MERAYAKAN KELUH KESAH

Alfathri Adlin

Semalam aku bersumpah pula, kuangkat sumpah demi hidup-Mu,

Bahwa aku tak akan pernah memalingkan mataku dari wajah-Mu; bila Kau memukul dengan pedang, aku tak akan berpaling dari-Mu.

Aku tak akan mencari sembuh dari yang lain, karena kepedihanku ialah lantaran perpisahan dengan-Mu.

Bila Kau mesti melemparkan aku ke dalam api, aku bukan mu‘min bila aku mengeluh.

Aku bangkit dari jalan-Mu bagai debu; kini aku kembali ke debu jalan-Mu.

* * * * * * *

Amatilah baik-baik puisi Jalaluddin Rumi di atas, terutama bait bagian: “Bila Kau mesti melemparkan aku ke dalam api, aku bukan mukmin bila aku mengeluh.” Hampir bisa dipastikan bahwa kebanyakan pembaca karya Rumi akan mengungkapkan kesan bahwa puisi-puisinya adalah ungkapan cinta kepada Allah; ungkapan mabuk kepayang seorang pecinta kepada Yang Dicintainya. Namun, ada baiknya dipelajari juga kisah hidup Rumi agar kita tahu ihwal berbagai ujian dan fitnah yang dihadapinya, serta kebencian orang-orang di sekitar Rumi terhadap Syamsuddin Tabriz, mursyidnya, yang berujung dengan perpisahannya dari sang “Matahari Agama”. Hal itu kemudian Rumi ungkapkan dalam karya tersendiri berjudul “Diwani Syamsi Tabriz”.

Al-Quran pun telah menegaskan “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS Al-‘Ankabût [29]: 2-3) Maka tak mungkin Rumi mencapai ma‘rifatullah hanya dengan larut dalam emosi estetik dan mabuk cinta serta merangkai kata-kata puitis yang melenakan kebanyakan pembacanya. Kefasihan Rumi dalam merangkai kata merupakan buah dari ketaqwaan yang diasah melalui ujian demi ujian. Dari “kiai pesantren” yang tadinya lebih banyak mendalami urusan fiqih, Rumi berubah menjadi mursyid thariqah yang fasih berpuisi. Dalam kata-katanya sendiri, di salah satu Rubaiyat-nya, Rumi menegaskan:

* * * * * * *

Aku bukan seorang penyair,

tak kuperoleh nafkah dari situ,

atau kupamerkan keterampilanku,

bahkan aku tak memikirkan tentang seniku,

bakatku ini hanyalah sebuah cangkir,

yang takkan kuteguk,

kecuali jika Kekasihku yang menyajikan.

* * * * * * *

Dalam bagian lain Matsnawi, Rumi juga menyatakan bahwa dia hanya berserah diri serta menyerahkan lidahnya kepada Allah, dan membiarkan Allah yang menuntun lidahnya melalui ilham untuk berkata apa, dan muridnyalah yang menuliskan bait-bait itu. Akan tetapi, harus diingat baik-baik bahwa semua ungkapan cinta kepada Allah yang banyak bertebaran dalam puisi Rumi, dan tentu saja dari para sufi lainnya, itu diimbangi dengan kesediaan dan ketangguhan mereka untuk menerima apa pun yang Allah kehendaki, menerima apa pun yang diperbuat Sang Kekasih terhadap para pecinta-Nya.

Setiap muslim bisa saja dengan mudah mengatakan “Aku mencintai Rasulullah dan Allah”, tapi “pedang yang memukul” atau “dilempar ke dalam api” yang dia rasakan dalam hidupnya, sehingga terlahirlah sekian banyak keluh kesah—baik di lisan, dalam hati, atau bahkan dalam bentuk status FB, twitter, WA group, bahkan tulisan di blog—itu semua dengan jelas menjadi bukti betapa kata “mencintai Allah” hanya baru tersangkut di bibir saja. Dalam salah satu hadits, Rasulullah saw bersabda: “Ada tiga pusaka kebajikan, yaitu merahasiakan keluhan, merahasiakan musibah dan merahasiakan sedekah.” (HR Thabrani)

Ihwal keluh kesah ini pernah pula diungkapkan oleh Nabi Isa as berkata kepada Al-Hawariyyun yaitu bahwasanya “Yang paling banyak mengeluh di antara kalian pada waktu ditimpa musibah adalah yang paling banyak menghadapkan wajahnya kepada dunia.”

Kita pun bisa menemukan contoh ihwal ketangguhan seorang hamba dalam menjalani hidup tanpa berkeluh kesah dalam khazanah Perjanjian Lama. Silakan baca Kitab Samuel, dan saksikan bagaimana hidup Dawud dicerai berai oleh ujian demi ujian, mulai dari istri yang mengkhianatinya, mertua yang memerangi dan hendak membunuhnya, kakak ipar yang merupakan sahabat terbaiknya namun mati terbunuh dalam peperangan, lalu salah seorang anaknya yang bernama Amnon malah menodai adik tirinya yang bernama Tamar, kemudian Absalom yang membunuh Amnon atas perbuatan terhadap adik kandungnya, lalu Absalom yang diasingkan namun malah membentuk pasukan untuk memerangi bapaknya, dan Absalom pun mati di tangan salah satu jenderal Dawud, kemudian “skenario takdir” ihwal Batsyeba, istri Uriah, salah satu jenderal Dawud, yang membuat Dawud dihukum dan kehilangan beberapa anak yang lahir dari rahim Batsyeba, namun pada akhirnya, justru dari rahim Batsyeba inilah lahir Sulaiman.

Setelah membaca kitab tersebut, lanjutkan dengan membaca kitab Mazmur. Perhatikan dengan seksama. Adakah keluh kesah dalam kitab Mazmur tersebut? Tak ada. Semuanya adalah ungkapan cinta dan kekaguman serta keberserahdirian kepada-Nya. Seseorang yang menjalani hidup seberat Dawud, namun saat mengungkapkan isi hatinya — sebagaimana terabadikan dalam Mazmur — ternyata tak sekalipun mengeluh kepada-Nya ihwal hidup yang dijalaninya. Dalam Mazmur 23, tertulis ungkapan Nabi Dawud yang sangat indah:

* * * * * * *

“TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.”

* * * * * * *

Belakangan ini banyak orang mengangkat isu ihwal Agama Cinta yang bahkan dibahas secara filosofis abstrak namun belum tentu juga tepat sasaran. Akan tetapi, dengan menyimak dua kitab tersebut, dengan mudah kita bisa mendapat gambaran apa itu Agama Cinta. Tanpa perlu dirumit-rumitkan kita bisa memahami bahwa “Agama Cinta itu adalah ketika Tuhan mencobai hidupmu dengan banyak cobaan, tak sekali pun engkau berkeluh kesah; yang terlahir dari lisanmu hanya ungkapan cinta sebagai tanda penerimaan atas semua takdirnya.”

Itulah ketangguhan dan kekuatan sebenarnya dari seorang pecinta Tuhan, namun hal itu seringkali luput teramati oleh pembaca yang biasanya lebih menaruh perhatian pada berbagai ungkapan puitis para pecinta Tuhan. Sama halnya seperti puisi-puisi Rumi, padahal sebagaimana terlihat di atas Rumi mengaitkan keluh kesah dengan ketidakberimanan.

Demikianlah, berbagai contoh ihwal ketangguhan dalam menjalani hidup dan tak berkeluh kesah serta hanya mengungkapkan cinta kepada-Nya itu bisa banyak kita temui di berbagai khazanah agama-agama. Namun, adalah berbeda antara (1) melakukan “tamasya intelektual maupun spiritual” dengan menjelalajahi berbagai khazanah agama dan memiliki banyak wawasan soal ‘passing over’ dan (2) mengambil hikmah dari berbagai khazanah tersebut agar menjadi pakaian keseharian dalam hidup kita. Adalah berbeda antara (1) wawasan yang hanya tersangkut di kepala dan lidah dan (2) sesuatu yang telah berubah menjadi keseluruhan hidup yang dijalani setiap hari. Ujian hidup dan berbagai hal tak menyenangkan dalam hidup akan membuktikannya sendiri.

Kembali kepada keluh kesah. Ketangguhan untuk menerima kesakitan apa pun sebenarnya paling mudah dilihat pada para nabi dan rasul, dan di masa berikutnya bisa kita temui dari kalangan para sufi ‘arif billah. Akan tetapi tak jarang para sufi dipandang secara melankolik sebagai orang yang asyik berpuisi-puisi cinta dengan Tuhan, meninggalkan keluarga untuk menyendiri, tidak pernah berkiprah nyata bagi manusia di sekitarnya, dan berbagai stereotip yang entah kenapa selalu diulang-ulang lagi. Itulah gunanya kita terbuka untuk banyak membaca serta belajar lagi dan lagi tanpa disertai prasangka.

Di kalangan Nabi, Rasul dan para sufi arif billah, keluh kesah itu termasuk dosa besar yang susah untuk dibersihkan. Bayangkanlah sebagai berikut. Apabila hati itu seperti bola kaca, maka ada dosa-dosa yang menyerupai lumpur yang menempel dan membentuk kerak di luar bola kaca tersebut. Dengan air, lumpur itu bisa kembali dibersihkan. Namun, ada dosa-dosa yang begitu halus dan kecil seperti molekul, yang bisa masuk ke dalam pori-pori bola kaca dan mengendap di bagian inti bola kaca. Keluh kesah termasuk dosa yang halus seperti itu, karena kaitannya dengan akidah seseorang terhadap Allah. Nah, silakan pikirkan sendiri bagaimana cara membersihkan “debu-debu halus” yang mengotori bagian dalam bola kaca.

Lebih jauh lagi, kita bisa memakai perumpamaan sebagai berikut. Kita mengenal teman-teman melalui identifikasi sifat dominannya. Bahwa si A itu pendendam lagi sombong, si B itu pemarah dan egois, si C itu tidak percaya diri dalam banyak hal serta mudah trauma, si D itu kocak sehingga susah diajak serius dan sering tak peduli pada banyak hal, dan demikian seterusnya. Kenapa identifikasi itu lahir? Karena saat berinteraksi, kita melihat bahwa itulah sifat yang paling dominan pada diri mereka.

Nah, dalam hal ini, Allah Ta’ala pun mengidentifikasi Diri-Nya sebagai Ar-Rahman dan Ar-Rahim, yang menegaskan bahwa dua asma itulah yang paling dominan dari 97 asma lainnya. Dua asma itulah yang paling dibanggakan-Nya sehingga diabadikan sebagai doa pembuka, yaitu “Bismillahi Rahmani Rahimi”. Dengan Asma Ar-Rahman dan Ar-Rahim itu pulalah maka Dia Ta‘ala menegaskan bahwa manusia selalu diberikan yang terbaik. Karenanya, apa pun yang terjadi dalam hidup ini, imanilah bahwa itu adalah yang terbaik dan terimalah dengan ucapan “Alhamdulillah” karena sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw bahwa “Dzikir yang paling utama adalah Lâ Ilâha Illallahu dan doa yang paling utama adalah Alhamdulillah.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim.)

Ibn ‘Arabi mengutarakan bahwa Allah memiliki dua Tangan. Tangan Kanan merepresentasikan Kepemurahan-Nya, dan Tangan Kiri merepresentasikan Kemurkaan-Nya. Padahal, kata Ibn ‘Arabi lagi, sebenarnya kedua Tangan tersebut hanyalah Tangan Kanan belaka.

Karena itu, keluh kesah yang terlontar dari lisan mereka yang mengaku sebagai pecinta Allah, atau setiap orang yang mengaku beriman, sebenarnya itu secara langsung membuktikan bahwa pengakuan cinta tersebut hanya ada di ujung lidah. Itulah sebentuk sikap ketidakmenerimaan atas segala hal yang hadir dalam hidupnya. Dan, lebih parah lagi, itu adalah tudingan langsung bahwasanya Allah Ta‘ala tidak adil. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung berfirman: ‘Seorang anak Adam mencaci-maki masa padahal Akulah masa; siang dan malam hari ada di tangan-Ku.’” (HR Muslim)  

Keluh kesah itu secara langsung menghapuskan asma Ar-Rahman dan Ar-Rahim dari Allah Ta‘ala, padahal kedua Asma itulah yang paling dibanggakan-Nya, Asma yang mengidentifikasikan sifat dominan Diri-Nya. Tidakkah itu merupakan dosa akidah?

Pada zaman ‘Amirul Mu‘minin ‘Umar bin Khaththab, ada seorang pemuda yang sering berdoa di sisi Baitullah “Ya Allah, masukkanlah aku dalam golongan yang sedikit.” Doanya tersebut didengar oleh ‘Umar ketika beliau sedang melakukan tawaf di Ka‘bah. ‘Umar heran dengan permintaan pemuda tersebut. Setelah melakukan tawaf, ‘Umar mendatangi pemuda tersebut dan bertanya: “Mengapa engkau berdoa seperti itu? Apakah tidak ada permohonan lain yang engkau mohonkan kepada Allah?”

Pemuda itu menjawab: “Ya Amirul Mu‘minin, aku membaca doa itu karena aku takut dengan penjelasan Allah dalam surah Al-A‘râf [7]: 10, yang artinya: ‘Sesungguhnya Kami (Allah) telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber/jalan) penghidupan. (Tetapi) amat sedikitlah kamu bersyukur.’ Aku memohon agar Allah memasukkan aku dalam golongan yang sedikit, lantaran terlalu sedikit orang yang tahu bersyukur kepada Allah,” jelas pemuda tersebut.

Bersyukur kepada Allah atas segala yang terjadi, kesusahan maupun kesenangan. Itulah kenapa “Alhamdulillah” menjadi doa yang paling utama. Beranikah Anda mengucapkan Alhamdulillah bukan hanya saat mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, tapi juga pada saat mendapatkan hal-hal yang tak menyenangkan dengan kesadaran bahwa semua itu semata kebaikan dan hanya kebaikan dari Allah Ta‘ala; bahwa itu semua adalah Tangan Kanan-Nya yang sedang bekerja?

* * * * * * *

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 216)

* * * * * * *

Ketangguhan untuk tidak berkeluh kesah itu memang tidak mudah, sehingga alasan yang akan selalu mengemuka adalah: “Saya juga hanya manusia biasa dengan segala kelemahan, sehingga wajar jika saya masih suka berkeluh kesah” atau dalih viktimisasi yang menyatakan “bahwa aku melakukan dosa ini karena si orang itu, dia yang membuatku berbuat dosa ini” dengan disertai khayalan bahwa dosanya akan hilang begitu saja dan dialihkan kepada orang lain yang dituduhnya, serta berbagai apologi sejenis dan senada.

Nah, mengamati dalih tersebut maka pertanyaannya: “apakah mungkin manusia berhenti berkeluh kesah dan mensyukuri apa pun yang terjadi dalam hidupnya?” Tidak akan mungkin bisa jika dia mengandalkan kemampuannya sendiri, dan lain halnya jika dia meminta pertolongan kepada Allah untuk menguatkan dirinya dan memasukannya ke dalam kalangan yang sedikit itu. Siapa yang menyuruh Anda mengandalkan kemampuanmu sendiri? Maka “…mintalah pertolongan (kepada Allah)  dengan jalan sabar dan mengerjakan shalat; dan sesungguhnya shalat itu amatlah berat kecuali kepada orang-orang yang khusyu.” (QS Al-Baqarah [2]: 45)

Namun, setidaknya setelah membaca tulisan ini, maka secara nalar setiap diri bisa memahami bahwa keluh kesah itu tak mendapat tempat dan apologi apa pun dalam Islam sebab Allah telah berfirman dalam QS Al-Baqarah [2]: 286 yang artinya: “Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Jika ada seorang manusia sanggup memikul ujian seberat 100 kilo, maka Allah tak akan menambahi barang sebesar dzarrah sekali pun. Itu sudah janji Allah dalam Al-Quran. Jadi, apa pembenaran bagi keluh kesah jika semua yang terjadi dalam hidup ini semata terjadi sebatas kemampuan setiap manusia itu sendiri?

Namun, kebanyakan manusia itu seringkali hatinya sedemikian beku sehingga harus Allah Ta‘ala hadirkan dulu hantaman hidup di sana sini agar kemudian muncul keinginan untuk kembali kepada-Nya. Akan tetapi bagi orang yang akalnya kuat, mereka tidak perlu dihantam dulu di sana sini dalam kehidupan; tidak perlu ditimpa musibah dulu baru kemudian mencari jalan kembali kepada Allah. Namun, sekali lagi, kalaupun saat ini kita mengalami hantaman di sana sini dalam kehidupan, hal tersebut seharusnya disyukuri sebab itu tanda Allah sedang memanggil dan memalingkan kita dari tarikan duniawi yang sedemikian kuat. Seharusnya kita merasa beruntung karena tak semua orang Allah panggil untuk kembali kepada-Nya.

Beruntunglah seorang hamba yang tidak takut kehilangan apa pun di dunia ini, apa pun yang menjadi miliknya, bahkan juga kesehatannya; singkat kata, seorang hamba yang bisa seperti Nabi Ayyub yang hanya meminta satu hal kepada Allah Ta‘ala, yaitu “jangan ambil kerinduan dan keinginan untuk kembali kepada-Nya dalam hati ini.” Seharusnya itulah yang dipertahankan mati-matian dalam diri seorang muslim, sebab jika rasa yang teramat berharga itu tidak ada atau hilang, sungguh teramat sangat mengerikan.

Sebagaimana kita tahu, Nabi Ayyub as pada awalnya adalah seorang Nabi yang terpandang dan bangsawan. Kemudian Allah takdirkan hancur semua miliknya. Ladang habis, anak-anak meninggal, istri-istri pergi, pegawai pergi, karena mereka mengira Nabi Ayyub telah sesat dan sedang diazab oleh Allah. Badannya pun diruntuhkan; kesehatannya diambil oleh Allah. Badannya menjadi bau busuk, sehingga orang-orang pun menyingkir darinya, bahkan kuda pun lari saat dia dekati. Akhirnya beliau pun masuk ke gua, dan kemudian bermunajat: “Ambillah semua ya Allah, kecuali hati dan lisanku untuk memuji-Mu.” Dalam keadaan seperti itu, Nabi Ayyub masih tetap memuji Allah Ta‘ala.

Berapa tahun Nabi Zakaria menunggu agar dianugerahi anak? Delapan puluh tahun. Namun dalam Al-Quran tertulis bahwa beliau berkata: “Aku tidak pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu.” Bukankah luar biasa bahwa seseorang tak pernah kecewa dalam berdoa kepada Allah selama itu. Bukankah malu rasanya jika baru diuji sedikit saja kita sudah langsung berkata “Duh, aku sedang diuji berat nih.”

Kehadiran para Nabi dalam menghadapi ujian itu untuk menjadi contoh bagi kita, dan bukan untuk menghasilkan dalih lagi dan lagi bahwa “Ah, itu kan para Nabi, sedangkan saya kan bukan Nabi.” Kehadiran para nabi itu untuk menjadi contoh bagi kita agar tak takut jika dalam hidup ini Allah mengambil semua yang ada dalam hidup ini, kecuali satu hal saja yaitu “hati yang merindukan dan bergantung sepenuhnya kepada Allah.”

Namun ingat juga, bahwa kita tak bisa ridha kepada Allah sebelum Allah ridha dulu kita. Hanya karena Allah ridha kepada kitalah maka kita bisa ridha kepada-Nya. Silakan simak sendiri berbagai ayat Al-Quran yang menegaskan bahwa “radhiyallahu ‘anhum wa radhu ‘anhu.” Di situ terlihat bahwa Allah dulu yang ridha, bukan manusia dulu yang ridha. Lalu, bagaimana caranya agar Allah ridha kepada kita? Ridhalah dulu terhadap segala hal yang telah Allah tetapkan hingga hari ini dalam hidup kita. Ridhalah dulu terhadap apa pun yang sudah, sedang dan akan terjadi. Insya Allah, jika diterima, maka Allah pun akan ridha kepada kita, dan barulah kita bisa ridha kepada Allah. Jadi, itu bukanlah pengakuan sepihak saja, bukan?

Begitu pula dengan cinta. Tak bisa kita mencintai Allah sebelum Allah dulu yang mencintai kita. Lalu bagaimana agar Allah mencintai kita? Rasulullah saw suatu ketika pernah bersabda: “Sesungguhnya jika Allah akan mencintai suatu kaum, maka Dia akan memberikan ujian kepada mereka. Barang siapa yang bersabar, maka kesabaran itu bermanfaat baginya. Dan barang siapa marah (tidak sabar) maka kemarahan itu akan kembali padanya.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)

Ingin mencintai Allah dan Allah cintai? Cintailah ujian dalam hidup ini seluruhnya, cintailah hidup ini baik kesusahan maupun kesenangan yang terjadi di dalamnya, tanpa berkeluh kesah sedikit pun, dengan meminta penguatan dari-Nya melalui shalat dan sabar, serta cintailah juga sesama manusia dan seluruh makhluk-Nya. Bukankah cinta pun bukan pengakuan sepihak saja?

Sebagaimana dikatakan oleh Soeprapto Kadis (yang akrab dipanggil Bapak), Mursyid Pendiri Thariqah Qudusiyah, kepada para saliknya: “Jika kamu pernah membunuh, maka Bapak masih bisa berdoa untukmu agar Allah ampuni. Jika kamu pernah berzina, Bapak pun masih bisa berdoa untukmu agar Allah ampuni. Namun, jika kamu berkeluh kesah, Bapak tidak bisa apa-apa.”

Adapun dalam penjelasannya tentang QS Al-Hujurat [49]: 7, yang terjemahannya “Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam qalb-mu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran…,” Zamzam AJT, Mursyid Penerus Thariqah Qudusiyah, berkata bahwa:

* * * * * * *

“Pertama-tama perhatikan ‘apakah ada benih-benih kekafiran dalam diri kita’ sebelum menunjuk orang lain, karena setiap orang akan bertanggung jawab masing-masing di hadapan Sang Pemilik Semesta. Hati yang masih mengeluh, kurang bersyukur, berprasangka buruk kepada Allah serta tidak menerima dengan baik ketetapan yang Dia Ta‘ala berikan sesungguhnya merupakan ‘benih-benih kekafiran dalam diri’. Kekafiran di sini dalam arti ‘ketertutupan dari cahaya kasih-Nya sehingga kesulitan memandang kebaikan dalam fase-fase kehidupan’ dan akhirnya menjadi tirai besar yang menghalangi seorang hamba untuk bisa bersyukur kepada-Nya. Orang beriman akan sangat benci untuk mengutuk kehidupan, mengeluh pada keadaan, dan menyimpan prasangka buruk dalam hati. Semua itu adalah bentuk-bentuk kekafiran dalam diri. Astaghfirullah al-adzim.”

* * * * * * *

Terakhir, dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda bahwa “Barang siapa di pagi hari mengeluhkan kesulitan hidupnya (kepada orang lain), berarti seakan-akan dia mengeluhkan Rabb-nya. Barang siapa di pagi hari bersedih karena urusan duniawinya, berarti sungguh di pagi itu dia tidak puas dengan ketetapan Allah. Barang siapa menghormati seseorang karena kekayannya, sungguh telah lenyaplah dua per tiga agamanya.“ (Hadits dikutip dari Kitab Nashaihul ‘Ibad).