Herry Mardian
Q: Yang saya pahami, penyebab orang mabuk adalah zat alkohol yang didapati dalam berbagai minuman yang dilarang. Zat yang dapat menyebabkan mabuk tersebutlah yang dilarang.
Ada beberapa makanan yang proses memasaknya menggunakan cairan yang mengandung alkohol seperti wine, bir, sake dll. Yang saya pahami, ketika kena api, kandungan alkoholnya menjadi terurai sehingga unsur alkoholnya hilang. Apakah ketika alkoholnya hilang, akan tetap membuat mabuk? Apakah tetap dilarang, walau alkoholnya sudah tidak ada? Kalau tetap dilarang, karena apa? Alkoholnya kan sudah tidak ada?
: :
A: Jawaban tentang hal ini terkait hukum dan ushul-nya sudah sangat banyak. Tinggal dicari saja. Tapi saya ingin mengajak untuk melihat dari sudut pandang yang lain.
Kita dilarang makan daging babi. Seandainya pun semua potensi penyakit dalam sekerat daging babi sudah dihilangkan, daging babi tidak menjadi halal. Daging babi tetap haram, biar disucikan bagaimana pun. Kenapa? Karena di tataran hakikat, hewan babi adalah simbol yang Allah gunakan di alam ini, sebagai manifestasi lahiriah dari sifat-sifat keserakahan.
Contoh lain. Ada masa-masa saya dulu ingin punya tato. Beberapa jenis tato, saya akui, memang indah. Sekarang, saya tidak mau bertato. Ogah. Kenapa? Karena iblis sangat menyukai tato (bisa dicari hadis qudsinya). Saya ogah mempunyai aspek apapun dari diri saya yang disukai atau dicintai iblis. Udah nggak penting lagi tato halal atau haram, bagi saya (kalau ada perdebatannya). Pokoknya ogah. Saya bahkan nggak mau makan di tempat yang sudi mengabadikan nama setan dalam toko atau produknya, misalnya sambel iblis, rawon setan, dan sebagainya. Kenapa? Alasannya nanti di bawah.
Balik lagi ke khamr (intoxicants, minuman yang tujuan dibuat atau diminumnya memang untuk mabuk). Di Al-Maidah: 90, khamr termasuk sesuatu yang ‘rijsun’ (kesulitan besar, kemurkaan Allah, malapetaka, bencana), dan termasuk amal yang disukai syaitan.
Al-Ma’idah : 90
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, (qurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk ‘rijsun’ dari perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Sementara di ayat lain, Q. S. Yunus : 100 disebutkan bahwa “Allah akan menimpakan ‘rijsa’ (kesulitan besar, kemurkaan, malapetaka) bagi yang tidak mempergunakan aql-nya.
Yunus : 100
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَن تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
“Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan ‘rijsa’ kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.”
Lalu, jika di 5 : 90 tadi kita diperintah untuk meninggalkan apa-apa yang ‘rijsa’—khamr membuat manusia kehilangan aql, judi membuat manusia tidak menggunakan aql: itulah yang mengundang ‘rijsa’— kenapa kita dengan sukarela mengundang ‘rijsa’ dari makanan?
Terlepas dari apakah alkoholnya masih ada atau tidak, apakah masih bikin mabu’ atau tidak, tapi bagi mereka yang ‘membangun rasa’ kepada Allah, berharap dijadikan sebagai seorang hamba yang ‘qarib’ (didekatkan), maka the last thing they want to do is membuat diri dekat atau tersentuh oleh aspek-aspek yang disukai oleh sesuatu yang sangat dibenci Allah, yang Allah murkai, dalam hal ini perbuatan-perbuatan dan hal-hal yang sangat dicintai iblis.
Kita ingin dicintai Allah, tapi kita menggunakan atribut-atribut sosok yang Allah benci dan murkai? Cinta kan bukan hasil keputusan. Cinta adalah akumulasi dari hal-hal kecil yang disukai pasangan–yang konsisten jadi bagian dari diri kita. Pasangan kita mencintai kita kan, karena kita adalah akumulasi dari hal-hal kecil yang disukainya? Dia mencintai kita bukan hasil dari keputusan ‘Oke. Mulai saat ini, sepuluh oktober dua ribu tujuh belas jam dua belas kurang sepuluh, saya mencintai Herry’. Bukan. Cinta itu tumbuh sedikit-sedikit, dibangun dari hal-hal kecil. Kita ngomong cinta cinta melulu ya nggak ngaruh kalau hal-hal kecilnya nggak menunjukkan itu. Sebaliknya, kalau perbuatan kecil-kecilnya sesuai dan konsisten, kadang nggak perlu ngomong juga nggak apa.
Nah. Seorang pejalan ruhani akan berusaha menjadikan dirinya sebagai akumulasi dari hal-hal kecil yang disukai Allah–secara konsisten. Ia membangun hal-hal kecil yang disukai Allah pada dirinya. Ia berusaha konsisten dalam hal-hal yang disukai Allah. Bukan sebaliknya, justru akrab dengan atribut-atribut atau perbuatan dari sosok yang dibenci-Nya.
Perbedaan pendapat tentang boleh/tidak, halal/haram, memabukkan/tidak di tataran fiqh tidak akan pernah selesai. Persoalan baru akan selalu ada di setiap zaman. Kompleksitas zaman semakin lama akan semakin rumit, dan ini pasti akan membutuhkan fiqh yang lebih kompleks juga.
Yang lebih penting bagi seorang hamba adalah pertanyaan, “bagaimana ‘perasaan’ Allah ta’ala terhadap saya, jika saya lakukan?” Ini sudut pandang yang lebih mendasar dari aspek hukum. Ini akan menghidupkan dzauq (rasa dalam). Di tataran ini, yang bermain sudah aspek rasa antara dua sosok yang saling menjaga perasaan masing-masing.
Jadi, kalau seorang pejalan yang mendekat kepada Allah, jika sebuah makanan sudah jelas-jelas terkena aspek yang Dia benci, seorang pejalan tidak akan menyentuhnya. Memabukkan atau tidak, boleh atau tidak, sebenarnya sudah nggak terlalu penting baginya.
Demikian, kalau sudut pandang saya
Btw, jika makanan disiram wine lalu dimasak, apakah pasti hilang 100%? Belum tentu.
: :
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji