Dwi Afrianti, Mahasiswa S3 Religious Studies Jurusan Filsafat Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Tulisan ini sekedar melanjutkan pengisahan perjalanan ke Cirebon pada bulan Juni 2019 silam, yang kuberi judul: Geneologi Kesultanan Cirebon; (Napak Tilas Jejak Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga) dari Sunda, Jawa hingga Sumatra. Kali ini aku mau cuap-cuap tentang bagaimana Cirebon disebut sebagai kota Melting-Pot.
Apa yang bisa langsung terbayang oleh kita begitu memasuki sebuah kota yang sangat panas? Pantai. Ya, pantai. Kota itu tentunya memiliki laut. Kebayanglah olehku perjalanan ini bakal main-main air di laut, yang tentunya menjadi kesenangan anak-anak. Tetapi jangan diharap, karena perjalanan menuju pantai yang bisa dijadikan mainan seperti itu, jauh dari kotanya. Sebenarnya mungkin tidak cukup jauh, jika sedari awal memang berniat sehingga sebemar mencari tahu lokasinya, sehingga berangkat sejak pagi. Ya, karena berangkat sudah dzuhur, jadi cukup puas saja akhirnya ke Pelabuhan Cirebon. Apa yang mau dilihat di sini? Ya kapal dan laut lah hehe.
Teringat seorang teman kuliah yang orang Cirebon, dulu suka mempromosikan udang sebagai sumber daya alam bahari Cirebon. Juga terasi. Ingatanku melayang, kali ini pada tulisan pertamaku tentang Cirebon ini, yaitu kesan pada nama Grage, sebuah Mall di Cirebon. Bukan sebutan yang dipersingkat atau slengekan dari Garage Sale, lho, seperti bayanganku waktu itu. Kitab Purwaka Caruban Nagari menjelaskan, bahwa Grage itu kependekan dari Negara Gede, yang memiliki arti kerajaan yang luas. Ternyata, juga memiliki kaitan dengan terasi. Konon, berasal dari singkatan para pedagang terasi yang tak sabar menanti proses pembuatan terasi, sehingga mereka berteriak, “Geura, Age!” Versi lain, berteriak memanggil terasi itu sendiri, “Gerage!” Mall Grage, sebagaimana Cirebon juga pernah dikenal dengan sebutan Grage, merupakan ikon dari kota Cirebon. Pangeran Cakrabuana, ketika pernah menjadi kuwu (kepala desa), sering disebut sebagai Kuwu Grage atau Kuwu Cirebon. Belakangan juga tahu, dinamakan Grage Mall, karena memang letaknya di daerah Grage. Menarik kan, ya, sebuah nama memiliki historisitasnya tersendiri.
Aku lalu mencari tahu kondisi geografis Cirebon dengan langsung saja menuju web resmi Kota Cirebon.[1] Kota ini terletak pada 6°41′S 108°33′E pada Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa, bagian timur Jawa Barat, memanjang dari barat ke timur sepanjang 8 kilometer, Utara ke Selatan sepanjang 11 kilometer dengan ketinggian dari permukaan laut 5 meter (termasuk dataran rendah), sehingga beriklim tropis dengan suhu udara paling rendah rata-rata 22,3 ºC dan paling tinggi rata-rata 33 ºC. Curah hujan setinggi 1,351 milimeter per tahun dengan jumlah sebanyak 86 hari. Angin musim barat bertiup pada bulan Desember sampai bulan Maret. Angin pancaroba bertiup pada bulan April sampai bulan November. Dan angin musim timur bertiup pada bulan Mei sampai Oktober.
Letaknya strategis dan menjadi simpul utama pergerakan transportasi dari Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang juga berada di wilayah pantai.
Kota Cirebon memiliki luas 37,36 km² dengan dominasi penggunaan lahan untuk perumahan (32%) dan tanah pertanian (38%). Wilayah Kotamadya, sebelah utara dibatasi Sungai Kedung Pane, barat dibatasi Sungai Banjir Kanal, Kabupaten Cirebon, dan selatan dibatasi Sungai Kalijaga, sedangkan timur dibatasi Laut Jawa.

Cirebon memiliki tanah berjenis regosol yang dibentuk dari endapan lava dan piroklastik yang terdiri dari lempung, tanah liat, pasir, tupa, dan kerikil tersebar di Cirebon dan memudahkan untuk pengembangan berbagai jenis vegetasi. Meskipun begitu, tanahnya ada yang subur dan tidak subur. Tanah yang tidak subur disebabkan karena luasnya tanah pada pantai di sekitar Cirebon yang semakin luas karena endapan sungai. Sementara itu, intrusi air laut berpengaruh terhadap air tanah yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Air sebagai pelengkap kebutuhan sehari-hari wilayah Cirebon ini bersumber pada PDAM Kota Cirebon yang kemudian didistribusikan kepada masyarakat pada umumnya.
Hmm, sekarang kita coba lihat dulu, yuk, bagaimana terbentuknya Kota Cirebon ini.
Naskah Tjarita Parahiyangan 1968, Kitab Negara Kertabumi dan Carita Parahiyangan menjelaskan, bahwa peta politik wilayah Jawa Barat pada abad ke VI hingga abad VIII, terbagi dua wilayah kekuasaan besar: Kerajaan Sunda Pajajaran, dari batas Sungai Citarum sampai ke barat wilayah Banten yang dipimpin oleh Sri Maharaja Tarusbawa, dan Kerajaan Galuh, dari batas Sungai Citarum ke timur sampai Purbalingga di Jawa Tengah, dipimpin oleh Wretikandayun.
Di dalam Kitab Purwaka Caruban Nagari dilukiskan, bahwa sekitar pelabuhan Muara Jati pantai utara Cirebon wilayah yang jaraknya cukup jauh dari pusat Kerajaan Galuh (669-1482 M), terdapat daerah-daerah yang diberikan hak otonomi oleh Kerajaan Galuh. Penyebutan kata Cirebon disederhanakan dari kata Caruban, merupakan nama pemukiman yang dulunya pada masa pemerintahaan Kerajaan Sunda Pajajaran, terletak di pedalaman. Disebut juga sebagai Cirebon Girang. Di sebelah utara terdapat daerah Surantaka dan Singapura, sedangkan Jayapura di sebelah timur. Di wilayah ini, terdapat pemukiman nelayan, pelabuhan kapal, dan pusat transaksi (Pasar Pasambangan). Kedudukannya dibawah kekuasaan Raja Galuh, yang menjadi pengurus pelabuhan (Muara Jati) adalah Ki Gedeng Alang-Alang.
Sebelum abad ke-14, Pelabuhan Cirebon merupakan sebuah pelabuhan nelayan tradisional, dan mulai berkembang menjadi pelabuhan niaga pada abad ke-14, menjelang berdirinya Kesultanan Islam Cirebon. Pada masa itu, mulai banyak sekali kapal yang berkunjung karena letaknya strategis dan sangat ramai. Pelabuhan Cirebon sendiri dibangun tahun 1865, pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan pada tahun 1890 diperluas dengan pembangunan kolam pelabuhan dan pergudangan.
Dan di pelabuhan ini juga terlihat aktivitas Islam semakin berkembang. Ki Gedeng Alang-Alang memindahkan tempat permukiman ke tempat permukiman baru di Lemahwungkuk, 5 km arah selatan mendekati kaki bukit menuju kerajaan Galuh. Sebagai kepala permukiman baru diangkatlah Ki Gedeng Alang-Alang dengan gelar Kuwu Cerbon.
Pada Perkembangan selanjutnya, Pangeran Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi ditunjuk sebagai Adipati Cirebon dengan Gelar Cakrabumi. Pangeran inilah yang mendirikan Kerajaan Cirebon, diawali dengan tidak mengirimkan upeti kepada Raja Galuh. Oleh karena itu Raja Galuh mengirimkan utusan ke Cirebon Untuk menanyakan upeti rebon terasi ke Adipati Cirebon, namun ternyata Adipati Cirebon berhasil meyakinkan para utusan atas kemerdekaan wilayah cirebon.
Dengan demikian berdirilah daerah otonomi baru di Cirebon dengan Pangeran yang menjabat sebagai adipati dengan gelar Cakrabuana. Berdirinya daerah Cirebon menandai diawalinya Kerajaan Islam Cirebon dengan pelabuhan Muara Jati yang aktivitasnya berkembang sampai kawasan Asia Tenggara.
Tahun 1927, Pelabuhan Cirebon masih berada di dalam struktur organisasi Pelabuhan Semarang, kemudian sejak tahun 1957 berada di bawah Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Seiring dengan perkembangan, sejak tahun 1983 Pelabuhan Cirebon menjadi salah satu Cabang Pelabuhan PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) yang berkantor Pusat di Jakarta.
Pada tahun 1415, armada Cina yang dipimpin oleh Laksamana Te Ho dan Kun Wei Ping berlabuh di Muara Jati (Pelabuhan Cirebon sekarang). Dalam Kitab Caruban Purwaka Nagari (KCPN) dijelaskan armada Cina transit di Muara Jati untuk membeli perbekalan, baik air bersih maupun pangan dalam perjalanannya ke Majapahit.
Para tokoh sepuh Cirebon berhasil membangun kerja sama dengan Te Ho dalam pembuatan mercusuar. Mercusuar tersebut merupakan sarana penting dari sebuah pelabuhan sebagai tanda bagi kapal-kapal yang akan berlabuh di malam hari.
Baru paruh pertama abad 14 kemudian, agama Islam masuk ke tanah Jawa Barat dibawa oleh dua ulama besar, Syekh Quro dan Syekh Nurjati, yang menarik perhatian Walangsungsang dan Rarasantang (Sobana dan Tawaludin, 2011:23). Adanya pelabuhan kapal dan pasar sebagai pusat distribusi hasil bumi ke masyarakat mengandaikan bahwa wilayah ini sudah memiliki satu sistem ekonomi atau tata niaga yang cukup baik. Selain masyarakat nelayan, Cirebon juga memiliki masyarakat petani yang tak kalah pentingnya dalam membangun kemandirian suatu daerah. Menurut cerita, Walangsungsang adalah orang yang mengajarkan bercocok tanam atau menanam tumbuhan sayur-sayuran kepada para pendatang. Salah seorang tokoh perempuan yang gemar bercocok tanam, yang cukup popular dalam tradisi lisan adalah Nyi Mas[1]
Muara Jati adalah suatu pelabuhan penting yang dikepalai oleh Ki Gedeng Tapa, sementara yang menjadi mangkubumi adalah Jumajan Jati. Beberapa jenis pangan yang pernah diangkut ke Majapahit dengan menggunakan perahu hingga penuh adalah garam, terasi, beras tumbuk, dan rempah-rempah (grabadan), termasuk kayu jati. Jenisjenis kebutuhan pokok tersebut diterima sebagai upah proyek pembangunan mercusuar selama tujuh hari tujuh malam yang dikerjakan oleh orang-orang dari Majapahit. Pembangunan itu terletak di pelabuhan Cirebon atas perintah juru labuhan (Atja, 1972). Jenis-jenis hasil bumi yang pernah dipr oduksi pada masa itu terus berlanjut, khususnya di sepanjang abad 17, hingga berhasil memenuhi permintaan pasar nasional, tentunya setelah kebutuhan domestik sudah terpenuhi. Hasil bumi itu diambil dari sejumlah titik perkampungan lalu angkutnya ke Batavia untuk diekspor ke negara lain. Adapun jenis pangan yang dibawa ke luar wilayah adalah: beras, kacang, daging rusa, ayam, bawang, sayur, pisang kering, lada, gula hitam, gula puth, asam, kelapa tua, garam, sapi, telur asin, tebu, manggis, duren, ikan asin, daging kerbau, dll. (Dasuki, dkk., 1976:177-192)
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji