Meninggalkan Perbuatan Yang Tidak Bermanfaat

Herry Mardian

Hamba-hamba Allah yang sejati bukan saja menghindarkan diri dari perbuatan yang dosa dan syubhat saja. Demi menjaga kebeningan hati, mereka bahkan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat.

Di antara sifat-sifat hamba Allah yang mendapat kemuliaan adalah mereka sangat berhati-hati dalam memanfaatkan waktu mereka. Mereka menyadari bahwa waktu mereka terbatas, sehingga sangat menghindarkan diri menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Waktu, bagi mereka, bukanlah sesuatu yang ada begitu saja. Waktu adalah anugerah; dan Sang Pemilik Waktu bisa saja mencabutnya kapan saja dari diri mereka. Oleh karena itu pula, mereka menggunakan waktu sebisa mungkin hanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat.

Imam Al-Ghazali menerangkan bahwa di antara tanda-tanda kesempurnaan agama dan ciri-ciri ketakwaan seseorang dapat dilihat dari cara seseorang berbuat dalam memanfaatkan waktunya, apakah ia lalai dan mengira bahwa ia bisa menggunakan waktunya lagi di hari esok, ataukah ia berjuang untuk memanfaatkan waktu yang ada di tangannya saat ini dengan sebaik-baiknya.

Beliau juga menerangkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Tanda berpalingnya Allah dari seorang hamba adalah disibukkannya hamba tersebut dengan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dirinya.”

Beliau juga mengutip sebuah hadits Rasulullah tentang pentingnya memanfaatkan usia dengan sebaik-baiknya. Sabda Rasulullah, “Barangsiapa yang sudah berumur 40 tahun namun kebaikannya tidak dapat menutupi keburukannya, maka bersiap-siaplah masuk ke dalam api neraka.”

Abu Hurayrah ra. pernah meriwayatkan sebuah hadis masyhur berikut ini: ‘Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Dari tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.” (HR. At-Tirmidzi)’

Ada lima hal yang harus kita perhatikan sebaik-baiknya agar waktu kita tidak berlalu begitu saja tanpa manfaat. Sabda Rasulullah, “Rebut lima hal sebelum datang lima hal (yang lain). Masa sehat sebelum sakit, kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit, muda sebelum tua, dan hidup sebelum mati.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

Jika kita diperintah untuk meninggalkan hal-hal yang tak bermanfaat, maka apa sesungguhnya ‘hal-hal yang bermanfaat’ itu?

Imam Al-Ghazali menerangkan bahwa sesuatu yang bermanfaat itu sesungguhnya adalah ‘sesuatu yang menambah perasaan takutmu pada Allah ta’ala, yang menambah jeli matamu pada aib-aib dirimu, yang menambah pengabdianmu pada Rabb-mu karena ma’rifatmu kepada-Nya, yang mengurangi kegemaranmu pada keduniawian, yang menambah kegemaranmu pada akhirat, yang membuka mata hatimu dari apa yang akan membinasakan amal-amalmu, sehingga engkau menjaga dirimu darinya, dan yang menampakkan dan menjelaskan segala bentuk tipu daya syetan kepadamu.’

Waktu sesungguhnya tidak akan berulang. Apa yang ada di tangan kita saat ini, itulah milik kita. Jika kita mengira hari esok adalah milik kita dan bisa kita manfaatkan sekehendak kita, itu sesungguhnya ilusi. Kita tidak memiliki waktu. Jika esok hari kita masih ada dan masih memiliki waktu, itu semata-mata hanyalah anugerah Allah saja.

Rasulullah saw. bersabda, ”Ada dua nikmat yang mana banyak manusia tertipu di dalamnya, yakni kesehatan dan kesempatan.” (HR. Bukhari).

Abdullah bin Umar pernah mengatakan, “Rasulullah pernah memegang pundakku dan berkata, ‘Jadilah kamu di dunia ini seakan-akan orang asing atau seorang pengembara. Bila kamu berada di sore hari, janganlah menunggu datangnya waktu pagi. Dan bila kamu berada di pagi hari, janganlah menunggu datangnya waktu sore. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu.'” (HR. Muslim).

Salah satu anugerah Allah untuk menjaga hamba-Nya dari hal-hal yang tak bermanfaat, adalah dengan mencukupkan kesenangan di hati mereka melalui keluarga mereka sendiri, sehingga mereka terhindar dari mencari kesenangan pada hal-hal yang terlalu jauh. Dan mereka pun bersyukur melihat keturunan mereka dijadikan Allah sebagai hamba-hamba yang bertakwa.

Inilah yang tersirat dalam doa mereka, “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqaan [25]: 74).

(Dari artikel wawasan QS. Al-Furqan [25]: 72, Al-Qur’an Al-Karim “The Wisdom” oleh Herry Mardian)