
(Alfathri Adlin)
“Ketika masuk bulan Ramadlan maka syaitan–syaitan dibelenggu, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup.” (HR Bukhari dan Muslim)
Demikian hadits yang banyak disitir para khatib saat bulan Ramadhan. Adapun Abu Hasan Ali bin Khalaf bin Abdul Malik bin Baththal Al-Bakri Al-Qurthubi, atau biasa dipanggil sebagai Ibnu Baththal, menuliskan bahwa:
“Para ulama menakwil atau menafsirkan sabda Rasulullah saw, ‘Pintu-pintu surga dibuka dan syaithan– syaithan dibelenggu’ dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan dengan makna hakiki, yaitu mereka (syaithan– syaithan) dibelenggu dalam pengertian secara hakiki sehingga intensitas mereka menggoda manusia menjadi berkurang, berbeda dengan yang dilakukan pada bulan selain Ramadhan. Sedangkan ‘dibukanya pintu-pintu surga’ juga dipahami sesuai bunyi teks haditsnya (zhahirul hadits),” (Ibnu Baththal, Syarhu Shahih al-Bukhari: Riyadl-Maktabah ar-Rusyd, juz IV, cet. ke-2, 1423 H/2003 M, hlm. 20).
Hal senada juga pernah disampaikan oleh Zamzam AJT, Mursyid Penerus Thariqah Qudusiyah. Dari penjelasan kedua ulama tersebut, penulis mencoba membuat ilustrasi sebagai berikut:
Bahwa syahwat dan hawa nafsu manusia itu diumpamakan seperti bara api yang ada dalam diri manusia, adapun yang syaithan lakukan itu adalah mengipas-ngipasi sehingga bara api tersebut semakin menyala-nyala. Nah, di bulan Ramadhan, “kipasan” syaithan tersebut Allah buat melemah.
Apa artinya ini? Bahwa di luar bulan Ramadhan siapa pun bisa saja berdalih bahwa segala tindak tanduk memperturutkan syahwat dan hawa nafsu itu dikarenakan godaan syaithan agar tak usah dipersalahkan, dan bahkan seolah memosisikan diri sebagai korban tak berdaya.
Namun di bulan Ramadhan, jika semua tindakan memperturutkan syahwat dan hawa nafsu tersebut masih juga dia lakoni, maka siapa yang hendak dia jadikan kambing hitam, sementara “kipasan” syaithan dibuat melemah oleh Allah? Siapa yang hendak dia persalahkan jika ternyata syahwat dan hawa nafsunya masih masih saja menyala-nyala membara?
Maka, Ramadhan juga menjadi bulan yang baik bagi seorang muslim untuk bercermin melihat dirinya sendiri. Jika di bulan Ramadhan ternyata dia masih juga mudah marah, masih juga berburuk sangka, masih juga tekun memupuk dendam-dendamnya, masih juga berghibah, masih menyombongkan diri atau mencari-cari eksistensi diri, dan lain sebagainya, maka itulah wajahnya selama ini, tanpa perlu banyak bantuan “kipasan” dari syaithan.
Dalam QS Ali ‘Imran [3]: 14, Allah berfirman:
“Dijadikan indah dalam pandangan manusia kecintaan terhadap syahwat, yaitu perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”
Ayat tersebut menegaskan bahwa syahwat adalah segala hasrat terhadap sesuatu yang sifatnya fisikal, material, bersifat ‘kebumian’. Adapun menahan syahwat berupa hasrat terhadap makan dan minum maupun berhubungan seks selama bulan Ramadhan bisa jadi ‘lebih mudah’ dilakoni dibandingkan menahan hawa nafsu. Adapun hawa nafsu itu adalah hasrat imaterial seperti kesombongan, eksistensi diri, ketersinggungan dan amarah, benci, dendam, serta berbagai hasrat imaterial lainnya. Itulah kenapa Rasulullah saw bersabda:
“Berapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja.” (HR. Ibnu Majah no.1690 dan Syaikh Albani berkata, ”Hasan Shahih.”)
Baiklah, menahan lapar dan dahaga telah dia jalani, tapi bagaimana dengan berkata-kata menyakiti orang lain di media sosial? Itulah kenapa Rasulullah saw pun kembali bersabda:
“Bukanlah puasa itu sebatas menahan diri dari makanan dan minuman, tetapi puasa adalah menjauhi perkara yang sia-sia dan kata-kata kotor.” (HR. Ibnu Khuzaimah no.1996 dan tahqiq Syaikh Al-A’zami berkata, ”Shahih”)
Ramadhan juga menjadi wahana bagi setiap muslim untuk jujur di hadapan Allah, karena bisa saja dia berdusta di hadapan manusia, berlagak seolah shaum walau diam-diam dia sebenarnya makan dan minum. Atau lebih halus lagi, bahwa secara lahiriah dia memang tidak makan dan minum serta tidak berhubungan seks dengan pasangan sahnya, namun ternyata hawa nafsunya tetap saja aktif seperti di luar bulan Ramadhan, meskipun dia sembunyikan dengan “pencitraan shaum” di hadapan manusia lainnya.
Selain itu, Ramadhan juga menjadi wahana untuk berlatih (riyadhah) mengosongkan diri. Secara lahiriah adalah dari makanan dan minuman; secara batin adalah dari segala kehendak diri yang muncul dari hawa nafsu (dan bukan Kehendak Allah), agar kita bisa menjadi tak ubahnya alat musik akustik yang bagian tengahnya kosong dan bisa dimainkan untuk melantunkan nada-nada yang Dia kehendaki. Sebab alat musik akustik yang ditengahnya malah berisi padat oleh apa pun malah tak akan bisa dimainkan sebagai alat musik. Bayangkan suling yang bagian kosong di tengahnya diisi dengan segumpal kertas. Seharusnya kertas yang menyumbat tersebut—sebagai analogi bagi syahwat dan hawa nafsu—dikeluarkan agar seruling tersebut bisa menjadi “seruling Ilahi dalam membunyikan nada-nada yang dimainkan oleh-Nya.” Ini tertuang dalam puisi Rumi yang diterjemahkan oleh Herry Mardian sebagai berikut:
Ada rahasia tersimpan dalam perut kosong.
Kita ini cuma alat musik petik,
tak lebih dan tak kurang
Jika kotak suaranya penuh, musik pun hilang.
Bakarlah habis segala yang mengisi kepala dan perut
dengan menahan lapar, maka
setiap saat irama baru akan muncul
dari api kelaparan yang nyala berkobar.
Ketika seluruh hijab habis terbakar,
keperkasaan baru akan membuatmu melejit
berlari mendaki setiap anak tangga
di depanmu yang digelar.
Jadilah kosong,
lalu merataplah
seperti indahnya ratapan bambu seruling
yang ditiup pembuatnya. (1)
Lebih kosong,
jadilah bambu yang menjadi kalam
tulislah banyak rahasia-Nya. (2)
Ketika makan dan minum memenuhi dirimu,
iblis akan duduk di singgasana
tempat jiwamu semestinya duduk
bagai sebuah berhala buruk dari logam
yang duduk di Ka’bah. (3)
Ketika kau berpuasa menahan lapar,
sifat-sifat baik mengerumunimu
bagai para sahabat yang ingin membantu. (4)
Puasa adalah cincin Sulaiman (5)
Jangan melepasnya demi segelintir kepalsuan,
hingga kau hilang kekuasaan.
Namun andai pun kau telah melepasnya,
hingga hilang seluruh kemampuan dan kekuatan,
berpuasalah: mereka akan datang lagi kepadamu,
bagai pasukan yang muncul begitu saja dari tanah,
dengan bendera dan panji-panji yang berkibaran megah.
Sebuah meja akan diturunkan dari langit
ke dalam tenda puasamu:
meja makan Isa (6)
Berharaplah memperolehnya,
karena meja ini penuh oleh hidangan lain,
yang jauh, jauh lebih baik
dari sekadar sup kaldu sayuran.
Mengenai puisi Rumi tersebut Herry Mardian memberikan beberapa catatan sebagai berikut:
(1) Bambu kosong yang ditiup pembuatnya hingga bersuara, adalah simbol manusia yang telah kosong dari dominasi syahwat dan hawa nafsunya, dan hanya menjadi sarana penyampaian khazanah Sang Penciptanya. Ini adalah simbol Rabb yang meniupkan Ruh Al-Quds pada insan-insan yang telah kosong, yang tidak lagi mengeluarkan sesuatu pun dari dirinya kecuali bersumber dari ‘tiupan’ Sang Peniup Ruh.
(2) Kitab-kitab suci ditulis dengan pena bambu dan pena alang-alang yang dicelup ke dalam tinta. Ini adalah simbol bagi para Insan Kamil, yang telah menjadi penjelas rahasia-rahasia ilahiah bagi alam semesta.
Lihat juga QS Al-‘Alaq [96]: 2 – 4 (“Bacalah, dan Rabb-mu yang Maha Pemurah, yang mengajarkan melalui Kalam, mengajarkan pada insan apa yang tidak diketahuinya”).
Juga QS Al-Qalam [68]: 1 (“Nun, demi Kalam, dan apa yang dituliskannya”).
Kalam adalah simbol manusia kosong, yang hanya berisi ilmu-ilmu ilahi.
(3) Iblis duduk di singgasana tempat jiwamu semestinya duduk: Iblis menguasai qalb insan. Dan apa/siapa yang memenuhi, mendominasi atau menguasai qalb insan, akan menguasai seluruh diri insan. Ka’bah yang dikosongkan dari berhala oleh Rasulullah saw adalah simbol qalb yang telah dikosongkan dari berhala-berhala, pujaan dan kecintaan kepada selain Allah, melalui ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw.
(4) Lihat QS Fushshilat [41]: 35 (“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar. Dan [kesabaran] itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.”)
(5) “Cincin Sulaiman” konon adalah sumber kekuasaan. Legenda mengatakan, ‘barangsiapa yang mengenakan cincin Nabi Sulaiman, ia akan memperoleh kekuasaan’.
Sebenarnya “cincin Sulaiman” adalah cincin tembaga atau besi murahan yang diukir dengan kata-kata “Ini pun akan berlalu (Gam Zeh Ya Avor)”. Jika beliau merasa senang, ia menyadari bahwa kesenangannya hanya sementara sehingga ia menjadi sabar. Demikian pula, jika beliau merasa sedih, dengan melihat ke cincinnya ia menyadari bahwa kesedihannya bersifat sementara sehingga ia juga menjadi sabar dan ridha.
“Cincin Sulaiman”, yang barangsiapa memilikinya konon akan memperoleh kekuasaan besar, tak lain adalah kesabaran.
(6) “Meja Isa” adalah meja tempat Nabi Isa makan bersama para murid-muridnya dan menjamu mereka, setelah beliau dibangkitkan dari kematian. Simbol dari anugerah hikmah-hikmah langit dan kehidupan (Al-Ma’idah, hidangan langit).
Dari pemaparan di atas kita bisa melihat betapa mulianya seseorang yang bisa mengosongkan dirinya dari syahwat dan hawa nafsu, lalu diisi dengan Kehedak Allah semata, berserah diri sepenuhnya kepada Allah Ta‘ala, sehingga Allah pun menegaskan dalam hadits qudsi:
“Setiap amalan anak Adam itu adalah baginya, kecuali shaum, karena shaum itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari No. 1795, Muslim No. 1151, Ibnu Majah No. 1638, 3823, Ahmad No. 7494, Ibnu Khuzaimah No. 1897, Ibnu Hibban No. 3416)
Demikianlah cermin ihwal “siapa diri kita dalam Ramadhan” ini? Manusia dengan syahwat dan hawa nafsu yang tetap menyala-nyala membara meski tanpa perlu “kipasan” dari syaithan? Ataukah manusia yang kosong dari syahwat dan hawa nafsu sehingga menjadi tak ubahnya seruling Ilahi? Sebagai penutup, mari bersama-sama kita merenungkan tausiyah dari Zamzam AJT di bawah ini untuk memasuki bulan Ramadhan 1441 Hijriah ini:
Setiap diri akan menjadi saksi keburukannya masing-masing. Karena itu riyadhahlah. Jihadlah. Runtuhkan benteng Jabbârin yang memenjara dan mengelilingi al-qalb dalam diri kita, sambil bertawakkal sepenuhnya hanya kepada Allah semata dengan Bismillah, doa dan jihad.
Runtuhkanlah benteng Jabbârin ini karena di dalamnya terkandung 5 hal besar, yaitu kekuatan waham (pengetahuan yang salah, ilusi-ilusi kebenaran, ilusi-ilusi petunjuk), pemerintahan al-hawa (eksistensi diri, keakuan, ego), kemarahan dan dendam, syahwat, serta semua sifat nafsiyyah (mengeluh, lemah hati).
Runtuhkan itu semua dengan riyadhah dan jihad, karena Allah sengaja mendesain kehidupan kita dengan hiasan masalah demi masalah, yang justru sebenarnya merupakan obat untuk diri kita.
Perbaikilah hubunganmu dengan Allah, maka Dia akan memperbaiki semuanya.
Wallahu a‘lam bishawwab.
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji