
Alfathri Adlin
Bahwasanya baik Al-Quran maupun hadis sama-sama memiliki makna lahir dan makna batin. Adapun makna lahiriah Al-Quran itu akan tetap langgeng selamanya, sementara makna lahiriah hadis bisa gugur, tetapi makna batinnya tidak. Untuk bisa “menyentuh” makna batin Al-Quran dan hadis, kita harus suci secara lahiriah sebab tak bisa menyentuh yang suci selain yang suci pula. Hal itu di antaranya diungkapkan langsung dalam QS Al-Waqi‘ah [56]: 77-79 berikut:
Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali al-muthahharûn.
Permasalahannya, dengan berbekal imajinasi, nalar, prasangka, dan berbagai konstruksi yang sudah dimilikinya, maka pikiran manusia itu bisa saja membuat-buat atau mereka-reka tafsir atas Al-Quran dan hadis sehingga terkesan logis juga. (Hal ini akan semakin jelas terpahami kalau kita mempelajari hermeneutika cukup mendalam.) Dan kalau dikatakan bahwa maksud yang disucikan dalam ayat itu adalah berwudhu, lantas bagaimana dengan keliaran pikiran manusia? Kemudian, sekali pun dikatakan bahwasanya diperlukan sekian puluh ilmu alat untuk menafsir, namun itu pun bukan kesucian, tapi membaca dan menafsir dengan berbagai tools produk kecendekiaan umat Islam, produk tradisi ilmiah di kalangan umat Islam.
Dalam QS An-Najm [53]: 2-4 pun menegaskan:
“Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Bahwasanya wahyu itu bertingkat-tingkat dan wahyu tertinggi adalah Alquran. Kita coba bayangkan bahwa pesan berupa gelombang suara dari seseorang yang berbicara itu masih bisa dimediasi oleh udara untuk sampai ke telinga Anda. Atau pesan ke handphone pun masih bisa dimediasi oleh gelombang elektromagnetik yang merambat di udara. Nah, Al-Quran adalah pesan dari Allah Ta‘ala yang apabila disampaikan kepada qalb Muhammad dengan perantaraan alam semesta ini, tidak ada yang sanggup. Maka dibawalah pesan itu oleh yang kuat, yaitu Jibril as, ke dalam qalb Muhammad. Namun, ada wahyu-wahyu lain yang tingkatannya di bawah Al-Quran; bahkan Al-Quran juga menyatakan bahwasanya lebah, bumi dan ibunya nabi Musa pun mendapatkan wahyu.
Nah, dari lisan Rasulullah saw kita mengenal hadits qudsi (istilah yang konon pertama kali dipopulerkan oleh Ibn ‘Arabi), yaitu firman Allah yang tidak masuk dalam Al-Quran. Kemudian berbagai hadis Rasulullah yang sebenarnya—jika merujuk pada ayat “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”—adalah wahyu juga, namun dalam peringkat yang lebih rendah daripada Al-Quran.
Jadi, bisakah Anda bayangkan keagungan Rasulullah Muhammad saw? Bahwa semua yang keluar dari lisannya adalah wahyu, mulai dari Al-Quran, hadis qudsi hingga hadis-hadis? (Allahumma shali ala Muhammad…)
Menurut ulama sufi, al-muthaharûn itu adalah tingkat kesucian yang sama dimiliki oleh bayi. Semua manusia terlahir suci tanpa dosa. Saat masih bayi, indera manusia masih belum mampu bekerja secara maksimal, bahkan matanya pun perlu waktu sekian bulan untuk mulai menangkap suatu objek secara baik. Dalam kondisi seperti itu, bayi masih menggunakan indera jiwa. Karena itu sering terlihat bagaimana bayi tertawa-tawa melihat sesuatu, padahal kalau kita coba gerakkan sesuatu secara cepat ke wajahnya, mata bayi itu tidak berkedip disebabkan mata lahiriahnya belum bekerja secara baik untuk bisa menangkap objek-objek lahiriah di sekitarnya.
Namun sejalan dengan pertumbuhannya, mata jiwa (atau sering juga disebut sebagai mata hati) itu pun perlahan-lahan mulai tertutup. Selain karena mulai berbenturan dengan mata lahiriahnya yang semakin menguat, juga karena bayi yang akhirnya tumbuh dewasa itu pun semakin mengenal dunia dan mulai mengenal dosa yang menjadi tertutupnya mata jiwa tersebut. Maka Al-Quran pun mengatakan bahwa yang buta bukanlah mata yang lahiriah itu, akan tetapi hati di dalam dada.
Saat dewasa yang kita percaya hanyalah indera lahiriah kita, maka kita pun akan pandai berdalih ini itu hanya untuk membela kebutaan mata hati tersebut. Dalam salah satu hadits ditegaskan: “Jikalau tidaklah setan-setan itu mengelilingi qalb anak Adam, nicaya mereka dapat memandang ke alam malakut langit.”
Itulah kenapa kita yang sudah dewasa ini pun lupa bagaimana rasanya memiliki mata hati. Terakhir kali kita memilikinya adalah saat masih balita. Namun lama kelamaan yang kita anggap nyata hanyalah indera lahiriah saja. Bahkan dengan dalil-dalil agama yang ditafsirkan sesuai kepentingan pribadi, kita bisa membantah adanya indera semacam itu, lalu menyebut bidah mereka yang sudah dewasa namun mampu melihat ke alam malakut. Mungkin itu untuk memberi kenyamanan kepada diri kita sendiri atas butanya mata hati disebabkan oleh tumpukan dosa dan dosa.
Kalau kita mau berjarak sejenak dan melihat betapa anak kecil itu begitu murni dan seringkali tidak pendendam. Mereka akan bertengkar dengan teman sebayanya, entah berebut mainan atau memaksakan kehendaknya. Namun setelah mereka bertengkar dan menangis, toh 15 menit kemudian mereka sudah bermain bersama lagi. Seperti tak punya dendam. Namun, semakin mereka dewasa maka semakin mirip perilakunya dengan orang dewasa macam kita ini, yang nota bene egois dan pendendam.
Prototipe awal manusia yang suci itu pun perlahan-lahan hilang, dan indera jiwanya lambat laun mulai tak berfungsi lagi seiring dengan semakin menguatnya tabiat buruk bentukan lingkungannya. Demikian hingga akhirnya dia mulai menanggung dosanya sendiri. Maka jadilah bayi dan anak kecil yang suci itu manusia dewasa yang buta dan lumpuh semua indera jiwanya, menjadi manusia yang keras hati, bahkan dalam beragama pun menyukai kekerasan serta menuding-nuding orang lain sebagai salah jalan atau sesat, serta ingin benar sendiri.
Itu semua adalah pengantar untuk pembahasan tentang hadis berikut. Bahwasanya Rasulullah Muhammad saw dan juga Umar bin Khaththab pernah menganjurkan agar kita mengajarkan 3 hal kepada anak kita, yaitu: Berenang, Berkuda dan Memanah. Makna hadis tersebut secara lahiriah memang sesuai dengan konteks zaman itu, namun untuk zaman sekarang, bisa jadi secara lahiriah makna hadits tersebut sudah gugur (terutama berkuda dan memanah), akan tetapi tidak demikian halnya dengan makna batiniahnya.
Hikmah berenang itu serupa dengan simbol laut dalam Al-Quran yang melambangkan kehidupan dunia. Untuk melewatinya manusia harus membelah laut seperti Musa agar tak terbasahi, atau berjalan di atas laut seperti Isa, atau mengarunginya dengan bahtera. Hanya ikan mati yang akan menjadi seasin air laut. Maka dari itu jadilah seperti ikan hidup, yang merenangi lautan tanpa menjadi asin. Adapun hikmah dari berenang itu adalah mendidik anak untuk dapat mengarungi “lautan” kehidupan ini dengan selamat dan bukannya malah tenggelam.
Hikmah berkuda adalah seperti simbol kuda yang tertuang dalam QS Al-Âdiyât. Imam Al-Ghazali, misalnya, menceritakan bahwa kuda dan penunggang kuda beserta anjing pemburunya melambangkan jiwa sebagai penunggang, sedangkan jasad sebagai kuda, serta anjing sebagai hawa nafsu. Tentu saja, anjing pemburu di situ adalah anjing yang sudah terlatih lagi jinak dan bisa dipakai untuk menangkap hasil buruan yang sudah dipanah, bukannya anjing liar hawa nafsu milik kebanyakan manusia, yang menggonggongi siapa pun dan menyerang siapa pun yang dianggap mengusiknya. Hikmah berkuda dalam hadis itu adalah mengajari anak agar disiplin untuk mengendalikan jasad beserta syahwat dan hawa nafsunya.
Hikmah memanah adalah mendidik anak untuk fokus, terutama pada energi minimalnya, yang bisa menjadi pembuka langkah awal menuju dharma atau misi hidup sejatinya, misi hidup yang menjadi amanah setiap individu saat “diutus” ke dunia ini. Pandangan ihwal manusia tanpa cetak biru ini tumbuh subur dalam pemikiran Barat berbarengan dengan runtuhnya pandangan tentang realitas yang hierarkis. Alam tidak lagi dipandang bertingkat-tingkat. Yang dianggap realitas sejati hanyalah manifestasi fisik ini dan kemudian menjadi landasan penilaian untuk segala hal. Terlebih lagi, posisi Tuhan sebagai pencipta segala sesuatu telah dicoret dari pembicaraan filosofis; tabu untuk dibicarakan, seakan “pornografi” dalam filsafat.
Akan tetapi, sayangnya, pandangan tentang manusia tanpa cetak biru ini pun merembes ke dalam wilayah agama. Meski sampai saat ini agama masih mengakui adanya hierarki realitas, namun bagi kebanyakan pemeluknya, itu hanyalah sebuah konsep yang diyakini tapi tidak pernah dialami. Dalam Islam, misalnya, diyakini bahwa manusia itu diciptakan sebagai khalifah di muka bumi. Akan tetapi, konsepsi khalifah itu tidak menyentuh tataran bahwa manusia itu punya misi hidup khusus dan keahlian tertentu. Sepertinya bunyi keyakinan tersebut menjadi: “manusia adalah khalifah di muka bumi yang tidak ditentukan apa misi hidupnya dan harus menjadi siapa.”
Apabila kita melihat pohon mangga, pastilah kita yakin bahwa yang dulu ditanam di tanah tersebut adalah benih mangga. Namun, apabila ada manusia yang menjadi nabi, itu bukanlah karena misi kenabian tersebut telah ditentukan sejak awal penciptaannya. Itu hanya sebuah kebetulan saja. Pandangan aneh seperti ini—yang tanpa sadar banyak dianut orang—lebih menyerupai campuran “skizofrenik” antara pandangan hierarki realitas ala agama dengan keyakinan manusia tanpa cetak biru ala filsafat Barat yang tidak mempercayai hierarki realitas.
Coba amati kisah hidup Einstein. Waktu kecil dia benar-benar anak yang payah. Dipandang bodoh dalam semua mata pelajaran, kecuali matematika. Bahkan gurunya menyatakan kelak bila Einstein besar, dia takkan menjadi apa-apa. Ternyata Einstein malah menjadi fisikawan terbesar di abad dua puluh. Amati juga kisah hidup Thomas Alva Edison yang akhirnya dididik sendiri oleh ibunya setelah guru sekolahnya menolak mendidiknya. Setelah dewasa dia malah jadi seorang penemu. Dia bahkan betah melakukan eksperimen 1000 kali untuk menemukan lampu.
Apa yang paling mencolok dari kisah kedua tokoh itu? Energi minimal. Energi minimal itu semacam bayangan jati diri individu. Suatu kemampuan utama yang dimiliki seseorang yang mengalir mudah ketika mengerjakan sesuatu. Energi minimal tidak mengisyaratkan seseorang harus mengerjakan sesuatu tanpa kerja keras. Orang malah bisa kerja keras siang-malam, namun tidak merasa sedang bekerja susah payah. Setiap orang memiliki energi minimal, sehingga ada yang mudah mendalami filsafat, ekonomi, atau bahasa, dan lain sebagainya. Seseorang bisa saja bekerja keras menggeluti suatu hal, bukan dengan energi minimalnya, tetapi lebih kepada hasrat dan ambisi untuk meraih suatu hal. Guru yang baik mengajari, sementara guru sejati memberi inspirasi. Inspirasi akan membuat si anak didik mencari dan belajar dengan sendirinya. Inspirasi bisa memancing energi minimal keluar.
Coba lihat cahaya dari lampu pijar sepuluh watt. Betapa redupnya. Untuk dipakai membaca pun hanya akan membuat mata kita rusak. Namun saat cahaya 10 watt itu difokuskan menjadi sinar laser, maka besi pun bisa ditembusnya. Lihatlah minyak yang tumpah di lautan, menyebar ke mana-mana, namun saat kita celupkan tangan kita, ternyata tumpahan minyak itu dangkal saja.
Nah, mengajari anak memanah adalah agar dia fokus pada energi minimalnya, dan perhatiannya tidak menyebar dan terpecah ke mana-mana, agar lahir ketajaman dan ketepatan sasaran dalam masa pembelajarannya.
Begitulah hikmah hadits tersebut sependek yang saya tahu. Wallahu a‘lam bishshawwab. Semoga ada gunanya. Yang benar hanya dari Allah Ta‘ala, sedangkan yang salah dari saya pribadi. Salam.
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji