Āgama, Religion, Ad-Dîn: Antara Tradisi, Institusionalisasi Ajaran, dan Misi Hidup

Alfathri Adlin

(Guru PPKN dan IPS di SMP Al-Kautsar – Bandung)

“Sebagaimana yang kukatakan sebelumnya, aku tidak berpikir bahwa alasan sebenarnya mengapa orang menerima agama itu ada hubungannya dengan argumentasi. Mereka menerima agama dengan alasan emosional. Orang seringkali diingatkan bahwa menyerang agama itu sangat salah, karena agama membuat manusia berbudi luhur. Begitulah aku diberitahu; aku belum memberikan perhatian akan hal itu.” Demikian pandangan Bertrand Arthur William Russell, filsuf terkenal dari Inggris, ihwal agama. Mungkin seperti itu juga pandangan banyak orang yang sinis terhadap agama karena banyak kekerasan dan kekejaman yang terjadi di bumi ini justru mendapat pembenaran dari agama. Bahkan saat kalimat-kalimat ini sedang diketikkan, televisi tengah menayangkan film dokumenter berjudul A Girl in the River: The Price of Forgiveness (2015) yang menceritakan tentang Saba, seorang muslimah berusia 19 tahun dari kota Gujranwala, Punjab di Pakistan, yang selamat dari upaya pembunuhan demi kehormatan yang dilakukan oleh bapak dan pamannya dikarenakan dia memilih pergi untuk menikah dengan lelaki yang dicintainya. Judul film dokumenter tersebut mengingatkan juga pada perkataan Peter Parker (alias Spider-Man) kepada Eddie Brock yang didepak karena telah berlaku curang dengan foto hasil edit digitalnya, “Kau menginginkan pengampunan? Peluklah agama!”

Namun, tetap harus diingat bahwa kekerasan atas nama agama bukan hanya terjadi di kalangan muslim. Hal itu terjadi juga di agama-agama lain terhadap pemeluknya sendiri, maupun antar pemeluk agama. Di zaman ini berbagai hal tak sedap tersebut memunculkan lagi dan lagi pertanyaan “masih perlukah agama?” Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama akan ditelusuri dulu etimologi tiga kata yang telah mengharu biru kehidupan manusia sejak ribuan tahun lalu.

Etimologi Tiga Kata

Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu āgama, dan dalam kamus Sansekerta-Inggris dari Monier-Williams dijelaskan sebagai “…suatu doktrin atau ajaran tradisional, kumpulan doktrin semacam itu, karya suci” juga sebagai “apa pun yang diwariskan dan terbaca dalam sebuah teks atau catatan, sertifikat akta, dan sebagainya.”2 Di sini terlihat bahwa makna awal āgama itu terkait dengan kitab suci dan ajaran sakral yang tertuang di dalamnya. Selain itu, sebagian lainnya menjelaskan bahwa makna āgama adalah “tidak kacau”, yang mengisyaratkan keteraturan. Namun, yang dipermasalahkan toh selalu ihwal penafsiran atas apa yang tertuang di dalam kitab suci tersebut, siapa yang berhak mengklaim paling memiliki otoritas atas penafsirannya, juga merasa yang paling benar dalam mengajarkannya. Di masa ini telah hadir hermeneutika dan dekonstruksi yang memperlihatkan tilikan atas penafsiran tulisan sebagai sesuatu yang otonom dan lepas dari maksud pengarang (sehingga memunculkan semboyan ‘matinya’ sang pengarang’). Hal ini diiringi kelahiran pembaca yang bagaimanapun akan menafsirkan teks suci tersebut berdasarkan prapemahaman atau prasangka (vorverstehen) yang memang sudah lebih dulu ada di kepalanya. Maka, obsesi untuk menegakkan makna tunggal ajaran āgama malah seringkali memunculkan banyak masalah.

Lalu, kata religion. Menurut Sarah F. Hoyt, sebagaimana tertulis dalam The Oxford Dictionary bahwa “… hubungan kata religion dengan religare, ‘mengikat’, biasanya disukai oleh para penulis modern. […] Terutama kata-kata bahasa Inggris yang langka seperti religate, religation mengesankan (kata) religion memiliki akar kata religare, yaitu ‘mengikat.’”3 Akar kata yang ini menyiratkan bahwa religion itu tak ubahnya aturan atau hukum yang mengikat, terutama bagi pengikutnya. Namun, Hoyt menuliskan lebih jauh bahwa “… dalam De Natura Deorum, 2, 28, 72, Cicero menurunkan kata religio dari relegere, yang bermakna melewati atau mengulangi lagi dalam membaca, berbicara, atau berpikir. […] Identik dengan relegere adalah kata dalam bahasa Yunani άλέγειν, yang artinya mengindahkan atau mempedulikan.”4 Adapun akar kata yang ini mengisyaratkan suatu tradisi yang diulang-ulang, baik dalam mengkaji maupun perilaku keseharian dikarenakan adanya kepedulian untuk menjaga tradisi tersebut. Akhirnya, Hoyt menyimpulkan bahwa “Jika semua poin tersebut dipertimbangkan dengan hati-hati, maka pandangan Cicero tampaknya memang lebih baik, sehingga religion bukanlah berasal dari kata religare, tetapi dari relegere.”5

Pemaparan etimologi tersebut memperlihatkan adanya suatu kesamaan, baik pada kata āgama maupun religion, yaitu merujuk kepada sesuatu yang diteruskan dan diulang (kepada generasi berikutnya). Pengertian semacam ini sejalan dengan salah satu puisi Jalaluddin Rumi ihwal agama yang diperoleh “… secara cuma-cuma, warisan dari ayahmu. Orang yang memperolehnya sebagai warisan takkan menghargainya.”6 Keduanya mengisyaratkan sesuatu yang sifatnya eksternal, lalu ditanamkan kepada manusia untuk diindahkan, dipatuhi, diulang, sehingga pada gilirannya terejawantahkan sebagai institusi yang memiliki batang tubuh ajarannya sendiri. Dalam bingkai makna seperti itulah āgama dan religion seringkali dibahas hingga saat ini–sebagai sesuatu yang ketika diindahkan dan diulang sedemikian rupa disertai hasrat menunggalmaknakan ajarannya–malah berpotensi membuat banyak masalah berupa kekerasan terhadap penganutnya sendiri maupun terhadap penganut agama lainnya. Padahal, sebagaimana dicatat juga oleh Hoyt, istilah religion juga digunakan dalam arti kejujuran atau suara nurani hati, dan bukan sebagai bentuk lahiriah semata.7 

Ini sejalan dengan makna kata ad-dîn yang sering diterjemahkan sebagai agama, tak berbeda dari āgama maupun relegere. Namun, secara khusus kata ad-dîn dalam Islam memiliki makna yang terkait langsung dengan alasan keberadaan tiap manusia di muka bumi. Dari aspek bahasa, ad-dîn merupakan bentuk masdar dari kata kerja dânayadînu, yang artinya adalah hutang, memberi pinjaman, tanggungan, keharusan penegakan peraturan. Kata ad-dîn merujuk kepada sesuatu yang harus ditunaikan dan dipertanggungjawabkan, yaitu ma‘rifatullah, sebagai sesuatu yang seharusnya ditunaikan oleh setiap insan, karena ma‘rifatullah adalah awal dari seseorang dikatakan telah beragama, alasan kenapa manusia dicipta dan bagaimana Allah pun menjadi Raja dalam hari-harinya (maliki yaumiddîn). Al-Ghazali menjelaskan bahwa “… Kemuliaan dan keutamaan manusia yang mengatasi sejumlah macam makhluk lain adalah disebabkan persediaannya mengenal Allah (ma‘rifah kepada Allah) Yang Mahasuci, di mana mengenal Allah itu di dunia adalah keelokan, kesempurnaan, dan kebanggaannya manusia. Dan, di akhirat mengenal Allah itu adalah alat dan simpanannya. Sesungguhnya, manusia itu menyediakan diri bagi ma‘rifah dengan hatinya.”8 Lebih jauh lagi, Al-Ghazali menjelaskan bahwa “Hatilah apabila dikenal oleh manusia, maka sesungguhnya manusia itu telah mengenal dirinya. Dan, apabila manusia telah mengenal dirinya, maka ia telah mengenal akan Tuhannya. Dan, hati itu, apabila tidak dikenal manusia, maka manusia tidak mengenal akan dirinya. Dan, apabila manusia tidak mengenal dirinya, maka ia tidak mengenal akan Tuhannya. Dan, barangsiapa tidak mengenal hatinya, maka ia lebih tidak mengenal lagi akan lainnya.”9

Jauh sebelum itu, dalam Nahjul Balaghah tercatat bahwa Ali bin Abi Thalib menegaskan jika ‘Awaluddina Ma‘rifatullah”, “Awal dari Ad-Dîn adalah ma‘rifatullah (mengenal Allah).” Pernyataan ini menandaskan bahwa seseorang baru dikatakan beragama ketika telah mencapai ma’rifatullah. Ini pun ditegaskan dalam hadis yang dinyatakan shahih oleh kalangan Syiah, tapi banyak dikutip oleh para sufi (mungkin ini salah satu penyebab mengapa para sufi selalu otomatis diidentikkan sebagai Syiah), yaitu “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” yang berarti “Barangsiapa yang mengenal nafs (jiwa)nya, maka sungguh ia akan mengenal Rabb atau Tuhannya.”

Ilustrasi ma‘rifat itu tak ubahnya seseorang yang memiliki sekian banyak sifat baik, tetapi tinggal seorang diri dalam sebuah gua besar. Tak pernah ada yang mengetahui kebaikannya, tak pernah terungkapkan, hingga datanglah seseorang. Interaksi di antara keduanya memancing keluar segenap sifat baik lelaki penghuni gua tersebut. Apabila semakin banyak yang datang kepada lelaki tersebut, maka semakin banyak pula kebaikannya termanifestasikan karenanya. Begitu pula halnya Allah. Pada awalnya, belum ada sesuatu apa pun, hanya Dia sendiri yang menyimpan segenap kekayaan tersebut. Itu dinyatakan dalam hadits qudsi, “Aku adalah khazanah tersembunyi (kanzun makhfiy), kemudian Aku cinta untuk dikenal, maka Aku ciptakan makhluk dan Aku membuat diri-Ku dikenal oleh mereka, sehingga mereka datang untuk mengenal-Ku.”

Adapun ma‘rifat itu bukanlah seperti siapa pun yang membaca buku karya seorang penulis—yang terkesan lalu dia membaca secuil biografi penulis di bagian belakang buku, lalu dilanjutkan dengan googling untuk mencari tahu lebih jauh—dan dengan begitu dia merasa kenal sudah kenal baik. Ma‘rifat itu seperti pembaca yang mengenal sang penulis secara langsung, datang berkunjung ke rumahnya, ikut makan malam bersamanya, melihat aktivitasnya, bahkan mengenal karakternya. Itulah kenapa disebutkan dalam salah satu riwayat bahwa seseorang datang kepada Ali bin Abi Thalib dan berkata: “Apakah engkau melihat Allah, sehingga engkau menyembah-Nya?” Beliau berkata, “Celaka engkau! Aku tidak akan menyembah Tuhan yang aku tidak lihat?” Orang itu bertanya, “Bagaimana engkau melihat-Nya?” Ali menjawab, “Mata kasar tidak dapat melihat Allah, melainkan mata hati yang melihat-Nya dengan dasar hakikat iman.”

Dengan demikian, tujuan penciptaan manusia itu untuk mengenal dan menjadi saksi Allah yang haqq (benar), menjadi khalifah (wakil) Allah, serta pemakmur bumi. Adapun mereka yang mencapai ma‘rifatullah berarti telah menjadi saksi Allah yang haqq karena telah menjadi tempat pengurai asma (nama)-Nya atau citra Ilahi, tak ubahnya lensa segitiga yang mendeviasikan cahaya monokromatik menjadi cahaya polikromatik. Demikianlah makna yang terkandung dalam kata ad-dîn.

Ket. gambar: Simbol garis panah (kiri) adalah cahaya polikromatik (putih) yang kemudian dilewatkan melalui prisma segitiga sehingga terurai menjadi cahaya monokromatik berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu yang disimbolkan dengan garis-garis panah (kanan).

Tiga Pokok Ad-Dîn

Pada suatu hari kami (Umar bin Khaththab dan para sahabat lainnya) duduk-duduk bersama Rasulullah saw. Lalu, muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda perjalanan. Tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah saw. Kedua kakinya menghimpit kedua kaki Rasulullah dan kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah saw seraya berkata, “Ya, Muhammad, beritahu aku tentang Islam.” Lalu, Rasulullah saw menjawab, “Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.” Kemudian, dia bertanya lagi, “Kini beritahu aku tentang Iman.” Rasulullah saw menjawab, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kepada Qadar baik dan buruknya.” Orang itu lantas berkata, “Benar. Kini beritahu aku tentang Ihsan.” Rasulullah berkata, “Beribadahlah kepada Allah seolah-olah Anda melihat-Nya walaupun Anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat Anda.” (…) Kemudian, orang itu pergi menghilang dari pandangan mata. Lalu, Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, “Hai, Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” Lalu, Aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah lantas berkata, “Itulah Jibril datang untuk mengajarkan Ad-Dîn kalian.” (HR. Muslim)

Hadis tersebut menjelaskan Ad-Dîn sebagai yang terdiri dari tiga pokok, yaitu Al-ImanAl-Islam, dan Al-Ihsan. Padanannya ada dalam istilah yang banyak diulang di berbagai ayat Al-Qur‘an, yaitu iman dan amal shalih, sebagaimana terlihat dalam bagan di bawah ini. Adapun keterkaitan antara Al-Islam dengan Amal, serta AlIhsan dengan Shalih itu memerlukan penjelasan lebih jauh.

Bagan Trilogi Ad-Dîn

Islam artinya berserah diri, tetapi ini bukanlah pasif tidak melakukan apa pun, melainkan aktif dan pontang-pantingnya sang muslim (yaitu yang berserah diri) dalam mencari, menemukan, serta beramal sesuai dengan kehendak Allah. Bayangkan 1000 tahun yang lalu, orang pergi ke pasar untuk membeli sayur-mayur, buah-buahan, lauk-pauk, dan daging. Tak lupa berbagai perabotan dan kebutuhan rumah tangga lainnya, termasuk budak. Ya, budak. Manusia yang dijadikan budak atau hamba sahaya. Budak tidak memiliki kebebasan untuk melakukan apa pun, karena telah dibeli dan harus menuruti apa pun yang diperintahkan tuannya. Perbudakan adalah sejarah panjang kelam dalam peradaban manusia. Namun, sejarah kelam itu bisa memberi impresi tentang dalamnya arti menjadi “hamba” Allah, sebab istilah “hamba” itu sinonim dengan “budak”. Dengan demikian, setidaknya bisa dibayangkan apa kiranya impresi yang didapatkan orang-orang Arab pada masa ketika turun ayat QS al-Baqarah [2]: 20710 dan QS at-Taubah [9]: 111.11

Abstraksi dan impresi masyarakat Arab ihwal “orang yang menjual nafs-nya kepada Allah” tentunya lebih mengena, karena pada masa ayat itu turun perbudakan masih mengakar kuat. Berbeda dengan masyarakat muslim hari ini yang tidak lagi melihat perbudakan seperti pada masa lalu. Setidaknya, umat muslim di masa ayat itu turun bisa langsung menangkap makna “Allah telah membeli diri” sebagai kepenghambaan yang merupakan makna dari Islam sebagai keberserahdirian. Akan tetapi, keberserahdirian di sini justru dilakukan dengan suka cita oleh al-muslimin (orang yang berserah diri) seperti dinyatakan dalam QS Fushshilat [41]: 11.12 Rumi menjelaskan dalam salah satu bait puisinya: “Perintah ‘datanglah dengan terpaksa’ ditujukan kepada pengikut yang buta; ‘datanglah dengan suka hati’ diperuntukkan bagi orang yang dicetak oleh ketulusan.” Hal semacam ini dinyatakan juga oleh Ali bin Abi Thalib bahwa “Sebagian manusia beribadah dengan harapan mendapatkan pahala dan ganjaran; inilah ibadah para pedagang. Sebagian lainnya beribadah karena takut kepada siksa; inilah ibadah para budak. Sebagian manusia lainnya beribadah untuk bersyukur kepada Allah; inilah ibadah orang-orang yang bebas.”

Adapun Al-Ihsan itu merupakan sebentuk sikap yang terkait dengan keshalihan suatu amal. Shalih adalah kemurnian atau tidak rusaknya sebuah amal. Kenapa amal? Bahwa manusia diperintahkan untuk beribadah kepada Allah dan tanda bahwa ibadah itu diterima adalah jika berbuah dapat dinikmati oleh manusia lainnya. Demikian pula kesucian yang dicapai seseorang itu pun bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk orang lain, sebab jika tujuan penciptaan manusia adalah untuk menjadi suci, maka tujuan tersebut telah tercapai pada saat Allah menciptakan malaikat yang tak pernah berbuat dosa. Tak ubahnya pohon yang tidak pernah memakan buahnya sendiri, tetapi untuk diberikan, begitu pula ibadah yang berfungsi menuntun manusia untuk menumbuhkan benih yang telah Allah berikan kepadanya hingga berbuah. Akan tetapi, karena tanah yang seharusnya menjadi tempat tumbuh benih tersebut telah menjadi gersang, maka tidak semua manusia dapat menumbuhkannya hingga berbuah amal shalih. Sekali lagi, kita berhadapan dengan istilah amal shalih. Apakah itu?

Sebagai ilustrasi mudah amal dibagi dulu menjadi tiga yaitu, amal baik, amal tidak baik dan amal shalih. Amal tidak baik adalah amal yang mendatangkan dosa bagi pelakunya, merugikan diri sendiri, bahkan bisa juga orang lain. Dalam hal ini dosa adalah segala yang Allah tidak sukai dan melumpuhkan jiwa. Nabi Isa pernah berkata, “Sesungguhnya, kamu tidak mengetahui bahwasanya makanan yang hakiki itu adalah mengamalkan kehendak Allah. Malaikat-malaikat yang suci itu tidak makan, tetapi mereka hidup dengan cara memakan kehendak-Nya.” Begitu pula halnya jiwa yang merupakan bagian dari alam malakut. Dosa—sebagai sesuatu yang berlawanan dengan kehendak Allah dan membekas di qalb—akan membuat jiwa lumpuh, tak ubahnya Superman yang terkena Kryptonite.

Sedangkan yang sulit dibedakan adalah antara amal baik dengan amal shalih. Apabila seseorang melihat pengemis, lalu tergerak hatinya karena kasihan untuk memberi derma kepada pengemis, bisa jadi amal tersebut hanya merupakan amal baik. Balasannya pun, bisa jadi, langsung didapatkan dalam bentuk sikap dan ucapan terima kasih dari pengemis tersebut. Kenapa demikian? Karena, bisa jadi sang pemberi derma itu sama sekali tak menghubungkannya dengan Allah, bisa karena dia ateis atau kalaupun beragama dia tak peduli juga dengan Allah, dan banyak sebab lain. Karenanya, amal baik adalah amal yang bermanfaat bagi sesama manusia dan tidak menimbulkan keburukan, tapi balasannya didapat di dunia. Adapun amal shalih adalah amal yang langsung terhubung dengan Allah serta merupakan perintah-Nya. Misal, setelah digerakkan oleh rasa kasihan, maka si pemberi derma tersebut langsung menghubungkan amalnya dengan harapan Allah akan me-ridha-i dan mengampuninya.

Dalam bekerja juga bisa beramal shalih. Apabila seseorang bekerja dan digaji 10 juta rupiah sebulan, tapi dia bekerja tidak sesuai kewajiban, itu sama saja dengan korupsi. Sedangkan, apabila dia bekerja sesuai dengan kewajibannya dan memang pantas mendapat gaji 10 juta, maka ia tidak mendapat apa pun selain upah atas kerjanya. Namun, apabila dia bekerja melebihi kewajibannya, maka kelebihan tersebut akan menjadi amal shalih-nya. Zamzam A.J. Tanuwijaya, Mursyid Penerus Thariqah Qudusiyah, pernah mengatakan bahwa “Pesan terakhir di surat al-Kahfi: ‘Jangan seperti kaum yang ditemui oleh Dzulkarnain yang tidak mengerti arti Pembicaraan Kebenaran.’ Kenapa tidak paham? Karena ada Ya‘juj-Ma‘juj, ada hawa nafsu, dan itu harus ditutup dengan amal shalih dan kerja; dengan dharma. Menyatukan amal-amal shalih yang berserakan adalah dengan menyedekahi kerja tubuh kita, kerja setiap tulang-tulang yang menyusun tubuh kita, dan itu dengan jalan shalat Dhuha. Sesungguhnya, shalat Dhuha itu adalah untuk menyedekahi seluruh kerja ruas-ruas tulang di tubuh kita, menyedekahi tubuh kita, yang merupakan pemberian gratis dari Allah Ta‘ala. ‘… Dan, barangsiapa yang selalu bersedekah, maka ia akan terhindar dari bencana’, begitu sabda Rasulullah saw.”

Adapun proses penggelapan qalb (baca: dosa) seiring sejalan dengan empat tahap proses terjadinya suatu amal—tidak baik, baik maupun shalih—yaitu, tahap Rasa, Karsa, Cipta, dan Karya. Misal, seseorang masuk ke dalam lingkungan pergaulan yang bebas, kemudian syahwatnya tertarik kepada salah satu kenalannya di sana. Apabila Allah tidak suka dengan rasa ketertarikan tersebut, maka terjadilah proses penggelapan qalb tahap pertama, yaitu, tahapan Rasa. Setelah itu, dia berandai-andai dan berhasrat ingin bisa berhubungan dengan temannya tersebut, inilah tahapan kedua, yaitu, Karsa. Apabila Allah tidak suka dengan Karsa tersebut, maka terjadilah proses penggelapan qalb tahap kedua. Setelah itu, dia pun mulai merencanakan tindakan yang bisa mewujudkan syahwatnya tersebut, dan inilah tahapan ketiga, yaitu, Cipta. Apabila Allah tidak suka dengan Cipta tersebut, maka terjadilah proses penggelapan qalb tahap ketiga. Terakhir, syahwat itu pun tersalurkan dengan temannya tersebut, inilah tahapan keempat dan terakhir, yaitu, Karya yang merupakan proses penggelapan qalb tahap terakhir. Pada tahapan inilah dia dapat dihukumi secara lahiriah sesuai fiqih.

Bagan empat tahapan proses terjadinya suatu amal

Keempat tahapan ini berlaku untuk semua jenis amal. Dengan demikian, jika seseorang telah berbuat sesuatu yang melanggar syariat dan dihukumi secara lahiriah, maka berarti dia telah melanggar empat pagar syariat hingga pagar terluar. Akan tetapi, hukum fiqih baru dapat dijatuhkan ketika amal telah mencapai tahapan karya, ketika telah terlahir secara lahiriah. Lalu, bagaimana dengan rasa, karsa dan cipta yang berlangsung dalam batin dan belum terlahirkan secara lahiriah? Dalam hadis dinyatakan “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk, rupa, dan harta benda kalian, tetapi Allah memperhatikan hati dan amal-amal kalian.” (HR. Muslim) Ini menegaskan bahwa manusia harus tertib hingga ke tataran qalb-nya, sebagaimana tertuang juga dalam QS al-Baqarah [2]: 284.13 Al-Ghazali menjelaskan bahwa jika lintasan hati tidak dijaga, ia akan menjadi rasa (keinginan), lalu rasa menjadi karsa (kehendak), karsa berubah menjadi cipta (berniat untuk melakukan), dan cipta berubah menjadi karya (perbuatan). Karya ini yang bisa berakibat pada kecelakaan dan murka Allah. Maka, kejahatan harus ditebas sejak dari akarnya—yaitu sejak ada lintasan hati, yang dari sana hal-hal lainnya akan mengikuti. Nah, di tataran rasa, karsa, dan cipta itulah tashawwuf memegang peranan penting sebagaimana terlihat dalam bagan di bawah ini.

Bagan keterkaitan yang sinambung antara tashawwuf dengan fiqih

Demikian, apabila penjelasan di atas diringkas, maka Ad-Dîn itu terdiri dari tiga pokok, yaitu ImanIslam, dan Ihsan, yang padanannya dalam Al-Qur‘an adalah Iman dan Amal Shalih. Perkara iman diatur dan terkait langsung dengan pembahasan mengenai Aqidah dan Tauhid, sedangkan perkara amal shalih diatur dan terkait langsung dengan Syariat. Adapun syariat terbagi menjadi dua, yaitu syariat lahiriah yang diatur dan terkait langsung dengan fiqih, serta menghukumi pada tingkatan karya; kemudian syariat batiniah yang menghukumi pada tingkatan rasa, karsa, dan cipta, serta di kemudian hari dikenal dengan nama Tashawwuf.

Bagan Ad-Dîn

Sebagai syariat batiniah, tashawwuf sudah ada realitas dan hakikatnya sejak awal Islam muncul, sejak zaman Rasulullah saw, namun belum ada namanya. Ali bin Abi Thalib pernah berkata mengenai syariat batiniah ini bahwa “Barangsiapa yang memperbaiki batinnya, maka Allah akan memperbaiki lahirnya. Dan, barangsiapa yang berbuat demi kemaslahatan agamanya, maka Allah akan mempermudah baginya urusan dunianya. Dan, barangsiapa yang menjaga hubungan dirinya dengan Allah, maka Allah akan memudahkan urusannya dengan orang lain.” Jika syariat lahiriah atau fiqih berfungsi untuk menjaga serta dipakai dalam keadaan terjaga, maka syariat batiniah berfungsi untuk menjaga serta dipakai terus menerus, baik dalam keadaan terjaga maupun tidak. Al-Ghazali, ketika membahas ihwal keajaiban-keajaiaban hati menyatakan “… [D]ari memperhatikan ibadah-ibadah dan adat kebiasaan yang berlaku pada anggota badan—dan itu adalah Ilmu Zahir—dan kita menjanjikan akan menguraikan pada bahagian kedua; sifat-sifat yang membinasakan (al-muhlikat) dan yang melepaskan (al-munjiyat) yang berlaku pada hatidan itu adalah Ilmu Batin […]”14 Ilmu Zahir yang Al-Ghazali maksudkan di situ adalah fiqih, adapun Ilmu Batin itu adalah tashawwuf.  Terkait hal ini, Malik bin Anas menegaskan bahwa “Barangsiapa mengamalkan tashawwuf tanpa fiqih, maka dia telah zindiq, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tashawwuf, maka dia tersesat, dan siapa yang mempelajari tashawwuf dengan disertai fiqih, maka dia meraih kebenaran.” Senada dengan ini, Hakim Al-Tirmidzi menyatakan bahwa “Barangsiapa yang lebih condong pada ilmu-ilmu lahir dari syariat, tapi cenderung lalai pada ilmu-ilmu batin dari tashawwuf, maka ilmunya bisa membuatnya hanya menjadi orang yang munafik. Barangsiapa yang lebih condong pada ilmu-ilmu batin dari tashawwuf, tapi cenderung lalai pada ilmu-ilmu lahir dari syariat, maka ilmunya bisa membuatnya hanya menjadi orang yang zindiq. Ilmunya tentang hal-hal yang batin sebenarnya bukanlah ilmu hakikat, tetapi tidak lain hanyalah bisikan-bisikan syaithan kepadanya.”15

Oleh karena itu, dalam kehidupannya manusia dituntut menjaga keseimbangan dan berjalan dalam segitiga sama sisi yang terdiri dari Al-Iman, Al-Islam, dan Al-Ihsan. Apabila salah satu sisinya mengembang, maka sisi-sisi yang lainnya harus ikut mengembang, agar segitiga tersebut senantiasa sama sisi. Setiap perkembangan tingkat keimanan akan menuntut perkembangan tingkat keislaman dan keihsanan yang setara pula, sehingga wawasan dan cara pandang pun meluas, serta semakin mampu menangkap berbagai persoalan dengan tingkat kompleksitas yang lebih tinggi. Maka, dalam menyikapi setiap kejadian atau berita pun harus dilihat sejauh mana semua itu mewartakan mengenai Allah, serta bagaimana kesemua itu dapat mentransformasi jiwa dengan menggunakan kacamata al-iman, al-islam, dan al-ihsan secara terus menerus. Ketiga pokok Ad-Dîn tersebut merupakan kesatuan utuh yang tidak boleh dipecah atau dipisah-pisahkan sebagaimana dinyatakan dalam QS ar-Rûm [30]: 30-32.16

Ket. gambar: Segitiga sama sisi iman-islam-ihsan

Ma’rifatunnafs-Ma’rifatullah

Dalam hadis qudsi dinyatakan bahwa Allah menciptakan Adam atas citra Ar-Rahman. Mudahnya, jika manusia memiliki mata itu melambangkan Allah Maha Melihat; jika manusia memiliki telinga itu melambangkan bahwa Allah Maha Mendengar; jika manusia memiliki lisan itu melambangkan Allah Maha Berkata-kata, dan demikian seterusnya. Namun, Ar-Rahman adalah asma Allah yang merupakan aspek dzahir Dia Ta’ala dan sama sekali bukan aspek batin-Nya yang tak tersentuh, bahkan oleh angan dan pikiran. Hal tersebut tergambarkan dalam dua hadis ihwal melihat Allah seperti melihat bulan.17

Sebelum menuliskan penjelasan dari Zamzam, perlu kiranya dijelaskan ihwal penafsiran Al-Qur‘an maupun hadis. Dalam QS al-Waqi‘ah [56]: 7918 ditegaskan bahwa yang bisa menyentuh Al-Qur‘an adalah al-muthahhârûn. “Menyentuh” di sini tentu bukanlah secara lahirah, sebab siapa pun bisa menyentuh Al-Qur‘an sebagai kitab tercetak, akan tetapi menyentuh aspek makna batinnya. Satu hal penting yang justru sering diabaikan adalah proses pewahyuan Al-Qur‘an itu sendiri yang berlangsung dengan susah payah, sehingga bisa membuat Rasulullah saw bercucuran keringat, meskipun saat itu suhu udara sedang dingin, atau bahkan unta yang tengah beliau saw tunggangi amblas kakinya ke dalam tanah hingga nyaris patah. Al-Qur‘an itu diwahyukan oleh Allah kepada qalb20 Muhammad dengan perantaraan yang sangat kuat,19 yaitu Ruh Al-Amin atau Jibril. Pewahyuan tersebut tak bisa dilakukan langsung tanpa perantaraan (seperti hadis qudsi, misalnya), sebab tak ada yang sanggup menjadi media penyampai ayat-ayat Al-Qur‘an tersebut, bahkan gunung pun akan hancur luluh lantak karenanya.21 

Ilustrasi mudahnya, jika seseorang hendak mengirimkan pesan kepada Anda, itu bisa dilakukan dengan memanfaatkan udara untuk menyampaikan bebunyian dari pita suara saya kepada telinga Anda, atau melalui gelombang yang merambat di udara, atau melalui kabel serat optik hingga sampai ke perangkat elektronik Anda, atau bahkan melalui sinyal dari bumi ke satelit yang tengah berputar di Saturnus dan Pluto. Namun, jika ayat Al-Qur‘an itu Allah wahyukan langsung ke qalb Muhammad dengan menjadikan alam semesta sebagai perantaranya, maka akan luluh lantak karena tak sanggup memediasikannya. Itulah salah satu maksud lain dari gunung yang hancur luluh lantak. Oleh karena itu, perlu dibawa oleh sesuatu yang sangat kuat untuk membawanya dan memindahkan dari qalb Jibril langsung ke qalb Muhammad saw (yang digambarkan dengan peristiwa bagaimana Jibril memeluk Rasulullah saw saat pewahyuan ayat-ayat pertama Al-Qur‘an). Itu pula kenapa saat mendapat wahyu Al-Qur‘an, Rasulullah saw kepayahan menerimanya, sebab sesuatu yang tak sanggup diperantarai oleh alam semesta sedang dimasukkan ke dalam qalb beliau saw.

Adapun ayat Al-Qur‘an sebagai kata-kata itu jauh lebih mudah, sehingga bahkan penulis pun bisa mengajarkan anak-anaknya menghapal surat-surat dalam Al-Qur‘an tanpa perlu meminta bantuan Jibril sama sekali. Selain itu, tak pernah terdengar kabar bahwa seorang santri yang tengah belajar ilmu alat atau pengkaji hermeneutika mengalami bagaimana keringat bercucuran meskipun tengah musim salju, atau meja belajarnya amblas ke dalam lantai semen lalu patah karena tengah belajar berbagai tools intelektual tersebut. Adalah meleset jika menyamakan proses belajar berbagai tools intelektual yang kemudian dipakai untuk menafsir Al-Qur‘an dengan proses pewahyuan yang Rasulullah saw alami. Meleset juga jika menyamakan berbagai proses kognisi intelektual di otak (yang merupakan bagian dari tubuh) dengan proses menyentuh Al-Qur‘an oleh jiwa yang telah kembali menjadi sesuci saat dilahirkan (al-muthahârûn) sebagaimana tertuang dalam Al-Qur‘an. Yang pertama merupakan proses aktif nalar di otak menafsir dan tak mungkin tanpa prapemahaman dari sang penafsir itu sendiri; adapun yang kedua adalah proses ‘aql dari jiwa mengalami keterbukaan dan menerima makna batin Al-Qur‘an yang dipahami dengan memanfaatkan apa yang ada dalam diri sang al-muthahhârûn untuk memudahkan.

Atau istilah lainnya, yang pertama menafsirkan Al-Qur‘an dengan memanfaatkan imajinasi, yaitu proses kreasi aktif membuat sesuatu yang baru dengan memanfaatkan endapan pengetahuan dan rekaman pengalaman inderawi sang penafsir. Misalnya, bagaimana sosok monster dalam film Alien itu diramu dengan mengambil buntut ala kalajengking, lidah ala bunglon, dan bahkan bentuk awal yang menempel di wajah manusia sebagai inang pun diimajinasikan dari bentuk phronima, parasit yang ada di lautan terbuka, begitu juga telurnya yang diimajinasikan dari kepompong, dan bahkan darah asam alien itu pun diimajinasikan dari bisa kobra yang berbahaya. Ini menandaskan bahwa manusia tak bisa mencipta sesuatu dari ketiadaan (creatio ex nihilo), pastilah dia mengambil dari prapemahaman yang sudah dimilikinya. Adapun imajinal adalah proses bagaimana sesuatu dari mundus imaginalis (dunia imajinal atau alam malakut) hadir dan dipahami oleh sang al-muthahhârûn dengan memanfaatkan energi minimal berupa berbagai hal yang sudah dikenali dari endapan pengetahuan maupun rekaman pengalaman inderawinya.

Ilustrasi imajinal ini bisa dikonkretkan pada pengalaman Ellie Arroway (diperankan Jodie Foster dalam film Contact) yang menempuh perjalanan lintas galaksi dengan kecepatan di atas cahaya. Dia melayang-layang dalam kapsul yang telah berubah menjadi transparan, sehingga ketika Arroway menyorotkan senter di tangannya ke bagian bawah kapsul tersebut, tampaklah olehnya pemandangan ruang angkasa yang sangat indah. Arroway sangat terpukau dan berkata, “Ada peristiwa terbentuknya bintang. Tak ada kata-kata. Tak ada kata-kata untuk menggambarkannya. Puisi! Harusnya mereka mengirim seorang pujangga. Ini indah sekali. Indah! Indah sekali! Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu.” Dia melihat bahwa pemandangan ruang angkasa di sekelilingnya tampil dalam layar tak tampak yang berbentuk kapsul, yang sebenarnya merupakan pantulan dari pikirannya sendiri. Dia mencoba menyentuh layar tersebut dan pemandangan yang disentuhnya menjadi beriak seperti permukaan air yang disentuh oleh sesuatu. Dari kondisi melayang-layang di dalam kapsul, tiba-tiba tanpa disadarinya Arroway mendapati dirinya meringkuk sambil memejamkan mata di sebuah pantai. Arroway pun melihat ke sekelilingnya. Tiba-tiba, dari kejauhan, tampak sesosok bayangan yang tidak jelas sedang berjalan mendekat. Semakin lama semakin jelaslah sosok bayangan tersebut, membentuk sosok yang sudah lama dirindukannya, sosok yang kemudian menyapa Arroway, “Hai, Sparks.” Arroway tercekat mendengar nama panggilan kecilnya tersebut dan ia pun berkata, “Ayah?” Dan dijawab “Ayah rindu padamu.” Arroway langsung memeluk sosok ayahnya tersebut, sembari berkata, “Bukankah ayah sudah ….” Arroway tak melanjutkan kalimatnya. “Maaf, Ayah tak bisa menemanimu, Sayang,” jawab ayahnya. Tiba-tiba Arroway mulai merasa ragu dan berkata, “Engkau tidak nyata. Semua ini tidak nyata!” “Kau memang saintis,” ujar sosok tersebut. “Waktu aku tak sadar, kau mengambil pikiranku, bahkan kenanganku. Pantai Pensacola!” Sosok tersebut menghela napas dan berkata, “Kami pikir ini akan mempermudah dirimu.” 

Demikian pula Allah tatkala ‘menyapa’ para hamba-Nya melalui berbagai bentuk yang mereka kenali. Dalam buku Petualangan Setelah Kematian, Najif Qucani menuliskan ‘pengalaman’ melihat kehidupan sesudah mati yang sangat kental dengan berbagai unsur Syi‘ah, tapi jika seorang Sunni yang mengalaminya tentu tak akan sama seperti yang dialami oleh Qucani. Di sini penulis tak berminat membahas ihwal Sunni dan Syi‘ah serta tetap fokus pada imajinal sebagai sesuatu yang disampaikan, lalu diterima dengan memanfaatkan endapan pengetahuan maupun rekaman pengalaman inderawi seseorang. Misalnya, saat riyadhah seorang salik di abad ke-21 mendapati dirinya berada dalam kereta api yang berjalan cepat. Ketika di-tahqiq kepada mursyidnya dikatakan bahwa suluk sang murid sedang bagus, tidak jalan di tempat, dan itu direpresentasikan dengan ru‘ya (penglihatan) tersebut. Namun, bagi seorang salik yang hidup 1000 tahun lalu, ‘sapaan’ dari Allah itu bisa saja berupa dia tengah menaiki kuda yang berlari kencang, sebab di masa itu kudalah wahana transportasi tercepat yang ada.

Selain itu sebagaimana dijelaskan Zamzam tentang Nabi Ibrahim yang menunjuk bulan lalu bintang lalu matahari sebagai ‘Tuhan’, bahwa kebenaran pun bertingkat-tingkat. Di tingkat tertentu, kebenaran yang kita pegang itu tak ubahnya bintang di langit. Namun, saat bulan purnama hadir, bintang-bintang pun ‘hilang’, sebab tenggelam oleh cahaya bulan yang jauh lebih terang. Akan tetapi, di tingkat kebenaran berikutnya, bulan sebagai ‘kebenaran’ itu pun hilang tenggelam bersamaan dengan kehadiran matahari. Demikian pula bagi para salik yang sedang berjalan menuju Allah, semakin jauh dan tinggi perjalanannya maka semakin kompleks dan hakiki kebenaran yang diperkenalkan kepadanya. Sesuatu yang di tingkatan awal perjalanan masih dimaklumi, bahkan dipakai sebagai media pengajaran. Di tahapan lebih lanjut akan dipilah dan diperjelas pembedanya.

Begitu juga halnya dengan pengajaran Allah kepada hamba-Nya yang bertaqwa (al-muttaqîn)22 itu adalah dalam bentuk pemahaman yang diilhamkan. Bagaimana ilham tersebut dibahasakan dan disampaikan akan bergantung pada kecerdasan jasadiahnya. Karenanya pandangan bahwa tashawwuf tak bisa diwacanakan sebenarnya tidak tepat, sebab ada orang-orang yang memang Allah mudahkan untuk mewacanakannya secara lisan maupun tulisan. Salah satu contohnya bisa terlihat pada Zamzam yang secara formal berstatus sebagai dosen bidang sains yang memiliki penguasaan matematika, fisika, dan sains bumi dan cuaca. Dalam penjelasannya ihwal pohon taqwa—yang dalam Al-Qur‘an disebut sebagai kalimah thayyibah—ia menggunakan metafora berupa proses fotosintesis sebuah pohon sebagaimana diuraikan dalam biologi. Atau, ia menjelaskan ihwal hadis “Masing-masing bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya” dengan menggunakan metafora prinsip aksi terkecil dalam fisika. Atau, ia menjelaskan tentang apa itu hikmah sebagai hukum yang menunjukkan keberpolaan dengan memakai metafora dari tingkat atomik berupa rotasi elektron mengelilingi proton dan netron, hingga rotasi planet mengitari matahari. Atau, ia menjelaskan QS al-Baqarah [2]: 189 tentang “larangan memasuki rumah dari pintu belakang”, yaitu larangan memasuki hakikat (itulah bagian belakang rumah) dengan mengandalkan upaya rasional sebab mengambil jalan pintas, tapi harus melalui syariat (itulah bagian depan rumah) dengan memakai metafora berupa bilangan rasional dalam matematika (sebab Zamzam tak mempelajari filsafat). Atau, ia menjelaskan ihwal ayat “angin sebagai kabar gembira (busra)” dengan memakai metafora fenomena dead calm atau mati angin yang ditakuti para pelaut di masa lalu, sehingga membuat mereka mati kelaparan kehabisan perbekalan karena terkatung-katung di laut.

Ini bukanlah sebentuk Islamisasi pengetahuan sebagaimana yang banyak dilakukan kalangan muslim era modern dengan cara menghubungkan suatu teori sains kepada ayat Al-Qur‘an untuk membuktikan kebenaran kitab suci tersebut. Upaya macam ini memiliki resiko falsifikasi, dalam pengertian bahwa teori sains bukanlah suatu kebenaran abadi yang tak akan terbukti salah. Mengaitkan suatu teori sains langsung dengan Al-Qur‘an, akan bermasalah tatkala teori sains yang diandalkan itu terbukti salah, sehingga berakibat bahwa ternyata ayat Al-Qur‘an juga salah. Itu berarti bahwa Penciptanya pun salah serta tak tahu apa pun ihwal alam semesta yang diciptakan-Nya. Yang Zamzam lakukan adalah memakai sains yang ia pelajari dan pahami sebagai metafora untuk menjelaskan hikmah dari ayat-ayat Al-Qur‘an.

Nah, bentuk ilham pengajaran dari Allah itu pun bisa dilihat pada Mulla Shadra yang dipandang sebagian orang sebagai puncak dari tradisi intelektual Islam sebab melakukan sintesis antara tashawwuf, ilmu kalam, fiqih, dan filsafat. Apakah demikian? Berdasarkan penjelasan di atas, pembahasaan ilham pengajaran Allah oleh Mulla Shadra itu dengan memanfaatkan endapan pengetahuan dan rekaman pengalaman inderawi yang dimilikinya, dan itu bukan berarti menunjukkan bahwa dia jauh di atas Ibn ‘Arabi (seorang Rabbani dan Khattaman Walayyah Muhammadiyyah). Hal ini sama seperti Zamzam menjelaskan hikmah Al-Qur‘an dengan memakai metafora sains modern. Atau, jika di masa ini hadir seorang salik thariqah yang juga pembelajar filsafat Barat dan seniman, lalu dia mendapat ilham pengajaran dari Allah karena ketaqwaannya, maka khazanah tersebut akan dibahasakannya melalui filsafat Barat dan seni. Nah, agar lebih mudah mengimajinasikannya, bayangkan ada sekian banyak gelas kaca transparan yang masing-masing berbeda warna. Lalu, gelas itu diisi dengan air bening. Maka, dari luar, akan terlihat seolah air bening itu jadi memiliki warna yang sama dengan gelas kaca transparan tersebut. Namun, saat diteguk, ternyata isi semua gelas tersebut tetaplah air bening yang segar.

Dengan demikian, seorang al-muttaqîn yang belajar suatu bidang sampai mendasar, hingga paham tataran filosofisnya, akan bisa membahasakan lebih baik khazanah Islam, khususnya Al-Qur‘an. Resiko dari belajar yang serba tanggung dan hanya di permukaan digambarkan dalam pepatah “berburu ke padang datar dapat rusa belang kaki; berguru kepalang ajar bagai bunga kembang tak jadi.” Akibat tak tuntas dalam belajar itu, lazimnya muncul arogansi merasa sudah menguasai banyak hal dengan sel-sel kelabunya, lalu merendahkan yang lain. Terkait hal ini, ‘Umar bin Khaththab pernah berkata “Aku akan meletakkan telapak kakiku di atas kepala orang-orang yang menyombongkan diri, dan aku akan meletakkan kepalaku di bawah telapak kaki orang-orang yang rendah hati.”

Demikianlah, maka Zamzam pun menjelaskan hadis ihwal melihat Allah seperti melihat bulan itu sebagai berikut: Bulan memiliki sisi terang yang senantiasa menghadap ke bumi. Selain berputar mengelilingi bumi, bulan memiliki sumbu putar pada dirinya sendiri, tetapi perputaran tersebut terjadi sedemikian rupa, sehingga yang menghadap ke bumi selalu ‘hanyalah’ sisi bulan yang sama. Inilah yang mengakibatkan seakan-akan bulan senantiasa memiliki sisi gelap yang tak pernah menghadap ke bumi, dan diistilahkan sebagai synchronous rotation atau tidal locking dalam ilmu Astronomi.

Ket. gambar: Synchronous rotation atau tidal locking dalam ilmu Astronomi sebagai metafora dari aspek Dzahir Allah (yaitu Asma, Shifât, dan Af‘al yang dapat dilihat dan dikenal oleh hamba-Nya) dan aspek Bathin-Nya (yaitu Dzat-Nya yang sama sekali tak tergapai, tak terbayangkan, tak bisa dilihat dan dikenali oleh siapa pun).

Itulah yang Rasulullah saw maksudkan dengan “melihat Rabbmu sebagaimana kamu melihat bulan.” Sisi bulan yang terang dan senantiasa menghadap ke bumi itu melambangkan sisi dzahir Dia Ta‘ala, yaitu asma-Nya, af‘al-Nya, shifât-Nya. Itulah jabatan dan peran-Nya di alam semesta ini yang dapat dikenali oleh makhluk-Nya. Sedangkan, sisi bulan yang gelap, yang tak pernah menghadapkan wajahnya ke bumi itu melambangkan sisi bathin Dia Ta‘ala. Itulah Dzât-Nya. Mudahnya itu adalah sesuatu yang tak mungkin dikenali ataupun dipikirkan oleh makhluk, sesuatu yang gelap tak tersentuh, sebagaimana dinyatakan dalam hadis “Janganlah mentafakuri DzâtNya, tapi tafakurilah Asma-Nya dan nikmat-Nya.” (hadis hasan, silsilah al-ahadits ash-shahihah)

Perbedaan antara aspek dzahir dan bathin ini dapat pula diamati dalam penggunaan kata ganti orang pertama, kedua, dan ketiga yang dinisbatkan kepada Allah di dalam ayat-ayat Al-Qur‘an. Seumpamanya ada dua orang, dan hanya ada dua orang, sedang berbicara sambil berhadap-hadapan, maka dalam percakapan biasanya digunakan kata ganti diri “Aku” dan “Engkau”. Kata ganti “Aku” dan “Engkau” yang dipergunakan dalam percakapan itu bisa merujuk kepada masing-masing dari kedua orang yang hadir dan tampak, dzahir, serta ‘teraba’. Itulah yang menunjuk kepada sisi dzahir Allah, wajah bulan yang senantiasa menghadap ke bumi. Di sinilah Dia berperan sebagai Ilah, Malik, atau Rabb, dan sebagainya. Namun, ketika muncul kata “Dia”, maka kata ganti tersebut tidaklah merujuk kepada salah satu dari kedua orang tersebut, tetapi merujuk kepada “Orang Ketiga” yang dibicarakan namun tidak tampak, tidak ‘teraba’. Itulah yang menunjuk kepada sisi bathin dari Dia Ta‘ala, wajah bulan yang senantiasa membelakangi bumi. Itulah Dzat Dia Ta’ala yang tidak mungkin manusia kenali dan lihat (Uluhiyyah).

Dalam kaitannya dengan proses penciptaan apa pun di alam semesta ini, kesemua itu menjiplak Asma Allah semampu yang bisa dijiplaknya. Tak ada sesuatu pun di alam semesta ini yang tidak menjiplak dan mencerminkan Asma Allah SWT, sebagaimana tidak ada satu pun karya manusia yang terlahirkan tanpa memiliki atau merujuk kepada sesuatu yang pernah dilihat atau dialaminya sebagaimana telah dijelaskan di atas. Namun, dari semua yang tercipta di alam semesta ini, adalah manusia yang mampu untuk menjiplak kesemua Asmaul Husna. Dalam salah satu bait puisinya, Rumi berkata: “Awalnya engkau tumbuh dari Sifat-sifat Tuhan: kembalilah kepada Sifat-sifat-Nya!” Namun, pada kenyataannya, tidak semua manusia dapat menguraikan kembali dan mengejawantahkan Asma’ul Husna, yang diajari dengan Al-Qalâm. Itulah salah satu penjelasan ihwal manusia sebagai mikrokosmos dan alam semesta sebagai makrokosmos. Pandangan—dan juga pengalaman langsung—bahwa nafs manusia merupakan mikrokosmos dan pengatur alam semesta sangat banyak diungkap oleh khazanah tashawwuf dalam Islam, salah satunya sebagaimana dinyatakan oleh Rumi:

Dari jiwa-jiwa suci seterang bintang, penyempurnaan selalu diberikan kepada bintang-bintang di langit.

Dari luar tampaknya kita diatur oleh bintang-bintang itu, padahal batin kitalah yang menjadi pengatur langit.

Oleh karena itu, sementara dari wujud engkau adalah mikrokosmos, pada hakikatnya engkau makrokosmos.

Tampaknya ranting itu sumber buah; padahal ranting itu tumbuh demi buah.

Jikalau bukan karena mengharap buah, mengapa tukang kebun menanam pohon?

Maka, pada dasarnya pohon itu lahir dari buah, meski tampaknya ia dihasilkan oleh pohon.

Kaitan antara Asma-asma Allah dengan alam semesta dapat diumpamakan seperti kaitan antara rumus fisika dan asosiasinya. Melihat rumus itu tak ubahnya melihat hakikat, ketika rumus-rumus lenyap maka yang tampil adalah alam semesta. Sebagaimana telah umum diketahui bahwa ayat-ayat Allah itu terbagi menjadi dua, yaitu ayat Kauniyyah dan ayat Quraniyyah, dan Asma-asma Allah (rumus-rumus Ilahiyyah) yang merupakan wasilah untuk menuju dan membuka tabir tentang Wajah-Nya. Yang dimaksud dengan mengenal Asma-Nya di sini bukanlah sekadar mengenal tanda-tandanya, rumusnya, tetapi melihat apa yang ada di balik tanda-tanda itu, yaitu alam semesta. Namun, kebanyakan manusia ternyata terjebak atau terhijab pada rumus-rumusnya saja. Pendek kata, asma-asma tersebut merupakan berbagai kemungkinan dari sifat Ilahi yang terkandung atau tersimpan di dalam alam semesta, sedangkan alam semesta merupakan tajali Ilahiyyah atau rumus-rumus yang menggambarkan tentang kanzun makhfiy. Itulah titik di bawah huruf Ba, alam semesta, “ayat-ayat di segenap ufuk” yang seharusnya dapat manusia uraikan dan manifestasikan.

Maka, kembali lagi kepada permasalahan ma’rifat, bahwasanya “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” merupakan hukumnya. Ma’rifatunnafs merupakan aspek tertinggi dan kesempurnaan dari Al-Insan, sedangkan Rubbubiyyah merupakan martabat terendah dari aspek dzahir Dia Ta’ala yang dapat dikenal oleh Al-Insan. Dengan ma’rifatunnafs-lah, maka Al-Insan dapat menjadi saksi Allah yang benar (syuhada), mengerti, dan menjalankan tujuan penciptaan dirinya. Atau, secara singkatnya adalah menemukan misi hidupnya dan menjadi khalifah.

Nah, dengan meninjau kembali pembahasan etimologi tiga kata di atas, bisa terlihat bahwa konsep ad-dîn dalam Islam bukanlah tradisi yang diteruskan turun temurun (‘warisan dari ayahmu’, tulis Rumi) dan juga tak sebatas hukum tertulis yang mengikat sekelompok manusia dalam institusionalisasi ajaran di dalam kitab suci. Zamzam mendefinisikan ad-dîn sebagai “state yang tetap terjaga (conserve) dalam perjalanan waktu,” yaitu tak ubahnya orbit suatu benda langit yang tetap di jalurnya. Sekali lagi, ini merujuk pada keadaan ketika seseorang telah mengenali untuk apa dicipta, lalu menunaikan tujuan penciptaan tersebut, atau disebut juga telah menemukan misi hidup.23 Dalam pengertian inilah ad-dîn menunjuk langsung pada identitas sejati seseorang yang berbeda satu sama lain, unik, suatu kesejatian diri yang menjadi landasannya dalam beramal di bidang tertentu, dan bukan sebatas institusionalisasi ajaran ataupun identitas massal yang bisa dilekatkan kepada seseorang atau kelompok, serta sering menjadi sumber konflik. Konsepsi ini sebenarnya ditemukan juga dalam kitab suci berbagai agama,24 namun seringkali luput. Bahkan, fenomenologi agama yang mencoba mencari makna substantif dari agama serta tujuan hakiki agama bagi para pengikutnya hanya sampai pada kesimpulan agama sebagai keselamatan, yang sebenarnya bersifat common sense dan bahkan tak memerlukan penjelajahan teoretik berputar-putar jika hanya sampai pada kesimpulan yang sama dengan kebanyakan orang pada umumnya tersebut.25

Terakhir, di penghujung film Spiderman, seorang pengajar di kelas Peter Parker mengatakan bahwa gurunya dulu pernah mengatakan seluruh kisah di muka bumi ini bisa dikelompokkan menjadi 10 plot berbeda satu sama lain. Namun, menurut sang pengajar, seluruh kisah di muka bumi ini bisa dikembalikan kepada satu plot saja, yaitu “Siapakah aku?” Bukankah ini pertanyaan kebanyakan manusia? Untuk apa aku dicipta dan mengapa aku ditempatkan di pojok semesta bernama bumi ini? Di awal tulisan ini dilontarkan pertanyaan “masih perlukah āgama (maupun religion)?”; kini, setelah menyimak pemaparan dalam tulisan ini, maka jawaban yang penulis tawarkan adalah: “bagi muslim yang ingin tahu alasan keberadaannya di muka bumi ini, maka ad-dîn itu sangat diperlukan.”

FOOTNOTE

  1. Bertrand Russel, “Why I am not a Christian,” dalam Why I am not a Christian and Other Essays on Religion and Related Subjects, London: Routledge, 2004, hlm. 15
  2. Monier Williams, Sanskrit-English Dictionary (2008 revision), dalam http://www.sanskrit-lexicon.uni-koeln.de/monier/, diakses Senin, 22 Oktober 2018, pkl. 06.07 WIB.
  3. Sarah F. Hoyt, “The Etymology of Religion”, Journal of the American Oriental Society, Vol. 32, No. 2 (1912), hlm. 126.
  4. Ibid., hlm. 127.
  5. Ibid., hlm. 128.
  6. Jalaluddin Rumi, “Kisah Elang Sang Raja,” dari Matsnavi II: 323 – 375, diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Reynold A. Nicholson, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Herman Soetomo, dimuat dalam blog pribadinya, https://ngrumi.blogspot.com/2011/07/kisah-elang-sang-raja.html, diakses Senin, 22 Oktober 2018, pkl. 09.49 WIB.
  7. Hoyt (1912), hlm. 127.
  8. Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, bab Kitab Uraian Keajaiban Hati (Singapore: Pustaka Nasional Pte. Ltd.), 1998, hlm. 896.
  9. Al-Ghazali, Ihya…, hlm. 897.
  10. “Dan di antara manusia ada yang mengorbankan nafs (jiwa)-nya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya.” (QS Al-Baqarah [2]: 207)
  11. “Sesungguhnya Allah telah membeli dari al-mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur‘an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS At-Taubah [9]: 111)
  12. “…‘Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab: ‘Kami datang dengan suka hati.’” (QS Fushshilat [41]: 11)
  13. “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di petala langit dan apa yang di bumi. Dan, jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam anfus-mu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka, Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS al-Baqarah [2]: 284)
  14. Al-Ghazali, Ihya…, hlm. 897.
  15. Dalam suatu kesempatan, setelah shalat berjama‘ah yang diimaminya, Ibn ‘Athaillah terlibat pembicaraan dengan Ibn Taymiyah tentang berbagai perkara ihwal kesalahpahaman mengenai tashawwuf serta berbagai perdebatan panas tentang iman yang seringkali tidak berfaedah yang malah semakin mengabaikan pentingnya tashawwuf sebagai syariat batiniah, maka Ibn ‘Athaillah pun menjelaskan sebagai berikut: “Ia (Ibn ‘Arabi) telah menempuh jalan tashawwuf di bawah payung Al-Qur‘an dan Sunnah, sama seperti Hujjatul Islam Al-Ghazali, yang mengusung perdebatan ihwal perbedaan mendasar mengenai iman dan isu-isu ibadah, namun menilai usaha ini kurang menguntungkan dan berfaedah. Ia mengajak orang untuk memahami bahwa mencintai Allah adalah cara yang patut ditempuh seorang hamba Allah berdasarkan keyakinan. Apakah Anda setuju wahai faqih? Atau Anda lebih suka melihat perselisihan di antara para ulama? Imam Malik telah mengingatkan mengenai perselisihan semacam ini dan memberikan nasihat: “Setiap kali seseorang berdebat mengenai iman, maka kepercayaannya akan berkurang.” Sejalan dengan ucapan itu, Al-Ghazali berpendapat: “Cara tercepat untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui hati, bukan jasad. Bukan berarti hati dalam bentuk fisik yang dapat melihat, mendengar atau merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan menyimpan dalam benak, rahasia terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak dapat dilihat atau diraba.” Sesungguhnya, ahli sunnah-lah yang menobatkan syaikh sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai Hujjatul Islam, dan tak seorang pun yang menyangkal pandangannya, bahkan seorang cendekia secara berlebihan berpendapat bahwa Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al-Qur‘an. Dalam pandangan Ibn ‘Arabi dan Ibn Al-Farid, taklif atau kepatuhan beragama laksana ibadah yang mihrab atau sajadahnya menandai aspek batin, bukan semata-mata ritual lahiriah saja. Karena, apalah arti duduk berdirinya Anda dalam shalat sementara hati Anda dikuasai oleh selain Allah. Allah memuji hamba-Nya dalam Al-Qur‘an: “(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya”; dan Ia mengutuk dalam firman-Nya: “(Yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya”. Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn ‘Arabi saat mengatakan: “Ibadah bagaikan mihrab bagi hati, yakni aspek bathin, bukan lahirnya.” Seorang muslim takkan bisa mencapai keyakinan mengenai isi Al-Qur‘an, baik dengan ilmu atau pembuktian itu sendiri, hingga ia membersihkan hatinya dari segala yang dapat mengalihkan dan berusaha untuk khusyuk. Dengan demikian, Allah akan mencurahkan ilmu ke dalam hatinya, dan dari sana akan muncul semangatnya. Sufi sejati tak mencukupi dirinya dengan meminta sedekah. Seseorang yang tulus adalah ia yang menyuburkan diri di hadapan Allah dengan mematuhi-Nya. Barangkali yang menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibn ‘Arabi adalah kritik beliau terhadap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar masalah iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (actual), dan kasus-kasus yang baru dihipotesiskan (dibayangkan padahal belum terjadi). Ibn ‘Arabi mengkritik demikian karena ia melihat betapa sering hal tersebut dapat mengalihkan mereka dari kejernihan hati. Ia menjuluki mereka sebagai “ahli fiqih basa-basi prempuan.” Semoga Allah mengeluarkanmu, karena telah menjadi salah satu dari mereka! Pernahkan Anda membaca pernyataan Ibn ‘Arabi bahwa: ‘Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena, ia akan selalu dipengaruhi oleh sanggahan-sanggahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis, melainkan tercurah dari lubuk hati.’ Adakah pernyataan yang seindah ini?” (Dikutip dari Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani, “On Tasawuf Ibn Atha’illah Al-Sakandari: The Debate with Ibn Taymiyah”, dalam buku Islamic Beliefs and Doctrine According to Ahl as-Sunna: A Repudiation of “Salafi” Innovations, Kazi: ASFA, 1996, hlm. 367-379.)
  16. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan hanîf kepada Dîn; fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, Dîn yang kokoh, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui; dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertaqwalah kepada-Nya, serta dirikanlah shalat, dan janganlah kamu termasuk Al-Musyrikîn, dari orang-orang yang memecah belah Ad-Dîn mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS ar-Rûm [30]: 30-32)
  17. Hadits pertama: Kami menengok bersama-sama dengan Nabi saw dan beliau menengok ke bulan—yakni bulan empat belas. Maka, beliau saw bersabda “Sesungguhnya, kamu semua akan melihat Rabb-mu sebagaimana kamu melihat bulan ini. Kamu tidak akan berdesak-desak melihat-Nya, jika kamu sanggup tidak pernah kalah mengerjakan shalat Shubuh sebelum matahari terbit, dan shalat ‘Ashar sebelum matahari terbenam. Maka, hendaklah kamu laksanakan. Kemudian beliau saw membaca ayat “… dan bertasbihlah sambil memuji Rabb-mu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam-(nya)” (QS Qaaf [50]: 39). (HR Bukhari). Hadits kedua: Orang-orang berkata: “Ya, Rasulullah, apakah kami dapat melihat Rabb kami di hari qiyamat?” Jawab Nabi saw: “Apakah kamu membantah akan dapat melihat bulan purnama pada malam empat belas yang tidak berawan?” Jawab mereka: “Tidak, ya, Rasulullah.” Nabi saw bertanya: “Apakah kamu membantah tentang dapatnya kamu melihat matahari di tengah hari yang tidak berawan?” Jawab mereka: “Tidak, ya, Rasulullah.” Maka, sabda Nabi saw: “Demikianlah, kalian akan dapat melihat-Nya [fa’innakum taraunahu kadzalik]. Pada hari kiamat itu akan dikumpulkan seluruh manusia. (HR. Bukhari)
  18. “Tidak menyentuhnya kecuali al-muthahhârûn.” (Al-Wâqi‘ah [56]: 79)
  19. “Yang diajarkan kepadanya oleh yang sangat kuat.” (QS An-Najm [53]: 5)
  20. “Dan sesungguhnya Al-Qur‘an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin, ke dalam qalb-mu agar kamu menjadi salah seorang yang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS Asy-Syu‘arâ [26]: 192-195)
  21. Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir. (QS Al-Hasyr [59]: 21)
  22. “Dan bertaqwalah kepada Allah, maka Allah mengajarimu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah [2]: 282)
  23. Berdasarkan percakapan lisan penulis dengan narasumber.
  24. Alfathri Adlin, “Mata Air Agama-agama: Pluralisme Sufi dan Mencari Titik Temu dalam Perbedaan”, dalam situs http://kalaliterasi.com, diunggah dalam dua bagian pada Oktober 2016.
  25. Lihat Mariasusai Dhavamony, Phenomenology of Religion, Gregorian University: Roma, 1973, lihat terutama bahasan di bagian lima.