
Eveline Ramadhini
(PICTS, Mahasiswi Pascasarjana Sosiologi – Universitas Indonesia)
Jika Sapardi Djoko Damono mengatakan dalam puisinya “Aku İngin Mencintaimu dengan Sederhana”, maka tulisan ini ingin mencoba menjelaskan teori-teori yang dibawa oleh Ibnu Khaldun dengan lebih sederhana. Namun sebelumnya, penting untuk mengetahui latar belakang kondisi sosio-kultural yang akan mewarnai corak pemikirannya. Nama lengkapnya adalah Abdul Rahman ibn Khaldun (1332-1406 M). Dia adalah ilmuwan multidisipliner yang menekuni filsafat, sejarah, dan juga sosiologi. Menurut Sahrul Mauludi (2012), Ibn Khaldun merupakan ilmuwan yang memiliki akar dari metafisika yang diturunkan pada pemahaman filsafat, untuk kemudian diturunkan lagi dalam realitas sosial-politik yang bersifat materialisme historis serta dipengaruhi kondisi sosio-kutural bangsa Arab muslim. Pemikirannya hadir pada masa filsafat dan sains tengah mengalami kemunduran sepeninggal era Ibn Rusyd.
Ibn Khaldun melahirkan masterpiece tebal berjudul Al-Muqaddimah (bermakna Pembuka) yang berlanjut pada buku-buku selanjutnya, seperti Al-Ibar dan Al-Ta‘rif. Ia pun dijuluki oleh Bryan Turner (2006) sebagai Bapak Sosiologi. Hal yang menarik, buku Al-Muqaddimah sebenarnya baru “ditemukan” oleh Barat, dalam artian lebih banyak dikaji, bahkan menurut berbagai literatur, justru lebih banyak mendapat perhatian yang besar di Barat dibandingkan di Timur. Barangkali hal ini terkait juga dengan kemunduran yang dialami oleh umat muslim serta inferioritasnya terhadap Barat.
Ibn Khaldun, Orang Arab yang Berjarak dengan Bangsa Arab
Sejak awal masa penulisan Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun memang telah menggariskan jarak, seolah dia bukanlah bagian dari Bangsa Arab. Dalam bukunya tersebut, dia selalu menyebut kata “mereka” alih-alih “kami”. Selain itu, buku ini pun hampir lima abad lamanya diabaikan, karena Ibn Khaldun dianggap sebagai pihak yang telah memisahkan metafisika dari sejarah. Teori ashabiyah-nya pun amat kontroversial pada masanya karena dianggap merendahkan bangsa Arab yang disebutnya biadab, perusak, buta huruf, memusuhi ilmu pengetahuan dan keterampilan. Karena tidak hidup di masanya, kita tidak tahu persis fenomena sosial yang dialaminya. Namun, sikapnya yang berjarak menunjukkan objektivitas yang hendak dibangun dalam keilmiahannya untuk menyampaikan suatu gagasan. Modal ini amat penting bagi para ilmuwan untuk menyajikan informasi secara akurat dan menganalisisnya.
Lelaki kelahiran Tunisia ini merupakan keturunan keluarga Arab yang merupakan politikus besar, berpangkat kenegaraan tinggi, serta berpengetahuan luas. Namun, ia lahir ketika keluarganya tidak lagi berkiprah di dunia politik, sehingga Ibn Khaldun pun belajar langsung dari ayahnya mulai dari menghafal Al-Qur`an, tata bahasa, hukum, hadits, retorika, filologi, dan juga puisi. Di sisi lain, kota kelahirannya pun memberikan kondisi sosial yang amat kondusif untuk mendukung intelektualitasnya, karena dipenuhi para ulama dan sarjana yang lalu lalang bermigrasi dari berbagai penjuru dunia. Kemajuan pendidikan di masa itu dikarenakan Al-Qur`an menjadi basis utama untuk memahami kitab-kitab lainnya, sedangkan di masyarakat modern saat ini kemunduran besar justru terjadi karena ilmu semakin terkotak-kotakkan dan menjadikan Al-Qur`an hanya sebagai prioritas sekunder.
Abad ke-14: Era Kemunduran di Berbagai Aspek
Tatkala Ibn Khaldun beranjak dewasa, terjadi kekacauan politik yang masif. Kekuasaan muslim Arab mulai berjatuhan, sehingga terbentuk perserikatan yang terlepas dari pemerintah pusat. Secara historis dan intelektual, umat Islam di saat itu tengah mengalami kemunduran. Pasca bersinarnya karya filsafat dari Ibn Rusyd dan kitab tashawwuf dari Imam al-Ghazali, belum muncul lagi penulis yang menonjol. Dikarenakan fluktuasi atmosfer sosiopolitis, kultural dan intelektual tersebut Ibn Khaldun seringkali berpindah jabatan dan turut terlibat sebagai pion dalam percaturan politik.
Hal yang menarik, aspek intelektual ini menjadi titik permasalahan di zamannya. Penemuan ilmu terbaru yang awalnya biasa dalam dunia Islam, saat itu malah menjadi semakin asing. Di Afrika Utara terdapat kultur keilmuan yang memiliki kepercayaan bahwasanya segala ilmu pengetahuan telah ditemukan, sehingga orang-orang lebih sibuk menginterpretasikan dibanding menuliskan gagasan yang orisinal. Kondisi semacam ini juga tengah dialami bangsa Indonesia dan umat muslim saat ini. Salah satu alasannya adalah kebiasaan mengekor tanpa menghasilkan pemikiran orisinal sendiri. Ini bukan berarti menafikan sesuatu yang ilmiah, namun kurangnya kreativitas dalam melahirkan pemikiran orisinal dan pemerintah yang lebih menghargai industri dan perdagangan semata, serta pendidikan yang tidak inspiratif menjadi tumpukan masalah dalam pengembangan ilmu. Dampaknya, di zaman ini belum muncul lagi masterpiece seperti yang dilahirkan para ilmuwan terdahulu.
Mengapa Ibn Khaldun Terjun ke Politik?
Pertanyaan di atas cukup menarik. Pasalnya, Ibn Khaldun lebih dikenal di dalam buku-bukunya sebagai ilmuwan, tetapi rupanya ia juga pernah terjun sebagai praktisi dalam bidang politik. Hal ini, menurut berbagai literatur, terjadi karena keterpaksaan. Wabah kolera telah mengubah hidup Ibn Khaldun. Ketika ia mencapai usia 18 tahun di tahun 1348 M, kolera mewabah dan memakan korban termasuk ayah dan ibundanya, serta para gurunya. Maka masyarakat Tunisia yang selamat pun berbondong-bondong pindah ke Afrika Barat Laut. Fase ini menandakan berakhirnya masa pendidikan formal Ibn Khaldun dan dimulainya fase terjun sebagai politikus.
Di panggung politik, ia mengalami penderitaan akibat silih bergantinya penguasa yang ia temui, loyalitas yang harus selalu beradaptasi di setiap pergantian kepemimpinan. Perubahan situasi politik yang amat fluktuatif ini membuatnya seringkali gagal dan dibenci oleh musuh-musuh politiknya. Namun, dari kegagalan tersebut, ia belajar untuk memetakan pola tingkah laku kepemimpinan, sehingga bisa berpikir secara objektif. Upaya penggulingan kekuasaan dan intrik politik untuk berkuasa sudah ia alami silih berganti dalam kehidupan politiknya.
Hijrah Ibn Khaldun: Dari Kegelapan Menuju Cahaya
Di usia menjelang 50 tahun, dia mulai muak dengan dunia politik dan beralih ingin menyendiri serta berkontemplasi untuk menulis karya-karyanya. Ia berhijrah dari Granada, negeri penuh konflik politik yang tidak kondusif, menuju Tilimsan, negeri yang tenang dan kondusif bagi perenungan. Dalam kitab Al-Ta‘rif, ia mengakui bahwa dirinya dilancarkan untuk menulis di masa hijrahnya ini, “Rasanya, menuliskannya begitu mudah. Pikiranku begitu lancar dan kesimpulan-kesimpulannya terikhtisarkan.” Karena terbatasnya referensi, ia kembali lagi ke Tunisia, negeri kelahirannya. Setelah kiprahnya dahulu yang menuai kebencian akibat intrik politik, pada masa itu ia sudah diizinkan kembali oleh Sultan, sehingga pada tahun 1378 M dimulailah karir barunya sebagai seorang sarjana dan guru.
Karirnya yang sukses sebagai guru tak berjalan mulus, dia kembali tersandung, yaitu rekan sejawat yang menunjukkan sikap permusuhan serta sultan yang memintanya kembali menumpas pemberontakan dalam ekspedisi militer. Karena jera berkiprah di dunia politik, Ibn Khaldun menolak secara halus dan meminta izin untuk beribadah haji ke Mekah. Setelah diizinkan, ia rupanya tak melanjutkan perjalanan untuk naik haji melainkan pergi ke Kairo dan tinggal di sana selama 20 tahun. Dikarenakan reputasinya yang dipandang sebagai ulama, kehadiran Ibn Khaldun di Kairo menarik perhatian masyarakat di sana. Ia menjadi guru di Al-Azhar dan diangkat oleh Sultan untuk menjadi guru besar mazhab hukum Maliki.
Kemudian terulang lagi hal yang serupa, karirnya yang mulus dan tulus sebagai guru besar hakim membuatnya kembali tidak disukai sebagian orang. Dengan tegar, ia pun menuliskan dalam Kitab Al-Ta‘rif, “Dengan sekuat tenaga, aku berupaya untuk melaksanakan hukum-hukum Allah. Sedikit pun aku tidak merasa gentar terhadap celaan dalam menegakkan kebenaran. Pangkat maupun kekuasaan tidak membuatku takut. Kedua belah pihak yang berperkara tidak aku bedakan.” Meski demikian, ia tetap mengalami perjalanan berliku sehingga keluar dari profesi hakim dan menjadi guru di Universitas hingga 1400 M. Kendati demikian, ia tak pernah memutuskan untuk kembali menjadi politikus karena sudah belajar banyak dari pengalaman sebelumnya.
Melihat perjalanannya, kita dapat merasakan berbagai pergolakan yang dialami. Bahwasanya kesalahan terjadi bukan selalu untuk disesali, melainkan untuk menjadi pembelajaran. Suatu waktu, penulis pernah berbincang dengan seorang sahabat perjalanan, bahwa dalam “melukis” di suatu media, untuk menghasilkan warna tertentu diperlukan warna lain terlebih dahulu, yang bukan warna aslinya, untuk membentuk gradasi warna yang sempurna. Demikianlah cara Allah mewarnai hidup di dalam kanvas diri, berpetualang dulu ke suatu peristiwa atau pengalaman untuk menuju pada warna diri yang hakiki. Maka dalam setiap perjalanan hidup, ulul albâb berkata, “Rabbana mâ khalaqta hadzâ batilâ,” tidak ada yang batil dalam kehidupan ini karena semua berada dalam pengaturan-Nya. Tugas para sosiolog muslim hari ini adalah menguraikan kembali pemikiran Ibn Khaldun dan mengaplikasikannya dalam kajian ilmu sosial kontemporer. Mengapa? Untuk menggali khazanah yang sempat hilang dan mengontekstualisasikannya dalam era kekinian. Semoga Allah menolong.[]
[Bersambung]
Referensi
Al-Qur‘an Al-Karîm.
Ibn Khaldun, Muqaddimah: An Introduction to the History of the World, diterjemahkan Oleh Ahmadie Thaha Wali Pustaka: Jakarta, 2019.
Maulidi, Sahrul, Ibn Khaldun: Perintis Kajian Ilmu Sosial Modern, Penerbit Dian Rakyat: Jakarta, 2012.
Turner, Bryan S., The Cambridge Dictionary of Sociology, New York: Cambridge University Press, 2006.
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji