
D. Kurnia
“Tuhan, kenapa Engkau memberikan kehidupan yang tragis kepadaku? Membuat hidupku tidak karuan? Dulu hidupku berkecukupan, tetapi sekarang serba kekurangan. Kenapa keluargaku berantakan?”
“Tuhan, kenapa jodohku tak kunjung datang?”
“Tuhan, kenapa aku belum diberikan keturunan? Kenapa teman bisnisku tega menipu, sampai aku harus menanggung hutang yang banyak?”
“Tuhan, kenapa engkau berikan penyakit yang ganas kepadaku? Mengapa semua ini terjadi kepadaku? Apa yang Engkau inginkan dariku wahai Tuhan?”
Mungkin salah satu ungkapan di atas adalah cerita yang terjadi dalam kehidupan kita. Entah dengan detail yang sama atau berbeda; atau tingkat kemirisannya sama, mungkin bahkan lebih dan mulai mempertanyakan. Hidup pun dijalani dalam kebimbangan, dipenuhi dengan pertanyaan yang menanti jawaban: “Untuk apa hidup kalau harus menderita?”
Selama ini mungkin kita jauh dari-Nya. Terlalu sibuk dengan urusan dunia. Mengejar ambisi dengan segala cara serta merasa tidak puas akan segala hal. Selalu melihat ke atas dan bukannya melihat ke bawah. Sibuk membandingkan antara aku dengan mereka. “Aku serba kekurangan sedang mereka kaya raya. Aku begini-begini saja, sedang mereka sudah entah ke mana.”
Ibadah ritual sudah dijalankan dengan rutin. Aktivitas keseharian diisi dengan hal-hal yang tidak menyimpang. Akan tetapi kenapa takdir hidup yang tragis datang menghampiri? Amal-amal baik sudah dilakukan, tapi bisa jadi itu hanya rutinitas belaka, sedangkan hati kita kosong dari-Nya. Akhirnya kita pun dijatuhkan, diberikan shock theraphy agar “kembali” kepada-Nya.
Di sisi yang lain, ada orang yang hidupnya sangat berkecukupan. Semua serba tersedia. Mobil mewah, rumah bertingkat tiga. Uang puluhan, ratusan juta, hingga miliyaran rupiah tersimpan aman di rekening bank. Memiliki keluarga yang harmonis dan ideal. Mempunyai anak-anak yang tampan dan cantik jelita. Kesehatan fisik pun kuat dan prima. Kehidupannya tampak sempurna secara kasat mata. Namun dalam relung yang terdalam mengalami kebosanan, kehampaan, dan kekosongan akan hakikat kehidupan.
Diberikan kehidupan yang tragis dan hidup serba berkecukupan akan tetapi “kosong” itu adalah sebuah tarikan untuk “kembali” kepada-Nya, yaitu dengan cara merenungi hakikat kehidupan: “Dari mana kita berasal? Untuk apa kita di sini? Akan kemana kita?”
Dari Manakah Kita?
Mari kita renungkan ragam bentuk keterpaksaan dalam anggota tubuh kita. Sepasang telinga yang fungsinya untuk mendengar, bukan untuk mengecap rasa. Sepasang mata yang fungsinya untuk melihat, bukan untuk mencium bau. Anus yang berfungsi mengeluarkan kotoran, bukan air kencing. Semua fungsi anggota tubuh itu tidak dapat ditentukan sekehendak kita ingin seperti apa. Kita “dipaksa” untuk menerima kondisi tersebut. Maka renungkanlah, bukankah keterpaksaan ini sebuah bukti bahwa ada Yang Maha Menguasai diri kita?
Lihat pula fenomena keteraturan pada alam. Pergantian waktu malam ke siang, dan tidak ada pergantian dalam bentuk waktu lain di belahan dunia manapun, senantiasa begitu, teratur. Adanya keteraturan pada alam merupakan bukti adanya Yang Maha Mengatur, Yang Maha Menetapkan.
Kita berasal dari-Nya. Dicipta dari tiada menjadi ada (hidup). Mengalami proses kehidupan yang berjenjang, melalui beberapa mauthin (secara harfiah bermakna tempat). Bermula dari mauthin awwal, yaitu suatu tempat di masa awal ketika belum ada wujud nafs (jiwa) dan belum ada atribut apa pun (lihat QS Al-Insan [76]: 1).
Kemudian beralih ke mauthin syahadah, suatu tempat di mana nafs yang sudah mendapatkan wujudnya kemudian dipersaksikan bahwasanya Allah adalah Rabb-nya dan nafs pun mendapatkan ‘amr (misi) masing-masing (Lihat QS Al-‘Araf[7]: 172). Penyaksian dan ‘amr tersebut direkam serta disimpan dalam Ruh Al-Quds. Penyaksian dan ‘amr ini harus diingat, dicari, ditemukan dan dibuka kembali di mauthin dunya.
Dari mauthin syahadah beralih ke mauthin rahim, tempat di mana nafs dimasukkan ke dalam jasad disertai peniupan ruh—nafakh ruh atau nyawa yang menghidupkan jasad (lihat QS As-Sajdah [32]: 9). Jasad adalah ciptaan baru bila dibandingkan dengan nafs. Oleh karena itu jasad bukan entitas sejati manusia, akan tetapi nafs. Jasad adalah sarana bagi nafs untuk menjalankan ‘amr (misi hidup).
Penyatuan nafs ke dalam jasad memunculkan syahwat dan hawa nafsu. Syahwat adalah daya-daya jasadi. Syahwat sendiri bukan sesuatu yang buruk. Fungsi syahwat adalah untuk kelangsungan hidup jasad di mauthin dunya. Namun, syahwat baru menjadi buruk jika ia menguasai, mendominasi, atau memperbudak nafs.
Adapun hawa nafsu adalah oknum-oknum batin yang sifatnya pertengahan, antara jasad dan nafs. Sesuai namanya, ia adalah hawa dari nafs—sekadar hawanya, dan bukan nafs yang sejati. Ia tidak jasadi sepenuhnya, namun juga tidak nafs sepenuhnya. Marah, sombong, bangga diri, malas, takut, dendam, ragu, gelisah dan putus asa adalah beberapa contoh dari hawa nafsu. Hawa nafsu berfungsi untuk melindungi dan membantu nafs. Mereka semua adalah prajurit nafs, yang seharusnya dikomando oleh nafs muthma’innah (nafs yang tenang, tidak terpengaruh syahwat dan hawa nafsu) untuk mencapai tujuannya, yaitu melaksanakan ‘amr dari Allah ta’ala.
Namun, yang menjadi masalah adalah ketika para prajurit—syahwat dan hawa nafsu—justru menguasai pimpinannya (nafs) dan mengambil alih kepemimpinan. Nafs yang seharusnya menjalankan ‘amr dari Allah, malah dikuasai prajuritnya untuk memenuhi keinginan syahwat dan hawa nafsu. Nafs yang sepenuhnya dikuasai syahwat dan hawa nafsu disebut juga nafs amarah bi su’.
Nafs yang tidak sepenuhnya dikuasai syahwat dan hawa nafsu, atau berada dipertengahan, disebut nafs lawwamah, yaitu nafs yang menyesali segala perbuatan buruk jasadnya.
Ketahuilah bahwa Ruh—nafakh ruh, Ruh Al-Quds, jasad dan nafs, masing-masing adalah entitas berbeda yang ada pada diri manusia.
Untuk Apa Kita Ada di Dunia?
Beranjak dari mauthin rahim perjalanan berikutnya adalah mauthin dunya. Allah menempatkan manusia (ruh, jasad, nafs beserta tentaranya) pada mauthin dunya ini, tidaklah dengan sia-sia. Tujuan penciptaan—sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran—adalah untuk beribadah (Lihat QS Adz-Dzariat [51]: 56).
Tentang tujuan penciptaan tersebut disebutkan pula dalam sebuah hadits qudsi: “Aku adalah Harta Yang Tersembunyi (Kanzun Makhfiy), Aku rindu untuk dikenal maka Aku ciptakan makhluk.” Maka bisa dikatakan bahwa inti ibadah adalah untuk mengenal Allah (Rabb).
Dalam hadis lain yang masyhur di kalangan ahli tashawwuf disebutkan pula: man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu, barangsiapa yang mengenal nafs-nya, maka akan mengenal Rabb-nya. Dengan terlebih dahulu mengenali nafs, maka pengenalan akan Allah (Rabb) bakal terbuka.
Mengenali nafs berarti: mengingat kembali persaksian nafs dengan Rabb dan menemukan ‘amr yang telah ditetapkan kepada nafs ketika di mautin syahadah.
Untuk mengenali nafs-nya, manusia harus bertaubat. Taubat harus dilakukan dengan ber-thariqah di bawah bimbingan seorang mursyid yang haq. Thariqah dijalankan dengan bersuluk (laku hidup zuhud). Suluk dijalani dengan modal iman. Iman tidak bisa didapat tanpa berislam.
Maka tujuan kita berada di mauthin dunya adalah untuk mengenal Allah, yaitu dengan cara menjalankan syariat islam dalam keseharian (beramal shalih) dan bersuluk dalam thariqah (dengan bimbingan mursyid), sampai muncul serta membesarnya cahaya keimanan, sehingga akan membangunkan nafs supaya mengingat kembali persaksiannya dengan Rabb yang kemudian akan mencari ‘amr-nya.
Ketika nafs sudah bangun, dan disertai dengan jasad yang terus menerus beramal shalih, maka ketaqwaan akan tumbuh, kemudian Ruh Al-Quds akan hadir dan membuka ‘amr kita.
Ketika ‘amr dijalankan maka Rabb akan dikenali. Dan, kehidupan yang dijalani pun akan sesuai dengan fitrah atau ‘amr diri. Kehidupan akan sesuai dengan habitat diri kita. Akhirnya, kebahagiaan hidup di mauthin dunya akan diperoleh.
Akan ke Mana Kita?
Setelah jasad mengalami kematian dan Ruh (nafakh ruh dan Ruh Al-Quds) kembali kepada Penciptanya, maka nafs-lah yang akan melanjutkan perjalanan berikutnya menuju mauthin barzakh, atau yang sering kita sebut dengan alam kubur.
Di mauthin barzakh, nafs akan mengalami semacam simulasi ulang dari amal-amal perbuatan jasadnya ketika di mauthin dunya. Nafs yang masuk ke dalam golongan nafs amarah bi su’, akan mengalami kesulitan ketika di mauthin barzakh. Dosa-dosa akibat senantiasa memperturutkan syahwat dan hawa nafsu akan menemani perjalanan nafs dalam wujud makhluk-makhluk yang mengerikan.
Adapun nafs golongan lawwamah, akan mengalami fluktuasi kesulitan dan kemudahan secara bergantian, sesuai dengan amal baik dan dosa yang telah dikerjakan. Amal-amal baik yang dahulu dikerjakan akan menemaninya dalam bentuk yang tidak mengerikan, tergantung kadar amal baiknya.
Golongan nafs muthmainah merupakan golongan nafs yang selamat dari berbagai kesulitan di mauthin barzakh. Nafs mencapai status muthaminah apabila berpulang kepada Allah dengan telah menyelesaikan ‘amr yang diembankan kepadanya. Tenang karena tidak ada kekhawatiran, sebab semua ‘amr telah dipahami dan telah diperjuangkan untuk dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
Keadaan nafs di mauthin barzakh merupakan barometer untuk menentukan keadaan nafs pada mauthin-mauthin berikutnya. Apabila nafs selamat di mauthin ini, maka keadaan di mauthin berikutnya akan selamat pula.
Nafs berada di mauthin barzakh dalam jangka waktu yang sangat lama. Nafs-nafs sejak jaman Nabi Adam sampai mereka yang baru saja meninggal dunia itu masih menghuni mauthin barzakh. Nafs berada di mauthin barzakh sampai tibanya hari kiamat.
Saat tiba hari kiamat, sangkakala pertama ditiup, seluruh alam hancur, termasuk mauthin barzakh. Seluruh nafs penghuninya mengalami kematian. Ketika sangkakala kedua ditiupkan, nafs-nafs dihidupkan kembali dan diberikan wujud fisik sesuai dengan kondisi batin dari nafs pada mauthin sebelumnya. Ada wujud fisik yang menyerupai binatang, ada yang berwujud manusia dengan bentuk mengerikan, ada pula yang berwujud manusia sempurna, sesuai batin nafs-nya yang suci. Seluruh makhluk dikumpulkan di Padang Mahsyar lalu perjalanan pun beralih ke mauthin mahsyar. Di mauthin mahsyar seluruh manusia menunggu keputusan pengadilan Allah, apakah akan menjalani kehidupan surga atau neraka.
Setelah keputusan ditetapkan, perjalanan beralih ke mauthin akhirat. Di mauthin ini, nafs dan jasad mendapatkan surga dan nerakanya masing-masing. Surga bagi jasad berupa kenikmatan material, seperti aneka makanan dan minuman, bidadari sebagai pasangan, serta berkumpul kembali dengan keluarga. Sedangkan surga bagi nafs bukanlah kenikmatan material, tetapi berupa ‘ilm tentang Allah, Al-Haqq dan pengetahuan ketuhanan lainnya. Begitu pula neraka bagi jasad dan nafs, masing-masing berbeda.
Terakhir adalah mauthin al-katsib, atau ‘tempat yang dekat’, merupakan mauthin di pinggiran surga. Di tempat ini, nafs suci menikmati surga, yang kenikmatannya tidak ada di tempat manapun, yang tidak sekalipun pernah terlintas dalam bayangan, yaitu bertemu dan menatap Allah. Hal ini diungkap dalam sebuah hadis: “Sesungguhnya Allah memiliki surga yang tak ada kenikmatan di dalamnya, selain Allah menampakkan Diri tertawa di dalamnya.”
Renungan
Mengalami kehidupan yang tragis adalah sebuah stimulus untuk mencari jawaban tentang hakikat kehidupan. Merenungi kembali dari mana, untuk apa dan mau kemana kita. Dengan jawaban yang benar, kita akan mengetahui asal-muasal diri kita, tujuan kita hadir di sini, dan akan kemana perjalanan hidup kita selanjutnya. Akhirnya, kebahagian dunia dan akhirat akan kita peroleh, selama kita menjalani apa yang menjadi tujuan penciptaan kita.
Referensi
Alfathri Adlin, “Mata Air Agama-agama: Pluralisme Sufi dan Mencari Titik Temu dalam Perbedaan”, tidak diterbitkan.
Struktur Insan: Memahami Interaksi Unsur-unsur Pembentuk Manusia, dalam https://www.qudusiyah.org/id/ajaran/struktur-insan/
Rangkuman Pengajian Hikmah Al-Quran mengenai QS Al-Fajr [89]: 27-30.
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji