
Nu‘aim Badrul Kamal
Bismillahirrahmanirrahim…
“Idul Fitri” berasal dari “id” (hari raya) dan “fithri” (pemecahan). Jadi, artinya adalah “hari raya pemecahan”, yakni pemecahan puasa. Yang memecahkan puasa adalah makanan atau minuman pertama pada hari itu. Orang Arab menyebutnya “fithr” atau “futhur”, kita menyebutnya “sarapan”. Orang Inggris menyebutnya dengan padanan harfiah dari fitri, breakfast.
Tidak salah jika Idul Fitri diartikan dengan “hari raya sarapan”. Disunahkan makan pagi sebelum shalat Idul Fitri. Zakat fitrah, atau lebih tepatnya zakat fitri, adalah zakat untuk sarapan yang diberikan dalam bentuk makanan pokok yang biasa dimakan.
Fitri adalah turunan dari fa-tha-ra. Makna dasarnya: membelah, memecahkan, merobek. Namun delapan kali Alquran menggunakan kata fa-tha-ra untuk “menciptakan”. Misalnya:
“Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada yang menciptakan (fathara) lelangit dan bumi dengan lurus…” (QS Al-An’am [6]:79)
Teduh adalah sifat pohon, yakni melindungi seseorang dari panas matahari. Jika kita mengatakan “matanya teduh”, yang kita maksud tentu bukan mata yang melindungi kita dari panas matahari, melainkan makna lain. Di sini jelas ada konotasi yang kita turunkan dari sifat pohon di atas: membuat suasana lebih sejuk, menetralisir “panas” dari sekitar.
Penciptaan dengan kata fa-tha-ra mempunyai konotasi yang sama: membelah, memecahkan, merobek. Ciptaan Allah swt di alam semesta adalah pecahan dari asma-Nya (nama-nama-Nya). Alam semesta adalah hamparan keping-keping mozaik dari asma-Nya yang agung.
Dari nama Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang), di alam kita melihat penyayangnya seorang ibu menyusui bayinya, seekor burung melawan ular untuk melindungi anaknya, atau sebuah yayasan berusaha mengentaskan kemiskinan dari Afrika. Demikian seterusnya untuk nama-nama lainnya. Manusia mengenali nama-Nya secara bertahap melalui keping-keping mozaik yang Dia tebarkan di alam semesta (bagaimana mungkin kita memahami Maha Pengampun-Nya, kalau di bumi tidak ada orang yang mengampuni manusia lainnya?).
Setiap orang dan setiap sesuatu mempunyai peran yang unik dalam mengejawantahkan asma-Nya. Peran itu hanya bisa dimainkan dengan karakter yang Dia tanamkan dalam diri masing-masing pemerannya. Karakter inheren manusia ini melekat sejak awal mula penciptaan. Sudah ada sejak dalam rancangan-Nya. Karakter inheren ini dalam bahasa Arab dikenal sebagai fitrah, yang juga merupakan kata benda dari fa-tha-ra.
Fitrah didefinisikan dalam kamus Al Munjid antara lain sebagai “sifat yang dengannya setiap ciptaan yang ada (al-maujud) disifati sejak awal waktu penciptaannya”. Alquran menyebutkan fitrah ini sebagai rancangan (cetak biru) penciptaan manusia:
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (ad-diin) dengan lurus. Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas (fitrah) itu. Tidak ada penggantian pada ciptaan Allah. Itulah agama yang tegak, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Ar-Ruum [30]:30)
Ayat di atas secara eksplisit menyatakan bahwa manusia diciptakan atas fitrah Allah swt, dan tidak ada penggantian dalam ciptaan itu. Ayat itu juga menyiratkan bahwa agama yang tegak adalah dengan menjalani hidup sebagaimana fitrah dirinya, yakni karakter inheren dalam rancangan penciptaannya.
Setiap orang berbeda dari orang lain dalam banyak hal. Yang satu menikmati pembicaraan, yang lain tersiksa karena hal yang sama. Itu menunjukkan bahwa setiap manusia adalah sekeping mozaik yang unik. Keping mozaik mempunyai arti yang besar ketika dia menyatukan diri dalam skema besar mozaik itu. Dengan cara menempati celah yang memang secara khusus disediakan untuknya, agar pada akhirnya terbentuk citra yang utuh dari mozaik itu.
Orkestra dibentuk oleh kombinasi permainan berbagai alat musik, dalam bimbingan dirigen sang penata. Seorang peniup saksofon yang berimprovisasi semata untuk menampilkan kemegahan dirinya tentu akan merusak acara. Hal yang terbaik yang bisa dilakukannya adalah mengalir bersama dalam simfoni orkestra.
Setiap orang harus bersungguh-sungguh untuk mengenali dirinya dan lalu berjuang untuk mewujudkan misi hidupnya. Dalam kontek ayat di atas (QS 30:30), membaca diri dan meluluhkan diri dalam mozaik semesta ini adalah misi hidup manusia agar agama tegak dalam dirinya. Meluluhkan diri bukan dalam arti binasa begitu saja, melainkan mengalir bersama alam semesta untuk mengagungkan asma Allah swt yang tak terperi. Meluluhkan diri seperti ini diistilahkan dalam Alquran sebagai fana:
“Semua yang ada di atasnya fana. Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kejalalan dan kemuliaan.” (QS Ar-Rahman [55]:26-27)
Dengan fananya makhluk berakal, di mata makhluk-Nya wajah Tuhan akan tampil kekal tanpa sekutu bagi-Nya. Lewat ini pulalah alam semesta akan mengenal Allah swt. Misi hidup seorang manusia adalah mengenal Allah swt dan menampilkan wajah-Nya melalui keberadaannya. Menjadi bagian dari tangan Tuhan dalam berkarya di dunia, apa pun peran yang untuk itu dia diciptakan.
Keagungan suatu amal tidak bisa diukur dari penilaian manusia. Apakah amal itu dalam rangka melahirkan karya Tuhan di bumi, agar yang tampil adalah wajah-Nya? Itulah ukurannya.
Kita diwajibkan shiyam (puasa) Ramadhan. Shiyam artinya menahan (imsak) atau bersemayam (istiwak). Shiyam-nya matahari adalah diam di titik kulminasi pada tengah siang. Shiyam-nya angin atau air adalah berhenti dan menjadi tenang. Shiyam-nya seorang hamba adalah adalah kekosongan dari tindakan, menahan diri dari melakukan apa yang sebelumnya tidak dilarang. Karena itu, shiyam bukanlah milik hamba, melainkan milik Tuhan.
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Setiap amal anak Adam adalah miliknya, kecuali puasa. Karena sesungguhnya puasa itu milik-Ku dan Aku akan memberikannya balasannya…” (HR Bukhari)
Idul Fitri adalah momentum untuk kembali kepada amal tindakan oleh seorang hamba. Hanya saja, kali ini orientasinya tidak lagi demi kepentingan pribadi, melainkan menjadi perpanjangan tangan Allah swt dalam karya-Nya.
Wallahu a‘lam.
Jakarta, Idul Fitri 1436 H
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji