kata ini menyiratkan dua hal, yaitu keadaan sebelum memasuki dan apa yang dimasuki. Sedangkan, terkait artinya sebagai melintasi, mengisyaratkan adanya jalan yang dilintasi. Dalam bahasa Arab, memasukkan benang ke dalam lubang jarum juga memakai kata salaka; dan ini menyiratkan adanya benang yang dimasukkan serta lubang jarumnya. Turunan kata salaka ini adalah suluk. Seseorang yang ber-thariqah atau menempa jiwa menuju Allah dengan jalan pertaubatan itu dikatakan juga sedang bersuluk, sedangkan yang melakoninya disebut salik (pejalan), atau dalam bahasa Persia disebut darwish. Istilah lainnya dari bahasa Arab adalah  murid, artinya yang menghendaki; dalam hal ini adalah menghendaki Allah. Murid adalah yang menata diri dengan syariah untuk kemudian berjalan dan berjuang untuk berakhlak baik. Dalam khazanah tashawwuf dikenal juga istilah murad. Jika murid adalah yang menghendaki, yang mencari Allah dengan menempuh suatu jalan dan dialah yang aktif, maka di antara para murid itu ada yang terkategori murad, yaitu yang dikehendaki oleh Allah, baik siap maupun tidak siap, Allah akan menariknya, dijadikan tiba-tiba atau diperjalankan. Atau, seperti istilah yang juga digunakan oleh Ibn ‘Arabi, misalnya, adalah jadzab (sering diartikan sebagai tarikan Allah), yaitu orang yang siap atau tidak siap Allah tarik, sebagaimana dikemukakan oleh Abu Madyan, “Aku melihat orang yang wushul (sampai kepada Allah) hanya dalam enam bulan.” Dalam fenomena seperti ini, meskipun langka tapi terjadi, maka tak semua mursyid harus selalu memiliki garis silsilah hingga ke Rasulullah sebagaimana dipahami sebagian kalangan thariqah, garis silsilah yang juga menjadi sumber kritik dari sebagian kalangan lainnya yang menolak thariqah.

Adapun istilah suluk itu terkait erat dengan thariqah dalam pengertian “sebuah jalan tertentu.” Oknum yang bersuluk itu adalah manusia, namun aspek khusus dari manusia tersebut. Tatkala secara fisik seseorang menegakkan shalat, tak selalu berarti sedang bersuluk, sebab harus ada aspek tertentu dari dirinya yang bersuluk. Lebih luas lagi: tidak semua muslim itu bersuluk karena harus ada aspek tertentu di dirinya yang sedang berjalan. Namun, tentu saja yang bersuluk itu pasti seorang muslim karena tak mungkin bersuluk tanpa shalat, apalagi sampai meninggalkan shalat, karena semua syariah harus dijalankan saat bersuluk. Akan tetapi, muslim yang ketat menata lahiriahnya melalui syariah lahir atau fiqih belum tentu juga tengah menempuh suluk sebab harus ada aspek khusus dari dirinya yang bersuluk.

Secara umum, suluk pun dikenal sebagai perjalanan ruhaniah (kadang perjalanan spiritual). Di atas telah dikemukakan beda nafs dengan ruh, ini memantik pertanyaan ‘apa yang dimaksud dengan ruhaniah atau spiritual?’ Dalam bahasa Latin ada istilah spiritus yaitu nafas yang menjadi asal kata spirit (diterjemahkan sebagai ruh, juga semangat). Jika ada istilah perjalanan ruhaniah, apakah yang berjalan adalah ruh atau nafs? Pemakaian istilah ruhaniah atau spiritual kurang tepat jika yang dimaksudkan adalah ‘tazkiyatun nafs’ atau ‘pemurnian jiwa.’ Begitu pula jika yang bersuluk adalah aspek fisik manusia, maka banyak yang telah menegakkan shalat, shaum, haji, dan syariat lainnya. Penekanannya, selain melakukan perjalanan secara jasadiah, salik juga melakukan perjalanan nafs. Jika nafs yang berjalan, maka dimana jalannya? Terlihatkah? Berjalan menuju apa?

Dalam khazanah tashawwuf dikenal empat tingkatan, (1) Syariah; (2) Thariqah; (3) Haqiqah; (4) Marifah. Setelah menegakkan semua kaidah syariah, perjalanan pun diperluas dengan naik ke tahapan berikutnya, yaitu ber-thariqah, yang diistilahkan juga sebagai salaka (memasuki sesuatu) namun tetap dalam landasan syariah. Anggapan sebagian kalangan bahwa tahapan ini bid‘ah itu lebih dikarenakan tidak memasuki dan mengalami langsung, sehingga tak paham. Dalam thariqah, tahapan ini bukan sekadar teori atau hasil membaca, lalu didiskusikan secara santai di cafe, misalnya. Keempat tahapan ini harus dialami langsung hingga ada mukasyafah (keterbukaan atas sesuatu), akan tetapi, sebagaimana ditegaskan Zamzam, salik harus menolak segala jenis kasyaf (yang tersingkap oleh qalb) jika tidak sejalan dengan Al-Qur‘an dan syariat.

Dalam QS. al-Mu’minûn [23]: 17 diungkap bahwa Allah telah “… menciptakan di atas kalian tujuh buah jalan.” Jika syariah diibaratkan landasan di muka bumi, dan dalam Al-Qur‘an bumi merupakan simbol jasad, maka seorang muslim harus melatih jasadnya untuk beribadah kepada Allah. Kemudian di atasnya ada thara’iq (bentuk jamak dari thariqah) yang merupakan proses menempuh jalan-jalan di langit. Karena itu, thariqah seharusnya membuka tujuh buah pintu ke atas, yaitu tak ubahnya mi‘raj yang telah banyak diungkap para sufi. Setelah jasad melakoni syariah dan nafs ditempa dalam thariqah juga dengan syariah, akan terbuka haqiqah (tanpa meninggalkan syariah). Terbukanya hakikat “siapa aku sebenarnya” adalah dengan mengenali kendaraan jiwa, yaitu jasad, qalb, fu’ad, lubb, sirr, Ruh Al-Quds dan sebagainya. Ini yang dimaksud dengan ayat di ufuq dan dalam nafs (lihat QS. Fushshilat [41]: 53); bahwasanya yang di luar maupun di dalam diri manusia adalah al-haqq. Inilah tahapan haqiqah. Keempat tahapan tersebut arahnya ke dalam diri. Manusia diperintahkan untuk mengenal alam beserta hukum-hukumnya, terus ke dalam hingga mengenal dirinya sendiri. Semakin halus mengenal diri, akan semakin mengenal Allah. 47

Adapun tahap ma‘rifah merupakan tahap manusia mengenal Allah. Namun, untuk mengenal Allah, seseorang harus menempuh keempat jenjang ini secara langsung, dan bukan hanya dengan melahap ribuan buku tashawwuf lalu menuliskan dan mendiskusikannya saja. Tahapan ma‘rifatullah merupakan skema yang diajukan oleh mereka yang sudah berhasil sampai ke tahap tersebut, misalnya seperti perkataan ‘Ali bin Abi Thalib, “Awwaluddin ma‘rifatullah” (Awal ad-dîn adalah ma‘rifatullah). Ma‘rifatullah membuat sang ‘arif billah mengenal siapa yang disembahnya,48 sedang ma‘rifatunnafs ada dalam jenjang haqiqah. Jika melihat lebih ketat pada redaksional haditst masyhur tersebut, maka ma‘rifatur Rabb itu belum sampai ke tahapan ma‘rifatullah; tahapannya adalah ma‘rifatun nafs lalu ma‘rifatur Rabb lalu ma‘rifatullah. Dalam hadis qudsi ihwal kanzun makhfiy diungkapkan bahwa Tuhan menciptakan makhluk karena Dia cinta untuk dikenal dengan cara mengenal nafs, sebab di dalam nafs tersimpan segenap amanah dan amr dari-Nya berupa misi hidup yang harus diejawantahkannya di muka bumi. Rumi menggambarkannya sebagai berikut:

Manusia laksana busur di tangan Kuasa Tuhan

Tuhan memperkerjakan manusia dengan beraneka ragam tugas

Pada hakikatnya, Tuhan adalah pelaku utama, bukan busur

Busur adalah alat dan tujuan

Tetapi karena cintanya kepada dunia, busur tak sadar dan tak peduli kepada Tuhan

Dalam puisi tersebut Rumi menggunakan perumpamaan lainnya ihwal tujuan penciptaan, bahwa manusia tak ubahnya busur yang tentu saja diperlengkapi dengan panah. Hanya busur yang berserah diri saja yang bisa melaksanakan misi hidup dari Tuhan, atau Rumi gambarkan juga sebagai seruling. Adapun busur yang mabuk kepayang pada dunia malah akan lupa pada panah yang dibawanya, sehingga tak menunaikan tugasnya (baca: misi hidup).

Demikian, di mauthin dunya manusia menjadi lupa ihwal persaksian yang dulu pernah dilakukannya. Seharusnya, manusia mengingat kembali persaksian tersebut. Jika dikatakan bahwa pengingatan kembali itu tak mungkin, berarti mulai dari mauthin syahadah (lihat QS. al-A‘râf [7]: 172), hingga mauthin mahsyar yang terjadi hanyalah rentetan amnesia, yaitu bagaimana manusia tak ingat lagi apa saja yang telah dialami sebelum diturunkan ke muka bumi, apa saja yang sudah dilakoninya saat berada di muka bumi, dan apa yang dialaminya saat di mauthin barzakh.49 Pertanyaan yang muncul: untuk apa Tuhan melakukan hal seperti itu, bahkan saat membaca ayat persaksian primordial tersebut pun cukup diimajinasikan saja tak ubahnya membaca karya sastra?

Jika seseorang berhasil mengingat kembali persaksian di mauthin syahadah, syahadat-nya pun menjadi haqq. Syahadat yang diucapkan umat Muslim merupakan visi agar suatu saat manusia dapat mengingat kembali persaksian di mauthin syahadah, saat nafs berkata, “Kami bersaksi.” Dengan demikian, kesaksian dalam syahadat-nya bukan sekadar angan-angan kosong dan juga saat membaca ayat perjanjian primordial tersebut. Di titik ini seseorang akan digelari sebagai syuhada, yaitu ‘orang yang menjadi saksi karena telah mengingat kembali persaksian di mauthin syahadah’ sekaligus berhasil mengingat kembali ‘apa misi hidup yang telah dikalungkan di lehernya.’ Syuhada tak selalu berarti orang yang mati dalam peperangan fisik. Hal ini diungkap dalam hadis: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyr. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa‘id, dari Qatadah bahwasanya Anas bin Malik ra telah menceritakan kepada mereka bahwa Nabi saw. pernah mendaki bukit Uhud yang diikuti oleh Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman. (Tiba-tiba), Uhud bergetar (gempa), maka Beliau bersabda, “Tenanglah, wahai, Uhud, karena di atasmu sekarang ada seorang nabi, seorang shiddiq, dan dua orang syahid.” (HR. Bukhari) Adapun shiddiqin adalah yang telah menjalankan misi hidupnya di muka bumi.

Kedua golongan ini—selain nabi dan shalihin—berada di atas Ash-Shirathal Mustaqim (jalan orang yang diberi nikmat, lihat QS. an-Nisâ’ [4]: 69). Hadis pun menjelaskan bahwa syuhada itu bukan selalu berarti mereka yang mati dalam peperangan. Disebutkan pula bahwa jihad akbar adalah jihad melawan hawa nafsu (hasrat imaterial), sebagaimana dijelaskan dalam hadits.52 Ibn ‘Arabi menjelaskan, “Anda harus menunaikan jihad akbar, yaitu memerangi hawa nafsu Anda. Manusia senantiasa dalam jihad akbar karena ia selalu terseret untuk menolak ajaran kebenaran sebab, pada dasarnya, ia memang penurut kepada hawa nafsunya. Hawa nafsu ini setara dengan Iradah (Kehendak) yang menjadi hak Allah, karena Allah melakukan sesuatu seperti manusia ingin melakukan apa yang disukainya.”53

Jika seseorang menjalankan jihad akbar dan diridhai Tuhan, maka dia akan dianugerahi rahmat kedua, yaitu turunnya Ruh Al-Quds yang akan mengingatkan kembali nafs ihwal persaksian di mauthin syahadah beserta misi hidup yang diamanahkan kepadanya, seperti diungkap dalam QS. an-Nahl [16]: 89 sebagai “… rahmat dan kabar gembira bagi al-muslimin.” Lalu, dalam QS. an-Nahl [16]: 102, kata rahmat dijelaskan lebih jauh sebagai Ruh Al-Quds yang diturunkan dari Rabb dengan al-haqq untuk meneguhkan mereka yang beriman dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi al-muslimin.54 Inilah rahmat kedua. Di titik ini, tugas seorang mursyid berakhir, saat salik mencapai tahapan syuhada. Peran mursyid berikutnya dipegang oleh Ruh Al-Quds yang menjadi penasihat (wazir) serta pembimbing dalam menjalankan misi hidupnya. Barulah kemudian insan tersebut menapaki tujuan ketiga dari thariqah, yaitu menjadi hamba-Nya yang didekatkan-Nya (qarib).

Ihwal Mursyid dan Riyadhah

Terkait thariqah sebagai jalan pertaubatan, hadis menegaskan bahwa “Barang siapa bertaubat sedang ia tidak mempelajari ilmu, maka ia bukanlah orang yang bertaubat,”55 lalu Al-Qur‘an melarang permohonan (doa) tanpa pengetahuan56 serta larangan untuk taklid.57 Dengan demikian tak boleh menempuh suluk di suatu thariqah dengan hanya bermodalkan taklid kepada mursyid. Siapakah mursyid itu? Mereka yang misi hidupnya membawa jalan pertaubatan (thariqah) beserta riyadhah, yaitu suatu metode bagi para salik untuk belajar mati sebelum mati. Dalam membangun keberserahdirian total, salik harus mengosongkan hiruk-pikuk di kepalanya. Itulah mengapa dalam jalan permunian jiwa di berbagai agama dikenal metode mengheningkan diri. Dalam thariqah, metode tersebut adalah riyadhah. Perkara ini yang seringkali luput dari pengamatan, yaitu hal yang khusus dalam thariqah sehingga dinamai sesuai nama pendirinya itu semata hanya pada zikir.58 Padahal tak semua thariqah memperkenalkan zikir sebagai riyadhah.

Salah satu manfaat riyadhah dapat sedikit dijelaskan melalui hermeneutika, suatu metode yang digunakan Martin Heidegger untuk mencari ontologi yang lebih “fundamental.”59 Asumsi dasar dari hermeneutika bahwa (1) hidup berarti memahami dan berpikir, adapun (2) memahami dan berpikir berarti menafsir, sedangkan (3) menafsir tak mungkin tanpa prasangka atau prapemahaman. Bahwa pemahaman di kepala manusia ihwal apa pun itu dimungkinkan karena manusia menafsirkannya, sebab tak ada satu hal pun dalam dunia hidup manusia yang tanpa penafsiran. Tafsir paling awal yang bercokol di kepala manusia adalah bahasa dalam bentuk kosa kata dan pemberian nama atas berbagai hal. Itulah tafsir tingkat pertama yang manusia terima sebab diajarkan oleh orangtua atau para pengganti orangtua. Misal, mengapa sebuah objek dinamai mobil dan bukannya sendal? Bahkan perasaan yang berkecamuk dalam diri manusia pun telah diberi nama (baca: ditafsirkan) oleh bahasa. Melalui bahasa dan penamaan tersebut manusia melihat dan memahami dunia. Setiap bahasa merepresentasikan cara berpikir khas masyarakat penggunanya, sedang dalam skala individu membentuk “dunia” personalnya yang unik. Dalam hal ini, bahasa adalah lensa berwarna, bukan lensa bening maupun cermin. Seolah realitas terlihat jernih apa adanya, padahal bahasa telah menjadi filter yang memberi warna atas realitas yang kita lihat.

Demikian, kebenaran, dalam hidup manusia, bukan sekadar ihwal fakta melainkan juga merupakan perkara makna. Karena itu, hermeneutika mempertanyakan obsesi akan objektivitas sebab dunia manusia sudah selalu merupakan dunia tafsir. Misalnya, sebuah tempat yang sama akan menghasilkan tafsir berbeda bagi orang yang mengalami peristiwa membahagiakan di sana. Namun, bagi yang mengalami pengalaman menyakitkan lagi traumatik malah akan menghasilkan tafsir berbeda. Itu baru tingkat pengalaman. Belum lagi perkara bahasa, wawasan, kepribadian bentukan keluarga, dan lain sebagainya. Singkatnya, bahasa, pengalaman, kepribadian, dan segala bentukan yang mencetak seseorang akan menjadi dasar pertama yang dipakainya untuk [berpikir ← menafsir ← prasangka]. Jika hidup manusia sudah selalu demikian, bagaimana agar dia dapat lepas dari itu semua dan mengenali al-haqq, terlebih lagi mengenal Allah (ma‘rifatullah) tanpa hanya berprasangka?

Itulah mengapa para sufi senantiasa mengutamakan qalb, yang disalahpahami oleh para pengkaji tashawwuf maupun filsuf sebagai perasaan atau emosi yang mengharu biru. Ma‘rifatullah itu dengan qalb (bukan dengan rasio), sebab qalb menghadapkan wajahnya ke aspek zahir maupun batin manusia, dan Tuhan pun memiliki sisi zhahir maupun bathin. Ini bisa dipahami lebih jauh melalui penjelasan Zamzam ihwal QS. al-Baqarah [2]: 189.60 Secara asbabun nuzul, ayat ini turun terkait dengan salah satu tradisi orang Arab ketika mereka pulang menunaikan ibadah, lalu masuk dari belakang. Dalam tataran syariat lahir (fiqih), ayat ini memerintahkan agar umat Islam masuk rumah melalui pintunya. Namun, dalam salah satu makna batinnya, ayat tersebut menjelaskan ihwal qalb sebagai baitullah. Bagian belakangnya menghadap ke wilayah batin, sedang bagian depannya menghadap ke wilayah lahir. Dalam wilayah batin tersimpan al-haqq atau hakikat dari segala sesuatu, maka ayat ini melarang seorang muslim memasuki wilayah batin hanya mengandalkan rasio. Kenapa? Sebagaimana rasio artinya adalah perbandingan, khazanah yang tersimpan dalam al-haqq itu tidak punya perbandingan dengan yang ada di realitas fisikal ini. Akal kuda tak akan sanggup memahami perkara yang hanya bisa dipahami oleh akal penunggang kuda. Karenanya, tidaklah mengherankan jika kalangan yang hanya mengunggulkan rasionalitas akan menganggap khazanah yang ada di bagian belakang qalb tersebut sebagai sesuatu yang irasional, sebab tak ada perbandingan yang dapat dipahami otaknya (yang hanya bisa memahami realitas fisikal). Terlebih jika yang dipahaminya bahwa tubuh dan jiwa itu satu kesatuan, lalu menyamakan begitu saja antara nafs dengan ruh, dan juga dengan psikis.

Ayat ini juga menegaskan bahwa seorang muslim tak boleh langsung memasuki wilayah haqiqah; harus melalui pintu depan terlebih dahulu, yaitu syariah. Demikian, hanya qalb yang dapat mengenali al-haqq atau hakikat dari segala sesuatu.61 Jika qalb berada dalam keadaan campur aduk antara hawa nafsu, syahwat, waham, dan lain sebagainya, sehingga membuat manusia jadi cinta dunia, maka tak ada yang terlihat selain yang fisikal saja. Pemikirannya pun terbentuk dari campuran semua itu.62 Maka, kondisi manusia yang secara nalar sudah selalu tercetak dalam tafsir demi tafsir, kemudian ditambah dengan kondisi qalb yang campur aduk berbagai hasrat dan waham, membuatnya tak bisa memahami al-haqq. Lalu, apa jalan keluar dari “perangkap” ini? Riyadhah, sebab itu merupakan latihan agar salik dapat belajar mati sebelum mati. Dalam riyadhah, salik mencoba mengistirahatkan pikirannya yang selalu berdenyut, bekerja menafsir dan menafsir lagi, mencipta waham lagi dan lagi. Dalam riyadhah, salik harus melakukan desentrasi (bukan konsentrasi), mencoba belajar berserah diri dan menerima apa pun yang “hadir” dalam riyadhah. Pikiran dan obsesi malah bisa ‘mengacaukanriyadhah. Di titik ini hanya pengalaman langsung saja yang dapat menjelaskannya. Kata-kata hanya akan berakhir menjadi seperti mustahilnya menjelaskan manisnya madu. Singkat kata, riyadhah adalah suatu metode sekaligus obat yang dibawa oleh para mursyid untuk para saliknya, agar perlahan dapat keluar dari ‘penjara hermeneutis’ ciptaannya sendiri yang sudah selalu mengurungnya selama ini, sebab kerja otak (seperti nalar maupun imajinasi) dikendalikan oleh ‘kesadaran jasadiah’. Riyadhah adalah latihan untuk menjadi seruling Ilahi sebagaimana digambarkan oleh Rumi sebagai berikut:

Bukan kayu kokoh yang dapat menjadi seruling, tapi bambu kosong.

Sempurnanya kekosongan dan keberserahdirian qalb-lah yang memberi ruang bagi turunnya pesan-pesan agung, sebab sang utusan hanyalah seruling kosong yang menyuarakan hembusan nafas suara-Nya.

Perbedaan dia dengan manusia kebanyakan adalah manusia kebanyakan penuh berisi dirinya sendiri.

Di sini Rumi memakai simbol seruling untuk menggambarkan bahwa alat musik tiup tersebut dapat berbunyi mengeluarkan nada-nada indah justru karena bagian tengahnya kosong. Jika bagian tengah seruling disumpal oleh sesuatu, tak akan berbunyi indah. Pada masa Nabi, salah satu bentuk riyadhah saat itu adalah berjihad secara fisik dengan risiko mati terbunuh. Bahkan, saat masih di Mekkah, untuk menjalankan ibadah, mereka harus diam-diam karena ancaman dari kafir Quraisy. Namun, di saat Islam sudah menyebar luas dan siapa pun dapat beribadah dengan tenang tanpa risiko dan tak ada lagi peperangan, maka metode untuk belajar mati sebelum mati itu berupa riyadhah sebagaimana yang dibawa oleh para mursyid. Di sinilah signifikansi thariqah sebagai jalan pertaubatan yang menawarkan metode riyadhah serta signifikansi mursyid yang membawa jalan dan metode tersebut dari Tuhan (bukan diciptakan sendiri). Kedua hal ini yang tak dapat dilakukan hanya dengan diskusi tashawwuf melalui kursus atau forum diskusi yang tak ubahnya membicarakan cara berenang tanpa pernah masuk ke kolam untuk berlatih sambil diajari dan diawasi oleh sang pelatih, mengalami langsung hampir tenggelam dan meminum air kolam berulang kali.

Karena pertaubatan tak terpisahkan dari thariqah dan riyadhah, maka waktu terbaik untuk riyadhah adalah di waktu sepertiga malam atau waktu sahur, sebagaimana diungkap dalam QS Âli ‘Imrân [3]: 17. Riyadhah—atau jika meminjam ungkapan Al-Qur‘an sebagai “memohon ampun di waktu sahur”—dapat diilustrasikan seperti pedang dan sarungnya. Selama puluhan tahun pedang tersebut tak pernah dicabut untuk dibersihkan. Tatkala akan dicabut lagi dari sarungnya malah sukar sekali. Ini disebabkan karat yang terbentuk selama lima puluh tahun telah membuat pedang tersebut menempel pada sarungnya, seakan terpatri. Begitu pula nafs yang “dimasukkan” ke dalam jasad dan tak pernah melatih keberserahdirian, tak pernah berlatih mati sebelum mati (riyadhah). Tenggelam dalam kehidupan dunia serta kecintaan terhadapnya menjadi asal muasal “karat yang membuat nafs terikat pada jasad. Akibatnya, saat menghadapi ajal, tatkala nafs dan ruh dicabut dari jasad akan terasa sangat menyakitkan disebabkan “karat” tersebut. Itulah salah satu fungsi riyadhah dalam thariqah. Terkait riyadhah, Rumi menuliskannya sebagai berikut:

Kalau sekarang tidak juga kau coba lepas dari dirimu sehingga untuk itu harus kaukoyak dirimu hingga terbuka, kelak kau akan dikoyak terbuka oleh maut.

Dan, saat itu sudah sangat terlambat untuk menjadi dirimu yang sesungguhnya, dengan segala yang mampu ia raih.

Ihwal Mursyid sebagai Misi Hidup

Wali secara harfiah artinya adalah dekat dengan sesuatu, atau juga terhubung, dan gelar ini biasanya dinisbatkan kepada mereka yang telah mencapai ma‘rifat, walau tak jarang juga dinisbatkan berdasarkan kriteria penilaian yang berlaku di suatu komunitas. Di antara para wali tersebut ada yang digelari waliyullah, gelar lebih khusus dinisbatkan kepada mereka yang mengemban tugas “kerasulan” dalam arti khusus. Maksudnya sebagai berikut: dalam kisah para nabi sebagaimana diungkap dalam Al-Qur‘an terlihat jelas bahwa dari masa ke masa, manusia akan selalu menyimpang jalannya, karenanya, seperti Ibn ‘Arabi jelaskan, “Rasul-rasul tidak pernah berhenti dan tidak akan pernah berhenti keberadaannya di dunia ini sampai Hari Kebangkitan. Ini tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa mereka tidak membawa sebuah agama yang membatalkan agama Muhammad. Mereka tidak menganut agama apa pun, kecuali agama Muhammad. Namun, sebagian besar manusia tidak mengetahui masalah ini.”63

Para waliyullah ini adalah “rasul pada peringkat terendah” yang hadir untuk menyeru dan mengajak umat kembali kepada Islam yang haqq sebagaimana yang Nabi ajarkan. Penjelasan Ibn ‘Arabi tersebut terkait dengan QS. Yunus [10]: 47-49, QS. An-Nahl [16]: 36, QS. Al-An‘âm [6]: 130, QS. Ibrâhîm [14]: 4, QS. Al-Baqarah [2]: 129 dan 151, dan QS. Al-Jumu‘ah [62]: 2. Dari rangkaian ayat tersebut terlihat bahwa misi para rasul—dalam tulisan ini lebih dikhususkan kepada waliyullah—adalah membacakan atau menampilkan ayat-ayat Allah atas seizin-Nya, mengajarkan Al-Kitab (bukan membawa kitab suci dan syariat baru), mengajarkan hikmah atau inti kebijaksanaan, serta membawa jalan penyucian. Adapun pengertian ummi itu ada dua, menurut Zamzam, yaitu buta huruf atau buta dari perkara-perkara al-haqq serta ummi dari ayat-ayat yang mutasyabihat. Ciri-ciri Rasul itu adalah laki-laki dan diberi wahyu (lihat QS. An- Nahl [16]: 43 dan QS. Ar-Ra‘d [13]: 38).

Sebagai ilustrasi tambahan, semua Pangab pastilah Jenderal, tetapi tidak semua Jenderal adalah Pangab. Demikian juga para mursyid dan waliyullah, semua mursyid semestinya adalah wali (telah mencapai ma‘rifat), tapi belum tentu waliyullah (mengemban tugas “kerasulan pada peringkat terendah”); waliyullah pun belum tentu mursyid, tetapi mestilah seorang wali. Contohnya, Ibn ‘Arabi adalah Khataman Walayyah Muhammadiyyah, namun bukan seorang mursyid, sehingga memiliki thariqah sendiri yang berkembang besar; sementara Abdul Qadir Jailani adalah waliyullah (digelari ghauts, secara harfiah artinya pertolongan dan penolong) dan juga merupakan mursyid; tapi ada juga sosok yang merupakan wali, bukan waliyullah, serta menjadi mursyid, misalnya Muhammad Rahim Bawa Muhayyaddeen yang menyeru masyarakat Amerika untuk kembali kepada Tuhan tanpa melabeli terlebih dahulu paguyubannya dengan Islam agar terbuka bagi siapa pun yang merindukan kebijaksanaan (namun tak tertarik pada organized religion yang citranya tak sedap belakangan ini). Ahmad Syafi‘i Mufid menyebut ‘thariqah’ seperti Bawa Muhayyadeen Fellowship sebagai universal sufism, suatu model yang lebih cocok untuk masyarakat Barat yang hidup dalam atmosfer islamophobia.64

Demikian, bahwa status mursyid itu adalah misi hidup. Karenanya, tak sembarang orang dapat melakoni fungsi kemursyidan, sebab harus disertai perangkat nur ilmu dan metode riyadhah (yang dianugerahkan kepadanya) serta telah mencapai ma‘rifat. Oleh sebab itu, tak tepat mengatakan bahwa ‘otoritas mursyid itu mutlak tertutup dan cenderung dapat diwariskan’ sebagaimana dicatat oleh Haidar. Penjelasan J. Spencer Trimingham, yang sangat sering dikutip Haidr, dengan menggambarkan thariqah itu tak ubahnya suatu institusi yang terbentuk dari kebiasaan kumpul-kumpul sekelompok orang di sekeliling seorang sufi mengandung bias. Trimingham memandang bahwa menjamurnya organisasi hierarkis thariqah itu tak ubahnya organisasi gereja-gereja serta cenderung dipimpin secara turun temurun dengan makam para wali sebagai pusat berdoa, praktis, membawa kemunduran tashawwuf dari nilai-nilai murninya. Pandangan ini mendapat kritik juga dari Carl W. Ernst, sebab pandangan Trimingham ini memperlihatkan besarnya bias pandangan dan sikap modern serta penilaian yang sangat Protestan. Pandangan Trimingham yang Haidar pakai untuk menolak fungsi thariqah tersebut terlalu memenangkan agama personal di atas agama yang terlembaga. Selain itu, teorinya tentang kemunduran tersebut secara logis berasal dari asumsi bahwa mistisisme harus merupakan suatu fenomena yang bersifat individual-personal. Menilai Islam dengan menyamakan kepada Protestan sangat problematis, terlebih dalam hadis diungkap, “Jama‘ah adalah rahmat, sedangkan perpecahan adalah azab” (HR Ahmad).

Dalam hadis lainnya ditegaskan “Kalian wajib berada dalam jama‘ah dan hindarilah oleh kalian perpecahan” (HR. Tirmidzi). Keutamaan jama‘ah pun diulang lagi dalam hadits yang menyatakan, “Tangan Allah (berada) di atas jama‘ah.” (HR. Ibnu Abi Ashim). Mengenai hal ini, Rumi menuliskan sebagai berikut:

Dalam agama kita bepergian diakui sebagai peperangan dan bahaya; dalam agama Yesus ia berarti mengasingkan diri ke gua dan pegunungan.

Sunnah adalah jalan paling aman, dan masyarakat yang beriman adalah sebaik-baiknya teman seperjalanan.

Jalan menuju Tuhan itu penuh rintangan dan kepedihan: bukan jalan bagi orang yang seperti perempuan.

Di atas jalan ini, jiwa manusia diuji dengan ketakutan, sebab sebuah ayakan dipergunakan untuk menyaring sekam padi.

Jika engkau bepergian seorang diri, kuakui bahwa engkau mungkin dapat menghindari serigala; akan tetapi engkau tidak akan merasakan kecergasan ruhani.

Orang bodoh, meskipun tidak sopan, dianjurkan dan diperkuat, O, darwis, oleh teman-teman seperjuangan.

Alangkah banyak tongkat dan gada yang akan menimpa ketika ia melintasi gurun pasir tanpa teman!

Ini berkata kepadamu dengan mutlak, “Perhatikanlah baik-baik! Jangan berpergian seorang diri kecuali kalau engkau seorang yang bodoh!”65

Dalam puisi tersebut Rumi menekankan penting sahabat seperjalanan dan bukan otonomi ala subjektivitas modern. Sebagaimana telah disinggung di awal, dalam thariqah setiap salik saling membantu satu sama salian, menolong satu jiwa sama dengan menolong semua jiwa, untuk menemukan misi hidup yang akan bermanfaat bagi banyak manusia. Penggambarannya seperti puzzle yang saling melengkapi dalam jalan pertaubatan. Bahwa terjadi penyimpangan ini itu dalam jalan pemurnian jiwa adalah hal yang lazim terjadi, bahkan di semua agama, sebagaimana orang yang belajar filsafat pun ada yang jadi liar tak menentu serta menawarkan relativitas moral dan liberasi hasrat, tapi ada juga yang jadi bijak dan memberi pencerahan pada pembacanya. Meski demikian, toh filsafat tetap diapresiasi dan dipelajari, termasuk oleh Haidar. Namun, kenapa tidak demikian halnya terhadap thariqah dan mursyid? Lagi pula paradoks jika melihat bagaimana para pengusung wacana tasawuf positif itu mempelajari dan mengutip pemikiran para sufi arif billah yang nota bene menempuh thariqah.

Dalam sejarah tashawwuf ada tipe sufi yang disebut sebagai Uwaisiyyah. Nama ini merujuk kepada tokoh mengetahui kenabian Muhammad, tapi tak berhasil menemui Nabi saat dia datang langsung ke Madinah. Demikian pula Nabi, mengetahui soal Uwais tanpa pernah bertemu dengannya.66 Salah satu sufi yang tergolong Uwaisiyyah adalah seorang Iran, Abu Al-Hasan Kharraqani yang pernah menyatakan, “Aku kagum pada salik-salik yang menyatakan bahwa mereka membutuhkan mursyid ini dan itu. Kalian tahu bahwa aku tidak pernah diajari manusia manapun. Allah Ta‘ala adalah pembimbingku. Kendatipun demikian, aku menaruh respek besar pada semua mursyid.” Dari pernyataan seorang Uwaisiyyah itu dapat terlihat bahwa yang menjadi pokok persoalan bukanlah “apakah seorang mursyid itu diperlukan atau tidak”, atau “apakah perlu ikut thariqah atau tidak”, tetapi apakah ada niat murni mencari Tuhan. Apabila ada, Tuhan akan mengalirkan dan membukakan jalannya, entah itu ikut thariqah atau tidak, apakah dipertemukan dengan mursyid sejati di zamannya atau Allah Ta‘ala sendiri yang akan mengajari. Jadi, bukan dengan menyatakan sejak awal bahwa thariqah dan mursyid itu tak diperlukan (apalagi atas nama otonomi subjek modern atau bias protestan ala Trimingham, misalnya). Mengenai hal ini, Rumi menggambarkan hal itu sebagai berikut:

Ketika kauletakkan muatan di atas palka kapal, usahamu itu tanpa jaminan,

Karena engkau tak tahu apakah engkau bakal tenggelam atau selamat sampai tujuan.

Jika engkau berkata, “Aku takkan berlayar sampai aku yakin akan nasibku,” maka engkau takkan berniaga: lantas rahasia kedua nasib ini takkan pernah terungkap.

Saudagar yang penakut takkan meraih untung maupun rugi; bahkan sesungguhnya ia merugi: orang harus mengambil api agar mendapat cahaya.

Karena seluruh kejadian berjalan di atas harapan, maka hanya Imanlah tujuan terbaik harapan, karena dengan Iman memperoleh keselamatan.67

Mengenai ‘harapan’ dalam kaitannya dengan jalan pertaubatan, hadis qudsi mengungkapkan dengan detail bagaimana respons Tuhan terhadap para sikap hamba-Nya, yaitu “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya tatkala dia mengingat-ku. Apabila diingat Aku oleh hamba-Ku pada dirinya, niscaya Aku mengingat dia pada Diri-Ku. Apabila Ia menyebutkan Aku dalam kumpulan orang banyak, niscaya Aku menyebutkan dia dalam kumpulan yang lebih baik dari kumpulannya. Apabila ia mendekati Aku sejengkal, niscaya Aku mendekatinya sehasta. Dan, apabila ia mendekati-Ku sehasta, niscaya Aku mendekatinya sedepa. Dan, apabila ia berjalan kepada-Ku, maka Aku berlari kepadanya.” (HR. Muslim dan Bukhari) Hadis ini menyiratkan jika seseorang meneguhkan niat yang lurus (bukan berhijrah karena perempuan yang ingin dinikahinya, tegas hadis lain) dalam berhijrah, maka respon Tuhan jauh melebihi upaya sang hamba.68 ‘Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata, “Bila kau merasa cemas dan gelisah akan sesuatu, masuklah ke dalamnya, sebab ketakutan menghadapinya lebih mengganggu daripada sesuatu yang kautakuti itu sendiri.”69 Dalam salah satu puisinya, Rumi menulis sebagai berikut.

Rasulullah pernah berkata, “Ada orang-orang yang melihatku di dalam cahaya yang sama seperti aku melihat mereka.

Kami adalah satu. Walau tak terhubung oleh tali apa pun, walau tak menghapal buku dan kebiasaan, kami meminum air kehidupan bersama-sama.”

Inilah sebuah kisah tentang misteri yang tersimpan:

Sekelompok orang Cina mengajak sekelompok orang Yunani bertengkar tentang siapa dari mereka adalah pelukis yang terhebat.

Lalu raja berkata, “Kita buktikan ini dengan debat.”

Orang Cina memulai perdebatan.

Namun orang Yunani hanya diam, mereka tak suka perdebatan.

Orang Cina lalu meminta dua ruangan untuk membuktikan kehebatan lukisan mereka, dua ruang yang saling menghadap, terpisah hanya oleh tirai.

Orang Cina meminta pada raja beberapa ratus warna lagi, dengan segala jenisnya.

Maka setiap pagi, mereka pergi ke tempat penyimpanan pewarna kain dan mengambil semua yang ada.

Orang Yunani tidak menggunakan warna, “Warna bukanlah lukisan kami.”

Masuklah mereka ke ruangannya, lalu mulai membersihkan dan menggosok dindingnya.

Setiap hari, setiap saat, mereka membuat dinding-dindingnya lebih bersih lagi, seperti bersihnya langit yang terbuka.

Ada sebuah jalan yang membawa semua warna menjadi ‘warna tak lagi ada’. Ketahuilah, seindah-indahnya berbagai jenis warna di awan dan langit, semua berasal dari sempurnanya kesederhanaan matahari dan bulan.

Orang Cina telah selesai dan mereka sangat bangga tambur ditabuh dalam kesenangan dengan selesainya lukisan agung mereka.

Waktu raja memasuki ruangan, terpana dia karena keindahan warna dan seluk-beluknya.

Lalu, orang Yunani menarik tirai yang memisahkan ruangan mereka.

Dan, tampaklah bayangan lukisan orang Cina dan semua pelukisnya berkilauan terpantul pada dindingnya yang kini bagaikan cermin bening, seakan mereka hidup di dalam dinding itu.

Bahkan lebih indah lagi karena tampaknya mereka selalu berubah warna.

Seni lukis Yunani itulah jalan sufi.

Jangan hanya mempelajarinya dari buku.

Mereka membuat cintanya bening dan lebih bening.

Tanpa hasrat, tanpa amarah. Dalam kebeningan itu mereka menerima dan memantulkan kembali lukisan dari setiap potong waktu, dari dunia ini, dari gemintang, dari tirai penghalang.

Mereka mengambil jalan itu ke dalam dirinya, sebagaimana mereka melihat melalui beningnya Cahaya yang juga sedang melihat mereka semua.70

Urban Sufism dan Krisis Makna Hidup

Saya seorang pengusaha yang pernah meraih sukses usaha empat tahun silam. Namun, ketika krisis moneter tiba, usaha kami bangkrut. Rasanya saya sudah tidak berharga lagi, saya tidak dapat bangga dengan karir saya, tidak dapat sombong di hadapan teman maupun lawan bisnis, tidak dapat lagi gagah-gagahan layaknya pengusaha sukses. Saat itu saya merasakan kesepian dan rasa sepi yang menggigit. Saya terlempar antara rasa putus asa dan harga diri yang saya pertaruhkan. Pelan-pelan saya mencoba bangkit, tapi rasanya harus mulai dari nol lagi. Saya sudah merasa tidak punya apa-apa, kecuali rumah dan satu kendaraan, dan sedikit deposito di bank yang hanya cukup untuk makan dan biaya sekolah anak-anak saja. Maka, dengan sekuat tenaga, saya bangkit di tengah-tengah kesulitan ini. Toh, saya tidak sendiri. Banyak pengusaha yang lebih hancur lagi dibanding saya. Itulah satu-satunya motivasi saya bangkit. Namun, di tengah-tengah keinginan saya untuk bangkit ini, sebenarnya saya punya persoalan besar. Sejak lama saya memendam perasaan ini, tetapi seringkali saya tutup-tutupi dengan akal rasional saya, walaupun ada suara yang melolong panjang dalam kegelapan hati saya, yaitu suara kehilangan makna hidup yang sebenarnya. Bahkan, saya selalu mencari di tengah-tengah kehidupan duniawi saya, toh semua itu tidak tampak nyata. Saya mencoba kembali lagi ke agama. Saya shalat lagi, saya juga berpuasa lagi, bahkan saya rajin puasa sunnah. Toh, ada sesuatu yang belum terpuaskan dari semua itu. Saya ingin ketenangan batin, kedamaian jiwa dan bahkan saya ingin keluar dari belenggu kesunyian hati saya selama ini.71

Demikian curahan hati seorang pengusaha dalam rubrik konsultasi majalah Sufi. Saat melihat kehidupan dunianya luluh lantak sehingga jadi tak bermakna, dia mencoba meraihnya kembali dengan kembali ke agama. Namun, ternyata itu tidak membuatnya tenang sebab dia tetap merasakan kebutuhan lebih mendasar yang tak terpenuhi. Agama banyak diyakini dapat memberi makna bagi kehidupan manusia, namun, bagaimana dengan kasus di atas? Terlebih saat ini agama sering menjadi bahan tertawaan, olok-olok, dan sinisme di media sosial sebab kehidupan beragama dianggap mengidap berbagai idealisme yang, dalam kenyataannya, lebih berupa ilusi-ilusi. Selain itu, di era modern, agama lebih sering dialami sebagai otoritas paling nyinyir tentang berbagai hal lahiriah yang remeh temeh dan bernuansa duniawi, bukan mengurusi perkara ruhani, Tuhan, dan realitas transenden, terlebih dengan maraknya gerakan Islamisme dari berbagai manca negara.

Islam pertama kali masuk ke nusantara dibawa oleh para sufi yang mengislamkan nusantara dengan pendekatan budaya yang bernuansa Hindu. Kemudian di masa-masa berikutnya lahir naskah-naskah karya para sufi, akan tetapi selama masa penjajahan banyak naskah tersebut dibawa ke Leiden oleh pemerintah kolonial Belanda. Siasat lainnya dari pemerintah kolonial untuk menjauhkan bumiputra dari agamanya, selain melarang penerjemahan Al-Qur‘an, juga menyebarkan buku-buku Islam berbahasa Arab, sebagian adalah buku-buku aliran Wahhabi yang sedang mekar di Arab Saudi. Sehingga, ketika tahun 1991 majalah Tempo menurunkan laporan mengenai demam tashawwuf, hal itu seolah sesuatu yang baru bagi muslim Indonesia. Salah satu dampak jangka panjang dari siasat pemerintah kolonial Belanda tersebut, tashawwuf jadi lebih dikenal di masyarakat pedesaan. Namun, tatkala makna agama terdistorsi sehingga cenderung formalistik, maka dimensi esoterik pun dilirik agar dapat menghidupkan kembali semangat keagamaan yang seolah mengering. Fenomena itu terlihat dari semakin maraknya kursus tashawwuf, penerbitan buku, majalah, serta jurnal yang membahas tashawwuf; juga oleh para netizen di dunia maya. Para eksekutif, selebritis, dan akademisi pun ikut tertarik. Sebelumnya, tashawwuf sering dipandang sebagai ekspresi keberagamaan masyarakat pedesaan. Inilah fenomena tangklukan.

Pada masa sebelumnya, Clifford Geertz mengangkat istilah santri dan abangan.72 Santri adalah pelajar agama Islam di lembaga pendidikan Islam tradisional atau pesantren. Istilah ini juga digunakan untuk mereka yang taat melaksanakan ajaran Islam. Sementara, abangan adalah istilah untuk muslim yang tidak taat melaksanakan ajaran Islam. Adapun tangklukan adalah istilah yang berasal dari kata ‘takluk’ (tunduk). Secara bahasa, tangklukan berarti ‘ditundukkan’; ini merujuk pada orang yang telah mengalami proses ketundukan batin dan menerima ajaran Islam sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.73 Sebagai perbandingan, dalam kehidupan keberagamaan, keyakinan abangan merupakan campuran antara Islam dengan kepercayaan lokal. Sedangkan di kalangan santri, keyakinan Islamnya kuat meskipun masih ada sedikit bercampur dengan keyakinan lokal yang dipandang sebagai ajaran Islam. Adapun di kalangan tangklukan berupa menguatnya keyakinan Islam dan lemahnya keyakinan lokal.74 Munculnya kesadaran untuk melaksanakan ajaran Islam di kalangan tangklukan urban, fokus bahasan di sini, bisa berasal dari faktor eksternal, di antaranya inisiatif kelompok Islamisme dalam mencari dan merekrut anggota baru, sehingga secara aktif mendekati sasarannya lalu mengajarkan berbagai doktrin khas kelompoknya. Atau, dari faktor internal, misalnya kekeringan batin yang menyebabkan kehausan akan tuntunan agama, rutinitas yang monoton, sehingga mengakibatkan hidup jadi tak bermakna atau berbagai benturan masalah dalam kehidupan dunia yang membuatnya berpaling kepada agama untuk mencari obat dan jawaban.

Lazimnya pencarian pengetahuan agama (dipicu kesadaran personal) menemukan jawabannya di berbagai pengajian yang banyak membahas ihwal fiqih (sebagai syariat lahiriah) serta muamalah keseharian; bahkan tak jarang mendapatkannya dari pengajian Islamisme yang kaku, keras, dan radikal. Jarang yang langsung mengenal tashawwuf (sebagai syariat batiniah) di awal pencariannya tersebut. Robert N. Bellah mencatat bahwa sufisme bisa bertahan dari serangan kalangan skriptualis dikarenakan “skriputalisme tak sesuai dengan semua kebutuhan keagamaan, walaupun sukses sebagai sebuah ideologi. […] Kebangkitan sufisme adalah sumbangan besar dari Islam dalam memenuhi kebutuhan keagamaan dan kesadaran masyarakat.”75 Berbeda dengan santri yang menjalani pendidikan formal ilmu agama Islam, kalangan tangklukan biasanya lahir dari keluarga abangan atau orang tua tangklukan. Kehidupannya di rumah juga tak terlalu kental diwarnai Islam, serta mendapatkan pelajaran agama Islam hanya dari bangku sekolah melalui guru agama, sehingga tak banyak tahu seluk-beluk Islam, fiqih maupun tashawwuf. Namun, pada periode tertentu dalam hidupnya, muncul kesadaran untuk mendalami Islam.

Karena mengenyam pendidikan di bangku sekolah umum, kalangan tangklukan lebih terdidik dalam keilmuan modern yang masuk ke Indonesia melalui kolonialisasi Belanda. Bahkan, visi hilirisasi yang dicetuskan oleh Kemenristekdikti pun bisa dikatakan memiliki kemiripan dengan Politik Etis yang diterapkan di Hindia Belanda, yaitu membuka peluang bagi bumiputra untuk mengenyam pendidikan non-pesantren agar Belanda bisa mendapatkan tenaga kerja terdidik murah. Kurikulum dan pelajaran yang diajarkan di sekolah umum pun berbeda dari pesantren. Di dalamnya lebih kental warna modern keilmuan sekular ala Barat, seperti rasionalisme sains dan humaniora. Pada akhirnya, ini berdampak pada keterbelahan atau skizofrenia kultural, yaitu kompartementalisasi pengetahuan, yang merupakan salah satu ciri dari panorama mental dan intelektual dunia modern, bukan hanya tercermin dalam pendidikan modern, tetapi juga disebabkan olehnya.

Bentuk skizofrenia kultural ini banyak ditemukan di kalangan muslim, khususnya tangklukan. Bagaimana mahasiswa fisika mempelajari bahwa kecepatan tertinggi di alam semesta adalah cahaya; segala yang terkait ‘di atas kecepatan cahaya’ baru ada di atas kertas dalam hitungan matematik. Selesai kuliah, ia pergi ke masjid untuk menyimak pengajian peringatan Isra Mi‘raj; sebuah perjalanan lintas alam di atas kecepatan cahaya yang tabu dibicarakan dalam wacana sains modern karena telah dihapuskannya konsepsi The Great Chain of Being sejak abad ke-17. Atau, mahasiswa biologi yang ketika kuliah memahami bahwa evolusi adalah fondasi keilmuan biologi. Tanpa itu, biologi sebagai ilmu akan runtuh. Setelah kuliah, ia menyimak pengajian di kelompoknya, dipaparkan ihwal penciptaan Adam dalam Al-Qur‘an sebagai khalifah di muka bumi yang sama sekali bukan hasil evolusi. Atau, mahasiswa ekonomi yang setelah mempelajari seluk beluk perbankan di bangku kuliah, lalu datang ke masjid untuk menunaikan ibadah shalat Jumat, lalu menyimak khotbah ihwal haramnya riba; dan banyak lagi contoh lainnya.

Ini merupakan salah satu masalah mendasar yang tak selalu disadari umat muslim pada umumnya, khususnya tangklukan. Kalaupun ada usaha untuk mencoba menyintesiskan Islam dengan berbagai keilmuan modern, seringkali yang terjadi adalah apropriasi Islam sedemikian rupa, bahkan dipaksakan, sehingga tampak bahwa Islam hanya jadi ‘pelayan’ saja bagi keilmuan dari Barat tersebut.76 Akibatnya kalangan muslim terpelajar seringkali menjadi setengah hati, baik disadari maupun tidak. Saat mempelajari ilmu-ilmu (post)modern, mereka harus mengatur mental dan pikirannya menjadi selaras dengan pandangan dunia dan asumsi dasar dari ilmu-ilmu tersebut. Dunianya jadi mengempis, memandang realitas itu datar (flat), tidak hierarkis, hanya realitas fisik ini yang esensinya dikaji dalam metafisika (filsafat). Namun, saat beribadah dan pengajian, dunianya kembali mengembang: beribadah menghadap Allah yang ada di seberang sana dan mempersiapkan bekal guna menghadapi realitas-realitas lain yang akan dilewati setelah kematian nanti, bahwasanya nanti akan ada Hari Pengadilan, surga dan neraka, dan berbagai perkara eskatologis lainnya. Demikianlah dunia yang mengembang dan mengempis kebanyakan muslim kiwari.

Kondisi semacam dipatenkan dengan gambaran dari Jane Idelman Smith dan Yvonne Yazbeck Haddad, yaitu bagaimana “Semua penulis modern, dengan satu atau lain cara, mengambil ide-ide Barat untuk mengungkapkan Islam dan semuanya merespons dalam bentuk tertentu terhadap apa yang mereka lihat sebagai penegasan utama pada rasionalisme yang menjadi ciri kuat mayoritas pemikiran Barat, tetapi respons yang muncul cukup beragam. Kenyataannya, mayoritas penulis muslim kontemporer memilih untuk sama sekali tidak membahas kehidupan akhirat. Mereka cukup puas dengan hanya menegaskan realitas hari pengadilan dan akuntabilitas manusia tanpa menyajikan perincian atau bahasan yang lebih mendetail. Ada beberapa alasan kenapa fenomena ini mengemuka. Salah satunya adalah semacam rasa malu atas uraian riwayat terperinci mengenai kehidupan di alam kubur dan tempat pemberian ganjaran, yang hal itu dipersoalkan oleh para rasionalis modern.”77 Akibatnya, sebagian kalangan terpelajar Muslim lebih merasa nyaman berbicara ihwal kesalehan sosial seperti toleransi, pluralisme, dialog antarumat beragama dan berbagai perkara sosio-kultural lainnya.

Bersamaan dengan maraknya penerbitan buku-buku kiat praktis (how to dan do it yourself), jalan pemurnian jiwa pun jadi dagangan instant sebagai nilai tawar dalam industri kiat-kiat praktis. Dalam hal ini, jalan pemurnian jiwa jadi tak ubahnya terapi, bukan praktik penempaan sepanjang hayat. Pencarian Tuhan jadi tak terbedakan dengan gairah kepenasaran untuk sekadar merasakan berbagai sensasi ‘seolah-olah’, berbagai sensasi yang distimulus melalui pengondisian psikis semata. Sebagaimana disinyalir Kirby, maraknya simulakra mistisisme itu membalikkan jalan pemurnian jiwa hanya menjadi semacam terapi. Kemudian merebak pula kelas kajian atau kursus sufi yang tak menuntut komitmen. Sebagian masyarakat urban menempatkannya sebagai terapi akhir pekan atau di kala waktu senggang untuk menanggulangi neurosis noogenic. Memosisikan tashawwuf sebagai terapi untuk mencari ketenangan saat dibutuhkan itu tak ubahnya memperbaiki mobil yang rusak karena kebut-kebutan agar dapat dipakai lagi untuk hal yang sama dan berakhir sama lagi. Suatu siklus lingkaran setan. Tashawwuf hanya menjadi satu tawaran di antara berbagai aktivitas lain yang berfungsi memulihkan kembali energi untuk dilampiaskan pada aktivitas lain yang telah kehabisan energi (serta bisa sama sekali berlawanan dengan semangat pemurnian jiwa). Ini tak ubahnya obat yang diminum hanya untuk menghilangkan rasa sakit secara temporer dan bukan menyembuhkan langsung di pusatnya. Sebagaimana dicatat Bambang Sugiharto, mistik yang autentik bukanlah eskapisme, malahan melahirkan komitmen untuk memperbaharui dunia dan kehidupan. Justru intensitas hubungannya ke arah vertikal akan meledakkan energi kreatif ke wilayah horizontal, ke arah tanggung jawab sosial. Maka, lanjut Bambang, mistisisme yang hanya membawa orang pada kenikmatan pribadi hanyalah pseudo-mistisisme, tak ubahnya narkoba, eskapisme esoteris, pelarian sejenak dari dunia. Pada umumnya, peak-experience (pengalaman puncak) dalam mistisisme bersifat temporer, akan tetapi dengan disiplin dan pendalaman yang sinambung dapat melahirkan perubahan kiblat hidup yang benar-benar radikal.78

Istilah lain yang sering dilekatkan kepada tashawwuf adalah mistisisme. Kata mistik berasal dari kata Yunani “mio” dan juga “myein” yang berarti “menutup mata” dan menunjukkan batas dari pengalaman inderawi untuk memandang ke dalam diri. Dalam pengertian ini, mistik berkaitan dengan upaya untuk masuk ke kedalaman (realitas). Kata “myeo”, dalam bahasa Yunani, juga merupakan asal kata mistik yang berarti “mengantar ke dalam misteri”. Sementara, kata “mysterion” berarti “upacara rahasia” untuk menyelami rahasia-rahasia iman. Kata “mystikos” dalam bahasa Yunani berarti “sebuah pencapaian kesatuan dengan yang sakral.” Mistik adalah pengalaman yang ‘melampaui’ (transenden) pengalaman sehari-hari dengan ‘menyentuh inti realitas’ (yaitu yang Ilahi). Dalam ‘persentuhan’ itu terjadi ‘peleburan’ antara subjek yang mengalami dan isi pengalaman (Yang Ilahi). Karena bersentuhan dengan kedalaman misteri, pengalaman mistis tidak dapat diungkapkan sepenuhnya secara diskursif. Penggunaan metafora, perumpamaan, dan simbol merupakan upaya untuk mengekspresikan pengalaman tersebut, misalnya “perkawinan jiwa”, “larut bagai setetes air dalam lautan”, “mabuk cinta Ilahi”. Selain itu, ada juga lambang-lambang yang lazim, seperti perjalanan, keheningan, terang dan gelap, kekeringan, padang gurun, dan lain sebagainya. Mistisisme merupakan jalan yang “tidak dicapai dengan cara-cara biasa atau dengan usaha intelektual” dan merupakan “arus besar keruhanian yang mengalir dalam semua agama”, yang dalam Islam disebut dengan tashawwuf.79 Dalam ilmu ergonomi dijelaskan bahwa 80% aktivitas tubuh manusia itu menggunakan mata. Dengan demikian, kata mistisisme itu sendiri mengisyaratkan suatu cara perolehan pengetahuan bukan melalui tubuh maupun indranya. Istilah ‘mistik’ yang biasa diucapkan secara populer dan asal-asalan di Indonesia tidak mengacu pada batasan di atas. Dalam pemakaian populer dan asal-asalan itu, kata ‘mistik’ tidak lain adalah sinonim dari kata ‘magi’ atau ‘sihir’ atau hal-hal klenik lainnya. Al-Ghazali membedakan dua jenis penglihatan, yaitu mata lahir yang disebut bashar dan mata batin yang disebut bashirah. Dengan bashar, manusia hanya mampu melihat hal-hal yang lahiriah atau hanya penampakannya saja, yang Al Ghazali sebut sebagai khalq atau fisik, sedangkan dengan bashirah, manusia dapat melihat khuluq atau wujud batin. Dari kata khuluq inilah nantinya dibentuk kata akhlaq (plural), sehingga dengan demikian, akhlaq itu tidak lain adalah wujud batin manusia, sedangkan pengalaman mistik dalam tashawwuf bertujuan untuk “fana”, yaitu berserah diri total kepada Allah dan juga agar dapat mengenal Allah.

Sebagaimana dikemukakan juga oleh Bambang, tak tepat pandangan bahwa dalam mistisisme yang terjadi hanya penerimaan ajaran secara pasif, sebab penekanannya lebih kepada pengalaman dan pencarian pribadi. Hal ini membawa konsekuensi bagaimana keketatan dogmatis tampak dilampaui sebab yang hendak diraih adalah Tuhan yang mengatasi konsep-konsep, tapi sekaligus melahirkan pandangan dunia tersendiri juga. Adapun peleburan diri dengan yang transenden, sehingga lahir pernyataan ihwal “penyatuan dengan Tuhan” selalu ditafsirkan sebagai arogansi yang membuat marah otoritas keagamaan, padahal itu merupakan “kerendahan hati radikal dan kepasrahan total” di mana sang “aku” (ego) hilang lebur dalam penghayatannya akan Tuhan sebagai satu-satunya yang ada.80  Lebih lanjut, Bambang juga mencatat bahwa setiap agama besar itu lahir dari pengalaman mistik yang sangat pribadi dari para tokoh pendirinya. Ajaran-ajaran yang kemudian disebarkan pun sebenarnya merupakan sarana yang mendorong manusia untuk mengalami intensitas kesadaran spiritual serupa. Namun, dalam perjalanan waktu, ajaran-ajaran tersebut lantas jatuh menjadi sekadar peta yang cukup ditelusuri saja dengan jari, dan penjelajahan pribadi ke ranah batin jadi dicurigai, bahkan cenderung dilihat sebagai bahaya bid‘ah, kesombongan, penghujatan, sinkretisme ngawur, agama ala supermarket, takhayul, dan sebagainya. Akibatnya, agama formal seakan hanya sebatas urusan lahiriah dan ketaatan kepada otoritas eksternal, menjadi perkara institusi dan identitas keanggotaan sosial belaka. Dari sisi lain, seringkali visi mistik dianggap berbahaya karena de facto mampu menyingkapkan berbagai kemunafikan, kedangkalan, kecenderungan status-quo, serta vested interest institusi agama. Sebagai institusi, demikian Bambang, agama kerap cenderung overdefensif. Padahal mistisisme (yang sehat) adalah peluang otokritik bagi institusi agar menyadari kembali perkara esensial dalam kehidupan religius dan, dengan cara itu, sebetulnya institusi dapat menemukan revitalisasinya sendiri.81

Adapun terkait wacana anti-tarekat, kritik bernada ambivalen di antaranya datang dari C. Ramli Bihar Anwar, salah satu pengusung tasawuf positif, yang sekalipun banyak mengutip banyak perkataan dari para ulama sufi pengikut thariqah atau bahkan menjadi mursyid thariqah, tetapi memandang thariqah hanya berguna bagi “orang-orang yang mental keagamaannya masih kekanak-kanakan.” Kemudian, pelabelan sufi (entah apa maksud yang jelas dari label ini) yang dilekatkannya kepada tokoh manapun berdasarkan penilaian subjektif, sehingga seolah siapa pun bisa saja disebut sufi, terlebih jika terkenal. Ramli juga menekankan dampak eksesif thariqah dalam hal ketiadaan egalitarianisme di dalam wadah terseubut, lalu meluaskan permasalahan kemunduran umat Islam karena permasalahan mereka dalam memahami Islam, tanpa dia sendiri menyinggung ihwal peringatan yang sudah sudah Nabi tekankan bahwa kehancuran (sa‘at) itu terjadi tatkala amr (urusan) diserahkan kepada bukan ahlinya. Demikian beberapa contoh kritik ambivalen dari Ramli yang intinya ingin menekankan bahwa thariqah tak perlu ada lagi di umat Islam.

Geliat Agama di Tengah Dunia (Post)Modern

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, pandangan dunia modern di antaranya lahir dari runtuhnya konsepsi The Great Chain Being, sehingga memandang realitas ini datar, tidak hierarkis sebagaimana lazimnya ada dalam agama-agama di masa lalu, dan juga sebagaimana terlihat dalam philosophia yang diwacanakan oleh Platon. Di dunia filsafat, misalnya, runtuhnya konsepsi realitas yang hierarkis tersebut membentuk suatu pola penafsiran atas pemikiran Platon yang bias modern,83 atau bagaimana agama-agama yang terdesak oleh perubahan yang cepat lalu berubah menjadi pelayan setia modernisme, diapropriasi sedemikian rupa agar sejalan dengan dinamika perubahan (post)modern. Pandangan filsafat modern atas manusia bisa dibilang seragam; manusia itu tak ubahnya Mr. Bean yang jatuh dari langit, entah dari mana dan mau ke mana, lalu luntang-lantung ke sana kemari membuat masalah di muka bumi. Pandangan anti-esensialis (bahwa manusia tak punya esensi apa pun) dan ateleologi (bahwa hidup manusia itu tak punya tujuan akhir apa pun) semacam ini pada gilirannya menggiring manusia (post)modern pada pengurasan aspek lahiriah habis-habisan tanpa tujuan, sehingga terjadilah apa yang dikemukakan oleh Tyler Durden (diperankan Brad Pitt, film Fight Club): “Kulihat orang-orang terkuat dan terpandai. Kulihat semua potensi ini dan kulihat itu disia-siakan. Seluruh generasi memompa gas, menunggu meja, atau menjadi budak berdasi. Iklan membuat kita mengejar mobil dan pakaian, mengerjakan pekerjaan yang kita benci, supaya kita dapat membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan. Kita adalah anak-anak sejarah, tanpa tujuan atau tempat. Tak ada perang besar, tak ada depresi besar. Perang besar kita adalah perang spiritual. Depresi besar kita adalah hidup kita sendiri. Kita dibesarkan untuk percaya bahwa suatu hari nanti kita akan menjadi jutawan dan rock star, tetapi sebenarnya tidak, dan kita mempelajari fakta itu. Lalu, kita menjadi sangat marah.”

Demikian, maka hampir bisa dipastikan bahwa kajian tentang krisis makna hidup di masa (post)modern selalu mengaitkannya dengan kehampaan dan kekeringan batin di tengah peradaban yang maju serta bagaimana perkembangan teknologi tak bisa menutupi lubang besar menganga tersebut. Sebenarnya krisis kemanusiaan semacam ini merupakan sesuatu yang senantiasa berulang dalam setiap fragmen kehidupan manusia. Namun, krisis di masa ini memiliki penyebab dan bentuk yang berbeda dari masa sebelumnya sebab berakar dari modernisme yang menemui kebuntuan lalu memunculkan postmodernisme sebagai jalan keluar. Semangat kebaruan yang selalu digadang-gadang dalam modernisme ternyata diselewengkan menjadi kebaruan dalam memproduksi komoditi untuk dikonsumsi terus menerus. Kecepatan pun menjadi bagian dari obsesi modernisme guna mencapai batas terjauh dari pengalaman kebertubuhan, hingga berbagai kebaruan dalam bentuk ekstremnya. Ini berbeda dengan masyarakat tradisional yang disebut oleh Jean Claude Lévi-Strauss sebagai cold society, yaitu masyarakat yang hidup dalam perubahan yang lambat, hidup dalam elemen-elemen peradaban yang tak sekompleks masyarakat modern, serta memutar siklus hidupnya dalam lingkaran tradisi yang berulang dan senantiasa dijaga kesuciannya. Sementara, masyarakat modern memiliki ciri sebaliknya, sehingga disebut oleh Lévi-Strauss sebagai hot society.

Namun, siklus lingkaran tradisi di masyarakat tradisional mengambil bentuk berbeda di masyarakat modern menjadi sebentuk rutinitas yang dilakukan dengan pengurasan energi secara massal dan intensif sampai mengkristal menjadi semacam disiplin tubuh manusia, serta mengonstruksi kesadarannya dalam siklus “I don‘t like MondayThanks God it‘s Friday”. Pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi pun dijalani dengan visi untuk menjadi sekrup industri, disertai obsesi massal pada jurusan favorit saat kuliah, sebab dianggap menawarkan masa depan cerah berupa kemudahan mendapatkan pekerjaan. Hal semacam ini yang tak jarang jadi sumber makna hidup manusia kontemporer, menjadi alasan keberadaan di muka bumi bagi tubuh-tubuh yang didisiplinkan dalam ritme produksi-konsumsi. Marx pernah mengingatkan masalah ini dalam pandangannya mengenai alienasi.

Ilustrasi mengenaskan dituliskan B. Herry-Priyono tentang Ichiro Oshima, 24 tahun, pekerja Japan’s Dentsu Inc, perusahaan reklame terbesar di dunia, yang pada tahun 1991 menggantung diri. “Ia sudah bekerja selama 18 bulan, rata-rata 80 jam per minggu. Biasanya, ia baru dapat keluar kantor jam 6 pagi, buru-buru ke flat-nya untuk tidur barang dua jam, berganti pakaian, lalu bergegas kembali ke kantor. Berputarlah dia dalam roda produksi di hari berikutnya dan berikutnya lagi. Sebulan sebelum bunuh diri, ia bilang pada atasannya tentang tekanan kerja yang begitu berat, ‘Saya tidak dapat berfungsi lagi sebagai manusia.’ Di Jepang saja, kira-kira terjadi sekitar 10.000 kasus bunuh diri semacam itu dalam setahun sampai muncul istilah khusus untuk gejala itu: karoshi. Tidak mudah untuk menetapkan bahwa tekanan kerja menjadi pelatuk bunuh diri. Motivasi adalah genangan danau yang gelap dalam hidup manusia. Namun, tidaklah sulit melihat bahwa tekanan kerja itu merupakan lingkup yang menyeret sebuah jiwa ke keputusan terjauhnya. Sebuah jiwa dapat tegar. Sebuah jiwa dapat remuk, gugur oleh tekanan yang mematikan, sampai suatu titik ketika langkah yang diambil kelihatan sebagai takdir.”84

Meskipun sangat jarang terjadi, tapi kisah nyata tersebut memotret kemungkinan kondisi terburuk yang mencuat bersamaan dengan janji surga yang dipromosikan ekonomi modern. Herry-Priyono menjelaskan bahwa kini yang lebih sering terjadi adalah semakin mudahnya pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa ada kaitan apa pun dengan perilaku kerja, melainkan dengan seberapa besar laba dapat digelembungkan. Para pemodal, pengusaha, direktur, dan manajer sering bermulut manis dengan berpidato, “Tugas kami bagi bangsa ini adalah menciptakan lapangan kerja.” Dia menjelaskan bahwa mereka mencampuradukkan antara akibat dan tujuan karena tujuan mereka berbisnis adalah untuk mengejar laba dan akumulasi modal. “Dalam mengejar tujuan itu, ratusan/ribuan lapangan kerja dibuka bukanlah tujuan, melainkan ‘akibat’ di luar tujuan utama, istilahnya: an unintended consequence, sedangkan laba dan akumulasi modal adalah the intended consequence (akibat yang dimaksud). Oleh karena itu, pidato seperti di atas adalah sebentuk plesetan berbahaya. Yang terlibat di situ adalah ‘akibat-tak-disengaja’ yang diklaim sebagai ‘tujuan’. Ex post diaku sebagai ex ante. Namun, mesti diingat, argumen ini tidak sama dengan mengatakan bahwa bisnis dan laba itu buruk secara intrinsik. Itu sebentuk kenaifan lain. Lewat proses itulah para pemodal pelan-pelan menguasai hampir semua aspek hidup kita.”85

Modernisasi membuat hidup manusia berdenyut seayun dengan industrialisasi, terutama setelah pertama kali dipicu oleh Revolusi Industri yang membuat Marx geram atas eksploitasi kaum kapitalis terhadap buruh. Visi Marx ihwal kehancuran kapitalisme tak pernah terjadi, walau bukan berarti kapitalisme tak lagi memunculkan masalah. Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno melihat masalah itu dalam industri budaya yang memanipulasi orang banyak melalui sebentuk administrasi totalitarian, yaitu bagaimana produser mengomando konsumer sehingga menjadi massa pasif.86 Industri budaya juga mengatur selera massa melalui suatu standarisasi yang melanggengkan orde produksi dan ideologi dominan, mengukuhkan kebudayaan yang diorganisasi dan dikendalikan oleh sistem administrasi industri. Dalam hal ini, kapitalisme tak ubahnya fasisme yang merayakan insting primitif dan menolak nalar.87 Pada masanya, mereka memandang televisi sebagai media indoktrinasi yang berisi berbagai makna ideologis tersembunyi serta menghipnotis pemirsa untuk melihat suatu karakter sebagaimana dia melihat dirinya sendiri.88

Tak hanya sampai di situ, mereka bahkan memandang bahwa semangat Pencerahan pun telah disimpangkan oleh kapitalisme menjadi budaya massa dan komoditi sebagai tulang punggungnya. Di dalamnya, nalar instrumental berlaku sebagai Fasis dari Pencerahan semu kapitalisme. Bagi mereka, Pencerahan dalam bentuk murninya merupakan pembebasan manusia dari rasa takut dan untuk membangun kedaulatannya. Kenyataannya, hal itu malah berbuah kekecewaan karena Pencerahan malah menjadi penghancuran kebenaran objektif serta penukaran pengetahuan dengan imajinasi banal.89

Baik Horkheimer maupun Adorno melihat salah satu penyebab penyimpangan Pencerahan itu adalah ketika nalar dipahami sebagai nalar subjektif yang hanya memikirkan kegunaan semata, sehingga sangat mengutamakan cara dan mengabaikan tujuan pada dirinya sendiri. Nalar macam ini tumbuh subur dalam tradisi empirisisme yang memakainya semata-mata untuk sarana atau alat guna memperhitungkan segala kemungkinan demi tercapainya tujuan dalam arti subjektif. Itulah kenapa nalar subjektif ini disebut juga sebagai nalar instrumentalis. Di sisi lain, ada nalar objektif yang selain ada dalam diri individu (sebagai nalar subjektif) juga ada dalam arti objektif di luar individu, bersifat universal, dan milik semua golongan.90 Contohnya pemikiran Platon yang secara komprehensif merumuskan visi keberadaan manusia, dengan berdasarkan pada prinsip gnōthi seauthon (kenali dirimu sendiri), yang kemudian menjadi panduan manusia dalam bertindak. Nalar objektif lebih menekankan tujuan pada dirinya sendiri ketimbang cara—bukan dengan menemukan sarana yang lalu diatur semata demi tercapainya suatu tujuan—serta membangun berbagai konsep ihwal apa yang paling baik dan benar serta tujuan hidup manusia. Karenanya, nalar objektif memiliki kedaulatan terhadap manusia dan tidak netral, sebab isi objektifnya sendiri sudah mengandaikan tujuan tertentu yang harus dikejar manusia. Sedangkan nalar subjektif tak lebih dari alat saja, sesuatu yang netral, sehingga bisa digunakan, bahkan diperalat, untuk tujuan apa pun yang tidak berasal dari dirinya.91

Awalnya dikenal istilah “logos” atau “ratio” sebagai “kemampuan berpikir subjek”, yang di antaranya melahirkan konsep-konsep objektif seperti pemikiran Platon yang dipakai untuk melawan ‘objektivitas palsu’ kaum Sofis. Namun, seiring waktu, manusia tak sanggup lagi memikirkan konsep-konsep objektif, yang bahkan dianggap hanya khayalan, sehingga nalar pun kehilangan isi objektifnya. Formalisasi nalar—yang menjadi fondasi logika modern—memandang bahwa isi pengetahuan manusia harus dijauhi sehingga menghalangi kemungkinan untuk menemukan struktur pengetahuan manusia sejati. Nalar dilarang mengandaikan maupun berspekulasi, tugasnya hanyalah menghitung, mengklasifikasi, memverifikasi, sebagaimana yang dilakukan oleh para saintis.92

Penyimpangan yang diangkat oleh Horkheimer dan Adorono di atas dilihat juga oleh Jean Francois-Lyotard yang menyatakan bahwa “Prinsip lama bahwa pencapaian pengetahuan tak dapat dipisahkan dari pelatihan (Bildung) pikiran … menjadi kuno dan akan menjadi lebih kuno lagi. Hubungan penyalur dan pemakai pengetahuan kepada pengetahuan yang mereka salurkan dan gunakan saat ini cenderung … untuk mengambil bentuk yang sama dengan hubungan produser dan konsumen komoditi kepada komoditi-komoditi yang mereka produksi dan konsumsi yaitu, nilai bentuk. Pengetahuan diproduksi agar dapat dijual. Pengetahuan dikonsumsi agar dapat dihargai dalam sebuah produksi baru: dalam kedua kasus ini, sasarannya adalah pertukaran. Pengetahuan tidak lagi menjadi tujuan dalam dirinya sendiri. Pengetahuan kehilangan ‘nilai guna’-nya.”93 Maka, jika merujuk pada Dialectic of Enlightenment, ketika segala sesuatu—termasuk pendidikan—terperangkap di dalam sistem komersial, berarti itu terpenjara pula dalam industri budaya, yaitu fenomena pengaturan masyarakat, kebudayaan dan pikirannya secara sentral dari atas, melalui paradigma industri dan komoditi. Jika demikian, maka dunia pendidikan hanya akan memproduksi citra lulusan sesuai yang dibutuhkan di dalam sistem komersial kapitalisme, yaitu lulusan yang siap bekerja dan mempunyai keahlian khusus. Pendidikan dipaksa hanya menghasilkan lulusan siap bekerja untuk industri (link and match), setiap lulusannya hanya menjadi pekerja atau sekrup di dalam sebuah mesin industrialisasi dan kapitalisme.94

Perkembangan teknologi sebagai salah satu kemajuan yang diangankan oleh modernitas telah diselewengkan juga untuk membuat mesin pembunuh dalam peperangan atau dalam proses produksi untuk meledakkan hasrat konsumtif manusia. Perlahan-lahan industri menjadi jantung modernitas dan pendidikan pun, bahkan, diarahkan untuk menyediakan manusia sebagai ‘suku cadang’ bagi industri hingga hilanglah waktu senggang sebagai waktu untuk kembali ke diri sendiri yang kini dianggap bukan sebagai suatu masalah, sebagaimana diamati oleh Josef Pieper. Di akhir minggu atau libur panjang, manusia justru lebih memilih pergi keluar dari diri menuju perangkap-perangkap eksterior, entah itu pelesiran, cuci mata sambil belanja di mall dan factory outlet, atau pergi menonton ke bioskop, tamasya, dan lain sebagainya sebagai pelepas penat karena bekerja selama lima hari. Akibatnya, tidak ada kesempatan bagi reflektivitas dan kontemplasi. Waktu senggang, sebenarnya, merupakan saat untuk menikmati hidup sebagai manusia, tetapi bukan dalam arti bermalas-malasan karena justru saat itu merupakan waktu paling produktif, sebagaimana yang dikemukakan Anton Subianto, “Aristoteles dan Thomas Aquinas berpendapat bahwa waktu senggang adalah saat di mana manusia hidup secara paling penuh. Itulah saat di mana manusia bereksistensi sesuai dengan esensinya sebagai manusia. Maka, pelenyapan waktu senggang dari kehidupan manusia merupakan penghapusan visi kemanusiaan tersebut. Padahal, Aristoteles pernah berkata bahwa kita bekerja agar dapat menikmati waktu senggang.”95

Skole, dalam bahasa Yunani, bermakna waktu senggang. Sementara itu, dalam bahasa Latin adalah scola atau otium, yang berarti ‘luang’ atau ‘rileks’. Kata skole inilah yang diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi school dan leisure. Karenanya, sekolah sebagai tempat pendidikan dan pengajaran, semula, memiliki konotasi ‘waktu senggang’. Pada masa Yunani kuno, masyarakat polisnya terbagi menjadi dua lapisan, yaitu orang bebas dan para budak. Para budak adalah orang-orang yang tenggelam dalam aktivitas fisik berbentuk kerja kasar di ranah praksis. Perbudakan membuat mereka tak dapat mengelaborasi waktu senggangnya seperti orang bebas. Sementara, orang bebas mempunyai banyak waktu senggang. Dalam waktu senggang mereka mengeksplorasi berbagai dimensi kehidupan manusia hingga tingkatan yang mendalam dan mendasar. Pada zaman Helenik dan Helenistik, juga Abad Pertengahan, dikenal istilah artes liberales yang bermakna ‘keterampilan bagi orang bebas’ serta mengandung pengertian bahwa suatu aktivitas dihargai dengan kehormatan. Konsep ini dipertentangkan dengan artes serviles yang bermakna ‘keterampilan bagi budak’ dan mengandung pengertian bahwa suatu aktivitas dihargai dengan upah material. Artes liberales ini, biasanya, hanya diperuntukkan bagi kaum aristokrat dan klerik karena merekalah yang memiliki banyak waktu senggang. Namun, di dunia pendidikan kita saat ini, pengertian pendidikan sebagai ‘waktu senggang’, yaitu untuk kembali ke diri, juga telah lenyap, sebagaimana yang dituliskan Anton Subianto, “Menurut Josef Pieper, hilangnya penghargaan pada waktu luang terjadi karena pendidikan (eksakta). Baginya, pendidikan bukanlah semata pengetahuan diskursif dengan tujuan analisis, manipulasi, dan rekonstruksi realitas yang adalah ciri khas ilmu-ilmu eksakta. Pengetahuan ini, melalui investigasi, artikulasi, kombinasi, komparasi, klasifikasi, abstraksi, deduksi, dan justifikasi, mau memberi kita kekuatan dan kekuasaan untuk mengontrol dunia. Sayangnya, pengetahuan macam ini justru tidak berbicara sedikit pun tentang panggilan dunia asli, seruan untuk menjadi manusia.”96

Selain itu, waktu senggang, sebenarnya, dipahami juga sebagai “human action on holiday” (holy day alias hari kudus). Hal ini mengingatkan kembali kepada tradisi hari Sabat Bani Israil: manusia harus beristirahat di hari ke tujuh, sebagaimana Tuhan berhenti mencipta di hari ketujuh. Beristirahat di waktu senggang bukanlah diam, pasif, bermalas-malasan, melainkan mengkuduskan hari Tuhan yang juga merupakan hari manusia. Namun, seperti dikemukakan di atas, kini manusia banyak yang telah kehilangan waktu senggang. Akibatnya, mereka semakin jarang bersentuhan dengan totalitas dirinya. Dalam waktu senggang, manusia punya banyak kesempatan berkontemplasi tentang yang sublim, yaitu pengalaman eksistensial penting yang menjadi akar makna hidup. Seperti diidentifikasi oleh Bambang Sugiharto, “… dalam budaya imaji audio-visual elektronik agaknya ‘yang sublim’ itu adalah histeria tanpa alasan atas pesona fiksi imaji-imaji itu, keterpesonaan tidak terjelaskan terhadap kekuasaan dan kecerdasan elektronik. Baudrillard menuding pasar imaji sebagai sekadar tendensi untuk menguasai dan menggoda saja, tanpa makna, tanpa dasar, dan tanpa acuan. Bila itu benar, maka yang terjadi dalam pasar global kini hanyalah pemompaan adrenalin tanpa kepuasan, pemancingan kuriositas tanpa pernah mendapatkan, pembentukan keinginan tanpa tujuan. Dalam budaya semacam ini, memang tidak ada tempat bagi kontemplasi dan refleksi atas substansi. Segala energi terserap oleh pesona eksterioritas hasrat dan imaji (kerja, belanja, mengonsumsi, pergi-pergi).”97

Tidak jarang tampak menakjubkan juga melihat bagaimana berbondong-bondong orang dari metropolitan merayakan waktu senggang dengan berbelanja di berbagai mall dan factory outlet atau pelesiran keluar kota. Mereka seperti tengah menggeluti suatu urusan yang tidak pernah tuntas setiap minggunya. Hal itu mengisyaratkan bahwa kini waktu senggang hanya bermakna jeda demi peluang lebih banyak untuk mengonsumsi dan kebudayaan pun dikuasai oleh pengelolaan ilusi (budaya media dan konsumerisme). Salah satu penyebab hilangnya pemaknaan waktu senggang sebagai hari kudus untuk kembali kepada diri adalah perubahan pola kerja manusia. Di kota-kota besar tidak begitu sulit untuk menemukan orang-orang yang terjebak hidup untuk kerja daripada kerja untuk hidup. Pieper mengutip Thomas Aquinas, “Kemalasan justru adalah kemandulan menggeluti waktu senggang dan kehilangan kejedaan menyebabkan pengkultusan terhadap kerja karena kerja dipandang hanya sebagai demi kerja semata.”98 Dunia manusia menjadi begitu gaduh dengan urusan bisnis dan kerja. Pieper mensinyalir bahwa pada masa ini, kerja telah menjadi sebentuk agama. Sebagaimana dikemukakan Fransiskus Simon, “Kerja menjadi satu-satunya sarana yang dimutlakkan hingga tidak heran bahwa ia lantas mudah mendehumanisasi kemanusiaan, seperti pesan di balik ungkapan ‘kita mesti bekerja seperti Herkules’. Kerja tidak lagi menjadi ekspresi eksistensi manusia, tidak lagi bernilai sakral, tidak lagi mempunyai fungsi sosial. Kerja telah menginvasi berbagai ranah kehidupan atas nama prinsip utilitarian, maka manusia terjerembab ke lembah rutinitas, otomatisasi, dan mekanisasi.”99

Zamzam Ahmad Jamaluddin Tanuwijaya, Mursyid Penerus Thariqah Qudusiyah, menguraikan bahwa bagi umat Islam, ada mekanisme harian yang merupakan saat untuk ‘menikmati waktu senggang’, yaitu shalat. Dalam hadits disebutkan, “Shalat adalah mi‘raj-nya mu‘minin”. Zamzam menjelaskan, “Maka, di dalam kata shalat tersirat suatu dinamika atau proses perjalanan yang sifatnya menaik (‘uruj) dan secara eksplisit bentuk ibadah shalat yang dicontohkan Nabi saw. mengisyaratkan adanya perubahan bertahap dari suatu state ke state yang lain secara tertib. Serangkaian kalimah takbir yang diucapkan dalam ibadah shalat menunjukkan suatu proses kenaikan (mi‘raj) bertahap.”100 Shalat bukanlah jeda yang terlalu sering mengganggu ritme kerja. Justru, setelah shalat (yang khusyu’), orang akan merasakan kemudahan meneruskan pekerjaannya. Selain itu, “Istilah shalat melampaui dari sekadar nama suatu ibadah mahdhah terpenting di dalam agama Islam. Makna spiritual dari kata shalat mencerminkan suatu proses ‘pengorbitan’ setiap ciptaan Allah, secara spesifik, terhadap poros dari suatu amr Allah Swt. Ini diisyaratkan oleh QS. an-Nûr [24]: 41, ‘Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya ber-tasbih kepada Allah siapa pun yang ada di petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh, setiap sesuatu mengetahui cara shalatnya dan cara tasbihnya masing-masing. Dan, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan,’ (QS. an-Nûr [24]: 41). Tasbih mencerminkan mengalirnya setiap ciptaan dalam suatu proses penyerahan diri (aslama) yang bersifat umum, dan shalat, dalam hal ini, mencerminkan suatu pengaliran dengan modus atau bentuk tertentu yang secara spesifik tidak sama dari satu ciptaan ke ciptaan yang lainnya. Sebagai contoh, shalatnya seekor burung telah ditentukan ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang dan shalatnya seekor ikan telah ditentukan ada di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air. Dalam pandangan para ‘pejalan’ (salik), seekor burung yang terbang bebas menggambarkan jiwa (nafs) yang telah terbebas dari perangkap sangkar dunia dan dua sayap burung yang terkembang melambangkan berfungsinya dua akal insan secara sinergis, yakni akal bawah (pikiran) dan akal atas (lubb). Sebagaimana Allah Swt. mengungkapkan peringkat akal para malaikat dengan pernyataan bersayap dua, bersayap empat, dan seterusnya, ini menunjukkan hirarki kemuliaan dari para malaikat. Maka, shalat adalah seperti sepasang sayap, merupakan perangkat untuk terbang (mi‘raj) ke ‘atas’, sehingga afdhal-nya suatu shalat sangat ditentukan oleh pengetahuan lahiriah (hukum fiqih) dan pengetahuan batiniah (hakikat shalat).”101

Dalam dua penelitian yang dilakukan terpisah oleh Budi Fajar Ali Martono dan Herry Mardianto, mereka memaparkan aktivitas salik Thariqah Qudusiyah di Jakarta maupun di Bandung. Sudah menjadi kelaziman bahwa pada akhir pekan, banyak orang dari berbagai agama mengikuti aktivitas keagamaan, begitu juga di kalangan umat Islam. Namun, ada satu hal yang sangat spesifik di komunitas thariqah ini, yaitu waktu senggang yang mereka jalani, secara eksplisit, dinyatakan untuk ‘kembali kepada dan mengenal diri’. Mereka menjalani riyadhah untuk ‘melatih agar jiwa (nafs) dapat lepas secara bertahap dari keterikatan terhadap jasad’, setiap minggu mengunjungi mursyid-nya untuk mengaji dan menerima bimbingan suluk agar dapat mengenal diri (yang berarti juga mengenal Allah) serta mengadakan pengajian tafsir Al-Qur‘an yang memuat banyak khazanah tentang pengenalan diri. Kedua penelitian ini, setidaknya, memperlihatkan bahwa di antara deru kebisingan dunia kerja kota besar masih ada orang-orang yang berupaya untuk menghindari waktu senggangnya dari perangkap eksterioritas, senantiasa merayakan waktu senggangnya, dan mencelup hari-harinya dengan aura hari kudusnya.

Namun, di sisi lain, kini peradaban manusia malah jadi identik dengan kerja total dan dunia pendidikan pun berperan mendukung hal tersebut. Karenanya, Pieper menggunakan mitos Sisifus—yang dihukum Dewa untuk terus menerus menaikkan batu ke atas gunung lalu digelindingkan ke bawah gunung lagi dan lagi—sebagai analogi bahwa kerja merupakan rantai abadi yang mengikat manusia, tanpa manusia itu sendiri menikmati buah makna dari pekerjaannya. Waktu senggang yang dipahami dalam konteks nilai-nilai kerja seperti itu lebih tampak sebagai kemalasan untuk kembali kepada diri. Berbagai kajian terkini menunjukkan bahwa jumlah waktu yang diabdikan untuk bekerja di Amerika Serikat sedang berada di puncaknya. Namun, terdapat pula berbagai trend teknologi yang dapat berujung pada pengurangan hari kerja. Sebuah artikel dalam New York Times (24 November 1993) menunjukkan bahwa ada gerakan serius di Eropa untuk membatasi kerja menjadi empat hari seminggu. Bayangkan, Jakarta sebagai salah satu kota termacet di dunia dengan sedotan rutinitas kerja yang monoton dan melelahkan serta interaksi antarmanusia yang tidak ramah. Banyak orang yang harus berangkat kerja sewaktu masih subuh, saat anak-anaknya masih terlelap, agar tidak terjebak kemacetan. Sesampainya di kantor, lalu mereka bekerja. Ketika waktu pulang tiba, ada yang memilih Shalat Maghrib di kantor atau mampir dulu di berbagai tempat hiburan untuk menghindari kemacetan. Sebagian lagi memilih lembur untuk memenuhi target penghasilan guna membayar sekian cicilan dan tagihan kartu kredit. Setelah agak malam, baru mereka mulai merayap pulang. Sesampainya di rumah, anak-anaknya sudah terlelap, badan pun sudah terlalu lelah untuk menikmati waktu senggang dengan kembali kepada diri. Bahkan, di akhir pekan, mereka cenderung pergi keluar dari diri, menuju perangkap eksterioritas yang dipenuhi imaji dan ilusi. Itu pun ada yang sambil tetap mencari tambahan penghasilan di akhir minggu dengan mengikuti bisnis MLM, misalnya, serta mengadakan berbagai janji bisnis di mall atau pusat perbelanjaan lainnya. Suatu ritme hidup untuk kerja dengan risiko terserang stroke atau jantung di usia relatif muda dalam pola hidup ‘I don‘t like Monday’ ke ‘Thanks God It‘s Friday’. Padahal, sekian abad yang lalu, Konfusius pernah menandaskan, “Pilihlah pekerjaan yang engkau cintai, maka tidak akan pernah sehari pun engkau harus bekerja dalam hidupmu.”

Kehidupan monoton modern semacam itulah yang seringkali memicu neurosis noogenic, yang dijelaskan oleh Viktor Frankl berupa berbagai gejala gangguan neurosis yang bermula dari hidup yang tidak bermakna berupa perasaan bosan, jenuh, hampa, putus asa, kehilangan minat dan inisiatif, hidup dirasakan sebagai suatu rutinitas belaka, tugas sehari-hari dirasakan sangat menjemukan, kehilangan gairah kerja, merasa tidak pernah mencapai kemajuan, sikap acuh tak acuh, menipisnya rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungan, serta merasa tidak berdaya menghadapi kehidupan.102 Neurosis noogenic atau gejala-gejala kehilangan makna hidup, sebenarnya, selalu terjadi dalam setiap babak sejarah hidup umat manusia. Gejala tersebut muncul dari pertanyaan manusia akan keberadaannya di muka bumi ini yang tidak pernah dimintanya. Boleh jadi gejala tersebut lebih sering tampak saat ini disebabkan ritme kehidupan yang begitu cepat beserta materialismenya. Namun, pada dasarnya, pertanyaan-pertanyaan mengenai hidup itu sendiri adalah pertanyaan setiap manusia yang terlahir ke muka bumi ini, sesuatu yang alami.

Penutup

Demikian, tulisan ini dimulai dengan penjelasan ihwal tiga tujuan thariqah yang nyaris tak pernah diungkapkan, ihwal thariqah sebagai jalan pertaubatan untuk menemukan misi hidup tiap individu yang menjadi tujuan penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi, kemudian peran mursyid yang hanya sampai di tujuan kedua dari thariqah untuk kemudian digantikan perannya oleh Rûh Al-Qudus. Ketiadaan pemahaman akan perkara semacam ini yang kemudian melahirkan sekian banyak kritik ambivalen dari kalangan pengusung tasawuf positif—sebagai salah satu wacana rujukan dalam geliat urban sufism—untuk menegakkan jargon “tashawwuf yes, thariqah no” yang, seperti dikatakan oleh Carl W. Ernst, mengidap bias protestanisme Trimingham.

Selain itu juga telah diperlihatkan kekacaubalauan pemahaman yang sudah Al-Ghazali peringatkan sekitar seribu tahun lalu, namun masih berulang hingga hari ini, termasuk dalam wacana tasawuf positif. Akibatnya berimbas juga pada stereotip naif yang juga selalu berulang bahwa para sufi hanya mengutamakan qalb (yang dipahami hanya sebagai aspek rasa), lalu mengajukan bahwa tasawuf positif mengutamakan rasionalitas, sebab tak bisa membedakan antara nafs dengan ruh, serta membentuk pemahaman yang menunjukkan jejak imbas dari pemikiran materialisme modern bahwa akal itu hanya ada di otak dalam kepala saja. Sebagaimana dinyatakan oleh Jane Idelman Smith & Yvonne Yazbeck Haddad bahwa “… sebagian dari ajaran-ajaran eskatologi yang lebih populer, yang dalam hal ini, para penulis—kalangan teolog tradisionalis—telah gagal membedakan antara istilah nafs dan ruh, jiwa dan roh, baik dengan cara mempertukarkan kedua istilah itu maupun menggunakan yang satu untuk mengganti yang lain. Kecenderungan ini juga menjadi ciri sebagian besar analisis kontemporer. Persoalan bagaimana menamakan dan memahami fithrah kemanusiaan memang cukup njelimet sehingga banyak penulis kontemporer menegaskan bahwa mereka sangat malas membicarakan hal ini.”103

Selain itu, ada baiknya pemikiran dari Konrad Lorenz, pemenang nobel, dalam buku On Aggression yang memperlihatkan keheranannya ihwal mengapa rasionalitas di dunia modern malah mengamplifikasi agresivitas manusia. Dia memberi ilustrasi bagaimana binatang akan menghentikan serangannya jika lawan tersebut menunjukkan tanda kekalahan atau melarikan diri. Binatang pun menunjukkan agresivitasnya hanya jika daerahnya dilanggar, betinanya diganggu, atau anggota kelompoknya yang masih muda dan lemah terancam. Namun, manusia justru bisa menghancurkan sekian banyak lawannya tanpa ampun dengan memakai sains, misalnya tatkala mereka berhasil menguasai fisika molekuler untuk menciptakan bom atom yang memusnahkan penduduk dua kota di Jepang. Bahkan Jerman pun menjadi negara fasis di bawah pimpinan Hitler saat teknologinya termasuk yang terdepan di zamannya. Hal semacam ini yang memunculkan kekecewaan di kalangan postmodernisme atas proyek pencerahan modern yang tak seindah janjinya, yaitu hendak menciptakan surga di muka bumi (dalam versi sekular dari teologi Nasrani). Kalangan pengusung tasawuf positif sebaiknya menimbang juga sejarah gelap rasionalitas semacam itu agar tak terjatuh ke satu sisi ekstrem saja, mengunggulkan otak di tubuh dan mengabaikan qalb sebagai akalnya nafs.

Kemudian, dilanjutkan dengan suluk sebagai perjalanan melintasi sesuatu yang sempit serta peran mursyid yang membimbing agar sang salik selamat dari berbagai tipuan selama menempuhnya. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa para mursyid itu membawa metode riyadhah tersendiri, yang disempitkan dalam kritik kalangan tasawuf positif hanya berupa zikir saja.104 Lalu, pembahasan bahwa mursyid itu merupakan misi hidup yang tak dapat diwariskan kepada anak cucu, misalnya, serta adanya kalangan yang mengalami tarikan Allah (jadzab) sehingga bisa sampai ke Allah (wushul) tanpa perlu adanya mursyid, walaupun ini bukan fenomena yang sering terjadi. Karenanya, dalam hal ini kritik tasawuf positif pun tak tepat sasaran, hanya menghantam suatu keyakinan keliru yang telah berurat akar, tetapi malah dianggap sebagai suatu pakem sebenarnya dari thariqah.

Dilanjutkan dengan pembahasan ihwal urban sufism, tangklukan sebagai kategori baru selain santri, abangan dan priyayi, serta fenomena skizofrenia kultural yang lazim menimpa kalangan muslim terpelajar. Paparan ini menjadi penjelasan dalam kondisi masyarakat muslim macam apa urban sufism itu muncul beserta tendensi anti-tarekat yang mengemuka dari sana. Kesemua ini merupakan salah satu efek dari gelombang modernisme yang mengikis waktu senggang dalam kehidupan manusia modern, membuat banyak orang kehilangan makna hidup. Namun, ironisnya, tak serta merta jika sebagian muslim dijelaskan ihwal misi hidup, ihwal pengenalan diri sendiri sebagai salah satu tujuan thariqah, akan membuatnya tersadarkan sebab perhatiannya telah teralihkan ke hal lain, entah itu mengamini wacana teoretik (post)modern yang mengusung pandangan anti-esensialisme dan ateleologi, atau terperas habis secara lahiriah dalam deru mesin kapitalisme, sehingga hidup hanya untuk mengikuti siklus produksi-konsumsi yang terbentuk di dalamnya.[]


FOOTNOTE

  1. Makalah disampaikan dalam Webinar Urban Sufism, Sabtu, 29 Agustus 2020, 19.30-20.30 WIB, yang diselenggarakan oleh Lisan Madani, Majelis Kajian Keumatan dan Peradaban Indonesia. Makalah ini merupakan cuplikan sekaligus revisi dari makalah yang dimuat di Journal of Tasawwuf Studies dengan judul “Tashawwuf  Harus Bersama Thariqah: Mendudukkan Kembali Signifikansi Mursyid dan Thariqah Bagi Muslim Abad 21” sebab hendak dikumpulkan jadi satu dalam antologi esai karya penulis, dan dibuat lebih ringkas.
  2.  Ketua PICTS, aktivis Studia Humanika dan Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB, menempuh pendidikan S2 di STF Driyarkara, dan kini tengah menjalani studi S3 di FSRD ITB.
  3.  Miranda Risang Ayu, “Mencari Tuhan”, Basis, nomor 03-04, tahun ke-55, Maret-April 2006, hlm. 31, 34.
  4. Haidar Bagir, “Antara Thariqah dan Tarekat”, kata pengantar untuk buku Bertasawuf Tanpa Tarekat: Aura Tasawuf Positif, dieditori oleh C. Ramli Bihar Anwar, Jakarta: Iiman & Hikmah, hlm. xiii. Dikarenakan kesalahan lay out, kata pengantar di buku ini tak tertera sebagai tulisan Haidar Bagir, namun dengan membandingkan ke Buku Saku Tasawuf karya Haidar, bab 17, hlm. 177-185, maka kita akan tahu bahwa tulisan di awal buku Bertasawuf Tanpa Tarekat tersebut adalah kata pengantar dari Haidar.
  5.  Seribu tahun yang lalu, Al-Ghazali telah mencatat ihwal kekacauan pemahaman akan istilah nafs, ruh, qalb dan ‘aql yang “… sedikitlah kalangan ulama-ulama yang terkemuka, yang mendalam pengetahuannya tentang nama-nama ini, tentang perbedaan pengertian-pengertiannya, batas-batasnya dan apa yang dinamakan dengan nama-nama tersebut. Kebanyakan kesalahan itu terjadi karena kebodohan dengan arti nama-nama ini dan persekutuannya di antara apa yang dinamakan itu yang bermacam-macam.” Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali, Jilid 4, diterjemahkan oleh Prof. Tk. H. Ismai Yakub, SH, MA. (C.V. Faizan: Jakarta Selatan), cetakan ketiga, 1983, hlm. 7.
  6.  “Dari Abu Hurairah ra’, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda, ‘Apabila anak Adam meninggal dunia, maka akan terputus amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah (amal yang pahalanya selalu mengalir), ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya,’” (HR Muslim).
  7. Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, Bandung: Mizan, April 2005, hlm. 178.
  8.  Di sebuah biara tua, hiduplah seorang Guru Zen bernama Tao. Di sekitar biara tersebut, hidup seekor kucing yang sangat jinak kepada Guru Tao. Kucing itu selalu mengikuti ke mana saja Guru Tao pergi. Suatu hari, ketika Guru Tao berceramah, kucing itu mengikuti Guru Tao ke dalam biara, sehingga mengganggu kegiatan ceramah. Guru Tao pun memerintahkan kepada muridnya agar mengikat kucing itu di luar biara selama ia berceramah. Hal ini terjadi berulang kali. Bertahun-tahun kemudian, ketika Guru Tao telah meninggal dunia, kucing yang sama diikat di luar biara ketika ada yang berceramah. Dan akhirnya kucing itu pun mati juga. Selepas kematian kucing tersebut, dicarilah kucing-kucing lain untuk diikat di luar biara selama ceramah. Hal ini dilakukan secara turun menurun tanpa ada seorang pun tahu hubungan antara kucing dan ceramah. Tidak ada seorang pun yang mempunyai nyali untuk bertanya selain meneruskan tradisi tersebut.
  9.  “Hai orang-orang beriman, beratubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha (taubat yang semurni-murninya), muadah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, […]” (QS at-Tahrîm [66]: 8)
  10.  “… barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS al-Hujurât [49]: 11)
  11.  (1) Dari Abu Hurairah ra. berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Demi Allah, sesungguhnya, aku itu memohon pengampunan kepada Allah serta bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari 70 kali.’” (HR. Bukhari); (2) dalam riwayat lain, Rasulullah saw. bersabda, “Wahai, sekalian manusia, bertobatlah kepada Allah dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya, aku bertobat dalam sehari sebanyak 100 kali”. (HR. Muslim)
  12.  Dalam salah satu hadits dinyatakan  bahwa istighfar yang banyak itu membuka pintu rezeki.
  13.  “Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan, barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan, sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.” (QS. al-Maidah [5]: 32)
  14.  “Hai, orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya. Niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian dan menjadikan untukmu cahaya, yang dengan cahaya itu, kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hadîd [57]: 28)
  15. “Sesungguhnya barang siapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam. Ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.” (QS. Thâhâ [20]: 74)
  16.  “Tidak menyentuhnya kecuali al-muthahharun (orang-orang yang disucikan).” (QS. al-Waqi‘ah [56]: 79)
  17. Untuk penjelasan ihwal fiqih sebagai syariat lahir dan tashawwuf sebagai syariat batin, lihat Alfathri Adlin, “Ma‘rifat…”, op.cit.
  18.  Rumi, Matsnavi III: 4237-4249, terj. Inggris R. A. Nicholson, terj. Indonesia Herman Soetomo, dalam http://ngrumi.blogspot.co.id
  19.  “Dan, jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur‘an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. al-Baqarah [2]: 23)
  20.  “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.’” (QS. an-Nahl [16]: 68)
  21.  “Dan kami wahyukan kepada ibu Musa; ‘Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.’” (QS. al-Qashash [28]: 7)
  22. Untuk penjelasan lebih jauh ihwal wahyu ini lihat Alfathri Adlin, “Āgama, Religion, Ad-Dîn: Antara Tradisi, Institusionalisasi Ajaran, dan Misi Hidup” dalam http://picts.paramartha.org/tasawuf
  23. Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penyembuh (penawar) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS Al-Isrâ’ [17]: 82)
  24.  “Dan, bertaqwalah kepada Allah. Allah mengajarimu. Dan, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah [2]: 282)
  25.  Untuk penjelasan ihwal jasad, nafs, dan ruh atau disebut juga sebagai struktur insan, lihat Alfathri, “Ma‘rifat…”, op.cit.
  26.  Misalnya, tatkala ada yang meninggal dunia, orang masih menyebutkan ‘semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan.’ Padahal arwah adalah bentuk jamak dari ruh, dan tak mungkin satu manusia memiliki banyak ruh sehingga semuanya harus didoakan agar diterima oleh Allah. Selain itu ruh adalah bagian dari ‘Amr Rabb yang tak mungkin ternodai oleh dosa sehingga mendapat siksa neraka sebagai balasannya.
  27.  “Dan tiap-tiap insan tu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.” (QS Al-Isrâ’ [17]: 13). Untuk penjelasan ihwal misi hidup, lihat Alfathri, “Ma‘rifat…”, op.cit.
  28.  (1) Dari ‘Abdullah bin Mas‘ud ra berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya setiap kamu dibentuk di perut ibunya selama 40 hari, kemudian berbentuk ‘alaqah seperti itu juga, kemudian menjadi mudhghah seperti itu juga. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh dan menetapkan 4 masalah: rezeki, ajal, amal perbuatan, dan nasibnya celaka atau bahagia.” (HR. Bukhari, Ibnu Majah, At-Tirmidzi) (2) Dari Hudzaifah bin Usaid ra. berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Apabila nuthfah telah berusia empat puluh dua malam, maka Allah mengutus malaikat, lalu dibuatkan bentuknya, diciptakan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya.’ Kemudian, malaikat bertanya, ‘Ya, Rabbi, laki-laki ataukah perempuan?’ Lalu, Rabb-mu menentukan sesuai dengan kehendak-Nya dan malaikat menulisnya, kemudian dia (malaikat) bertanya, ‘Ya, Rabbi, bagaimana ajalnya?’ Lalu, Rabb-mu menetapkan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya dan malaikat menulisnya. Kemudian, ia bertanya, ‘Ya, Rabbi, bagaimana rezekinya?’ Lalu, Rabb-mu menentukan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya dan malaikat menulisnya. Kemudian, malaikat itu keluar dengan membawa lembaran catatannya, maka ia tidak menambah dan tidak mengurangi apa yang diperintahkan itu.” (HR Muslim)
  29.  Lebih jauh, Rumi menuliskannya sebagai berikut: Ragamu ada di sini bersama orang-orang lain, tapi qalb-mu mengembara ke padang-padang perburuan. Engkau menjelajah bersama para pemburu walau sesungguhnya dirimu: jiwamu itulah, yang mereka buru. Bagai sebatang seruling bambu, ragamu adalah sebuah selubung, dari dalam sana terdengar suaramu yang berdesir gelisah. Semestinya kau itu bagai seorang penyelam: ragamu bagai pakaian, yang kadang dilepaskan dan ditinggal di tepi pantai. Pada laut itu terdapat banyak jalur bagai nadi pada tubuhmu, ada yang berwarna terang, ada pula yang gelap. Qalb menerima cahaya dari nadi yang terang. Bahkan jika kau angkat selubungmu, dapat kutunjukkan padamu hal itu. Dirimu yang sebenarnya tersembunyi, bagai darah di dalam nadi dan engkau menghindar karena malu, bila kusentuh. Nadi-nadi itu bagai seruling yang memperdengarkan nada manis nan pilu: musik dari lautan tak berpantai, yang gelombangnya menggemuruh dari ketakterhinggaan. Dikutip dari Jalaluddin Rumi, Divan-i Syamsi Tabriz, terj. Inggris Kabir Helminski dalam The Pocket Rumi, 1st ed. Shambhala, 2008, terj. Indonesia Herman Soetomo, dalam http://ngrumi.blogspot.co.id
  30. Haidar, Buku Saku Tasawwuf, hlm. 183. 
  31.  Jalaluddin Rumi, Matsnawi II: 1248 – 1293, terj. Inggris R. A. Nicholson, terj. Indonesia Herman Soetomo, dalam https://ngrumi.blogspot.com/
  32. Lihat bab “Mencari Tasawuf ‘Saintifik’”, dalam Haidar, Buku Saku Tasawuf, hlm. 225-232.
  33.  “Maka, apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai qalb yang dengan itu mereka dapat memahami (ya‘qilun) atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah qalb yang di dalam dada. (QS. al-Hajj [22]: 46)
  34. Al-Hakim Al-Tirmidzi, Al-Farq Bayn al-Shadr, wa al-Qalb, wa al-Lubb, Biarkan Hatimu Bicara!: Mencerdaskan Dada, Hati, Fu‘ad dan Lubb (Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 31-32.
  35.  Lihat tulisan Muhammad Sigit Pramudya & Kuswandani, “Al-‘Ilm wa al-Idrâk, Jauhar, Rûh Amr: Struktur Insan dalam Perspektif Al-Ghazali” dalam Journal of Tasawwuf Studies, Vol. I, No. 1, Juli 2018 (PICTS: Bandung) hlm. 16-35.
  36.  Ibid.
  37. Haidar Bagir, “Pelancongan Batin Sang Guru Agung”, dalam Sadik Yalsizuçanlar, Sang Musafir: Novel Perjalanan Spiritual Ibn ‘Arabi, Bandung: Mizan, 2015, hlm. xii.
  38.  Secara mudahnya, ‘alam khayal adalah alam simbol, yang melalui simbol-simbol dari situlah Allah Ta‘ala ‘menyapa’ dan menunjuki hamba-hamba yang dikehendaki-Nya melalui berbagai penglihatan yang benar (ru‘ya shadiq) sebagaimana pernah dinyatakan dalam hadis Rasulullah yang menjelaskan fenomena yang beliau alami selama 6 bulan sebelum turunnya ayat pertama dari Al-Qur‘an.
  39.  “Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api, dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” (QS. al-Jin [72]: 8-9)
  40.  Lihat Al-Hakim Al-Tirmidzi, Ghawr al-Umûr, Menyibak Tabir: Hal-hal Tak Terungkap dalam Tradisi Islam (Serambi: Jakarta, 2005), hlm. 45-62.
  41. Rahasia Ilahi ini juga kerap dianggap takhayul, karena memang seringkali jatuh jadi takhayul oleh yang menggandrungi hal semacam itu karena lemah dalam penalaran juga.
  42.  “Maka, berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.’” (QS. Hûd [11]: 27)
  43.  Ahmad Najib Burhani (ed.), Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Positif, Jakarta: diterbitkan atas kerjasama IIMaN dengan Penerbit Hikmah, Maret 2002, hlm. vii.
  44.  “Dialog Ibn ‘Atha‘illah Al-Sakandari (w. 709 H) dengan Ibn Taimiyah (w. 728 H)” dalam C. Ramli Bihar Anwar, Bertasawuf Tanpa Tarekat: Aura Tasawuf Positif, Jakarta: diterbitkan atas kerjasama IIMaN dengan Penerbit Hikmah, Juli 2002, hlm. 166.
  45. Penjelasan lebih jauh lihat Alfathri Adlin, “Āgama, Religion, Ad-Dîn: Antara Tradisi, Institusionalisasi Ajaran, dan Misi Hidup” dalam http://picts.paramartha.org/tasawuf/1-agama-religion-ad-din-antara-tradisi-institusionalisasi-ajaran-dan-misi-hidup~2301/?fbclid=IwAR2jJwvToQIDuKteSV1tozWGcX1v-PDaO9RuRxW4G7lLH_bIQJ4mA4VFAXA
  46.  Dalam salah satu puisinya, Rumi mengungkapkan sebagai berikut: Kita kecanduan diskusi rumit dan gemar mengatasi masalah. Bolak balik kita membuat simpul lalu mengurainya kembali. Terus menerus kita membuat aturan tentang cara menampilkan kesulitan dan untuk menjawab aneka pertanyaan yang diajukan. Kita seperti burung yang melonggarkan jerat lalu mengencangkannya kembali dalam rangka meningkatkan keterampilan. Sehingga hilang kesempatan terbang jelajahi medan terbuka; sehingga hilang kesempatan kunjungi padang rumput, habis umur sibuk dengan simpul. Tetap saja buhul jerat tak terkuasai, walau sayap burung berkali-kali patah. Simpul jerat tak untuk dilawan, jaga agar sayapmu tak patah. Jangan rusak bulu pelindungmu hanya sekadar untuk tunjukkan pada dunia, betapa hebatnya usahamu. Jalaluddin Rumi, Matsnavi II: 3733 – 3738 versi Camille dan Kabir Helminski dalam Rumi: Daylight, Threshold Books, 1994, terj. dari Persia oleh Yahya Monastra, terj. Indonesia oleh Herman Soetomo, dalam http://ngrumi.blogspot.co.id
  47. Di muka bumi ada baitullah, yaitu di Mekkah; ada juga baitullah malakut di dalam diri manusia, yaitu qalb sebagaimana ditegaskan dalam hadits, “Sesungguhnya semua petala langit dan bumi menjadi sempit untuk merangkul-Ku, akan tetapi Aku mudah untuk dirangkul oleh qalb hamba-Ku yang mukmin” (HR Ahmad); dan ada juga baitullah di langit, di atas Mekkah, tempat para nabi dan malaikat ber-thawwaf. Manusia yang mengenal hakikat ciptaan Allah akan mendapati kesemuanya itu menunjuk kepada Yang Satu.
  48.  Dalam hadits yang masyhur di kalangan sufi ditegaskan “Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa Rabbahu” (barang siapa mengenal diri, maka akan mengenal Rabb-nya).
  49.  Untuk penjelasan ihwal mawathin yang diawali dari mauthin awwal hingga mauthin Al-Katsib, lihat Alfathri, “Ma‘rifat…”, op.cit.
  50.  (1) “Barang siapa yang memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala dengan benar untuk mati syahid, maka Allah Subhanahu wa Ta‘ala akan memberikan kedudukan sebagai syuhada meskipun ia meninggal di atas tempat tidurnya” (HR. Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam shahihnya, Al-Hakim dan ia menshahihkannya). (2) “Kebanyakan orang yang syahid dari umatku ialah mereka yang mati di tikar tidurnya. Dan, banyak pula orang yang terbunuh di antara dua baris perang, yang Allah Maha Mengetahui apa niat sebenarnya.” (HR. Ahmad dari Ibnu Mas‘ud).
  51.  Untuk penjelasan ihwal perbedaan hawa nafsu dengan syahwat, lihat Alfathri, “Ma‘rifat…”, op.cit.
  52.  “Sekelompok pasukan perang datang menemui Rasulullah. Nabi bersabda, ‘Kalian datang dari jihad kecil menuju jihad yang besar.’ Mereka bertanya, ‘Apakah jihad besar itu?’ Nabi bersabda, ‘Jihad seorang hamba melawan hawa nafsunya.’” (HR. Ad-Dailami)
  53.  Ibn ‘Arabi, “Wahai, Anakku”: Nasihat Sufi Besar Ibnu ‘Arabi, Jakarta: Penerbit IIMaN, 2004, hlm. 17.
  54.  Untuk penjelasan ihwal Ruh Al-Quds, lihat Alfathri, “Ma‘rifat…”, op.cit.
  55.  Nabi Muhammad Saw berkata kepada para sahabatnya, “Tahukah kalian siapakah orang yang benar-benar bertaubat?” Para sahabat menjawab, “Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Maka bersabdalah Nabi Muhammad Saw. “Barang siapa bertaubat sedang ia tidak memperlajari ilmu, maka ia bukanlah orang yang bertaubat. Barang siapa bertaubat sedang ia tidak bertambah tekun ibadahnya, maka ia bukanlah orang yang bertaubat. Barang siapa bertaubat sedang ia tidak berusaha membuat musuh-musuhnya ridha, maka ia bukanlah orang yang bertaubat. Barang siapa bertaubat sedang ia tidak mengubah pakaian dan perhiasannya, maka ia bukanlah orang yang bertaubat. Barang siapa bertaubat sedang ia tidak mengganti sahabat-sahabatnya, maka ia bukanlah orang yang bertaubat. Barang siapa bertaubat sedang ia tidak mengubah akhlaknya, maka ia bukanlah orang yang bertaubat. Barang siapa bertaubat sedang ia tidak melipatkan kasur dan tikarnya, maka ia bukanlah orang yang bertaubat. Barang siapa bertaubat sedang ia tidak menyedekahkan kelebihan dari apa yang ada di tangannya, maka ia bukanlah orang yang bertaubat.” (Hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas‘ud ra)
  56. “Sebab itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya, Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan (al-jahilin).” (QS. Hûd [11]: 46)
  57.  “Dan, janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al-Isrâ’ [17]: 36)
  58.  Kritik macam ini salah satunya datang dari Ahmad Najib Burhani, “Tarekat” Tanpa Tarekat: Jalan Baru Menjadi Sufi, khususnya bab 11 “Jejak Lahir Tarekat”, Jakarta: Serambi, 2002, hlm. 101-104.
  59.  Lihat Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, Evanston: Northwestern University Press, 1969. Lihat juga Roy J. Howard, Three Faces of Hermeneutics: An Introduction to Current Theories of Understanding, Berkeley: University of California Press, 1982. Dalam esai “Letter on Humanism”, Heidegger menuliskan diktum enigmatik yaitu “Bahasa adalah rumah Ada dan dengan bermukim di dalamnyalah maka manusia pun eksis.” Secara awam bahasa hanya dipandang sebagai alat komunikasi, yang diatur melalui tata bahasa untuk pemakaian sehari-hari. Adapun bahasa puitis merupakan derivasi lanjut dari bahasa sehari-hari tersebut. Akan tetapi, diktum Heidegger tersebut merujuk pada bahasa sebagai representasi—atau jika dalam peristilahan yang digunakan Heidegger adalah penyingkapan ada—yang senantiasa berlangsung secara historis dan selalu dalam konteks pemahaman zamannya. Contoh yang pernah dipakai oleh Richard F. H. Polt adalah bagaimana seseorang yang hidup di zaman modern tatkala mengeluhkan—dengan menggunakan bahasa—ihwal penyakitnya maka dia akan mengaitkannya pada penjelasan medis modern. Sementara seseorang yang hidup di Abad Pertengahan, dia akan mengaitkannya pada dosa kedagingan manusia yang bisa disembuhkan melalui kesalehan dan ibadah (contohnya penyakit kusta). Kedua contoh ini menunjukkan bahwa kebenaran itu terkait dengan interpretasi yang selalu berevolusi secara historis. Pandangan Heidegger atas bahasa inilah yang melandasi hermeneutika modern sebagai kerangka berpikir baru filsafat. Lihat Richard F. H. Polt, Heidegger: An Introduction, Thaca, New York: Cornel University Press, 1999.
  60. “Dan, bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan, masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. al-Baqarah [2]: 189)
  61.  Bukan tak mungkin bahwa sebagian muslim yang terdidik dalam rasionalitas Barat modern akan merasa tak nyaman dengan pembicaraan tentang hakikat, karena, jika mengutip Immanuel Levinas, esse ist intereresse (pembicaraan tentang hakikat [esensi] adalah pembicaraan tentang suatu kepentingan).
  62.  Dalam hadis dinyatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya, di dalam jasad ini ada segumpal daging. Apabila ia (segumpal daging) baik, baiklah seluruh jasadnya dan apabila ia rusak (buruk), maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah qalb.” (HR. Bukhari)
  63. Michel Chodkiewicz, Konsep Ibnu ‘Arabi tentang Kenabian dan Aulia, Jakarta: Sri Gunting, cet. pertama, Mei 1999, hlm. 150. Untuk penjelasan lebih jauh tentang konsep nabi, rasul dan wali dalam Islam, lihat buku ini.
  64.  Lihat Ahmad Syafi‘i Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
  65. Reynold A. Nicholson, Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, Pustaka Firdaus: Jakarta, 1996, hlm. 46.
  66.  Kondisi Uwais berbeda dengan Salman Al-Farisi yang dalam pencariannya akan Tuhan, berpindah agama beberapa kali, akhirnya bertemu dengan Nabi, meskipun mengembara jauh dari Persia.
  67. Nicholson, op.cit., hlm. 30.
  68.  Dalam hadits disebutkan “Sesungguhnya Allah lebih suka dengan taubatnya hamba yang beriman dari seorang laki-laki yang tinggal pada bumi daratan yang membinasakan. Bersama laki-laki tersebut unta kendaraannya. Atas unta kendaraan itu makanan dan minumannya. Lalu ia meletakkan kepalanya, maka ia tertidur. Kemudian ia terbangun dan unta kendaraannya sudah pergi. Lalu ia mencari unta kendaraan itu. Sehingga tatkala telah bersangatan panas hari padanya dan haus—atau apa yang dikehendaki oleh Allah, maka ia mengatakan: ‘Aku akan kembali ke tempatku semula, di mana aku ada padanya. Maka aku tidur di situ sampai aku mati.’ Maka, diletakkannya kepalanya atas lengannya, supaya ia mati. Kemudian ia terbangun. Tiba-tiba unta kendaraannya itu sudah ada di sisinya, yang di atasnya perbekalannya dan minumannya. Maka, Allah Ta‘ala sangat gembira dengan taubatnya hamba yang beriman dari laki-laki ini dengan unta kendaraannya. (Pada setengah bunyi hadits: “Allah Ta’ala berfirman dari sangat gembira-Nya, apabila orang itu berkehendak bersyukur kepada Allah: ‘Aku Tuhanmu dan engkau hamba-Ku.’”) (HR. Muslim & Bukhari)
  69.  Muhammad Al-Bagir, Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-Surat Imam ‘Ali ra, Bandung: Mizan, cet. ketiga, 1994, hlm. 130. Sejalan dengan ini, Siddharta Buddha Gautama pun pernah mengatakan, “Hanya ada dua kesalahan yang dapat orang perbuat dalam perjalanannya menuju kebenaran: tidak menempuh semua perjalanan tersebut dan tidak memulainya.”
  70. Penulis kehilangan catatan ihwal sumber rujukan dari puisi ini.
  71. Konsultasi Psikosufistik: Seorang Pengusaha Yang Kesepian, Majalah Sufi: April 2000, hlm. 22.
  72.  Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Penerbit Pustaka Jaya, cet. kedua, terj. Aswab Mahasin, 1983.
  73.  Ahmad Syafi‘i Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hlm. 136.
  74.  Ibid., hlm. 139.
  75. Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in a Post-Traditional World, New York: Harper & Row Publishers, hlm. 156-166.
  76. Agar Islam terlihat up to date mengikuti perkembangan wacana terkini, salah satunya feminisme, yang pertama dilakukan adalah memposisikan dulu Nabi sebagai seorang feminis, lengkap dengan berbagai asumsi dasar ala feminisme. Lalu, hal-hal lain tentang perempuan dalam Islam pun mengikuti apropriasi tersebut, sehingga tak heran jika poligami pun dihantam habis dan bahkan dihapuskan sebab, misalnya lagi, hanya merupakan ‘hukum yang turun secara kontekstual bagi bangsa Arab saat itu yang memang suka berpoligami, tetapi sudah tidak berlaku lagi bagi umat muslim kontemporer yang hidup di era emansipasi perempuan seperti saat ini.’ Atau, bisa saja itu semata pesanan dari pemberi funding kepada suatu LSM. Bayangkan juga bagaimana jika apropriasi semacam ini diterapkan di bidang lain, misal hukum waris—dengan alasan emansipasi dan kesetaraan gender khas feminisme—diubah menjadi satu banding satu (sama rata bagi lelaki maupun perempuan), atau peristiwa Isra Mi‘raj dijelaskan sedemikian rupa menggunakan sains modern, sehingga akhirnya malah jadi tidak berbeda sama sekali dengan kuliah astronomi.
  77.  Jane Idelman Smith & Yvonne Yazbeck Haddad, Maut, Barzakh, Kiamat, Akhirat: Ragam Pandangan Islam dari Klasik hingga Moderen, Serambi: Jakarta, cetakan I, 2004, hlm. 155-156.
  78. Bambang Sugiharto, “Mistisisme”, tulisan yang tidak dipublikasikan.
  79.  Lihat Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, Achadiati Ikram, Siti Chasanah Buchari, Mitia Muzhar, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, hlm. 1-2.
  80.  Ibid.
  81. Ibid.
  82.  Penjelasan lebih jauh ihwal amr ini lihat Alfathri Adlin, “Āgama, Religion, Ad-Dîn: Antara Tradisi, Institusionalisasi Ajaran, dan Misi Hidup” dalam http://picts.paramartha.org/tasawuf
  83.  Lihat Alfathri Adlin, Gnōthi Seauton: Etika Pengenalan Diri Menurut Platōn, tesis magister di STF Driyarkara, Jakarta, Agustus 2019.
  84. B. Herry-Priyono, “Buruh dan Negara: Tawanan Kaum Pemodal”, dimuat dalam Harian Sinar Harapan, 3 Agustus 2001, hlm.1.
  85. Ibid.
  86.  Lihat Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, “Enlightenment as Mass Deception” dalam Dialectic of Enlightenment: Philosophical Fragments, Stanford University Press: Stanford, California, 2002.
  87.  Lihat Theodor W. Adorno, “The Schema of Mass Culture” dan “Culture and Adminstration” dalam The Culture Industry: Selected Essays On Mass Culture, Routledge: New York & London, 1991.
  88.  Lihat Theodor W. Adorno, “How to Look at Television”, dalam ibid.
  89.  Lihat Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, “The Concept of Enlightenment” dalam Dialectic of Enlightenment…, op.cit.
  90.  Lihat Max Horkheimer, Eclipse of Reason, Continuum: London & New York, 2004, hl. 3-5.
  91. Ibid., hlm. 6.
  92.  Ibid., hlm. 6-7.
  93.  Jean Francois-Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Manchester: Manchester University Press, 1984, hlm. 4-5.
  94.  Yasraf Amir Piliang, “Merkantilisme Pengetahuan: Pendidikan dan Kapitalisme” dalam Transpolitika: Politik Citra dan Virtualitas, Pustaka Matahari: Bandung, lay out akhir dan belum diterbitkan, hlm. 325-326.
  95. Penulis kehilangan print out makalah Mgr Anton Subianto yang menjadi sumber rujukan kutipan ini, sehingga tidak dapat mencantumkan judul makalah, tahun, dan halamannya.
  96.  Ibid.
  97. Bambang Sugiharto, “Pengantar” dalam Fransiskus Simon, Kebudayaan dan Waktu Senggang, Jalasutra: Yogyakarta, 2008, hlm. xiv.
  98.  Fransiskus Simon, Kebudayaan dan Waktu Senggang, Jalasutra: Yogyakarta, 2008, hlm. 62.
  99.  Ibid.
  100.  Zamzam A. J. Tanuwijaya dan Kuswandani Yahdin, “Shalat dan Transformasi Fitrah Diri”, naskah yang insya Allah akan dimuat dalam Journal of Tasawwuf Studies selanjutnya.
  101.  Ibid.
  102. Herry Mardianto Syakir, Perbandingan Spiritual Well-Being antara Anggota dan Non Anggota Tarekat di Kota Besar: Studi Kuantitatif pada Para Anggota Yayasan Islam Paramartha–Paguyuban Thariqah Kadisiyyah Wilayah Bandung, Jawa Barat, Skripsi Sarjana Psikologi, Fakultas Psikologi–Universitas Indonesia: Depok, 2001.
  103.  Jane Idelman Smith & Yvonne Yazbeck Haddad, Maut, Barzakh, Kiamat, Akhirat: Ragam Pandangan Islam dari Klasik hingga Moderen, Serambi: Jakarta, cetakan I, 2004, hlm. 38.
  104. Penulis sendiri telah menjadi salik thariqah selama 23 tahun dan tak pernah mengamalkan zikir ini itu sebagaimana lazim dinisbatkan kepada banyak thariqah. Kalaupun berzikir hanya sebagaimana yang dicontohkan dalam sunnah Nabi saja, yaitu zikir sehabis shalat sebagaimana banyak dilakukan umat muslim. Selain itu, semangat penulis belajar filsafat semakin mendalam—hingga menempuhnya secara formal di kampus Katolik—justru tumbuh semakin kuat saat menjadi salik dan diapresiasi penuh oleh Mursyid.