Fenomena Pengkaji Tashawwuf di Perkotaan Abad 21

Eveline Ramadhini

(Anggota PICTS dan Mahasiswi Pascasarjana Sosiologi Universitas Indonesia)

SECARA sosiologis, masyarakat desa dan kota memiliki karakteristik yang berbeda. Masyarakat urban seringkali dicirikan dengan keberagaman dalam kehidupan sosial, misalnya perbedaan suku, budaya, bahasa, dan sebagainya, karena seringkali berasal dari berbagai wilayah yang berbeda. Masyarakat uban pun seringkali mengalami perubahan sosio-kultural yang cepat, karena sebagai pusat metropolitan dan pesatnya pembangunan infrastruktur. Belum lagi, terjadi fenomena berupa materialisme yang seringkali dilambangkan dengan kepemilikan properti, emas, dan jabatan sebagai simbol ekonomi yang mapan bagi masyarakat perkotaan.

Dalam kajian lainnya, Wirth (1991) juga berpandangan bahwa kota telah melahirkan manusia-manusia yang penuh anonimitas dan individualis, karena masyarakat kota dituntut untuk bekerja secara sistematis, cepat, dan efisien. Dalam hal ranah privat dan publik pun terjadi pemisahan yang cukup tebal yang membuat masyarakat mengalami dualisme dalam menjalani perannya sebagai individu dan bagian masyarakat sekaligus. Konsekuensinya, kesakralan terhadap agama semakin menurun dan cenderung dijalani masing-masing.

Namun uniknya, semenjak berkembangnya teknologi, individualisme ini mulai mengalami metamorfosis yang cukup menakjubkan. Kajian dari David Clark (2003) mengungkapkan, karakteristik yang paling penting dalam masyarakat urban adalah cara mereka berkomunikasi yang tidak melulu harus pada kedekatan secara fisik. Hal ini terjadi, karena teknologi komunikasi modern yang semakin berkembang.

“Individu dapat mempertahankan kontak dengan masyarakat lainnya berdasarkan minat dan menjadi anggota dalam minat komunitas yang tidak didefinisikan berdasarkan wilayah territorial. Komunikasi modern berbasis teknologi membuka pilihan dari gaya hidup untuk masyarakat yang tinggal di perkotaan…” (hal. 135)

Dari paragraf di atas, dapat dijelaskan bahwa cara berinteraksi sosial yang saat ini sangat digemari masyarakat perkotaan, bahkan juga sudah merambah ke masyarakat pedesaan, misalnya penggunaan media sosial, seperti WhatsApp. Untuk beberapa media sosial lainnya, seperti Instagram atau Facebook, biasanya digunakan sebagai monolog yang mencerminkan gaya hidup masyarakat, seperti travelling, makanan, bercocok tanam, dan lain sebagainya. Adapun media sosial seperti YouTube, biasanya berkaitan dengan hobi masing-masing individu atau ajang eksplorasi diri.

Fenomena pengkaji tashawwuf di perkotaan juga tengah merebak di abad ke-21 ini, seiring sejalan dengan pola keberagamaan Islam di Indonesia semenjak era reformasi. Berdasarkan observasi penulis, para pengkaji tashawwuf kini tidak lagi berpandangan bahwa sufi itu identik dengan menyendiri di hutan, gunung, atau gua sunyi. Pandangan mereka telah bermetamorfosis menjadi bertapa di tengah keramaian. Dengan kata lain, telah terjadi perubahan sosial yang cukup signifikan; di mana dulunya para sufi sering dipandang menjauhi unsur duniawi dan keramaian, kini di perkotaan malah banyak yang mempelajari tashawwuf, sekalipun mereka sangat akrab dengan keriuhan, baik di jalanan, maupun di media sosial.

Kajian yang dilakukan oleh Sila (2009) saat meneliti tentang Tarekat Kadisiyah di Bandung, Jawa Barat menunjukkan bahwa fenomena salik (pejalan di thariqah) di perkotaan telah ada, namun juga sangat fokus pada pelaksanaan fikih. Salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat urban bertarekat memang terlahir dari kekecewaan dan kekhawatiran. Namun, ada tujuan utama dalam bertarekat, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sila menyebut fenomena ini sebagai Neo-Tarekat, karena menekankan bahwa tashawwuf tidak mesti meninggalkan dunia atau identik dengan kehidupan miskin, melainkan tetap dengan melakukan aktivitas dunia yang sama seperti masyarakat urban pada umumnya.

“Salah satu alasan masyarakat urban mempelajari tasawuf, karena mengalami kekecewaan dan penderitaan dalam kehidupan mereka. Tetapi, ini bukan berarti bahwa mereka menjadi orang yang bergelut di dunia tasawuf semata untuk ajang pelarian dari kenyataan. Meskipun memiliki problem personal seperti kekhawatiran dan kekecewaan, mereka juga mengejar hal terindah, yaitu untuk menjalin kedekatan dengan Allah. Di samping itu, kehidupan tasawuf juga tidak bermakna bahwa kita meninggalkan dunia dan hidup dalam kemiskinan (hal. 290).

Mungkin pembaca sering mendengar setiap sebulan sekali diadakan pengajian Maiyah di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, yang diampu oleh Cak Nun, seorang budayawan (Caknun.com, 2019). Konten pengajiannya pun bekisar pada aspek kesufian yang mengajarkan nilai-nilai Al-Qur`an. Pengajian ini sangat identik dengan peci merah-putihnya yang justru melambangkan keagamaan dan kebangsaan dalam satu simbol. Dia menyasar para seniman, akademisi, anak-anak muda, dan kalangan yang sangat beragam, sehingga membuat pengajian ini memiliki daya tarik tersendiri untuk mengantarkan ilmu tentang tashawwuf. Cak Nun juga masuk melalui seni, yaitu sastra yang dibungkus dengan musik, puisi, dan cerita pendek.

Contoh lainnya, Haidar Bagir yang merupakan sosok akademisi yang tertarik pada ilmu tashawwuf, sekaligus berkiprah di bidang pendidikan, publikasi, dan seni (Mizan.com, 2019). Dia mendirikan berbagai sekolah yang justru menggunakan kurikulum Cambridge University untuk mempromosikan teknik pendidikan internasional yang profesional, namun di sisi lain juga membumi dan sangat dibutuhkan di era ini. Dia juga produktif menulis buku bernuansa tashawwuf. Karya terakhirnya berjudul Beragama di Tengah Wabah (2020) dirilis dalam bentuk e-book dan dapat diakses secara gratis.

Demikian juga dengan Ulil Abshar Abdalla yang kini mendapat panggilan Gus Ulil. Ia dianggap oleh masyarakat telah “hijrah” dari Jaringan Islam Liberal (JIL) menjadi pengkaji tashawwuf, terbukti dengan ramainya pengajian yang ia ampu untuk mengkaji kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali (radarkudus.jawapos.com, 2018) dan seringkali ditayangkan secara langsung di Youtube.com serta dapat dengan mudah ditemui di laman media sosial.

Belum lama ini, pada tahun 2019, di Pekalongan, Jawa Tengah, digelar acara Konferensi Ulama Sufi Dunia yang dihadiri oleh 91 ulama tashawwuf dari 36 negara di berbagai belahan dunia yang tergabung dalam berbagai aliran tarekat (Republika.co.id, 2019). Bahkan, kehadiran konferensi ini amat didukung oleh Menteri Pertahanan RI, Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu karena menurutnya “Ajaran para ulama tarekat menjadi akar tumbuhnya nasionalisme dan bangkitnya perlawanan terhadap Belanda… Peranan tarekat sangat diperlukan untuk keamanan dunia.” (jateng.sindonews.com, 2019).

Dari berbagai contoh di atas, bisa terlihat bahwa eksistensi pengkaji tashawwuf sedang berkecambah dan tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat urban. Para tokohnya berbaur dengan masyarakat, dan tak lupa menggunakan kecanggihan teknologi untuk melakukan transparansi keilmuan melalui berbagai media sosial. Uniknya, teknologi telah menjadi sarana untuk perubahan sosial bagi para pengkaji tashawwuf tersebut untuk melakukan infiltrasi keilmuan di tengah era kapitalisme yang tengah berakar kokoh. Keberadaan mereka layaknya oase di padang pasir dunia yang penuh kegilaan materi, konsumerisme, dan hedonisme yang kian mewujud menjadi berhala-berhala syahwat dan hawa nafsu.[]

Referensi

Clark, David. (2003). Urban World/Global City. Taylor & Francis Group. ProQuest Ebook Central, http://ebookcentral.proquest.com/lib/indonesiau-ebooks/detail.action?docID= 182653. Created from indonesiau-ebooks on 2020-05-18 10:54:24.

Sila, Muhammad Adlin. (2009). “Tarekat Kadisiyyah: an Example of Neo-Tarekat in Bandung, Indonesia.” alJami’ah, Vol. 47, No. 2, hlm. 269-294.

Suganthi, M. tt. Rural and Urban Sociology. Directorate of Distance Education: Tamilnadu.

Wirth, Louis. (1991). Urbanism as a Way of Life. Ardent Media Incorporated.

Laman:

https://republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/ppqpor320/konferensi-sufi-rekomendasikan-kampus-tasawuf-internasional. Diakses pada 19 Mei 2020 pukul 04.20 WIB.

https://jateng.sindonews.com/berita/3719/1/menhan-buka-konferensi-ulama-sufi-internasional-di-pekalongan. Diakses pada 19 Mei 2020 pukul 04.15 WIB.

https://www.caknun.com/2017/al-quran-pengajian-maiyah-dan-masyarakat-4/. Diakses pada 19 Mei 2020 pukul 04.10 WIB.

https://www.mizan.com/kisah-di-balik-ketertarikan-haidar-bagir-mengenal-tasawuf/. Diakses pada 19 Mei 2020 pukul 04.00 WIB.

https://radarkudus.jawapos.com/read/2018/07/23/89750/ratusan-santri-antusias-ngaji-ihya-bersama-gus-ulil-abshar. Diakses pada 19 Mei 2020 pukul 05.07 WIB.