ORISINALITAS HAJI HASAN MUSTAPA

Alfathri Adlin

Dalam kunjungannya ke Indonesia, Annemarie Schimmel sempat tampil di satu stasiun televisi swasta nasional dalam talk show yang dipandu oleh mantan mahasiswanya, Haidar Bagir. Dalam talk show tersebut, Schimmel ditanyai pendapatnya mengenai kitab-kitab tasawuf nusantara. Schimmel tampaknya tidak terlalu antusias. Menurutnya, kitab-kitab tasawuf nusantara itu kurang memiliki orisinalitas atau, katakanlah, hanya epigon dari kitab-kitab tasawuf terkemuka seperti karya Al-Ghazali, Ibn ‘Arabi atau para sufi terkemuka dari jazirah Arab. Pandangan Schimmel tersebut mungkin semakin dikukuhkan dengan fakta bahwa tidak ada kitab tasawuf nusantara yang menjadi bacaan klasik mendunia, atau masuk dalam daftar bibliografi karya para islamolog, serta sangat minimnya nama Indonesia disebut dalam peta tasawuf.

Namun, ihwal orisinalitas pemikiran para sufi nusantara, apakah Schimmel pernah membaca Suluk Sujinah karya sufi Jawa anonim yang menceritakan dialog antara nafs (jiwa) dan jasad? Serat tersebut mengambil metafora dialog suami (simbol nafs) dan istri (simbol jasad) dalam sebuah dialog yang menggambarkan keinginan sang istri untuk bertemu dan mendapat tuntunan dari sang suami. Selain itu, apakah Schimmel juga pernah membaca Gelaran Sasaka Kaislaman (GSK) karya Haji Hasan Mustapa (HHM), sufi dari tatar Pasundan? Kitab tersebut sangat unik dan benar-benar orisinal, baik dalam tata letak maupun temanya. Kitab tersebut terbagi menjadi 7 bagian, yaitu Islam, Iman, Soleh, Ihsan, Sahadah, Sidikiyah dan Kurbah, yang menggambarkan jenjang status nafs manusia dalam perjalanan menuju Allah SWT. Lima bagian pertama dari kitab tersebut terdiri dari dua kolom berdampingan. Kolom sebelah kiri adalah ajakan atau seruan dari setan (panggoda iblis), sementara kolom sebelah kanan adalah ajakan atau seruan dari Allah SWT (pangjurung kapangeranan). Menjelang akhir bagian Sahadah, kolom sebelah kiri (panggoda iblis) berhenti dengan ucapan “perpisahan” dari setan karena telah gagal menggoda, dan kolom sebelah kanan (pangjurung kapangeranan) terus berlanjut. Pada bagian Sidiq dan Qarib, tidak ada lagi dua kolom yang berdampingan, yang ada hanyalah satu kolom besar yang semata berisi ajakan Allah SWT.

Tulisan ini akan mencoba membaca ketujuh tahapan di GSK dalam kesesuaiannya dengan skema Al-Quran dan Al-Hadis. Hal ini penting karena bagi banyak kalangan di Indonesia, karya-karya tasawuf—terutama macapat dalam bahasa Jawa atau pupuh dalam bahasa Sunda—tidak mencerminkan atau berlandaskan pada Al-Quran dan Al-Hadis. Selain itu, pembacaan ini juga penting untuk menunjukkan keorisinalan dan kejeniusan pujangga besar dari Tatar Pasundan ini.

Al-Quran merupakan kitab yang mengemukakan perkara manusia dari rentang waktu minus tak hingga (yaitu, sebelum penciptaan manusia) hingga plus tak hingga (yaitu, kehidupan di surga dan neraka). Adapun perkara yang dibicarakan HHM dalam GSK adalah fragmen kehidupan manusia dari semenjak ia menempuh jalan pertaubatan hingga mencapai tahapan khalifah Allah. Sebagaimana tercantum dalam QS At-Tîn [95]: 4-6, pada awalnya manusia diciptakan dalam sebaik-baik kejadian, namun kemudian terjatuh ke tempat serendah-rendahnya dalam kehidupan dunia ini. Dalam suatu titik dalam kehidupannya, manusia pun terpanggil untuk bertaubat. Taubat itu fardhu ’ain, karena mereka yang tidak bertaubat itu termasuk sebagai orang yang dzalim (QS Al-Hujurât [49]: 11). Pada titik awal pertaubatan inilah GSK memulai bahasannya.

Sebelumnya, kita ingat dulu hadis tentang Jibril yang menemui Rasulullah saw di hadapan para sahabat dan menanyakan tiga perkara, yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Rasulullah menandaskan: “Itulah Jibril datang untuk mengajarkan Ad-Dîn (agama) kalian.” Islam, Iman dan Ihsan itu merupakan tahapan sekaligus tiga sendi Ad-Dîn. Nah, tahapan awal taubat dalam GSK dimulai dengan tahapan Islam. Dalam QS Al-Hujurât [49]: 14 dikemukakan tentang seorang Arab (Badui) yang menyatakan telah beriman, namun disanggah oleh Rasulullah saw. Beliau saw menegaskan bahwa orang itu baru Islam (berserah diri). Perkara ini dipertegas juga dalam QS Az-Zumar (39): 22, bahwa setelah seseorang dilapangkan dadanya (shadr) untuk berserah diri (Islam), maka barulah dia menerima cahaya.

Apakah cahaya yang dimaksud di ayat tersebut? Dari rangkaian ayat QS At-Taghâbun (64): 11, Yunus (10): 9, Al-Hujurât (49): 14 dan 7, Al-Mujâdilah (58): 22, Asy-Syûra (42): 52, dapat kita lihat bahwa iman itu wujudnya cahaya, tempatnya di dalam hati (qalb), dan fungsinya adalah untuk menerima petunjuk. Sejalan dengan ini, Imam Al-Ghazali membagi iman itu menjadi tiga tingkatan. Pertama, iman awami, yaitu iman yang diartikan sebagai percaya. Kedua, iman mutakalimin, yaitu iman yang berdasarkan dalil-dalil, dan tingkatannya hanya sedikit lebih tinggi dari iman awami. Ketiga, iman ’arifin, yaitu iman yang berwujud cahaya dalam hati; inilah iman yang dimaksudkan Al-Quran. Sejalan dengan ini pula, HHM menempatkan tahap iman sebagai tahapan kedua dalam GSK. Pada tahap inilah seseorang bisa disebut sebagai mukmin.

Setelah seseorang dikehendaki oleh Allah SWT untuk mendapatkan cahaya iman, maka iman tersebut harus diejawantahkan dalam bentuk amal shalih. Dalam hadis, Rasulullah juga menegaskan bahwa iman itu harus ditegakkan dengan anggota badan (yaitu, beramal shalih). Dalam QS Al-Ankabût (29): 9, ditegaskan bahwa mereka yang beriman dan kemudian beramal shalih akan dimasukkan ke dalam golongan shalihin. Di tahap ini seseorang dapat disebut sebagai al-mukmin, yaitu kelompok yang khusus dari kelompok besar mukmin. Inilah tahapan ketiga yang dipaparkan HHM dalam GSK.

Setelah beramal shalih, maka mulai tumbuhlah dalam diri shalihin itu ihsan.  Rasulullah saw menegaskan bahwa “Ihsan ialah menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Dia. Biarpun engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau.” Dalam QS Al-Furqân (25): 70, ditegaskan bahwa mereka yang bertaubat, beriman dan kemudian beramal shalih maka sayyi‘ah-nya (keburukan) diganti dengan hasanah (kebaikan). Hasanah dan ihsan berasal dari satu akar kata yang sama dan, sebenarnya, memiliki irisan perkara yang sama. Orang beriman dan beramal shalih itu berarti telah bertaqwa, dan Rasulullah saw menegaskan bahwa buah taqwa adalah hasanah. Inilah tahapan keempat dalam GSK. Pada tahap ini, ketiga sendi agama (Islam, Iman dan Ihsan) sudah mulai tegak, maka sang mukmin siap masuk ke tahapan berikutnya.

Imam Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan bahwa awal dari Ad-Dîn adalah mengenal Allah SWT (ma’rifatullah). Dalam hadis yang termasyhur di kalangan sufi, Rasulullah bersabda bahwa barangsiapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya. Dalam QS Fushshilat (41): 53, ditegaskan bahwa Allah SWT akan memperlihatkan ayat-ayat di segenap ufuk dan dalam nafs manusia. Kalau kita urutkan skemanya adalah: mengenal ayat di ufuk—mengenal nafs—mengenal Allah SWT. Mengenal diri (nafs) berarti mengenal untuk apa dicipta, atau dengan kata lain, menemukan misi hidup. Inilah tahap kelima dalam GSK, yaitu ketika seseorang menjadi saksi yang haq atas Allah SWT (syuhada) karena telah mengejawantahkan kembali penyaksian primordial, sebagaimana tertuang dalam QS Al-A‘râf (7): 172. Pada tahap ini, HHM menggambarkan bagaimana panggoda iblis pun berpamitan karena telah gagal menggoda, dan tinggallah pangjurung kapangeranan semata. Maka masuklah sang al-mukmin tersebut ke tahapan ke enam, yaitu sidikiyah.

Di tahapan ini, sang al-mukmin telah menjalankan dan mendarmakan misi hidupnya. Dalam hadis, Rasulullah menegaskan bahwa manusia itu beramal sesuai dengan untuk apa dia dicipta dan di mana dia dimudahkan. Di tahap ini, sang al-mukmin kini ibarat pohon yang telah berbuah banyak, dan sebagaimana pohon tidak pernah memakan buahnya, begitu pula sang al-mukmin dalam mendarmakan misi hidupnya. Dalam QS Al-Hadîd (57): 9, ditegaskan bahwa yang dikatakan sebagai orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya hanyalah para syuhada dan shidiqqin. Nah, dengan menjalankan misi hidup inilah maka sang al-mukmin akan ditarik menjadi hamba yang qarib. Maka, dari sini sang al-mukmin akan berpindah ke tahapan ke tujuh, yaitu kurbah. Al-Quran menyebutnya sebagai al-muqarabûn, sebagaimana digambarkan dalam QS Al-Waqi‘ah (79).

Dari paparan singkat di atas setidaknya bisa terlihat kejeniusan dan keorisinalan HHM, juga keselarasannya dengan Al-Quran dan Al-Hadis. Dengan bahasa yang puitis beliau piawai memaparkan fragmen kehidupan manusia yang tengah berjalan menuju Tuhannya dalam bentuk paparan yang belum pernah ditemukan dalam karya tasawuf mana pun. Setidaknya beliau bisa menjadi salah satu representasi bahwa karya-karya sastra tasawuf di Indonesia tidaklah seperti yang Annemarie Schimmel katakan, yaitu semata epigon. Kejeniusan dan keorisinalan semacam ini sudah seharusnya diangkat juga dalam tesis dan disertasi dan suatu ketika nanti bisa membuka mata dunia akan khazanah sastrawi tasaswuf di Indonesia.[]