
Alfathri Adlin
Skizofrenia kultural dalam penjelasan Seyyed Hossein Nasr adalah “Kompartementalisasi pengetahuan, yang merupakan salah satu ciri dari panorama mental dan intelektual dunia modern. Bukan hanya tercermin dalam pendidikan modern, tetapi juga disebabkan olehnya.” Bagaimana mengatasi skizofrenia kultural yang banyak diidap kalangan muslim terpelajar? Dan apakah idealnya adalah “mengasah hati dan mengasah nalar supaya sama cerdasnya”?
Well, salah satu dampak Renaisans di dunia Barat—yang membebaskannya dari pikiran bahwa bumi itu datar dan di ujungnya adalah jurang tak bertepi—adalah dimulainya era eksplorasi lautan. Hal ini berujung pada imperialisme yang selain ditopang oleh 3G (gold, glory, and gospel), juga oleh pandangan ‘white man burden’, yaitu “beban atau tanggung jawab orang kulit putih untuk memberadabkan bangsa-bangsa lainnya.”
Namun, semangat mesianistik ini menimbulkan banyak masalah. Selain kekerasan kepada pribumi yang dijajah serta eksploitasi kekayaan bumi negeri jajahan, masalah lainnya adalah sistem pendidikan khas Barat—beserta ilmu-ilmunya yang sudah disekularkan—yang menyebar ke seluruh negeri jajahan, dan malah menetap setelah kolonialisme Barat hilang dari negeri-negeri jajahan tersebut.
Selain pergulatan dengan pencarian identitas diri setelah kolonialisme hilang, negara-negara bekas jajahan—khususnya negara dengan mayoritas penduduk Muslim—mengalami semacam inferioritas bercampur dendam melihat kemajuan negara-negara Barat yang pernah menjajahnya. Hal ini tak jarang memunculkan nostalgia akan kejayaan Islam di masa lalu—dan paling sering diulang-ulang di berbagai khutbah—yang kemudian berujung pada lahirnya gerakan-gerakan revivalisme, bahkan fundamentalisme.
Namun, dampak lainnya adalah keterbelahan atau “skizofrenia kultural” pada kalangan Muslim terpelajar sebagaimana yang dipaparkan oleh William Chittick:
: : : : : : : : : : : : : : : : :
“Mengingat bahwa proses sekolah modern berakar pada topik-topik dan modus-modus pemikiran yang tidak selaras dan tidak sejalan dengan pembelajaran Islam tradisional, maka sangat sulit kiranya bagi Muslim yang berpikir dan mengamalkan Islam untuk menyelaraskan ranah pemikiran dan teori dengan ranah keimanan dan amal perbuatan. Siapa pun tak dapat belajar selama bertahun-tahun dan kemudian tidak tersentuh oleh apa pun yang telah dia pelajari. Orang tak bisa terhindar dari kebiasaan-kebiasaan mental yang ditimbulkan dari materi yang dipelajarinya sepanjang hidup. Kemungkinan besar, cukup besar, tetapi tidak sepenuhnya, para pemikir modern dengan keyakinan agama tak bisa menghindar dari memiliki benak yang terkompartemenkan. Satu kompartemen pikiran akan mencakup ranah profesional dan rasional, sedangkan kompartemen yang lain menampung ranah ketakwaan dan amal pribadi. Secara lebih umum, hal ini terjadi pada kebanyakan orang yang dibesarkan dalam suasana tradisional dan kemudian dididik dalam gaya modern. Pemikir Iran, Daryoush Shayegan, yang secara fasih menulis sebagai filsuf dan kritikus sosial yang sedang berjuang melawan fenomena ini, menyebutnya sebagai ‘skizofrenia kultural’.
Kaum beriman yang cenderung bijaksana yang terperangkap dalam skizofrenia kultural tadi mungkin mencoba merasionalisasikan hubungan antara praktik keagamaan mereka dan pelatihan profesional mereka, tetapi mereka akan melakukannya dalam kerangka pandangan dunia yang ditentukan oleh aspek rasional dari pikiran mereka. Pandangan Islam tradisional, yang dibangun oleh Al-Quran dan diwariskan oleh berbagai generasi Muslim, akan tertutup bagi mereka, dan karenanya mereka akan menarik kategori-kategori dan pola-pola berpikir mereka dari Zeitgeist yang selalu berubah yang muncul dalam beragam trend budaya kontemporer dan dipopulerkan melalui televisi dan bentuk-bentuk lain indoktrinasi massal.”
: : : : : : : : : : : : : : : : :
Bentuk paling dekat dari skizofrenia kultural kurang lebih sebagai berikut. Bayangkan sekelompok mahasiswa jurusan Fisika ITB sedang mempelajari fisika cahaya, lalu menerima bahwa kecepatan cahaya adalah 300ribu km/detik. Setelah kuliah, mereka berkerumun lalu menuju Masjid Salman ITB untuk menjadi panitia persiapan acara peringatan Isra Mi‘raj, sebuah perjalanan lintas alam dan melampaui kecepatan cahaya yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Well, rupanya, saat di kampus ITB, mereka adalah saintis, sedangkan saat masuk masjid Salman, status sebagai saintis dilepas dulu untuk menjadi Muslim yang percaya bahwa ada manusia yang bisa melakukan perjalanan di atas kecepatan cahaya dan, apalagi, lintas alam. Padahal semenjak abad ke-18, hierarki realitas—atau lebih dikenal sebagai The Great Chain of Being—sudah runtuh dan diganti dengan konsep alam yang datar dan diatur oleh prinsip materialisme saintifik, lalu disebarkan ke seluruh dunia melalui pendidikan.
Sebuah ironi memang bahwa umat muslim memiliki banyak seruan ihwal keutamaan mencari ilmu dalam Al-Quran maupun Hadits. Bertebaran di mana-mana. Namun kini seringkali hanya menjadi sekelompok besar umat yang merasa minder dan mendendam melihat kemajuan Barat, lalu di berbagai khutbah hanya bisa mengulang-ulang nostalgia ihwal Baghdad zaman dahulu dan kejayaan berbagai kekhalifahan tempo dulu untuk sekadar mengobati dendam di hati. Mungkin itulah sindrom ‘mantan super power’ yang pernah menaklukkan Romawi, namun merosot dan kemudian dijajah oleh Barat serta kini tertinggal dalam pengembangan ilmu.
Dalam film Body of Lies, Ed Hoffman—yang diperankan oleh Russel Crowe—berkata kepada seorang pejabat dari negara mayoritas muslim: “Dengar, kalian memang orang-orang yang telah menemukan aljabar, namun kamilah orang-orang yang tahu bagaimana menggunakannya.”
Ketika peradaban Barat mengalami Renaisans melalui ilmu-ilmu yang mereka peroleh ‘kembali’ dari peradaban Islam, terutama saat ‘bersentuhan’ melalui Perang Salib, lalu mengembangkannya, ternyata umat Muslim malah seringkali hanya sibuk dengan nostalgia “bahwa semua ilmu yang kini berkembang di Barat itu adalah buah dari para pemikir dan ilmuwan Muslim di masa lalu.”
Lalu, bagaimana umat muslim?
Coba perhatikan para ilmuwan Barat. Sebagian umat Islam boleh saja mencaci-maki mereka sebagai kafir, sekular, sesat dan tak punya panduan hidup. Namun, coba lihat bahwa dalam penguasaan ilmu, menggeluti bidang yang ditekuninya, mereka total dan memiliki pemahaman yang mendalam serta mendasar, bahkan hingga meraih Nobel. Setiap kali membaca pemikiran para filsuf Barat, kita bisa dibuat kagum pada keradikalan dan ketajaman nalar mereka, kagum bagaimana mereka bisa menemukan ufuk permasalahan dari bidang yang digelutinya.
Namun sayangnya, kini semua jenjang pendidikan yang dikenyam umat muslim Indonesia, contohnya, mulai dari SD hingga perguruan tinggi tidak merangsangnya untuk menjadi “pemilik ilmu yang memahaminya secara mendasar”. Kebanyakan hanya menjadi siswa pandai yang fasih menyelesaikan soal, tapi tidak pernah peduli kenapa F = MA atau E = MC2, sebab yang penting adalah menjawab soal dengan benar, mendapat nilai terbaik, lulus dan masuk PTUN favorit.
Untuk apa?
Hanya untuk melanggengkan mentalitas kuli, hanya untuk membawa-bawa selembar ijazah itu setelah lulus ke berbagai perusahaan dan menjadi karyawan lalu mendapat gaji bulanan, menikah, beranak pinak, naik jabatan, mencapai kemapanan hidup, pensiun, lalu mati.
Itukah makna keberadaan manusia di muka bumi? Kalau memang demikian, kenapa malah banyak pesohor yang setelah kaya raya dan sukses malah jadi depresi, bahkan bunuh diri? Tidak pentingkah bagi seseorang untuk memilih jurusan kuliah yang sesuai dengan energi minimalnya, dan bekerja di bidang kecintaannya? Energi minimal itu, gampangnya, adalah suatu kemampuan atau suatu arete (keutamaan), kalau dalam terminologi Platon, yang membuat seseorang mudah mendalami dan berkarya dalam suatu bidang tertentu, karena “memang telah Allah ciptakan untuk hal itu.”
Seperti pernah dinyatakan oleh Albert Einstein: “Semua orang terlahir jenius. Tetapi jika engkau memaksa seekor ikan harus punya kemampuan memanjat pohon, maka ikan itu akan menghabiskan seluruh hidupnya untuk mempercayai bahwa dirinya bodoh.”
Namun, pendidikan di Indonesia ini seringkali menstandarkan bahwa anak itu harus menjadi pandai sesuai standar nasional, yaitu pandai matematika dan IPA, juga bahasa dan barulah mata pelajaran lainnya. Bagaimana misalnya dengan anak yang sangat bodoh dalam berhitung, bahkan untuk menghitung uang kembalian sekalipun, namun, di sisi lain, bisa mudah melahap pengetahuan sosial, serta diberi daya ingat yang cukup kuat? Bahkan ada kisah nyata ihwal siswa yang saban harus maju ke depan untuk menyelesaikan soal matematika malah bisa jatuh pingsan karena takut. Padahal siswa tersebut pandai dalam kesenian, terutama menari. Apakah “arete” semacam itu merupakan suatu standar kebodohan dalam sistem pendidikan kita?
Di manakah tempat bagi orang-orang seperti itu dalam penilaian standar pendidikan nasional?
Hal lainnya adalah bagaimana pendidikan pun dipersembahkan demi kepentingan industri semata. Visi hilirisasi yang dicanangkan oleh Kemeristekdikti secara vulgar memperlihatkan niat untuk mempersembahkan pendidikan semata sebagai supplier “suku cadang industri” yang dinamai indah sebagai “Sumber Daya Manusia” ketimbang “Sekrup Industri”.
Akibatnya, obrolan soal “jurusan favorit” dan “kampus terkenal penjamin dapat kerja apa pun tanpa peduli dulunya kuliah apa” masih mendominasi. Maka, kita pun sering mendengar soal sarjana pertanian yang tak berkiprah memajukan pertanian negara agraris ini, tapi memilih jadi jurnalis atau karyawan bank, karena ijazah lebih penting daripada menjalani kuliah di bidang yang menjadi “energi minimalnya” dan berkarya di bidang yang dicintainya.
Coba kita pikirkan lagi, berapa banyak waktu dan uang yang terbuang bagi seorang peserta didik untuk menjalani suatu bidang yang tak sesuai dengan dirinya dan kemudian berkarir di bidang yang juga tak sesuai dengan dirinya, terlebih jika alasannya hanya karena perut dan alasan biologis lainnya. Di sini manusia menjalani hidup tak ubahnya binatang ternak saja. “Al-An‘am”, sindir salah satu surat dalam Al-Quran.
Lalu apa bayangan kita ihwal manusia sebagai khalifah atau wakil Allah di muka bumi jika hidupnya ternyata hanya diatur oleh kebutuhan perut dan kebutuhan biologis lainnya? Tak heran, dalam kondisi seperti ini kita mengenal slogan “I don‘t like Monday” dan “Thanks God it‘s Friday”.
Dengan kondisi pendidikan tercabik-cabik seperti itu, tak heran jika kegandrungan akan nostalgia masa puncak kejayaan ilmu di era Baghdad dulu pun menjadi candu yang melenakan. Sebagai produk sistem pendidikan nasional yang tak jelas serta merupakan agen skizofrenia kultural paling massif, jangan heran jika kita sendiri menjadi kalangan terpelajar yang belajar ini itu secara tanggung, tahu tapi tidak mendalam, pandai menyelesaikan soal namun tidak pernah mencari tahu lebih mendasar dan filosofis dari ilmu yang kita pelajari, sehingga membuat bisnis Bimbingan Belajar jadi laris manis. Kenapa? Sebab fungsi pendidikan hanya untuk mengabdi kepada industri, dan bukan untuk menjadi “khalifah fil ardh”.
Wajar saja toh kalau secara keilmuan kebanyakan negara Islam, khususnya Indonesia, cuma medioker dalam keilmuan dan lebih merupakan penghasil tenaga kerja murah saja, sambil memendam dendam karena kini cuma jadi “mantan super power yang tak menguasai lagi khazanah ilmunya”.
Abdus Salam, seorang Muslim yang pernah meraih Nobel, menceritakan pengalamannya sebagai berikut: “Tadi saya telah bicara tentang dukungan terhadap Sains. Salah satu segi daripadanya adalah perasaan aman dan kesinambungan yang harus diberikan seorang pakar ilmuwan dalam pekerjaannya. Kini, seorang pakar atau teknologi Arab atau Pakistan—lebih dari tiga puluh ribu orang—pasti akan diterima dengan tangan terbuka selama hidupnya di Inggris Raya atau Amerika Serikat, asal ia mempunyai kualitas yang disyaratkan. […] Isolasi semacam inilah yang telah memaksa saya untuk meninggalkan negara saya mengajar di sana selama beberapa tahun. Saya menghadapi pilihan yang kaku: tetap berkecimpung di bidang Fisika atau tinggal di Pakistan. Dengan hati pilu, saya pergi.”
Apakah Barat merampok kesemua ilmu itu dan tak mau berbagi dengan umat Islam?
Baiklah, coba lihat, sudah berapa banyak dari umat Islam yang mendapat kesempatan untuk belajar ke negeri-negeri Barat dengan beasiswa dari negara Barat, dan dipersilakan memanfaatkan perpustakaan dan para pengajar di kampus-kampusnya? Barat membuka diri dengan berbagai buku dan kesempatan belajar kepada siapa pun untuk menimba ilmu di negeri dan kampus-kampus mereka. Bahkan ribuan buku pdf pun bertebaran di dunia maya, silakan download dan cetak jadi buku jika perlu. Akhirnya, ini semua kembali kepada umat Islam sendiri, mau dan mampukah menyerap serta mengembangkan lebih jauh ilmu-ilmu yang dipelajarinya di sana?
Semua sebenarnya kembali kepada etos umat Islam sendiri dalam menuntut ilmu: (1) sekadar tuntutan untuk mencari kerja untuk mengisi perut dirinya dan keluarga, atau (2) jadi medioker yang selalu berlindung di balik apologi agama atau (3) mendalaminya dan menjadi yang terbaik di bidang yang digelutinya karena dirinya memang diciptakan untuk mahir di suatu bidang tertentu sebagai khalifah fil ardh? Atau ada pilihan lain barangkali?
Zamzam AJT pernah memberikan suatu alegori yang tajam dan bisa kita tafsirkan juga untuk sikap serba tanggung semacam itu: “Katanya ada seekor naga di balik gunung, di suatu negeri. Tapi itu katanya—dan tak jelas kata siapa. Sebagian besar orang di negeri itu memilih berlindung diri walau tidak pernah melihat, apalagi bertemu sang naga; tak mau berusaha untuk mencari tahu hingga akhir hayat, hidup dalam ketakutan terhadap sesuatu yang tidak ia ketahui perihal ada atau tidaknya. Hanya sedikit sekali di antara mereka yang berani menghampiri, mencari tahu. Itu perlu keberanian, jiwa ksatria. Keberanian untuk salah, kalah, bahkan mati. Tapi mereka yang berani itu memenangkan sebuah keyakinan; tahu yang hakiki.”
Mirip pepatah “berguru ke padang datar dapat rusa belang kaki, berguru kepalang ajar bagai bunga kembang tak jadi.”
Terbayangkan? Belajar ilmu-ilmu modern hanya jadi secara tanggung dan cuma dipakai untuk melanggengkan mentalitas kuli; tak ada hasrat ingin menjadi pemilik ilmu dan menguasainya secara mendasar seperti para pemikir dan ilmuwan Barat. Lalu, dalam beragama juga serba tanggung, karena malu pada gugatan para rasionalis modern soal agama yang banyak unsur irasionalnya dan aspek esoteris dari agama pun hilang serta cuma ditelusuri dengan ujung jari dan berhenti di wacana yang berputar dari bibir ke bibir saja, bukan pengalaman dan penyaksian langsung.
Maka, dalam kondisi terbelah ini, dalam kondisi skizofrenia kultural seperti ini, jangan heran jika pembicaraan ihwal dunia dan akhirat di kalangan umat muslim pun terbelah. Saat belajar suatu bidang ilmu, saat menjadi seorang profesional, wajahnya mengarah ke Barat dan menjadi pribadi yang lain; namun saat berbicara ihwal hidup setelah mati dan ajaran agama Islam, maka wajahnya mengarah ke Timur dan menjadi pribadi yang lain lagi.
Salah satu ekses yang tak terhindarkan pula dari skizofrenia kultural tersebut adalah kalangan muslim terpelajar yang “jatuh cinta pada pandangan pertama” terhadap berbagai wacana teoretik Barat lalu menyimpulkan bahwa cara berpikir semacam inilah yang membuat Barat maju secara peradaban. Maka, yang dilakukannya adalah melakukan apropriasi secara paksa berbagai wacana teoretik Barat itu untuk “menyegarkan kembali” pemikiran Islam.
Caranya?
Islam menjadi “budak” yang harus selalu menyesuaikan diri terus menerus dengan dialektika yang terjadi dalam wacana teoretik Barat yang sangat dinamis. Islam dibedah dengan pisau analisis wacana teoretik Barat serta “disekularisasikan” lalu menjadi antroposentris dan materialis, sebab manusia pun jadi hanya dipandang sebatas sebatang tubuh dan otak tanpa nafs (jiwa, tapi bukan dalam pengertian “jiwa” psikologi modern yang hanya membatasinya pada mental [dari ‘mens’ yaitu pikiran, bahasa Latin] serta sebatas perilaku saja), dan juga tanpa ruh.
Bisa dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para muslim terpelajar itu adalah apropriasi yang dipaksakan. Islam hanya dijadikan alas saja bagi kedua kaki wacana teoretik Barat, yaitu modernisme dan postmodernisme. Islam yang inheren di dalamnya suatu pandangan tentang hierarki realitas yang bertingkat-tingkat hingga ke hadapan-Nya, kini direduksi hanya menjadi sebatas permainan wacana teoretik khas Barat yang saling membatalkan diri terus menerus (self-cancelling) sesuai semangat modernisme. Al-Quran tak lebih hanya objek pembedahan hermeneutik (Barat) yang memang hanya bermain di ranah linguistik dan nalar, bahkan hingga kemusykilan makna ala Derrida, dan realitas pun hanya diterima sebatas sains modern bisa menjangkaunya saja.
Karena itu, sangat penting bagi muslim terpelajar itu untuk mempelajari lagi soal cakupan sekularisme dan materialisme dalam sejarah Barat, ‘luka peradaban’ yang tertuju kepada agama Nasrani dan bahwa hal semacam itu tak pernah terjadi dalam sejarah Islam, serta mengamati hilangnya konsep “The Great Chain of Being” di pemikiran Barat abad 18, sehingga realitas pun memang hanya dipandang sebatas yang tercapai oleh sains modern saja.
Lalu mempelajari tashawwuf juga. Namun jangan seperti Tasawuf Positif yang menolak peran Mursyid dan fungsi Thariqah (sebab mengikuti pandangan Trimingham yang mengidap bias Protetanisme) sehingga malah jadi asyik bertasawuf-wacana saja. Ini penting agar bisa disadari bahwa ada asumsi dasar dan pandangan dunia yang berbeda secara radikal antara Barat modern maupun postmodern, dengan Islam yang menyertakan juga “ihsan” (yang dikenal dengan nama “tashawwuf”) agar tidak dengan ceroboh malah ngotot mencoba “mencampur besi dengan tanah liat” seperti kaki sebuah patung yang Nebukadnezar lihat dalam mimpinya (sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Lama).
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji