Tessa Sitorini
“Kamu ngga mindahin anakmu ke sekolah keren itu?” tanya seorang ibu yang anaknya sekelas dengan si bungsu, Rumi, yang bertemu saat pesta perayaan akhir tahun sekolah dasar (eindejaarfeest basisschool) kemarin.
Alasan ibu itu memindahkan anaknya ke sekolah di area elit itu ialah karena ada beberapa anak yang berperilaku agresif di kelas, katanya. Selain itu, dia cenderung mencari “white school” di mana anak-anak yang sekolah disana dominan kulit putih alias bule Belanda asli.
Walaupun negeri Belanda ini dikenal bertoleransi tinggi terhadap pendatang, tapi di masyarakat pemisahan itu tetap ada, hingga muncul istilah “black school”, bukan karena cat sekolahnya serba hitam, bukan juga karena kebanyakan anak-anak di sana orang hitam atau karena mayoritas yang sekolah dari imigran gelap. Tapi, istilah “black school” diberikan kepada sekolah yang murid-murid (dan gurunya) bukan asli Belanda. Biasanya kebanyakan keturunan Maroko, Turki (mereka, walaupun banyak yang putih-putih kulitnya, tetap dibilang ‘black’), juga keturunan Kepulauan Antiles, Suriname, dan, ya, kulit sawo matang seperti saya dan anak-anak dari Indonesia termasuk kategori “black”.
Saya paham kekhawatiran ibu itu. Dia hanya berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya, seperti kita semua. Tapi kalau urusan cari sekolah anak, saya menuruti saran Mursyid saya untuk menimbang keinginan dengan kemampuan dan keadaan. Sekolah yang sekarang sangat ideal karena dekat rumah, hanya tujuh menit berjalan kaki dan tiga menit bersepeda. Guru-gurunya oke banget. Bila ada masalah satu dua anak yang agresif atau bandel, saya pikir di mana-mana juga biasanya ada. Mau itu di “white school”, “black school” atau “yellow school” – kalau ada.
Masalah memilih sekolah ini memang membuat kita belajar tawakal akan anak. Ada beberapa rambu yang harus diperhatikan oleh orang tua.
Pertama: Jangan ngoyo.
Kalau uangnya enggak cukup menyekolahkan anak ke sekolah swasta yang itu, cari saja sekolah yang sesuai dengan budget. Bebas utang sana-sini.
Kalau sekolah idaman itu terlalu jauh, maka akan menyulitkan buat anak yang setiap hari sekolah saja harus melewati medan macet dan perjalanan sekian lama. Karenanya, carilah sekolah yang lebih dekat.
Kedua: Ini rambu dasar yang utama. Tawakalkan ihwal pendidikan dan masa depan anak kepada Allah Ta’ala. Ucapkan dalam sebaris doa, “Ya Allah, aku tawakalkan anak ini kepada-Mu”. Dan Allah akan langsung menyambut.
Jangan menyandarkan nasib anak kepada selain-Nya yang berupa sekolah yang keren, guru-guru yang lulusan luar negeri, passing grade yang tinggi, sejarah lulusan yang sukses, dll. Pamali! Semua itu tidak ada yang dapat menjamin anak tidak terjerumus hidupnya ke jalur yang salah yang mengakibatkan dia tidak bahagia.
Belajarlah dari kisah seorang Nabi mulia, Yaqub as yang menitipkan anak yang dicintanya, Yusuf as kepada kakak-kakaknya agar ia tidak diterkam oleh serigala. Sang Nabi ditegur oleh Allah dengan cara justru yang mencelakakan Yusuf adalah kakak-kakaknya sendiri, orang yang dimintai pertolongan.
Anak-anak kita dipenuhi oleh ancaman “serigala-serigala” kehidupan. Ada narkoba, pergaulan bebas, hedonisme, dll. Langkah pertama adalah mencari perlindungan kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Setelah itu baru optimalkan ikhtiar tanpa harus melabrak pagar-pagar batas diri.
Kembali ke ajakan ibu tadi di atas untuk memindahkan sekolah anak. Saya menolak dengan tiga alasan.
Pertama, sekolah yang ada tidak ada masalah untuk saat ini, alhamdulillah.
Kedua, kalaupun pindah jauh, maka harus antar jemput anak pakai angkutan umum sekitar 45 menit dan belum punya SIM, berbeda dengan ibu itu yang sudah punya SIM dan kendaraan sendiri.
Ketiga, so what menyekolahkan anak di “black school”? Mursyid saya mengatakan terhadap kasus yang serupa, “Barangkali si anak malah lebih cerdas di sana, karena lebih kompleks cara berpikirnya.”
Wallahu a‘lam.
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji