Herry Mardian
Banyak yang mengklaim bahwa tashawwuf, atau sufisme, tidak ada dasarnya. Mana dalilnya, katanya. Tanpa dalil, lalu dikatakan bid’ah. Atau bahkan kafir.
Well, kalau ditelaah, dalil atau hukum fiqh, bukan pertimbangan yang paling dasar — kalau tidak mau dikatakan tidak selalu menjadi sudut pandang paling dasar — dalam agama. Ada hukum atau pertimbangan lain yang lebih mendasar dari hukum fiqh atau syariat, namun ‘hukum’ ini tidak selalu bisa didalilkan.
Sebagai contoh pertama: aurat pria. Batasan aurat bagi pria adalah semua bagian tubuh antara pusar hingga lutut. Itu wajib ditutup terhadap semua orang yang bukan muhrimnya.
Lalu, syarat sah shalat adalah menutup aurat. Secara fiqh, jika saya shalat hanya mengenakan celana tiga perempat dari pusar sampai lutut dan tak mengenakan baju atasan, shalat saya jelas sah. Tidak ada yang bisa mengganggu gugat hal ini.
Kemudian, saya pergi ke masjid, lalu dan menjadi khatib dan imam shalat Jum’at — dengan pakaian yang sama: celana selutut dan tanpa baju atasan. Sahkah shalat Jum’at saya? Sah, jika hanya fiqh, atau syariat lahiriah, yang jadi pertimbangannya.
Tapi maukah Anda menjadi ma’mum saya? “Jadi imam kok pakaiannya begitu,” Anda akan marah. Tapi kalau saya tanya, coba sebutkan dalilnya, mana riwayat yang melarang seseorang menjadi khatib atau imam jika ia hanya mengenakan celana tiga perempat, Anda tak akan bisa menjawab. Memang tidak ada.
Sah, secara fiqh. Tapi bagaimana mungkin ada seseorang menghadap Allah Ta’ala dengan pakaian sedemikian?
Ada hal yang lebih mendasar dalam agama, dari ‘sekadar’ (dalam tanda kutip) hukum fiqh atau syariat.
Contoh kedua. Hukum fiqh menyebutkan, pernikahan seorang pria tanpa ada walinya, sah. Wali hanya diwajibkan bagi pihak wanita. Jika Anda seorang mahasiswa yang jatuh cinta pada seorang wanita, Anda boleh mendatangi rumah seorang wanita untuk menemui orangtuanya dan melamarnya. Jika sang Ayah menikahkan Anda dengan putrinya, dan ada saksinya, maka Anda berdua sudah menjadi suami istri yang sah, secara hukum syariat.
Tapi bagaimana jika Anda adalah seorang ayah atau ibu? Anda sudah membesarkannya, membanting tulang, bersusah payah agar putra Anda berpendidikan sebaik yang ia bisa Anda usahakan. Dan suatu hari, putra Anda datang menemui Anda dengan membawa seorang istri dan dua orang anaknya. Tanpa kabar apa pun sebelumnya.
Apakah rumah tangganya batal dan pernikahannya tidak sah? Tidak. Pernikahannya sah. Tapi bagaimana hati Anda sebagai seorang Ayah atau ibunya? Atau, bagaimana perasaan ayah Anda, atau ibu Anda, jika Anda melakukan itu terhadapnya?
Atau, jika Anda seorang istri. Secara fiqh sangat sah jika suami Anda memutuskan untuk menikah lagi tanpa memberi tahu Anda terlebih dahulu. Tapi bagaimana perasaan Anda?
Nah. Itu hanya contoh saja. Selalu ada hal lain yang lebih mendasar dari sekadar hukum syariat atau hukum fiqh. Karena itu, agama tidak identik dengan hukum syariat atau fiqh. Agama bukanlah sekadar hapalan dalil dan hukum fiqh. Agama tidak akan utuh sebagai rahmat, jika hanya diidentikkan dengan sederet dalil dan hapalan hukum fiqh.
Agama sesungguhnya jauh lebih dalam dari itu.
Dan tentu, karena hanya persoalan permukaan, maka perbedaan landasan fiqh maupun madzhab sangat tidak ada gunanya untuk jadi bahan keributan.
: : : : : : : : : : : : : : : : :
Agama, atau Ad-Dîn, sesungguhnya terdiri dari tiga komponen: Iman, Islam dan Ihsan. ‘Iman’ terkait dengan cahaya iman dan keyakinan. ‘Islam’ terkait dengan ibadah formal, hukum syariat dan fiqh. ‘Ihsan’ terkait dengan kesempurnaan ‘iman’ dan ‘islam’-nya, sejauh mana seseorang melihat Allah dalam perilakunya, atau dilihat Allah dalam perilakunya, sehingga perbuatannya sesempurna mungkin.
Aspek ihsan inilah yang jauh lebih dalam dari sekadar syariat, yang memagari seseorang untuk shalat sekenanya dengan bertelanjang dada dan bercelana selutut, atau menikah tanpa memberi tahu Ayah atau Ibunya, meski secara hukum syariat perbuatan itu sah-sah saja.
Dalam tashawwuf atau sufisme, ini disebut ‘syariat batiniah’. Ada hukum lain yang lebih dalam dari sekadar hukum lahiriah, yang kadang hukum ini tidak bisa dirumuskan. Ada aspek rasa, adab dan kepatutan yang sangat dominan di sini: sejauh mana Allah akan suka pada perbuatan seseorang.
Pada awalnya, di masa Rasulullah, ketiga aspek ini menyatu, utuh, tidak terpisah-pisah dalam satu label yang dibawa oleh beliau saw: Dînul Islam; agama keberserahdirian (bukan sekadar ‘pasrah’) pada Allah.
Lama kelamaan, karena terkait studi dan budaya, ketiga aspek ini terpisah satu sama lain. Sayangnya, kebanyakan penganutnya bahkan lupa bahwa Dînul Islam tadinya terdiri dari tiga aspek yang menyatu utuh.
Belakangan, di usia-usia termuda peradaban, muncullah golongan yang bersikukuh bahwa Ad-Dîn Al-Islam sesungguhnya hanya terkait ibadah, syariat lahiriah dan ilmu fiqh saja. Lalu, aspek ‘iman’ direduksi menjadi hanya sekadar percaya, atau cuma implikasi dari mengucapkan kalimat syahadat. Dua aspek inti lainnya, (cahaya) Iman dan Ihsan, yang tadinya menyatu, tidak lagi dilihat sebagai bagian dari agama Islam. Dan golongan yang masih memegang teguh dua aspek itu ‘dikeluarkan’ dari bendera Islam, dan diberi label sufi atau tashawwuf, agar benar-benar terpisah dari ‘Islam’.
‘Sayangnya’ (dalam tanda kutip), golongan yang masih memelihara aspek ihsan dalam dirinya tentu berkembang menjadi golongan yang toleran, penuh pemakluman, lembut, dan tidak menyukai keributan, sehingga cenderung diam dengan labelisasi ini. Mereka tentu masih merasa ber-Islam secara utuh dengan tiga aspeknya, sementara oleh golongan lain mereka justru dikatakan sebagai kaum yang bukan Islam lagi. [*]
Sebaliknya, golongan yang tumbuh tanpa aspek ke-ihsan-an (baca: tanpa mempertimbangkan faktor-faktor selain hukum fiqh dan syariat dalam dua contoh di atas), tentu saja kemudian tumbuh menjadi golongan yang keras, penuh penghakiman, dan tidak lentur menyikapi perbedaan. Padahal, perbedaan di antara umat manusia adalah sebuah keniscayaan yang sudah Allah tetapkan.
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS Al-Mâidah [5]: 48)
: : : : : : : : : : : : : : : : :
Catatan:
[*] Ada memang, sebagian kecil golongan yang mengaku tashawwuf dan sufi, tapi justru meninggalkan aspek syariat lahiriah sama sekali. Tidak shalat lagi, misalnya. Tapi ini hanya sebagian kecil yang terlepas dari gagasan inti agama, dan tidak bisa digeneralisasikan.
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji