Alfathri Adlin
(Editor Pustaka Matahari)
“Ayahku berasal dari Balkh,” demikian ungkap Ibrahim bin Adham, “dan dia adalah salah seorang penguasa di Khurasan. Dia seorang yang amat kaya dan mengajariku suka berburu. Suatu hari aku tengah pergi berburu bersama anjingku, tatkala entah seekor terwelu atau rubah membuat gerakan mendadak. Aku mencambuk kudaku; kemudian aku mendengar suara di belakangku berkata, ‘Bukan karena ini engkau diciptakan: bukan kepada ini engkau ditugaskan.’ Aku berhenti, melihat ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak melihat satu orang pun; dan aku berkata, ‘A‘udzubillahi minasyaithani rajim.’ Kemudian aku kembali mencambuk kudaku; dan aku mendengar suara yang lebih jelas dari sebelumnya, ‘Wahai Ibrahim! Bukan karena ini engkau diciptakan: bukan kepada ini engkau ditugaskan.’ Aku berhenti sekali lagi, serta melihat kanan dan kiri, dan aku masih tidak melihat seorang pun; dan aku berkata lagi, ‘A‘udzubillahi minasyaithani rajim.’ Kemudian sekali lagi aku mencambuk kudaku, dan aku mendengar sebuah suara dari busur pelanaku, ‘Wahai Ibrahim! Bukan karena ini engkau diciptakan: bukan kepada ini engkau ditugaskan.’ Aku berhenti dan berkata, ‘Aku sadar sekarang! Aku sadar sekarang! Peringatan dari Tuhan telah datang kepadaku. Aku tidak akan ingkar atas perintah-Nya sejak hari ini.” Aku berhenti, dan berkata, ‘Aku telah dibangunkan! Aku telah terbangun! Sebuah peringatan telah datang kepadaku dari Rabb Al-Alamin. Sesungguhnya, aku tidak akan melanggar perintah Tuhan mulai hari ini, selama Tuhan melindungiku.’ Lalu aku kembali ke kaumku, serta meninggalkan kudaku; aku mendatangi salah satu gembala yang bekerja untuk ayahku, serta mengambil jubah dan mantelnya, serta mengenakan pakaianku kepadanya. Lalu aku pergi ke Irak, mengembara dari satu negeri ke negeri lainnya.”2
Bisa jadi yang pertama kali terpikirkan oleh sebagian pembaca ihwal peringatan “Bukan karena ini engkau diciptakan: bukan kepada ini engkau ditugaskan” adalah semestinya dia beribadah dan bukannya malah asyik berburu. Seolah aktivitas berburu—apabila dilakukan siapa pun—tak beda dengan aktivitas bersenang-senang lainnya. Akan tetapi bagaimana jika ada seseorang yang memang lebih dimudahkan untuk berburu dan dengan itu dia bisa memberi manfaat bagi banyak orang. Lagi pula aktivitas berburu ini tak mungkin dilakukan oleh Ibrahim bin Adham setiap saat. Terlebih setelah mendapat peringatan tersebut Ibrahim bin Adham bukan hanya meninggalkan aktivitas berburu, akan tetapi semua yang dimilikinya, bahkan posisinya sebagai putra mahkota, untuk kemudian menjadi sufi pengembara. Dari sini muncul pertanyaan: apakah menjadi sufi itu berarti harus mengembara, hidup miskin, tinggal di gua serta hanya asyik masyuk dengan perkara transendental dan pemurnian jiwa, tanpa punya kontribusi apa pun, sebagaimana stigma yang selalu diulang dan diulang dan diulang lagi dari tahun ke tahun ke tahun dari orang yang berbeda-beda? Untuk itukah Ibrahim bin Adham dicipta dan ditugaskan? Akan tetapi bisa jadi sebagian pembaca berpikiran “tujuan penciptaan dan tugas macam apa pula?” Permasalahannya di zaman ini sudah biasa kita diyakinkan, entah melalui training motivasi dan bahkan di bangku sekolah, bahwa “engkau bisa menjadi apa pun yang kau mau.” Di sisi lain, seorang jenius abad 20, Albert Einstein, berpendapat sebaliknya, dan hal itu tercatat dalam kisah hidupnya sendiri yang jatuh bangun dalam berbagai mata pelajaran kecuali matematika. Bab sebelumnya telah membahas ihwal ad-dîn sebagai utang atau sesuatu yang harus ditunaikan, serta dipikulkan kepada nafs (yang merupakan diri manusia sejati).3 Sementara dalam salah satu bagian kitab Matsnawi, Jalaluddin Rumi menuliskan sebagai berikut:
Dari jiwa-jiwa suci seterang bintang penyempurnaan selalu diberikan kepada bintang-bintang di langit.
Dari luar tampaknya kita diatur oleh bintang-bintang itu, padahal batin kitalah yang menjadi pengatur langit.
Oleh karena itu, sementara dari wujud engkau adalah mikrokosmos, pada hakikatnya engkau makrokosmos.
Tampaknya ranting itu sumber buah; padahal ranting itu tumbuh demi buah.
Jikalau bukan karena mengharap buah, mengapa tukang kebun menanam pohon?
Maka pada dasarnya pohon itu lahir dari buah, meski tampaknya ia dihasilkan oleh pohon.4
Dalam bait-bait puisi tersebut, Rumi menggambarkan keterkaitan antara dimensi batin manusia (sebagai mikrokosmos) dengan alam semesta (sebagai makrokosmos). Ribuan tahun lalu, dalam kitab Philebos, Sōkratēs dan Platōn mengatakan bahwa tubuh manusia pun adalah mikrokosmos, sebab mengandung 4 unsur (api, air, tanah, udara) namun dalam jumlah yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang ada di makrokosmos (alam semesta). Setelah sains modern berkembang, lahir teori Big Bang, mulailah muncul pandangan bahwa tubuh kita ini ternyata terbuat dari “debu-debu” bintang yang terbentuk di masa awal setelah Big Bang tersebut. Mungkin ini akan mengingatkan kita pada lirik dari sebuah lagu, “‘Cause we are all made of stars.” Ternyata Sōkratēs dan Platōn (dan banyak tokoh agama dari ribuan tahun lalu) tidak sedang melamun lalu mengungkapkan omong kosong. Akan tetapi, di tataran batin, bahwa jiwa kita pun adalah mikrokosmos, itu jauh lebih sulit dipahami, terutama di era modern ini, sebab jiwa dipandang tak lebih dari ilusi bentukan saraf dan otak. Adapun personality (kepribadian) merupakan persona (“topeng”, dalam bahasa Latin) yang dibentuk dari tumpukan berbagai pengalaman hidup sehingga maujud menjadi manusia sebagai person (pribadi). Jika di masa lalu tatkala disebut kata diri, maka itu merujuk kepada jiwa. Akan tetapi, di masa (post)modern ini, tatkala disebut kata diri, maka itu merujuk kepada wacana njelimet yang menegaskan pandangan anti-esensial dan ateleologis ihwal manusia bisa membentuk dirinya menjadi apa pun sesuai hasratnya; bahkan cenderung menandaskan bahwa justru hasrat itulah diri manusia sejati. Akibatnya, konsepsi ihwal “cetak biru” dari diri (sebagai jiwa) pun dianggap omong kosong, ditelan gelombang revolusi humanisme (meminjam istilah dari Yuval Noah Harari). Inilah diri tanpa diri, suatu contradictio in terminis, sebab dalam konsepsi diri kontemporer tak ada lagi konsepsi jiwa sebagai diri sejati yang ada sebelum tubuh dan akan tetap ada sesudah tubuh mati.
Maka bisa terbayangkan bagaimana kebanyakan orang di hari ini bisa mengimajinasikan bahwa apa yang ada di alam semesta merupakan cerminan dari apa yang ada dalam diri? Bahwa batin manusia itulah sebenarnya yang mengatur semesta? Di dua bait terakhir, Rumi sedang menggambarkan bahwa alam semesta ini diciptakan dan dipersiapkan untuk manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dari perspektif sains, bumi adalah yang terakhir muncul, bahkan Optimus Prime dalam film Transformers menyebut manusia sebagai spesies paling muda di alam semesta yang harus banyak belajar. Akan tetapi bukankah hal itu bisa juga ditafsirkan bahwa alam semesta ini tercipta untuk hadirnya lakon utama yang muncul di “puncak pergelaran”? Dengan demikian manusia bukanlah produk sampingan tak berarti yang berada di pojok alam semesta, karena sebagaimana Rumi katakan bahwa “pohon itu lahir dari buah, meski tampaknya ia dihasilkan oleh pohon”; bahwa alam semesta ini tercipta untuk kehadiran manusia walau tampaknya justru manusia yang tercipta karena adanya alam semesta, sebagaimana banyak diangkat dalam wacana sains maupun humaniora. Karena itu tak mudah memahami konsep mikrokosmos-makrokosmos tersebut sebab, sebagaimana Rumi nyatakan juga, bahwa hal tersebut hanya terbuka bagi “jiwa-jiwa suci seterang bintang.” Dalam QS Fushshilat [41]: 53 dinyatakan bagaimana Allah menampakkan ayat-ayat di ufuk dan ayat-ayat dalam diri (nafs) agar manusia tahu bahwa itu adalah al-haqq.5
Kekaburan ihwal diri sebagai jiwa yang merupakan entitas otonom dari tubuh semakin runyam karena seringkali tertukar dengan ruh. Di masa ini banyak orang memahami “jiwa = ruh” sebagaimana telah disinyalir Al-Ghazali sekitar 1000 tahun lalu. Maka, wujud seperti daimón atau ruh yang berbisik kepada Sōkratēs jika dia melakukan sesuatu yang bukan menjadi bagiannya, serta diam jika Sōkratēs melakukan sesuatu yang memang menjadi bagiannya, atau entitas yang dalam Perjanjian Lama disebut ruah, dan dalam Perjanjian Baru disebut sebagai pneuma atau parakletos, dan dalam Al-Quran disebut ruh, kini tak lagi dikenal apa fungsinya. Ruh sering disebut, terutama saat pemakaman, namun sekaligus terlupakan.6 Wujud ketiga inilah yang menuntun Sōkratēs untuk menjalankan peran sesuai jati dirinya, yaitu areté atau keutamaannya. Sokrates mengumpamakan bahwa sabit yang memiliki keutamaan adalah sabit yang dipakai memotong rumput, dan bukannya menjadi gunting. Inilah yang Sōkratēs sebut sebagai keadilan, yaitu bagaimana seseorang mengerjakan apa yang menjadi bagiannya dan tak mencampuradukkannya dengan bagian orang lain. Atau, dengan kata lain, menjalankan tugas sejatinya yang ditempuh melalui pengenalan diri. Itulah mengapa para pembaca Platōn bisa menangkap bahwa inti dari filsafatnya adalah kenali dirimu (gnōthi seauton), bukan perawatan diri (epimelea heautou) yang Michel Foucault usung agar sejalan dengan filsafatnya sendiri. Diri di sini adalah jiwa, sehingga jati diri itu bukanlah segala atribut di kartu identitas maupun di catatan instansi pemerintah.
Pengenalan jati diri ini akan mengantarkan manusia pada “apa misi hidupnya di muka bumi ini.” Dalam agama Hindu (yang nama sebenarnya dari agama ini adalah Sanatana Dharma) dan juga agama Buddha dikenal istilah dharma.7 Ide tentang dharma ini banyak dipaparkan dalam kitab Bhagawad Gita, yang menginspirasi novel Steven Pressfield lalu difilmkan dengan judul The Legend of Bagger Vance. Dalam Perjanjian Baru terlihat lebih jelas bagaimana setelah para hawariyin mendapatkan roh kudus, mereka pun bisa berbicara dalam bahasa asing, mengisyaratkan penugasan masing-masing ke daerah yang sesuai dengan bahasa yang mendadak mereka kuasai tersebut. Dalam khazanah Islam dikenal dengan istilah fithrah yang tak akan berubah,8 atau ma‘rifat (mengenal diri dan mengenal Rabb). Akan tetapi, konsep jati diri semacam ini telah menghilang di era modern. Membicarakan jati diri manusia di era modern bisa membuahkan label mematikan, yaitu esensialis. Sebagaimana ditulis oleh Robert Jay Lifton dalam bukunya, The Protean Self: Human Resilience in an Age of Fragmentation, manusia modern itu tak ubahnya sosok Proteus dalam mitologi Yunani, yang dikutuk oleh dewa Poseidon sehingga bisa berubah menjadi apa pun kecuali menjadi dirinya sendiri. Adapun dalam pemikiran Sōkratēs dan Platōn dijelaskan bahwa manusia itu hendaknya mengenal diri sendiri (yaitu jiwa) sebab di dalamnya ada keutamaan (areté) yang merupakan jati dirinya. Bahwa dengan mengenal diri, maka manusia bisa bertindak adil.
Konsep Keadilan Dalam Islam
Kata adil merupakan serapan dari bahasa Arab, yaitu ‘adl, dari kata ‘adala, yang bermakna al-istiwa (keadaan lurus), proporsional, selain itu juga bermakna jujur, seimbang, sama, sesuai, harmonis, tegak. Sedangkan secara istilah, ‘adl bermakna ‘penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya.’ Dalam hal ini, ada kemiripan arti dengan kata dikaiosune dalam bahasa Yunani yang bermakna keadilan, kebenaran dan ketegakan. Sedangkan kata ‘adalah, yang berarti keadilan, menurut Al-Ghazali adalah sebentuk ungkapan istiqamah perjalanan hidup (sirah) seseorang dalam agama sehingga menghasilkan jiwa yang kokoh serta muru‘ah (kepandaian menjaga wibawa) yang membuahkan tsiqah (dapat dipercaya). Di sini, ‘adalah merujuk kepada keberpegangteguhan akan adab syar‘i. Sedangkan Al-‘Adl merupakan salah satu al-asmâ’ al-husnâ (nama-nama indah Allah), dengan merujuk kepada Allah sebagai pelaku. Lebih jauh, Al-Ghazali menjelaskan ihwal asma tersebut bahwa:
“…Dialah yang senantiasa bertindak adil, lawannya kezaliman dan penindasan. Orang tidak dapat mengetahui orang yang adil tanpa mengetahui keadilan orang itu, dan orang tidak mengetahui keadilannya tanpa mengetahui tindakannya. Maka barang siapa ingin memahami sifat ini, maka dia harus memahami tindakan-tindakan Allah Ta‘ala dari kerajaan lelangit hingga ke ujung dunia, sampai ke titik di mana dia tidak melihat kecacatan apa pun dalam ciptaan Yang Mahabaik, dan tidak melihat keretakan di dalamnya, namun sekali lagi, hanya memperhatikan pandangannya menjadi lemah dan pudar. Karena keindahan dan kehadiran Ilahiah telah menguasainya dan membuatnya kagum pada keselarasan dan keteraturannya: bagi orang-orang seperti itu, maka keadilan Allah Azza wa Jalla melekat dalam pemahamannya.”9
Akan tetapi, dari 99 al-asmâ’ al-husnâ tersebut, asma yang dipakai untuk mengidentifikasi Diri-Nya adalah Rahman dan Rahim, karena dua asma itulah yang paling merepresentasikan Diri-Nya sehingga diabadikan sebagai Bismillahi Rahmani Rahimi. Dengan Rahman dan Rahim itu pulalah maka Dia hanya selalu memberikan yang terbaik bagi manusia. Ibn ‘Arabi mengutarakan bahwasanya Allah memiliki dua Tangan; Tangan Kanan merepresentasikan Kepemurahan-Nya, dan Tangan Kiri merepresentasikan Kemurkaan-Nya, padahal, kata Ibn ‘Arabi lagi, sebenarnya kedua Tangan tersebut semata Tangan Kanan, karena, sebagaimana ditegaskan dalam hadits qudsi: “Rahmat-Ku mendahului murka-Ku.” Dalam asma Rahman dan Rahim-Nya itu pulalah Jalaluddin Rumi menuliskan keadilan-Nya sebagai berikut:
Apakah keadilan? Menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Apakah kezaliman? Menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Apakah keadilan? Engkau siramkan air pada pepohonan.
Apakah kezaliman? Engkau siramkan air pada bebatuan.
Wahai Tuhanku, betapa banyak keburukanku yang Kau sembunyikan,
betapa banyak malapetaka yang Kau hindarkan,
betapa banyak sandungan yang Kau singkirkan,
betapa banyak bencana yang Kau tepiskan,
dan betapa banyak pujian yang tak layak kusandang Kau sebarkan.
Dalam Al-Quran, kata ‘adala dengan berbagai bentuk dan perubahannya disebutkan sebanyak 28 kali dalam 11 surah. Sedangkan kata lain yang juga muncul dalam Al-Quran, serta sering diterjemahkan sebagai ‘adil’, adalah qisth (disebutkan sebanyak 25 kali) dan mizan (disebutkan sebanyak 23 kali). Qisth berarti “berlaku adil, pembagian, memisah-misahkan, membuat jarak yang sama antara satu dengan yang lain, hemat, neraca, angsuran… [K]eadilan yang tercakup pada lafaz ini meliputi pemenuhan kebutuhan dan hak-hak perorangan atau pembagian, sehingga penggunaan lafaz al-qisth pada ayat 3 surah An-Nisa adalah pemenuhan kebutuhan hak pemeliharaan anak perempuan yatim oleh walinya.”10 Sedang mizan—dalam lafaz waznun—berarti “timbangan atau menimbang, juga bermakna seimbang, sama berat, sama jumlah, juga bermakna keseimbangan, juga berarti adil atau keadilan. Dengan demikian, lafaz ini bermakna alat yang digunakan untuk mengukur atau norma yang digunakan untuk menetapkan keadilan.”11 Kata adil dilawankan dengan kata zalim, yaitu menempatkan sesuatu yang bukan pada tempatnya. Al-Ghazali menjelaskannya lebih jauh:
“Nah, mungkin timbul pikiran bahwa ketidakadilan akan menyebabkan kemudharatan, dan bahwa keadilan berupa memberikan manfaat kepada manusia. Namun kasusnya tidaklah demikian. Karena kalau raja membuka gudang-gudang yang berisi senjata dan buku-buku serta berbagai barang, lalu membagikan uang kepada orang kaya dan senjata kepada ulama, dan menyerahkan benteng kepada mereka juga; sementara dia membagikan buku-buku kepada tentara dan personalia tempur, menyerahkan masjid-masjid dan sekolah kepada mereka juga, maka itu memang bermanfaat bagi mereka tetapi itu tentu saja bersifat menindas dan tidak adil, karena dia meletakkan segala sesuatunya bukan pada tempatnya.”12
Adapun karena dalam Islam manusia itu diciptakan menurut citra Ar-Rahman, maka dalam ber-akhlaq pun, makhluq (manusia) harus berperilaku sebagai representasi atau perpanjangan dari Khaliq (Sang Pencipta); dan Al-‘Adl merupakan salah satu asma Allah, maka sang hamba pun seharusnya merepresentasikan keadilan tersebut, dalam arti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, termasuk menempatkan dirinya sendiri sebagai khalifah.
Dalam QS Al-Baqarah [2]: 3013 dinyatakan bahwasanya Allah hendak menjadikan khalifah di muka bumi. Istilah khalifah dimaknai sebagai ‘wakil’ atau ‘pengganti’, akan tetapi bukan semata pengganti, namun sebagai wakil-Nya di muka bumi. Secara simbolik, yang disebut sebagai khalifah adalah sesuatu yang mewakili. Semakin mewakili berarti semakin mirip dengan atribut Ilahiah sehingga, pada prinsipnya, semakin tinggi pula derajat khalifah tersebut. Khalifah berarti menjadi citra Ar-Rahman, dan sebaik-baik khalifah adalah yang merupakan bayangan Allah, dan untuk itu maka setiap manusia diberi amanah.14 Akan tetapi dikarenakan ketidakadilan (zalim) serta ketidaktahuan ihwal dirinya sendiri (nafs), maka sangat sedikit sekali yang bisa menjadi Al-Insan atau khalifah Allah.
Dalam Al-Quran, perkara amanah memiliki keterkaitan dengan amr. Ada pun perkara amr itu sendiri seringkali dikaitkan dengan ruh. Al-Ghazali menegaskan “Ihwal QS Al-Isra‘ [17]: 8515 bahwa arti amri rabbi itu ialah termasuk rahasia ilmu mukasyafah dan tidaklah mudah melahirkannya. Karena tidak dilahirkan oleh Rasulullah saw.” Perkara amr dan Ruhul Qudus ini signifikan untuk memahami ma‘rifatunnafs–ma‘rifatullah. Ihwal amr yang diamanahkan pada diri setiap individu tersebut dijelaskan juga dalam ayat Al-Quran17 dan hadits.18 Al-Ghazali menyatakan “Ketahuilah, bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main atau sembarangan. Ia diciptakan dengan sebaik-baiknya dan demi suatu tujuan agung.”19 Sejalan dengan ilustrasi dalam puisi Rumi di atas, misalkan ada sebuah benih yang ditanam di tanah subur, disirami, diberi pupuk, dipelihara hingga akhirnya tumbuh menjadi pohon. Setelah akarnya tertanam kuat, batangnya cukup besar, dan daunnya pun lebat, maka pohon tersebut kemudian berbuah ranum dan manis. Manusia pun dapat memetik buahnya dan memakannya, serta dinamailah pohon tersebut dengan nama buahnya. Apabila pohon tersebut berbuah mangga, tentulah tak akan terpikir bahwa sebenarnya benih yang dulu ditanam adalah benih pohon nangka; dan demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini, alam memperlihatkan kepatuhan terhadap tujuan penciptaan. Tak pernah seekor anak ikan tumbuh menjadi burung, dan demikian pula sebaliknya.
Akan tetapi bagi manusia hal tersebut sangat mungkin terjadi, bahkan memiliki landasan filosofis dalam wacana teoretik (post)modern berupa diri tanpa diri. Analoginya seperti gelas yang tak digunakan sebagai wadah air untuk minum, melainkan menjadi asbak. Dalam Islam, malfunction semacam ini merupakan bentuk ketidakadilan terhadap diri sejati, akan tetapi merupakan pembebasan diri tanpa diri dalam pandangan filsafat (post)modern. Terkait ketidakadilan terhadap diri sejati, Watung Arif Budiman mengumpamakan manusia itu tak ubahnya Jason Bourne (diperankan Matt Damon) dalam film Bourne Identity. Dalam film tersebut digambarkan bagaimana Bourne, seorang agen CIA, menderita amnesia akut karena kecelakaan dalam sebuah misi. Dia berusaha keras untuk memulihkan kembali ingatannya. Bourne menyadari bahwa dia memiliki pengetahuan soal senjata dan cekatan memakainya, menguasai ilmu bela diri, tangkas kebut-kebutan, pandai bicara berbagai bahasa—skill-set yang dipandang “tak wajar” bagi Marie (Franka Potente). Akan tetapi, Bourne juga menyadari bahwa justru ada satu penting yang tidak ia ketahui, yaitu, siapa dirinya. Bourne berkata kepada Marie: “Now, Marie, how could I know all that and not know who I am?” Maka tatkala dia akhirnya bertemu kembali dengan atasannya, Bourne bertanya “Who am I?” Atasannya menjawab, “You’re U.S. Government property. You’re a malfunctioning-thirty-million-dollar-weapon!”20
Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Lucky Ginanjar Adhipurna, gagasan ihwal amr atau misi hidup ini memang mudah diterima. Bahwa setiap orang punya minat dan bakat spesifik. Bahwa itu pijakan paling efektif dan efisien dalam rangka aktualisasi potensi dirinya seutuhnya. Gagasan yang bahkan terlalu sederhana dan biasa. Mudah diterima dalam pikiran, namun mudah juga diabaikan dalam tindakan. Mudah diterima, karena gagasan ini indah—manusia terlahir dengan misi hidup tertentu dan dibekali bakat spesifik terkait misinya. Akan tetapi mudah juga diabaikan, karena diam-diam ternyata kita lebih percaya ilusi (post)modernitas tentang kebebasan manusia, sehingga tak rela hidup terbelenggu determinasi innate disposition apa pun, termasuk minat dan bakat. “Aku bisa menjadi apa pun yang aku mau,” itulah konon esensi spirit kemanusiaan, yaitu perjuangan menolak pasrah pada kungkungan kadar diri, untuk kemudian merengkuh visi diri tanpa diri. Salah satu tamsil terindah gagasan tentang misi hidup—yakni tentang adanya satu (dan hanya satu) jalan hidup paling optimal—diperoleh dari salah satu prinsip alam semesta yang dikenal dalam bidang fisika teoretik sebagai prinsip aksi terkecil (the principle of least action).21 Dalam penjelasan Richard Feynman:
Ketika SMA, guru fisika saya—Mr. Bader—suatu hari seusai jam pelajaran memanggil saya, “Kamu kelihatan bosan; aku ingin mengajarimu sesuatu yang menarik.” Yang lantas dia ajarkan memang sangat menarik, dan sejak saat itu, selalu saya dapati sebagai hal yang senantiasa menarik […] Yang dia ajarkan adalah prinsip aksi terkecil. Mr. Bader bilang pada saya, “Misalkan kamu punya benda dalam pengaruh gravitasi yang bergerak bebas dari satu titik ke titik lain—kamu lempar, melambung sebentar, lantas jatuh bebas (Gambar 1). Benda itu bergerak dari titik awal (here) ke titik akhir (there) dalam waktu tertentu. Nah, sekarang kamu andaikan benda itu bergerak dalam lintasan gerak yang berbeda, dari titik awal (here) tiba di titik akhir (there) dalam waktu yang sama (Gambar 2).” Kemudian Mr. Bader mengatakan: “Jika kita hitung energi kinetik dikurang energi potensial pada setiap momen dalam lintasan gerak itu kemudian diambil integralnya terhadap waktu di sepanjang lintasan itu, maka akan kita dapati hasil yang selalu lebih besar ketimbang lintasan gerak yang sebenarnya ditempuh. Dengan kata lain, hukum Newton bisa dinyatakan bukan dalam bentuk f = ma, akan tetapi dalam bentuk: integral selisih antara energi kinetik dengan energi potensial terkecil untuk lintasan gerak benda dari satu titik ke titik lain.”22

Kenapa apel jatuh lurus menimpa kepala Isaac Newton—dan bukannya bergerak zig zag kiri dan kanan lantas menghantam bagian samping wajahnya—dapat dinyatakan bukan saja karena ada gaya gravitasi yang menariknya tegak lurus ke bawah, namun juga karena apel itu memilih untuk menempuh lintasan dengan aksi (integral selisih energi kinetik dengan energi potensial) terkecil—kemungkinan lintasan lainnya selalu memiliki aksi lebih besar (fakta yang rasanya sudah jelas terang benderang bagi kebanyakan orang, namun untungnya ada sebagian kecil, yakni, para saintis, yang dianugerahi kepekaan untuk memandang takjub pada fenomena ajaib ini). Demikian salah satu ilustrasi tentang adil pada diri sendiri yang diberikan oleh Lucky.
Permasalahan adil seringkali dikontraskan dengan kezaliman, dan memiliki keterkaitan dengan perkara taubat. Sebagaimana dinyatakan oleh Mustofa Bisri: “Apabila bab-bab fiqih biasa dimulai dengan Thaharah (bersuci, membersihkan jasad dari najis dan hadas), maka bab-bab tashawwuf biasanya dimulai dengan bab taubat. Umumnya para sufi atau ahlul haqiqah memang menganggap taubat sebagai awal dari perjalanan ‘âbid menuju ma‘bud-nya.”23 Namun, taubat seringkali dipahami hanya sebagai kewajiban bagi mereka yang selalu berbuat dosa dan tidak taat dalam beragama. Zamzam A. Jamaluddin T. menjelaskan “Pertaubatan merupakan perkara yang diwajibkan Allah SWT bagi setiap orang yang beriman kepada-Nya, karena suatu pertaubatan adalah proses perjalanan untuk kembali kepada-Nya, sebagaimana tercantum dalam QS At-Tahrim [66]: 8, ‘Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang nashuha, mudah-mudahan Rabb-mu akan menutupi berbagai sayyiah (sifat buruk)-mu…’”24 Yang diseru untuk bertaubat dalam ayat tersebut bukanlah yang terlaknat, pendosa besar, atau kafir, akan tetapi orang-orang beriman. Dalam QS Al-Hujurat [49]: 11 dinyatakan bahwa: “…dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” Seruan itu ditujukan kepada siapa pun sehingga dengan demikian taubat adalah fardhu ‘ain atau kewajiban yang harus dilakukan oleh semua mu‘min, yang jika tak dilakukan, maka itulah orang yang zalim.25 Taubat berasal dari kata tâba – yatûbu – taubatan yang artinya adalah kembali. Menurut Al-Qusyairi, taubat adalah “kembali dari sesuatu yang tercela (menurut syara’) menuju kepada sesuatu yang terpuji… [dan] … merupakan ‘terminal’ pertama para salik (mereka yang menempuh perjalanan menuju ma‘rifat Allah).”26 Ini berbeda dengan istighfar yang merupakan tindakan meminta ampun kepada Allah.
Zamzam menjelaskan bahwa taubat merupakan perjalanan panjang seorang hamba dari mulai ketika dia berikrar ingin kembali kepada-Nya dengan meninggalkan kezaliman—dalam arti salah menempatkan diri, tak mengerjakan apa yang menjadi tujuan penciptaan dan jalan yang dimudahkan baginya, dikarenakan tidak mengenal diri sendiri—untuk kemudian menempuh jalan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) hingga sampai ke taubatan nasuha (taubat yang sebenar-benarnya) dan meraih ma‘rifat. Dalam perjalanan panjang menempuh shirath al-mustaqim (jalan yang lurus) untuk mencapai ma‘rifat itu, tak jarang manusia berbelok karena tipu daya syaithan yang telah bertekad akan menyesatkan manusia dari shirath tersebut dengan mendatangi dari depan, belakang, kiri, kanan.27 Zamzam menjelaskan bahwa “mendatangi dari depan” itu dari kekhawatiran akan hari esok, akan sesuatu yang belum terjadi, atau juga angan-angan panjang. Sedangkan “mendatangi dari belakang” adalah trauma akan masa lalu, berbagai andai-andai (“kalau saja dulu tidak begini atau begitu”). Adapun “mendatangi dari kiri” adalah dari berbagai perbuatan negatif yang dilarang hukum agama, sedang dari kanan adalah berbagai penyakit hati maupun perbuatan yang justru terbungkus jubah agama (misal merasa paling suci, paling paham agama, paling benar dan menganggap selain dirinya sesat, dan berbagai hal sejenisnya). Selain itu juga karena tarikan syahwat dan hawa nafsunya sendiri.
Maka, tatkala seseorang tersadar bahwa dia sudah ‘berbelok’ dari shirath al-mustaqim, disitulah dia ber-istighfar agar kembali ke shirath al-mustaqim. Ini saja sudah menunjukkan bahwa Shirath Al-Mustaqim itu bukan hanya merupakan titian yang ada di akhirat nanti, sebab pada saat itu Iblis pun menjalani pengadilan ilahi, lalu bagaimana bisa dia bersumpah hendak membelokkan manusia dari Shirath di saat tersebut? Shirath Al-Mustaqim sudah ada semenjak di dunia ini serta dimintakan petunjuknya dalam shalat minimal 17 kali sehari. Adalah shalat di awal waktu, amal yang paling dicintai Allah, dan dalam shalat manusia memohonkan shirath al-mustaqim. Bisa jadi seseorang shalat setengah jam kemudian (karena menunda), itu bukan shirath al-mustaqim-nya. Shalat awal waktu adalah hak Allah. Dengan memenuhi hak-Nya, maka semua urusan dunia sang hamba akan Dia atur karena dia telah memenuhi hak-Nya. Seringkali ketika datang waktu shalat, manusia malah semakin tersibukkan oleh urusannya yang banyak, padahal Dia yang menghadirkan kesibukan itu. Apabila seseorang malah semakin masuk ke dalam sekian banyak urusan yang Dia hadirkan, malah tidak akan pernah selesai urusan tersebut. Padahal seandainya shalat di awal waktu, lalu serahkan semua urusan kepada Allah Ta’ala, maka akan Dia diatur semua urusan dan menjadi lebih mudah; serta dijamin shirath al-mustaqim-nya. Adapun bagaimana bentuk Shirath Al-Mustaqim yang akan dititi setiap manusia nanti, dan bagaimana dia melewatinya, itu merupakan representasi dari Shirath Al-Mustaqim yang dia titi dan lewati semenjak di dunia ini.
Demikian, apabila manusia mengenal diri sejatinya (baca: nafs atau jiwanya) lalu ‘bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya’, maka itulah keadilan. Sedangkan yang sebaliknya adalah kezaliman, dan karenanya harus dilakukan pertaubatan atau perjalanan kembali meniti shirath al-mustaqim untuk mengenal diri (nafs) sehingga bisa mengenal Allah juga. Akan tetapi justru konsep keadilan sebagai kunci utama dalam agama inilah yang telah banyak dilupakan. Konsep keadilan macam ini bisa memberi visi dalam pendidikan seperti yang dinyatakan oleh Albert Einstein: “Semua orang terlahir jenius. Tetapi jika engkau memaksa seekor ikan harus punya kemampuan memanjat pohon, maka ikan itu akan menghabiskan seluruh hidupnya untuk mempercayai bahwa dirinya bodoh.”28
Mawathin: Pemetaan Kehidupan yang Dilalui Manusia
Menengok kembali kepada struktur insan,29 untuk memahami entitas mana yang merupakan diri manusia sejati, maka perlu disimak terlebih dahulu paparan menyeluruh ihwal tahapan kehidupan manusia sebagaimana tertuang dalam Al-Quran yang memetakan dari minus tak hingga masa lalu sampai plus tak hingga masa depan. Pemetaan menyeluruh tersebut dirumuskan menjadi konsep tujuh mawathin (bentuk jamak mauthin) oleh Ibn ‘Arabi30 plus satu konsep mauthin tambahan dari Zamzam (mendahului ketujuh mauthin lainnya yang dirumuskan Ibn ‘Arabi).31 Makna harfiah dari mauthin adalah tempat, tapi Ibn ‘Arabi mendefinisikannya sebagai alam manusia dalam perjalanannya pada jenjang kehidupannya. Dimulai dari mauthin awwal—yang diajukan oleh Zamzam—yaitu, suatu tempat di masa awal ketika Allah menciptakan sesuatu yang hanya ingin kembali kepada-Nya dan belum diatributi apa pun (sebagaimana tertuang dalam QS Al-Insan [76]: 1).32 Apabila secara jasad, nasab manusia itu terhubung kepada Adam, maka secara nafs terhubung kepada Nur Muhammadiyyah. Apabila penciptaan nafs diilustrasikan, maka itu menyerupai sumber cahaya yang memiliki radius sekian jauh, dan nafs diciptakan dari cahaya di segenap radius tersebut, dari yang paling dekat ke sumber cahaya hingga radius cahaya terjauh. Akan tetapi mesti diingat, di mauthin awwal ini yang ada barulah sesuatu yang hanya ingin kembali kepada-Nya dan belum berwujud jadi nafs yang telah memiliki atribut amanah atau misi hidup masing-masing. Dari sini barulah beralih ke tujuh mauthin yang dipaparkan Ibn ‘Arabi.

Lingkaran kuning merupakan tanda dari radius efektif atau radius setengah-cahaya di mana setengah dari total cahaya dipancarkan untuk kemudian mulai berkurang dan berkurang hingga akhirnya gelap gulita. Ini perumpamaan bagaimana “nafs” (jiwa) dicipta dari radius cahaya ini, mulai dari yang paling dekat dengan sumber cahaya hingga radius terjauh.
Di mauthin syahadah barulah sesuatu yang hanya ingin kembali kepada-Nya diwujudkan menjadi nafs yang dipersaksikan ihwal Rabb-nya dan mendapatkan ‘amr sebagai atribut kedirian berupa misi hidup (sebagaimana tertuang dalam QS Al-A‘raf [7]: 172).33 Penyaksian dan ‘amr ini direkam serta disimpan dalam Rûhul Qudus sehingga harus dicari, ditemukan dan dibuka dalam mauthin dunya. Dari sini kemudian beralih ke mauthin rahim. Di mauthin ini, nafs dimasukkan ke dalam jasad beserta peniupan ruh (min rûhi, sebagaimana tertuang dalam QS Shâd [38]: 72).34 Jasad merupakan ‘ciptaan baru’—karenanya bukanlah diri manusia sejati—yang menjadi wahana (markab) untuk nafs menjalani kehidupan di mauthin berikutnya, yaitu mauthin dunya. Pertemuan antara nafs dan jasad menghasilkan psikis, yang tak ubahnya pertemuan lautan (nafs) dengan pantai (jasad) menghasilkan bunyi deburan keras. Psikis memiliki sejarah pembentukan melalui faktor keluarga, sosial dan budaya (psikoanalisis Freudian atau psikologi analitis Jungian merupakan contoh bidang keilmuan yang menelaah lapis-lapis arkeologis dari psikis ini). Adapun nafs itu lebih azali ketimbang psikis, dan bukan bentukan.
Ketika terlahir ke mauthin dunya, manusia dianugerahi pendengaran, penglihatan dan fu‘ad.35 Fu‘ad merupakan bentuk primitif dari lubb. Tatkala jasad tumbuh membesar, fu‘ad membentuk pikiran (mind). Selain itu, psikis pun mulai mengkristal menjadi kepribadian (personality). Psikis, secara sederhana, bisa disamakan dengan shadr (dada), namun konsep shadr dalam Islam lebih lengkap ketimbang konsep psikis Barat yang menolak memasukkan unsur-unsur transendental dan ilahiah. Al-Hakim At-Tirmidzi menjelaskan bahwa shadr itu menyerupai telaga yang menampung dari sekian banyak mata air, entah itu ‘air keruh’ beserta kotoran dari sensasi inderawi, pikiran, hasrat, obsesi hingga ‘air mineral’ dari nafs, qalb, atau bahkan rûh. Namun karena teramat derasnya aliran ‘air keruh’ dari mata air lainnya, maka ‘telaga’ shadr tersebut menjadi kotor, hitam, penuh sampah. Itulah yang kemudian termanifestasi menjadi kepribadian (psikis) beserta segenap tabiatnya. Namun, tandas Zamzam, bagi yang telah Allah anugerahkan furqan—pembeda antara haqq dan bathil—yang berfungsi menyerupai saringan, maka segenap ‘aliran air’ menuju ‘telaga’ shadr akan disaring sehingga hanya unsur haqq dari segala sesuatu sajalah yang masuk.
Ketika mati, jasad tidak meneruskan perjalanan ke mauthin barzakh seperti nafs. Di mauthin barzakh ini, nafs melanjutkan perjalanan tanpa jasad yang telah terurai menyatu kembali dengan asalnya (yaitu, tanah bumi). Apabila nafs bisa ditimpa azab kubur karena ternodai dosa, maka ruh sudah pasti diterima di sisi-Nya karena ruh tak pernah ternodai oleh dosa dan terkenai segala kelemahan makhluk. Perjalanan nafs di mauthin barzakh ini merupakan simulasi ulang kehidupan di mauthin dunya, namun dengan berbagai pemanifestasian konkret segala elemen dalam diri dan kehidupan di mauthin dunya yang tadinya abstrak atau tidak konkret, seperti hawa nafsu, syahwat, bahkan dosa personal yang bermanifestasi menjadi sosok makhluk buruk rupa, atau juga Al-Quran yang biasa dibaca seorang muslim bermanifestasi menjadi sosok rupawan yang menemani nafs dalam perjalanan tersebut (sebagaimana disebutkan dalam hadits), dan lain sebagainya.37
Setelah itu, nafs memasuki mauthin mahsyar. Di mauthin ini, nafs dipertemukan kembali dengan jasad yang dulu telah hancur terurai dipeluk bumi. Akan tetapi sekalipun bahan baku pembentukannya kembali masih dari tanah jasad yang dahulu, di sini bentuk lahiriahnya sama sekali berbeda. Di mauthin dunya, yang menjadi cetakan jasad adalah nafs maupun aspek kebumian kedua orangtua. Karena nafs belum lagi memiliki dosa dan baru akan diturunkan ke muka bumi, maka secara umum jasad tercetak sesuai bentuk nafs. Akan tetapi faktor genetis juga membuat anak memiliki aspek keserupaan fisik dengan orangtua dan para leluhurnya; akan tetapi jika ada “masalah” dalam faktor genetik itu maka jasad manusia pun bisa terlahir dalam kondisi memiliki cacat atau penyakit biologis yang menetap selama hidup. Sedangkan di mauthin mahsyar yang menjadi cetakan adalah kondisi batiniah nafs. Itulah sebabnya hadits menggambarkan bahwa di mauthin mahsyar manusia dikumpulkan dalam berbagai bentuk dan keadaan seperti perut yang buncit besar, lidah yang panjang terurai hingga tergelar laksana tikar dan terinjak-injak yang lain, hingga jasad-jasad yang menyerupai kompilasi bentuk sekian binatang, dan sebagainya. Sementara nafs yang suci dan bercahaya, maka jasadnya pun akan menjiplak kondisi tersebut.
Dari sini kemudian beralih lagi ke mauthin akhirat, yang terbagi menjadi surga dan neraka. Di mauthin ini, nafs dan jasad mendapatkan surga dan nerakanya masing-masing. Surga bagi jasad adalah berbagai kesenangan fisikal. Sedangkan surga bagi nafs bukanlah kesenangan fisikal, akan tetapi ‘ilm tentang Allah, al-haqq, berbagai cahaya yang dianugerahkan. Begitu juga neraka bagi jasad dan nafs.
Terakhir adalah mauthin al-katsîb, atau tempat yang dekat, merupakan mauthin di pinggiran surga, tempat nafs suci bisa menikmati surga yang tak pernah dicerap indera dan pikiran, yang tak terlintas dalam bayangan, yaitu bertemu dan menatap Allah, sebagaimana diungkap hadits: “Sesungguhnya Allah memiliki surga yang tak ada kenikmatan di dalamnya, selain Allah menampakkan Diri tertawa di dalamnya.” Dalam hadits lain dikatakan “Allah berfirman: ‘Aku persiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shalih, kenikmatan yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia.’ Jika kalian suka, maka bacalah: ‘Tak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.’” (QS As-Sajdah [32]: 17) (HR Bukhari dan Muslim) Zamzam menjelaskan bahwa bagi mereka yang semenjak di dunia bersungguh-sungguh dengan tulus dan murni mencari Tuhannya, maka surga yang mata tak pernah melihat, telinga tak pernah mendengar, dan tak terlintas di hati itu merujuk pada pertemuan mereka dengan Allah yang mereka cari dan tuju semenjak menjalani hidup di dunia.

Dari paparan ihwal mauthin di atas, bisa terlihat bahwa oknum atau entitas yang selalu ada di semua tahapan mauthin tersebut adalah nafs. Dengan demikian terlihat jelas bahwa diri manusia yang sebenarnya adalah nafs, bukan jasad maupun ruh. Akan tetapi, nafs adalah entitas yang sering dikacaukan dengan pengertian psikologis yang memandangnya sebatas “ilusi” yang dibentuk oleh saraf dan otak serta dinamai sebagai kepribadian. Selain itu, nafs pun sering dikacaukan pengertiannya dengan hawa nafsu. Nafs adalah fokus pendidikan Ilahi dan “harus mengembara di muka bumi hingga terbuka kepadanya malakut langit, atau hakikat dari segala yang wujud (khalq) di alam syahadah, dan hakikat dari setiap khalq adalah Al-Haqq.”38 Sejak awal, nafs memang sudah memiliki potensi pengetahuan, yaitu tentang dirinya sendiri. Karena itu, aksioma man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu terbagi menjadi tiga bagian, di mana frasa ‘arafa nafsahu menunjukkan proses sang nafs ketika berusaha memahami pengetahuan yang dikandung dalam dirinya. Frasa ‘arafa Rabbahu menunjukkan proses ketika datang pengetahuan dari Rabb yang melegalkan (membenarkan maupun menyalahkan) pengetahuan diri tentang nafs-nya. Sementara kata faqad tidak mesti bermakna serial secara waktu, namun serial secara urutan sebab akibat.
Dalam hal ini, man ‘arafa nafsahu adalah sebab dari ‘arafa Rabbahu. Rabb berkepentingan terhadap kebenaran proses pengenalan manusia terhadap dirinya, karena manusia diciptakan sesuai dengan citra-Nya, dan sebagai makhluk yang paling ‘mirip’ dengan-Nya, maka diri manusia membawa pengetahuan tentang Rabb dalam derajat akurasi dan kebenaran tertinggi di seluruh semesta alam. Ma‘rifat merupakan rahmat terhadap hamba yang dikehendaki, yaitu rahmat kedua setelah kembali menjadi al-muthaharûn (tingkat kesucian bayi, yang merupakan rahmat pertama). Mengenai hal ini, Ibn Atha‘illah mengatakannya dalam Al-Hikam: “Ketika terbuka kepadamu wajah pengenalan (ta‘aruf), maka jangan engkau hiraukan amalanmu yang sedikit itu. Sesungguhnya hal ini tidak terbuka bagimu melainkan karena Dia menghendaki pengenalan-Nya atasmu. Tidakkah kau ketahui bahwa sebuah pengenalan itu merupakan pengenalan ihwal Diri-Nya kepadamu, sedangkan amal itu sesuatu yang engkau hadiahkan kepada-Nya. Maka sepadankah antara apa yang engkau berikan kepada-Nya dengan Diri-Nya yang Dia berikan kepadamu?”
Bila dalam proses ‘arafa nafsahu subjeknya adalah jiwa (al nafs), maka dalam proses ‘arafa Rabbahu subjeknya adalah Rûhul Qudus. Rûhul Qudus ini baru akan hadir bila nafs telah sempurna berproses, yaitu telah sampai ke derajat nafs al-muthmainnah. Hadirnya Rûhul-Qudus yang merupakan “utusan-Nya di dalam diri, yang membawa ketetapan-ketetapan hidup (‘amr) si nafs di dunia ini (lihat QS Asy-Syûra [42]: 52,39 langsung dari bahasa Qurannya yang mana terdapat kalimah rûh dan ‘amr). Rûhul Qudus merupakan juru nasihat sang nafs dari dalam qalb. Adapun nafs yang telah diperkuat dengan rûh ini, selain disebut sebagai an-nafs an-natiqah (jiwa yang berkata-kata disebabkan adanya juru nasehat dari dalam qalbnya), juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainnah. Disebut muthmainnah karena si nafs tersebut telah stabil dalam orbit dirinya (qudrah diri/swadharma), di sini rûh tadi disebut pula sebagai sakinah (syekinah dalam bahasa Ibrani) yang diturunkan ke dalam qalb yang memperoleh kemenangan (al-fath) ‘amr.”40
Karena itulah kehadiran Rûhul Qudus sangat terkait dengan amal shalih yang membuat nafs mampu menggunakan kekuatannya (aradh), maupun membuat tubuh mampu untuk menjalankan amal shalihnya, yaitu sesuai dengan kehendak Tuhan. Rûhul Qudus ibarat sosok Rasul di suatu kaum, dan kaum itu adalah diri al-mu‘min. Rûhul Qudus berbeda dengan nafakh rûh atau nyawa, karena Rûhul Qudus bukanlah wujud fisik sebagaimana nafakh ruh. Dia pun bukanlah aradh, sebab urusan (‘amr) Rabb mustahil berupa tubuh maupun aradh. Rûhul Qudus ini bersifat lathifah ‘alimah, yaitu sesuatu yang lembut (tidak bertubuh), memiliki ilmu dan memberikan kepahaman pada diri (nafs) manusia. Karena itu, bila dikaitkan dengan nafs, kehadiran Rûhul Qudus ini adalah dalam posisi guru, pemberi pemahaman, dan yang mentransfer pengetahuan dari sisi Tuhan, dikarenakan al nafs hanya mampu mengetahui kekuatan yang ada dalam dirinya saja. Entitas Rûhul Qudus ini disebut dengan Rûh ‘Amr dalam terminologi Al-Ghazali.
Perkara amanah misi hidup juga sudah banyak dipaparkan oleh para sufi, dan bahkan tertuang pula dalam pembabakan macapat yang akrab bagi masyarakat Jawa sebagai berikut: (1) Mijil, awal kelahiran manusia ke dunia; (2) Sinom, melukiskan masa muda yang indah, penuh dengan harapan dan angan-angan; (3) Maskumambang, masa ketika masih belum memiliki ilmu yang mantap dan terombang ambing; (4) Kinanthi, masa pembentukan dan pencarian jati diri serta menempuh jalan pencarian jati diri tersebut; (5) Asmarandana, masa-masa dirundung asmara; (6) Gambuh, komitmen untuk menyatukan cinta dalam satu biduk rumah tangga; (6) Pangkur, menyingkirkan syahwat dan hawa nafsu yang melumpuhkan nafs, dan untuk itu diperlukan riyadhah atau “melatih untuk mati sebelum mati”; (7) Dhandhanggula, gambaran dari kehidupan yang serba indah; (8) Durma, ber-dharma dengan menjalankan misi hidup; (8) Megatruh, terpisahnya nyawa (nafakh ruh) dari jasad; (9) Pocung, dibungkus kain mori putih menuju liang lahat; dan (10) Wirangrong, tembang penutup, usailah masa hidup.
Pemaparan semacam itu juga bisa ditemui dalam kitab Gelaran Sasaka di Kaislaman karya Haji Hasan Mustapa, sufi dari tatar Pasundan. Kitab tersebut terbagi menjadi 7 bagian, yaitu Islam, Iman, Soleh, Ihsan, Sahadah, Sidikiyah dan Kurbah, yang menggambarkan jenjang status nafs manusia dalam perjalanan menuju Allah. Lima bagian pertama dari kitab tersebut terdiri dari dua kolom berdampingan. Kolom sebelah kiri adalah ajakan atau seruan dari setan (panggoda iblis), sementara kolom sebelah kanan adalah ajakan atau seruan dari Allah SWT (pangjurung kapangeranan). Menjelang akhir bagian Sahadah, kolom sebelah kiri (panggoda iblis) berhenti dengan ucapan “perpisahan” dari setan karena telah gagal menggoda, dan kolom sebelah kanan (pangjurung kapangeranan) terus berlanjut. Pada bagian Sidiq dan Qarib, tidak ada lagi dua kolom yang berdampingan, yang ada hanyalah satu kolom besar yang semata berisi ajakan Allah.
Dalam kitab Fihi Ma Fihi, Jalaluddin Rumi menjelaskan: “Dan seseorang berkata, ‘Aku telah melupakan sesuatu.’ Sesungguhnya, hanya satu hal saja di dunia ini yang tidak boleh engkau lupakan. Boleh saja engkau melupakan semua hal lain, kecuali yang satu itu, tanpa engkau harus menjadi risau karenanya. Jika engkau mengingat semua yang lain, tapi melupakan yang satu itu maka tiada sesuatu pun telah engkau capai. Dirimu itu bagaikan seorang utusan yang dikirim seorang raja ke sebuah desa dengan suatu tujuan khusus. Jika engkau berangkat dan kemudian mengerjakan seratus tugas lainnya, tapi lalai menyelesaikan tugas yang dikhususkan untukmu tersebut, itu sama saja artinya dengan engkau tidak mengerjakan apa-apa. Demikianlah, manusia diutus ke dunia ini untuk suatu tujuan dan sasaran khusus. Jika seseorang tidak mencapai tujuan itu, berarti ia tidak menyelesaikan apa pun… ‘Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah itu kepada petala langit dan bumi dan gunung-gunung: dan mereka menolak untuk memikulnya dan gentar kepadanya; tetapi Al-Insan mengambilnya; dan sungguh, ia itu zalim dan bodoh’ (QS Al-Ahzab [33]: 72).” Lalu dalam salah satu syair Matsnawi, Rumi kembali menegaskan: “Kau mempunyai tugas untuk dijalankan. Lakukan yang lainnya, lakukan sejumlah kegiatan, isilah waktumu secara penuh, dan jika kau tidak menjalankan tugas ini, seluruh waktumu akan sia-sia.” Dalam Rubaiyat F#77, Rumi menulis sebagai berikut:
Bertahun kucoba kukenali diriku, dengan meniru orang lain.
Dari dalam diriku, aku tak tahu harus lakukan apa.
Tak kulihat siapa, kudengar namaku di seru dari luar.
Lalu jiwaku melangkah keluar dari dalam diriku.
Ibn ‘Arabi pernah menceritakan pertemuannya, ketika masih muda, dengan ‘Abd Allah Al-Khayyath atau Al-Qarraq, sebagai berikut: “Aku berjumpa dengannya di Masjid ‘Udays di Seville ketika dia baru berusia sepuluh atau sebelas tahun. Penampilannya sangat tidak rapi, berwajah kurus, seorang yang suka berpikir, sangat intens dalam ekstase dan kesedihannya. Tidak lama sebelum aku berjumpa dengannya, aku telah menerima inspirasi mengenai Jalan yang tak seorang pun belum mengetahuinya. Karena itu, ketika aku melihatnya di masjid itu, aku ingin tampil sebagai tandingan spiritualnya. Aku memandangnya dan dia balik memandangku serta tersenyum. Aku lalu memberikan isyarat kepadanya dan dia melakukan hal serupa. Kemudian, tiba-tiba saja, aku merasa seperti seorang penipu di hadapannya. Dia berkata kepadaku, ‘Rajin-rajin dan tekunlah, sebab terberkahilah seseorang yang mengetahui untuk apa dia diciptakan.” Pemaparan yang gamblang ihwal tujuan penciptaan manusia yang diamanahi misi hidup ini juga dituangkan oleh Nasir-I Khusrau dalam syair berikut:
Kenalilah dirimu
Kalau kau pahami dirimu sendiri,
Kau akan bisa memisahkan yang kotor dari yang suci
Pertama, akrablah dengan dirimu
Kemudian jadilah pembimbing lingkunganmu
Kalau kau kenal dirimu, kau akan mengetahui segalanya
Kalau kau pahami dirimu, kau akan terlepas dari bencana
Kau tak tahu nilaimu sendiri
Sebab kau tetap begini
Akan kau lihat Tuhan, kalau kau kenal dirimu sendiri
Langit yang tujuh dan bintang yang tujuh adalah budakmu
Namun, kasihan, kau tetap membudak pada ragamu
Jangan pusingkan kenikmatan hewani
Kalau kau pencari surgawi
Jadilah manusia sejati
Tinggalkan tidur dan pesta ria
Tempuhlah perjalanan batin seperti pertapa
Apa pula tidur dan makan-makan?
Itu semua urusan binatang buas
Dengan ilmu jiwamu bertunas
Jagalah sekarang juga
Sudah berapa lama kau tidur?
Pandanglah dirimu sendiri
Kau sesungguhnya luhur
Renungkan, coba pikirkan dari mana kau datang?
Dan kenapa kau dalam penjara ini sekarang?
Jadilah penentang berhala bagai Ibrahim yang pemberani
Ada maksud kau dicipta serupa ini
Sungguh malu kalau kau telantarkan maksud penciptaanmu ini.
Pemaparan singkat ihwal misi hidup dari para sufi di atas semakin lebih menegaskan bahwa dalam Islam, yang ditunjuk sebagai manusia sejati adalah nafs (jiwa) dan bukan tubuh; dan bahwasanya nafs itu diciptakan dengan suatu tujuan khusus, misi hidup unik individual yang harus ditunaikan—itulah makna ad-dîn—dengan menggunakan jasad sebagai markab (wahana) setelah seseorang mencapai ma‘rifatunnafs dan ma‘rifatullah yang merupakan awal dari ad-dîn. Akan tetapi untuk mencapai tahap tersebut mutlak dimiliki terlebih dahulu iman, islam sebagai keberserahdirian, serta taqwa.
Wujud, Tempat dan Fungsi dari Iman
Al-Ghazali membedakan dua pengertian iman, yaitu, (1) majasi atau bayang-bayang, yaitu iman yang dipahami sebagai percaya, dan (2) hakiki, yaitu iman yang dipahami sebagai berbentuk cahaya. Al-Ghazali menguraikan bahwa iman itu mempunyai tiga tingkatan. Pertama, iman awami atau imannya orang awam, yaitu iman yang diartikan sebagai percaya dan semata-mata taklid serta letaknya di lisan. Kedua, iman mutakalimîn, yaitu, imannya para ahli kalam yang bercampur aduk dengan berbagai macam dalil, dan tingkatannya mendekati tingkat keimanan orang awam, serta didukung dengan hujjah. Iman macam ini berdasarkan dalil-dalil, yang umumnya berupa pemaknaan iman baik melalui ilmu alat, linguistik, atau bahkan metode semiotik dan hermeneutik untuk yang lebih kekinian. Iman ini tingkatannya mendekati iman awami. Ketiga, iman ‘arifin, yaitu, imannya para al-mu‘min, juga orang-orang telah ma’rifatullah. Inilah tingkat keimanan dari orang-orang yang menyaksikan dengan nurul yaqin, yaitu Cahaya Allah memancar di qalb orang yang dikehendaki untuk bersih dari segala sesuatu yang tak disukai-Nya (dosa). Pengertian iman ‘arifin semacam inilah yang dimaksudkan dalam Al-Quran, seperti ayat berikut, “Orang-orang Arab itu berkata: ‘Kami telah beriman’ Katakanlah: ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah berserah diri’ (islam), karena iman itu belum masuk ke dalam qalb-mu…” (QS Al-Hujurât [49]: 14). Apa yang masuk ke dalam qalb? “Maka apakah orang-orang yang dilapangkan Allah shadr-nya untuk berserah diri (al-islam) lalu ia mendapat cahaya dari Rabb-nya…?” (QS Az-Zumar [39]: 22) Terkait ayat terakhir ini, Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menuliskan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya cahaya tersebut apabila masuk ke qalb manusia, maka menjadi luas dan lapang dadanya.” Seorang sahabat bertanya, “Apakah yang demikian itu ada tanda-tandanya, ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “Ya, orang-orang yang mengalaminya lalu merenggangkan pandangannya dari negeri tipuan (dunia) dan bersiap menuju ke negeri abadi (akhirat) serta mempersiapkan diri untuk mati sebelum mati.”
Adapun tempat iman itu ditegaskan dalam QS Al-Hujurât [49]: 7, “menjadikan iman itu indah dalam qalb-mu.” Keberhasilan proses pensucian nafs pada tingkatan-tingkatan berikutnya diikuti dengan pelimpahan cahaya keimanan yang lebih lanjut, yaitu “agar bertambah keimanan mereka bersama keimanan yang telah ada.” (QS Al-Fath [48]: 4) Maka dalam QS Al-Mujâdalah [58]: 22 ditegaskan, “Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan (kataba) keimanan dalam qalb mereka dan menguatkan mereka dengan rûh yang datang daripada-Nya.” Dari rangkaian ayat dan hadits di atas terlihat bahwa iman itu wujudnya cahaya, tempatnya di qalb, fungsinya untuk menerima petunjuk. Iman itu adalah milik Allah, dan hanya dengan izin-Nya saja seseorang bisa diberi cahaya iman. Di Al-Quran terdapat surat Al-Mu‘min (salah satu Asma‘ul Husna) adalah surat yang memaparkan tentang Allah, sementara Surat Al-Mu‘minûn adalah surat yang memaparkan tentang orang-orang beriman. Iman itu seperti ‘celupan jari’-Nya di qalb seorang hamba, sebagai stempel bahwa orang tersebut dalam perlindungan-Nya. Yang harus dijaga oleh sang hamba adalah jangan sampai ‘celupan jari’ tersebut ditarik kembali. Apabila tidak ada ‘celupan jari’-Nya di qalb seseorang, berarti orang tersebut dipenuhi dosa sehingga tidak ‘dicelupkan jari’-Nya ke qalb tersebut. Akibatnya, nafs lumpuh tak berdaya serta tidak bisa mencari pengetahuan tentang dirinya dan misi hidupnya. Bisa juga dipakai perumpamaan iman dalam qalb itu seperti burung yang bertengger di kepala dari Rumi dalam Matsnawi V, 3221: “Seolah-olah seekor burung yang sangat indah hinggap bertengger di atas kepalamu, lantas jiwamu gemetar takut ia akan terbang. Engkau tak berani bergerak ataupun bernafas, engkau menahan batuk, supaya burung itu tidak terbang. Dan apabila ada yang bicara, engkau akan meletakkan jari di depan bibirmu, berarti, ‘Hush!’”
Jasad manusia terbuat dari unsur bumi, dan untuk bertahan hidup memerlukan makanan dari unsur bumi juga (daging binatang atau tumbuhan, air, dan udara plus nafakh rûh) sebagai sumber energinya. Sementara nafs yang terbuat dari cahaya tidak memerlukan makanan dari unsur bumi untuk bertahan hidup, sebab tidak terbuat dari unsur bumi. Karena itu, nafs memerlukan cahaya iman—selain cahaya-cahaya lainnya di wilayah batin—agar bisa bangkit dari kelumpuhannya. Akan tetapi, iman itu bersyarat, sehingga harus mengerti apa hakikat iman, untuk apa iman itu, dan apa fungsinya. Jika akal sudah memahaminya, maka pertanyaan berikutnya: benarkah memerlukan iman? Apa keperluannya? Jika seseorang berjuang meraih iman, luruskah niatnya? Benarkah usahanya? Kuatkah jihadnya untuk mendapatkan cahaya iman?
Lazimnya mutakalimin (intelektual) memaknai bahwa iman dalam wujud cahaya itu semata kiasan, bahkan dimaknai sebagai pencerahan berupa wacana teoretik. Juga lazim dimaknai bahwa buta mata hati pun kiasan, maknanya bahwa buta mata hati adalah tidak memiliki kepekaan sosial. Hal itu terjadi dikarenakan ketiadaan pengalaman serta ketiadaan iman dalam wujud cahaya seperti pada tingkatan iman ‘arifin. Karenanya Al-Ghazali mengatakan bahwa iman mutakalimîn itu hanya sedikit di atas iman awami, sebab keduanya sama-sama tak mengalami realitas iman sebagai cahaya. Berbeda dengan para mutakalimîn, kalangan yang dikehendaki mengalami realitas iman dalam wujud cahaya, dan bukan dalam bentuk kiasan. Al-Ghazali dalam Munqid Min al-Dhalal, otobiografinya, menceritakan tentang cahaya yang masuk ke dalam dadanya, dan itu bukanlah kiasan.
Begitu pula halnya dengan buta mata hati. Mata lahiriah, sebagai bagian tubuh manusia, dapat melihat objek yang sealam dengannya, yaitu alam mulk wa syahadah (alam yang dapat diperintah dan disaksikan oleh mata lahiriah), dikarenakan adanya cahaya ke mata tersebut. Apabila manusia berada di ruang gelap yang tidak terdapat setitik cahaya pun, maka matanya tidak akan bisa menangkap objek apa pun selain kegelapan. Juga, saat manusia tertidur di kamarnya dan bangun di pagi hari ketika matahari mulai bersinar, maka ketika matanya terbuka, cahaya pun mengenai mata tersebut, dan terlihatlah lingkungan sekitar tempat dia tidur. Begitu pula halnya nafs (bukan psikis atau shadr-nya). Apabila tidak dianugerahi qalb seseorang dengan cahaya iman, maka selain nafs menjadi lumpuh, berarti tidak ada juga cahaya mengenai mata nafs tersebut. Akibatnya, hanya ada gelap gulita, baik di qalb maupun di nafs, sehingga butalah qalb tersebut. Namun, apabila qalb seseorang dirahmati dengan cahaya iman, maka seperti mata lahiriah dapat melihat alamnya, begitu pula halnya dengan nafs yang akhirnya bisa melihat alamnya sendiri, yaitu alam malakut. Dalam hadits disebutkan “Takutlah kalian dengan firasat orang-orang beriman, sebab mereka memandang dengan cahaya Allah.” Mudahnya, yang dimaksud dengan mukasyafah adalah terbukanya hijab hati, bukan semata melihat alam malakut (yang hanyalah salah satu tanda mukasyafah), karena keterbukaan dari hijab pengetahuan maupun hijab keakuan juga merupakan bagian dari mukasyafah.
Al-Quran menegaskan bahwa Allah merupakan Wali (pengayom, pelindung) bagi mereka yang beriman (dalam QS Al-Baqarah [2]: 257) dan “mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.” Cahaya merupakan lawan dari kegelapan sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-Mâidah [5]: 16, QS Al-Ahzab [33]: 43, QS An-Nur [24]: 35.41 Selain itu, Allah juga adalah An-Nûr yang merupakan Cahaya bagi petala langit dan bumi, dan tiada sumber cahaya lain sebagaimana ditegaskan dalam QS An Nur [24]: 40, “barangsiapa tidak diciptakan baginya cahaya oleh Allah maka tiada baginya cahaya sedikitpun.” Cahaya keimanan merupakan sesuatu yang terus dibawa ketika nafs melakukan perjalanan menembus berbagai mauthin. Inilah cahaya yang “bersinar di hadapan mereka” sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-Hadid [57]: 22 dan QS Al-An‘am [6]: 122.42 Dalam sebuah hadits diterangkan tentang keimanan berupa cahaya:
Suatu ketika Rasulullah saw sedang berjalan-jalan. Beliau saw bertemu dengan seorang sahabat Anshar bernama Haritsah. Rasulullah saw bertanya, “Bagaimana keadaanmu, ya Haritsah?” Haritsah menjawab, “Hamba sekarang benar-benar menjadi seorang mukmin billah.” Rasulullah saw menjawab, “Ya Haritsah, pikirkanlah dahulu apa yang engkau ucapkan itu, setiap ucapan itu harus dibuktikan!” Haritsah menjawab, “Ya Rasulullah saw, hawa nafsu telah menyingkir, kalau malam tiba hamba berjaga untuk beribadah kepada Allah SWT, dan di waktu siang hari hamba berpuasa. Sekarang ini hamba dapat melihat Al-‘Arsy Allah tampak dengan jelas di depan hamba. Hamba dapat melihat orang-orang di al-jannah saling kunjung mengunjungi. Hamba dapat melihat penghuni an-nar berteriak-teriak.” Maka Rasulullah saw berkata, “Engkau menjadi orang yang imannya dinyatakan dengan terang oleh Allah SWT di qalb-mu” (HR Anas Bin Malik).
Qalb adalah satu-satunya fakultas nafs yang dapat menerima cahaya iman, sebagaimana ditegaskan dalan hadis qudsi: “Tidak cukup untuk-Ku bumi-Ku dan langit-Ku, tetapi yang cukup bagi-Ku hanyalah qalb hamba-Ku yang mu‘min” (HR Ahmad). Qalb yang diterangi cahaya iman itu laksana rembulan, sehingga mulai tampaklah langit (samâ‘i = nafs), dan permukaan bumi (ardh = jasad). Adapun fungsi iman adalah sebagai sarana diturunkannya petunjuk (hudan) sebagaimana ditegaskan dalam QS At Taghabun [64]: 11, QS Yunus [10]: 9, dan QS Al Hajj [22]: 54.43 Melalui iman dalam wujud cahaya, manusia diajarkan kebenaran ayat-ayat-Nya (baik quraniyah maupun kauniyah) sehingga dapat menyaksikan kerajaan langit (alam malakut atau alam jiwa), menyaksikan ayat-ayat-Nya tanpa terbatasi ruang dan waktu, serta dapat memahami berbagai pelik dan hakikat agama, sebagaimana tertuang dalam QS Fushshilat [41]: 53, QS Al Ankabut [29]: 49, QS Al Waqi’ah [56]: 79.44 Dengan bantuan berbagai cahaya batiniah tersebut manusia diperkenalkan ihwal Diri-Nya, dan diperlihatkan berbagai cahaya kesucian, sehingga bisa mencapai ma‘rifat serta beriman kepada para rasul-Nya.45 Sedangkan bagaimana peran iman berwujud cahaya ini dalam menerima dan menyikapi apa-apa yang diturunkan dipaparkan oleh Ibnu Umar:
“Kita telah hidup sekejap mata. Ada di antara kita memperoleh iman sebelum Al-Quran, lalu turunlah surat Al-Quran itu. Maka dipelajarinyalah yang halal dan yang haram, yang disuruh dan yang dilarang, dan apa yang dia harus berhenti sampai di situ. Aku sudah melihat beberapa orang. Salah seorang di antara mereka didatangkan Al-Quran sebelum iman, maka dibacanyalah semuanya, dari permulaan sampai ke penghabisan Kitab Suci, dengan tidak diketahuinya apa penyuruhnya dan apa pelarangnya. Dan apa yang seyogyanya dia berhenti padanya. Maka dihamburkannya apa yang dibacanya itu seperti menghamburkan kurma busuk.”
Dalam kesempatan lain, dia juga berkata:
“Adalah kami para sahabat Nabi saw diberikan kepada kami iman sebelum Al-Quran. Dan akan datang sesudah kamu, suatu kaum yang diberikan Al-Quran sebelum iman. Mereka menegakkan huruf-huruf Al-Quran dan menyia-nyiakan batas-batas dan hak-hak dari Al-Quran, dengan mengatakan: ‘Kami sudah baca, siapakah yang lebih banyak membaca daripada kami? Kami sudah tahu, siapakah yang lebih tahu daripada kami?’ Maka begitulah nasib mereka.”
Adapun petunjuk itu terkait salah satu al-asmâ’ al-husnâ, yaitu Al-Hadi (Yang Maha Menunjuki). Petunjuk merupakan faktor pemilah manusia menjadi golongan beruntung dan merugi sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-A‘raf [7]: 178, QS Al-Baqarah [2]: 272, QS Al-Baqarah [2]: 120, QS Yunus [10]: 108, dan QS Yunus [10]: 108.46
Selain itu, iman juga mencakup dari qalb sampai ke anggota tubuh. Dari nafs merembes ke mata, lidah, tangan, hingga kaki. Tak jarang yang dirasakan hanya jasadiah semata, namun tatkala iman dalam wujud cahaya mengumpul dalam qalb, maka semua kehendak-Nya tersampaikan; itulah yang disebut sebagai yu‘min billah. Kata “bi” disitu merupakan suatu penyertaan, bukan sekadar atas nama Allah atau dengan nama Allah, tapi bersama Allah. Ini serupa dengan kata fi—yang artinya dalam—pada kalimat jahadu fina (berjihad dalam Kami) di QS Al-Ankabut [29]: 69 yang menunjukkan ketenggelaman dalam kehendak-Nya. Ada keterhubungan antara apa yang Dia kehendaki dengan tindakan lahiriah sang mu‘min billah, karena jika terputus maka yang akan mengendalikan dalam memilih sesuatu adalah hawa nafsu, syahwat, atau waham agama; tidak ada Kehendak-Nya. Sedangkan dalam konteks yu‘min billah (beriman dengan penyertaan Allah, tenggelam dalam Tuhan), maka segala yang selain wajah-Nya akan fana‘ (tiada). Terkait ini, An-Niffari menuliskan dalam Al-Mawaqif wal Mukhatabat” (kitab yang berisi percakapannya dengan Allah):
Hendaklah engkau bekerja tanpa melihat pekerjaan itu!
Hendaklah engkau bersedekah tanpa memandang sedekah itu!
Engkau melihat kepada amal perbuatanmu, walau baik sekalipun, tak layak bagi-Ku untuk memandangnya. Maka janganlah engkau masuk kepada-Ku besertanya!
Sesungguhnya, jika engkau mendatangi-Ku berbekal amal perbuatanmu, maka akan Aku sambut dengan penagihan dan perhitungan. Jika engkau mendatangi-Ku berbekal ilmu, maka akan Aku sambut dengan tuntutan! Dan jika engkau mendatangi-Ku dengan ma’rifat, maka sambutan-Ku adalah hujjah, padahal hujjah-Ku pastilah tak terkalahkan.
Hendaklah engkau singkirkan ikhtiar (ikut mengatur dan menentukan kehendak-Nya untuk dirimu—red), pasti akan aku singkirkan darimu tuntutan. Hendaklah engkau tanggalkan ilmumu, amalmu, ma‘rifat-mu, sifatmu dan asma-mu dan segala yang ada (ketika mendatangi-Ku), supaya engkau bertemu dengan Aku seorang diri.
Bila engkau menemui-Ku, dan masih ada di antara Aku dan engkau salah satu dari hal-hal itu—padahal Aku-lah yang menciptakan semua itu, dan telah Aku singkirkan semua itu darimu karena cinta-Ku untuk mendekat kepadamu, sehingga janganlah membawa semua itu ketika mendatangi-Ku—jika masih saja engkau demikian, maka tiada lagi kebaikanmu yang tersisa darimu.
Kalau saja engkau mengetahui, ketika engkau memasuki-Ku, pastilah engkau bahkan akan memisahkan diri dari para malaikat, sekalipun mereka semua saling bahu membahu untuk membantumu, karena keraguanmu itu (bahwa ada penolongmu dihadapan-Nya selain Dia—red.), maka hendaklah jangan ada lagi penolong selain Aku.
Jangan pernah engkau melangkah ke luar rumah tanpa mengharap keridhaan-Ku, sebab Aku-lah yang menunggumu (di luar rumah—red.) untuk menjadi penuntunmu.
Temuilah Aku dalam kesendirianmu, sekali atau dua kali setelah engkau menyelesaikah shalatmu, niscaya akan Aku jaga engkau di siang dan malam harimu, akan Aku jaga pula hatimu, akan Aku jaga pula urusanmu, dan juga keteguhan kehendakmu.
Tahukah engkau bagaimana caranya engkau datang menemui-Ku seorang diri? Hendaknya engkau menyaksikan bahwa sampainya hidayah-Ku kepadamu adalah karena kepemurahan-Ku. Bukan amalmu yang menyebabkan engkau menerima ampunan-Ku, bukan pula ilmumu.
Kembalikan pada-Ku buku-buku ilmu pengetahuanmu, pulangkan pada-Ku catatan-catatan amalmu, niscaya akan aku buka dengan kedua tangan-Ku, Kubuat ia berbuah dengan pemberkatan-Ku, dan akan kulebihkan semuanya itu karena kepemurahan-Ku.”


Al-Islam sebagai Keberserahdirian
Al-Islam dalam makna terdalamnya adalah keberserahdirian, namun bukan dalam pengertian sebagai kepasrahan yang pasif. Al-Islam adalah keberserahdirian yang aktif, bagaimana seseorang bergiat mencari apa yang menjadi Kehendak Rabb-nya setiap saat. Ini tak ubahnya seperti orang yang mencium bau serta mencoba melacak dan menemukan sumbernya (yang terkadang menguat namun seringkali melemah dan menghilang karena tertiup angin). Al-Islam adalah sikap paling fundamental untuk dibangun oleh siapa pun yang ingin berjalan kembali (taubat). Itulah sikap dalam pencarian yang dapat menyelamatkan dari perangkap dan cobaan, serta secara lahiriah dilakukan dengan ketaatan terhadap segenap syariat lahiriah (yaitu fiqih yang tidak boleh dipisahkan dari syariat batiniah atau tashawwuf, serta aqidah).47
Al-Islam bukan sesuatu yang mudah dilakoni sebab manusia senantiasa terperangkap syahwat dan hawa nafsu. Syaithan pun menunggangi kedua hasrat tersebut untuk melontarkan manusia dari Shirâth Al-Mustaqîm masing-masing. Lazimnya saat masih muda, keinginan berpetualang menggebu-gebu, bertumpuk obsesi dan bayangan ihwal kematian jauh di depan sana sebab dikuasai sense of immortality, sehingga permasalahan keberserahdirian sulit mendapatkan lahan tumbuhnya. Seringkali segala daya upaya dengan menggunakan syahwat dan hawa nafsu dikerahkan guna mewujudkan hasratnya. Akan tetapi, hasrat mereproduksi hasrat-hasrat baru lainnya. Tumpukan besar hasrat merupakan bahan bagi tumpukan kekecewaan yang besar pula, karena jatuh bangun dalam kehidupan seringkali tak bisa diduga. Lazimnya setelah dihantam banyak kekecewaan, tatkala usia menua, dan bayang-bayang kematian semakin dekat, barulah keberserahdirian menemukan lahannya. Akan tetapi kali ini hama yang mengancam tumbuhnya keberserahdirian adalah waham-waham yang telah mengkristal. Rumi menggambarkannya sebagai berikut:
O Engkau yang penderitaannya membuat pria lemah bak wanita, tunjukkanlah kepadaku jalan yang satu itu, jangan biarkan aku tersesat mengikuti sepuluh jalan!
Aku seperti seekor unta yang letih: pelana kemauan bebas telah membuat punggungku terasa memar
Dilantak berat keranjang-keranjang yang sebentar-sebentar merosot ke sisi sini, sebentar ke sisi sana.
Biarkan beban yang tak seimbang ini lepas, supaya aku dapat memamah rerumputan di Padang Rahmat-Mu
Bagai sebutir debu di udara, ratusan ribu tahun aku melayang tak tentu arah tanpa mauku.
Jika aku telah melupakan waktu dan keadaan itu, perpindahan dalam tidur ‘kan mengingatkan aku lagi pada kenangan.
Pada malam hari aku ‘kan melarikan diri dari palang cabang empat ini menuju padang penggembalaan nafs.
Dari Tidur sang perawat, kuhisap susu hari-hari laluku, O Tuan.
Seluruh makhluk melarikan diri dari kemauan bebas dan keberadaan diri mereka menuju ke diri mereka yang tak sadar.
Di atas diri sendiri mereka letakkan anggur kehinaan dan nyanyian supaya dapat bebas sesaat dari kesadaran diri mereka
Semua tahu, keberadaan adalah sebuah perangkap, sedangkan keinginan dan pikiran serta kenangan itu neraka.48
Dalam puisi tersebut Rumi menceritakan kerinduannya agar ditunjuki ke ‘jalan yang satu itu’, yaitu jalan misi hidupnya di dunia, Shirath al-Mustaqim-nya. Lalu dia menggambarkan bagaimana kemauan bebas itu seperti beban di punggungnya yang tak pernah seimbang, selalu miring ke sini miring ke situ sehingga melukai dirinya sendiri, sehingga dia mendambakan keberserahdirian. Rumi menggambarkan bagaimana di malam hari dia akan lepas dari palang cabang empat atau salib yang menyimbolkan tubuh manusia yang terdiri dari empat unsur (api, air, tanah, dan udara). Adalah keakuan dan kemauan bebas yang senantiasa membuat manusia susah untuk berserah diri atau mati sebelum mati. Padahal jalan kembali (taubat) hanya bisa ditempuh di atas keberserahdirian. Dalam banyak puisinya, Rumi sering menggunakan metafora seruling untuk menggambarkan keberserahdirian total. Seruling terbuat dari bambu, dan bagian tengahnya kosong, sehingga dengan demikian bisa dibunyikan untuk melantunkan nada-nada merdu sesuai yang dikehendaki dan dimainkan oleh Sang Empunya seruling. Apabila bagian tengah seruling malah dijejali dengan berbagai materi padat, maka seruling itu tak akan bisa berbunyi memainkan nada-nada merdu.
Dalam perumpamaan yang diberikan Zamzam ini tak berbeda seperti keris yang dimasukkan ke dalam sarungnya dan tak pernah dicabut untuk dibersihkan selama lima puluh tahun. Ketika pertama kali keris tersebut hendak dicabut, akan sangat sukar disebabkan karat yang terbentuk selama lima puluh tahun telah membuat keris tersebut menempel pada sarungnya. Seakan terpatri. Begitu pula dengan jiwa (nafs) yang dimasukkan ke dalam tubuh dan tidak pernah melatih keberserahdirian kepada-Nya, tidak pernah berlatih untuk mati sebelum mati, tidak pernah melepaskan jiwa dari kemelakatannya terhadap tubuh. Dunia menjadi objek utama kecintaannya, dan itulah asal muasal karat yang membuat nafs terikat pada tubuh, dari sekian ribu kekecewaan akan hasrat yang tak tercapai, rasa kehilangan akan barang-barang yang dicintai, dan berbagai kecintaan duniawi lainnya. Maka tatkala menghadapi ajal, tatkala nafs dan rûh-nya akan dicabut, seseorang akan merasakan kesakitan yang sangat karena ‘karat’ yang terbentuk dari keterikatannya terhadap dunia. Demikian, mati sebelum mati merupakan padanan keberserahdirian. Rumi, sekali lagi, menggambarkannya sebagai berikut:
Sang Nabi bersabda, “Wahai pencari rahasia-rahasia, hendaklah engkau melihat orang mati yang hidup,
Yang berjalan-jalan di atas bumi, seperti orang yang masih hidup; namun nafs-nya bertempat tinggal di Surga,
Karena dia telah dipindahkan sebelum mati dan tidak akan dipindahkan ketika dia mati—
Suatu rahasia di luar pemerian, hanya dimengerti oleh orang yang sedang sekarat—
Apabila ada yang ingin melihat orang mati yang masih kelihatan berjalan di atas bumi,
Biarkanlah dia melihat Abu Bakar, yang saleh, yang karena kebajikannya menjadi seorang saksi yang benar bagi Tuhan dan menjadi Pangeran kebangkitan.”49
Seseorang yang telah mati (secara biologis), praktis tidak mempunyai keinginan apa-apa lagi. Hendak dijadikan apa pun tubuhnya, tak akan melawan sedikitpun. Ada pun seseorang yang telah mati sebelum mati (berserah diri), tidak akan menimbun nafs-nya dengan obsesi keduniaan yang tidak sejalan dengan Kehendak-Nya. Mati sebelum mati adalah kematian seseorang dari segenap hawa nafsu dan syahwat yang sering kali tidak sejalan dengan Kehendak-Nya, yang kemudian diganti menjadi dipenuhi oleh Kehendak Allah semata. Karena itu segenap tindak tanduk orang yang berserah diri akan senantiasa sejalan dengan Kehendak-Nya, dan karyanya pun akan sejalan dengan Karya-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam hadits:
“Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, Aku telah mengumumkan perang padanya. Tidak ada cara ber-taqarrub seorang hamba kepada-Ku yang lebih Kusukai melainkan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Ku-fardlu-kan kepadanya. Namun senantiasa hamba-Ku itu berusaha ber-taqarrub kepada-Ku dengan melakukan hal-hal yang sunnah, sehingga Aku pun mencintainya. Apabila ia telah Kucintai, Aku menjadi alat pendengarannya yang dengannya ia mendengar, alat penglihatannya yang dengannya ia melihat, tangannya yang dengannya ia memukul keras, dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku sungguh akan Kukaruniai dirinya dan jika ia memohon perlindungan-Ku, Aku akan melindunginya. Dan tak pernah Aku ragu-ragu pada sesuatu di saat Aku akan melakukannya, seperti ragu-Ku untuk mengambil nafs al-mu‘min yang enggan mati, sedang Aku tidak suka mengganggunya.” (HR Bukhâri, Abu Nu‘aim, Al-Baihaqi, dan Al-Baghawi)
Zamzam memberi perumpampaan berupa lampu 10 watt menyala tepat di samping lampu 10.000 watt. Lalu lampu 10 watt bertanya pada dirinya: “Mana cahayaku?” dan dia pun mendapati bahwa cahayanya adalah 10.000 watt. Bukan karena lampu 10 watt itu telah menyatu dengan lampu 10.000 watt. Bukan. Akan tetapi karena cahayanya tenggelam oleh terangnya cahaya lampu 10.000 watt. Contoh lain. Bayangkan sebatang besi yang dipanaskan dalam bara api. Lama kelamaan batang besi itu memerah dan menjadi sama panasnya dengan api. Namun, batang besi itu tidak menyatu dengan api, tidak juga berubah menjadi api. Batang besi tetaplah batang besi, api tetaplah api. Banyak kalangan umat Islam menganggap bahwa para sufi itu sesat karena telah mengalami penyatuan dengan Tuhan, padahal tak ada satu pun sufi yang menyatakan bahwa mereka telah menyatu dengan Dzat Allah. Tidak pernah. Penyatuan yang dialami adalah penyatuan dalam tataran rasa, karsa, cipta dan karya, bukan penyatuan dengan Dzat-Nya. Kalau ada yang mengklaim telah menyatu dengan Dzat Allah, itu berarti sudah kafir billah. Hakikat seorang hamba adalah menjadikan seluruh rasa, karsa, cipta dan karyanya sama dengan kehendak Tuhannya. Tak ada perbedaan penyatuan para sufi yang sudah mencapai ma‘rifat itu dengan hadits di atas. Dalam sebuah pepatah sufi diungkapkan dengan sangat indah: “Aku adalah lilin yang terbakar, Engkau adalah cahaya pagi, jika aku tidak melihat-Mu, aku terbakar; jika aku melihat-Mu, aku lenyap tak berbekas. Inilah keadaanku dalam keterpisahan dan kedekatan. Aku tak kuasa menanggung keterpisahan dan tidak juga kedekatan dengan-Mu.” Rumi menuangkan hal tersebut dalam salah satu puisinya:
Seseorang mengetuk pintu Kekasihnya: “Siapa di situ?” tanya Sang Kekasih.
Dia menjawab, “Aku.” “Pergilah”, seru Kekasihnya, “ini terlalu cepat: di atas mejaku tiada tempat yang masih mentah.”
Bagaimana yang mentah dapat dimasak kalau bukan dalam api ketiadaan? Apa lagi yang dapat melepaskannya dari kemunafikan?
Dengan sedih dia pun pergi, dan sepanjang tahun hatinya terbakar oleh api perpisahan;
Maka datanglah ia kembali mondar-mandir di samping rumah kekasihnya.
Dia mengetuk pintu dengan ratusan kecemasan dan harapan, khawatir kalau kata-kata tak pantas bakal terucap dari bibirnya.
“Siapa di situ?” seru Sang Kekasih. Dia menjawab, “Engkau, wahai pesona seluruh hati!”
“Kini,” sapa Sang Kekasih, “karena engkau adalah aku, masuklah; tiada ruang untuk dua aku dalam ruangan ini.
Dua ujung benang bukanlah untuk selubang jarum: karena engkau adalah satu, masuklah ke lubang itu.”
Inilah benang yang memasuki lubang itu: unta takkan diterima masuk lubang jarum itu.
Bagaimana unta dapat diperkecil kecuali dengan gunting zuhud?
Tapi itu, wahai pembaca, memerlukan Tangan Tuhan, yang merupakan Pembuat dan Pencipta setiap kemustahilan.
Yang bukan-wujud pun, meski lebih mati dibandingkan yang mati harus mendengarkan ketika Dia menitahkannya mewujud.
Bacalah ayat, “Setiap waktu Dia dalam kesibukan”: janganlah menganggap-Nya menganggur dan lamban.
Setidak-tidaknya, kegiatan-Nya tiap hari, mengirimkan tiga pasukan:
Sepasukan sulbi para ayah menuju para ibu, supaya benih dapat berkembang di dalam kandungan;
Sepasukan dari kandungan menuju Bumi, agar dunia terisi dengan lelaki dan perempuan;
Sepasukan dari Bumi menuju kawasan di balik kematian, sehingga setiap orang dapat melihat indahnya segala amal baiknya.50
Berserah diri berarti tidak lagi mempunyai kebebasan dalam memilih dan melakukan apa pun sekehendaknya, sama sekali tidak memiliki kemerdekaan. Dari perspektif ini, tidak pernah ada manusia yang merdeka. Manusia hanya akan diperhamba entah itu oleh Allah atau oleh selain Allah (as-siwa). Diperhamba oleh Allah adalah tujuan ultima agama Islam, yang berarti kebebasan dari diperhamba oleh as-siwa (terlebih dalam Islam tak ada penyebutan manusia sebagai anak-anak Tuhan). Masih terkait dengan mati sebelum mati, Rumi pun melukiskannya sebagai berikut:
Bersama dengan Tuhan, tak ada tempat untuk dua ego.
Engkau menyatakan: Aku; dan Dia menyatakan: Aku.
Agar dualitas ini hilang, engkau harus mati bagi-Nya, atau Dia mati bagimu.
Akan tetapi, tidaklah mungkin Dia yang mati—baik secara fenomenal atau pun konseptual—karena, “Dialah yang senantiasa Hidup dan takkan pernah mati.”
Sesungguhnya, Dia sedemikian pemurah, sehingga—jika mungkin—Dia akan mati bagimu agar dualitas itu lenyap.
Karena Dia tak mungkin mati, maka engkaulah yang harus mati, agar Dia dapat memanifestasi kepadamu, sehingga dualitas itu hilang.51
Herman Soetomo menjelaskan maksud puisi di atas bahwa sebagai seorang Guru Sejati pada masanya dan bagi kaumnya, Rumi membahas tentang aspek penting bagi pencarian kesejatian para murid, yaitu soal membunuh diri (hawa nafsu dan syahwat) agar terjadi tranformasi dalam diri para murid menuju ke tataran-tataran yang lebih tinggi, dan selanjutnya menuju ke kesejatian diri. Ini merupakan perkara sentral di semua thariqah dengan merujuk kepada QS An-Nisa’ [4]: 66.52 Kata ‘anfusakum’ di ayat tersebut adalah jiwa (jamak). Jiwa adalah hakikat insan dan merupakan aspek yang berada di dalam jasmani seorang insan, maka yang harus mengalami kematian demi kematian adalah sang jiwa; karena dengan itulah jiwa dimurnikan kembali. Sebuah proses panjang yang hanya dapat dilakukan dalam pendidikan seorang Mursyid atau Guru Sejati. Jadi bukan aspek jasmani dari insan yang dibunuh, karena itu bertentangan dengan syariat yang merupakan pagar pengaman dari thariqah. Dengan demikian, setidaknya bisa terpahami kenapa keberserahdirian (Al-Islam) ditegaskan sebagai jalan yang bisa mengantarkan seorang manusia hingga dapat bertemu dengan Rabb-nya.
Taqwa
Dalam hadits dikatakan “Iman itu telanjang, pakaiannya taqwa, buahnya ilmu, perhiasannya malu.” Taqwa tempatnya di qalb. Hadits lain menyebutkan bahwa manusia yang paling baik adalah mukmin yang qalb-nya makhmum, yaitu orang yang taqwa, hatinya bersih, tidak ada padanya penipuan, kedurhakaan, pengkhianatan, kedengkian, dan hasad. Taqwa sebagai pakaian juga dinyatakan dalam QS Al A‘râf [7]: 26-27.53 Namun, taqwa pun memiliki keterkaitan dengan kalimah sebagaimana tertuang dalam QS Al-Fath [48]: 26.54 Kalimah taqwa merupakan perumpamaan yang memperlihatkan keterkaitan taqwa dengan kalimah, sehingga kedua kata itu disandingkan menjadi suatu istilah. Dalam QS Ibrahim [14]: 24-25, taqwa digambarkan sebagai kalimah thayyibah.55 Akan tetapi dalam Al-Quran, kata kalimah juga dilekatkan kepada para rasul sebagaimana tertuang di QS Ash-Shaffat [37]:171 dan juga dalam QS Ali Imran [3]: 45.56 Perumpamaan kalimah dengan pohon, kemudian para rasul, termasuk Nabi Isa, itu menekankan bahwa para rasul adalah contoh insan kamil, dan setiap insan adalah kalimah Allah jika mencapai kesempurnaannya (kamil). Ini menekankan bahwa pohon yang baik (syajaratun thayyibah) merupakan visualisasi dari kalimah yang juga menggambarkan insan kamil. Artinya, segala hal seperti sifat, kondisi, dan proses pertumbuhan pohon dapat digunakan untuk menggambarkan hal yang sama pada diri manusia.

Zamzam kembali menjelaskan ihwal tamsil taqwa tersebut. Pohon menggambarkan akar sebagai iman, lalu cabang beserta batang pohon yang membentang ke langit adalah simbol ketaqwaan. Setiap ranting akan mengeluarkan dedaunan yang merupakan simbol amal shalih. Dedaunan itu yang menangkap energi dari sinar matahari berupa foton (‘paket cahaya’) untuk melakukan fotosintesis dan menghasilkan buah-buahan pada saatnya. Buah adalah simbol khazanah ilahi yang tersimpan dalam diri yang awalnya berupa benih untuk kemudian tumbuh di alam semesta. Adapun buah adalah simbol keluarnya khazanah ilahiah tersebut. Semakin banyak ranting pada sebuah pohon, semakin banyak daun yang keluar. Walaupun musim gugur tiba, dan semua daun hilang berguguran, akan tetapi cabang pohon masih ada. Begitu pula amal shalih, terkadang banyak di musimnya dan terkadang sedikit di musimnya. Namun ranting pohon tak pernah hilang, simbol dari khazanah yang dikeluarkan. Selain itu, pohon menyerap air dari bumi (simbol jasad), dan menyerap oksigen juga air dari udara, atau dikatakan juga sebagai langit (simbol nafs), dan menyerap paket cahaya (foton) dari matahari (simbol ruh). Bibit yang disemai pada habitat subur dan tepat, lalu akar (iman) mendapatkan air dan hara (simbol dari pemahaman/pengetahuan) yang tepat akan menumbuhkan pohon (taqwa) yang baik, kokoh dan kuat.
Dikatakan pohon itu menyenangkan Sang Penanamnya, karena keberserahdirian hamba itu menggembirakan-Nya, sehingga dialirkan ke dalam qalb-nya khazanah ilahiah. Demikian, insan itu harus bekerja keras untuk mengeluarkan khazanah tersebut dalam bentuk amaliyah dengan benar yang berarti telah memanjangkan khazanah ilahiah. Walaupun khazanah ilahiah tersebut telah dialirkan ke dalam qalb, belum tentu bisa dialirkan secara lahiriah karena banyak hijab. Keberhasilan mengalirkan khazanah ilahiah yang telah dialirkan ke dalam qalb menjadi maujud secara lahiriah itu adalah taufiq, pertolongan-Nya untuk memanjangkan Rubbubiyah Allah (kekuasaan Allah) hingga ke alam fisik. Jadi, ada kerjasama antara insan dengan Rabb dalam hal Dia mengalirkan khazanah ilahiah ke dalam qalb, lalu insan memanjangkannya ke alam mulk wa syahadah. Itulah tanaman yang menyenangkan hati Sang Penanamnya. Agar pohon bisa berbuah manis perlu diberikan perlakuan tertentu oleh sang penanam pohon, yaitu dipangkas cabang-cabang lain agar seluruh nutrisi pohon hanya terkonsentrasi kepada buah-buah yang terletak pada cabang yang tersisa. Sebagaimana sakitnya pohon karena cabangnya dipohon, demikian pula manusia dalam kehidupannya, seringkali Dia memangkas banyak hal. Tidak mahir berbahasa asing, kehilangan proyek, diberhentikan dari pekerjaan, tidak pandai berdagang, tidak mempunya koneksi, dan lain sebagainya. Hal semacam itu tidak harus selalu dipandang sebagai suatu kelemahan, akan tetapi pemangkasan agar seseorang efektif tumbuh buahnya menjadi manis. Pemotongan di suatu cabang akan berdampak pematangan di cabang yang lain, dan Sang Penanam pohon memilih apa yang dipangkas dan apa yang tidak dipangkas agar mengeluarkan buah paling manis, asalkan pohon tersebut berserah diri (Al-Islam).
Demikian, adanya taqwa pada diri seseorang bukanlah sesuatu yang mudah diidentifikasi secara lahiriah karena taqwa adanya di qalb, sehingga yang tampak dari luar adalah buah dari taqwa tersebut. Sebagaimana kita pun tak melihat akar pohon dan hanya melihat batang, ranting dan buahnya yang lebat atau tidak. Pohon yang akarnya teguh dan dahannya menjulang di langit itulah yang bisa menghasilkan buah sepanjang musim. Buah itu disebut hasanah. Pada titik ini dapat dipahami relevansi dari kata taqwa yang artinya memelihara, serta alasan Al-Quran memunculkan istilah kalimah taqwa. Terkait manusia, nafs itu ibarat benih pohon yang ditanam di bumi jasad untuk dinantikan buahnya, sehingga benih pun harus dirawat dan dipelihara, agar tumbuh sehat dan menjadi pohon yang baik.57
Shirath Al-Mustaqîm
Kembali kepada perkara ad-dîn,58 apabila dirumuskan secara ringkas maka bisa dikatakan juga bahwa (taqwa = iman + amal + shalih), ini menekankan bahwa taqwa itu terkait dengan perkara ad-dîn. Terlihat pula bahwa taqwa itu ada di qalb sang shalihin,59 yang merupakan salah satu golongan yang berada di shirath al-mustaqîm. Dalam QS Al-Fatihah [1]: 6-7, shirath al-mustaqîm adalah jalannya orang-orang yang diberi nikmat. Dengan demikian, nikmat sebenarnya memiliki arti khusus, yaitu ‘petunjuk menuju shirath al-mustaqîm’, bukan kesenangan yang sejalan dengan hasrat dan obsesi. Dalam QS An-Nisâ [4]: 69 dirinci: “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” Di luar shirath al-mustaqîm adalah al-maghdub atau kalangan yang dimurkai karena menentang al-haqq (kebenaran), lalu adh-dhalin atau kalangan yang tersesat karena terombang-ambing di antara dua kalangan di atas karena tidak mendapat petunjuk.60 Dalam QS Al-An‘am [6]: 161, shirath al-mustaqîm diparalelkan dengan dîn. Kemudian dalam sebuah hadits dikatakan:
“Rasulullah saw membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah,’ kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri dan kanan garis tersebut, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan (yang banyak). Pada setiap jalan ada syaithan yang mengajak kepada jalan itu,’ kemudian beliau membaca: ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus (shiratim mustaqiman), maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.’ (Al An‘am [6]: 153). [HR Ahmad]
Terkait hadits ini, Rumi menandaskannya dalam bait puisi di atas: “O Engkau yang penderitaannya membuat pria lemah bak wanita, tunjukkanlah kepadaku jalan yang satu itu, jangan biarkan aku tersesat mengikuti sepuluh jalan!” Ini menunjukkan bahwa perjalanan meniti shirath al-mustaqim dipenuhi tipuan dan tak mudah diputuskan, dan itulah salah satu pentingnya shalat di awal waktu yang dalam tiap rakaatnya dipanjatkan doa “Tunjukkanlah kami shirath al-mustaqim.” Akan tetapi seorang muslim dituntut juga memahami apa yang dimintanya,62 terlebih dikatakan bahwa shirath al-mustaqim itu seperti titian serambut dibelah tujuh yang menekankan sulitnya perjalanan kembali, sementara “sesungguhnya Rabb-ku di atas shirath al-mustaqim.” (QS Hûd [11]: 56)63 Kata shirath dalam bahasa Arab tidak memiliki bentuk jamaknya, ini menandaskan bahwa shirath al-mustaqim itu unik pada tiap diri sebab terkait misi hidup masing. Maka ayat tersebut pun menegaskan ihwal mengapa manusia diseru untuk mencari titian serambut dibelah tujuh masing-masing karena Rabb ada di atasnya, menyadari dimana posisinya saat ini, apakah tengah terperangkap di hutan antah berantah atau dibingungkan oleh jalan sempit yang bercabang-cabang. Dalam QS Al-Fatihah diperlihatkan bahwa satu-satunya cara untuk meniti shirath al-mustaqim adalah dengan pengabdian terlebih dahulu, baru kemudian permohonan untuk ditunjuki, diperjalankan, dan dimudahkan menitinya.64 Abu Yazid Al-Busthami menjelaskan bahwa mengabdi itu adalah “Sabar dalam ujian-Nya, syukur dengan nikmat-Nya, dan ridha dengan ketetapan-Nya.” Ada pun syarat agar ditunjuki ke shirathal mustaqim diungkap dalam QS An-Nisa [4] : 66—yaitu, ‘membunuh anfus’ serta ‘keluar dari kampung halaman’—sedangkan Al-Ghazali menjelaskan lebih jauh bahwa manusia ‘terbang’ untuk kembali dengan menggunakan dua sayap, yaitu sayap harap (raja‘) dan sayap takut (khauf).
Sebagaimana telah disinggung sekilas di atas, dalam kaitannya dengan ma‘rifat, maka shirath al-mustaqim merupakan orbit diri; bahwa setiap diri memiliki shirath masing-masing, cara hidup masing-masing, ‘utang’ yang mesti ditunaikan dalam kehidupan sehingga mulai terbuka pengenalan diri sejati beserta misi hidupnya di muka bumi. Selain itu, terkait visi teleologis sebagaimana tertuang dalam hadits bahwa manusia itu “beramal sesuai dengan untuk apa ia dicipta dan di mana ia dimudahkan’, atau, meminjam istilah dari Hindu, disebut juga sebagai dharma. Zamzam menjelaskan:
“Swadharma setiap insan itu terkait dengan shirath al-mustaqîm-nya masing-masing. Rabb (Tuhan) yang dicari berada di atas jalan itu (QS Hûd [11]: 56), dan yang menjadi kuncinya ada dalam diri nafs-nya sendiri. Setiap manusia akan menemukan Tuhannya lewat pintu jiwanya masing-masing, karena di dalam nafs terdapat Kuasa-Nya, Qudrah-Nya; man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu. Jika manusia bertemu dharma-nya atau kodrat dirinya, maka kehidupannya dimudahkan. Ini adalah aqabah, jalan mendaki lagi sukar, karena ia harus membebaskan diri dari perbudakan syahwat dan hawa nafsunya. Jika ego manusia tunduk kepada kehendak Allah maka terbuka pintu pengenalan ke nafs (self)-nya, dan jika Ruhul Qudus telah Allah nyalakan di dalam qalb si nafs, maka terang apinya akan menampakkan amr si nafs yang tertulis dalam dadanya.”65
Demikian, shirath al-mustaqîm adalah pertengahan yang esensial antara akhlaq yang saling bertolak belakang. Dalam hadits disebutkan “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”, dan hadits lain menyebutkan “Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahannya.” Setidaknya ini memunculkan pertanyan “apakah ada hubungan antara akhlaq dengan etika?” Kata etika berasal dari bahasa Yunani ethikos, dari akar kata ethos, yang artinya adat kebiasaan, karakter, kecenderungan atau kelakuan manusia. Sementara kata moral berasal dari bahasa Latin mos dan moris yang juga memiliki arti sama dengan kata ethos. Moralitas adalah keseluruhan tradisi, kebiasaan, ajaran, pandangan dan pola kelakuan yang berkaitan dengan hidup bermoral, sedangkan etika adalah pemikiran atau refleksi tentang moralitas, atau moralitas yang dipandang secara sistematik (misalnya “etika Jawa”). Ada pun norma-norma moral itu untuk mengukur baik-buruknya manusia sebagai manusia. Sementara norma-norma hukum adalah norma-norma (tolok ukur) kelakuan yang pelaksanaannya dipastikan oleh masyarakat (negara) dan pelanggarannya dikenai sanksi pasti (memastikan agar warga masyarakat tidak melakukan apa yang jelas-jelas mengancam masyarakat). Sedangkan norma-norma sopan santun itu untuk mengatur pembawaan lahiriah manusia (untuk mempermudah komunikasi). Anton Sudiardja mengemukakan, “[D]alam bahasa Arab, kita memiliki kata akhlak. Akan tetapi kata ini jarang kita gunakan dalam pemahaman filsafat, karena konotasinya lebih ke agama (Islam).”66
Akhlaq dalam bahasa Arab merupakan bentuk jamak dari “khuluq”, dan secara bahasa akhlaq sering diterjemahkan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku, perangai atau tabiat. Namun, akar kata “khalaqa” yang artinya ‘menciptakan’ menjadi pembentuk kata khuluq, akhlaq, makhluq (yang diciptakan) dan Khaliq (Sang Pencipta). Dalam QS Al-Qalam [68]: 4 dinyatakan “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung (khuluqul adzim).” Al-Adzim adalah salah satu al-asmâ’ al-husnâ, dan untuk lebih memahami hal ini, perlu disimak tentang hadits yang menjelaskan bagaiaman Rasulullah saw tidak pernah menoleh dengan memalingkan mukanya—yakni menoleh dengan memutar lehernya—karena jika menoleh, beliau menghadap dengan seluruh tubuhnya. Sadruddin Al-Qunawi menjelaskan bahwa:
Ketahuilah, di antara masalah yang menjadi sandaran para muhaqqiq dan syariat adalah bahwa kesempurnaan manusia adalah dalam berakhlak dengan akhlak Allah serta berhias dan meniru sifat-sifat-Nya yang agung. Tidak ada keraguan dalam keesaan al-Haqq, keesaan limpahan karunia-Nya, dan perhatian-Nya untuk menciptakan apa yang Dia kehendaki ciptakan. Perhatian-Nya pada penciptaan semut adalah seperti perhatian-Nya pada penciptaan ‘Arsy dan al-Kursiy. Karena, Dia disucikan dari terbayang padanya berbagai arah yang berbeda yang memberi aib di dalam tindakan-Nya sebab tidak ada kemajemukan dan pembagian. Keberbilangan, kemajemukan, perbedaan, dan sebagainya termasuk sifat-sifat segala yang bersifat mungkin (mumkinat) yang menerima perlakuan-Nya, dan menampakkan limpahan karunia-Nya.
Ketika masalahnya seperti itu, maka wajib bagi setiap orang yang berakhlak dengan akhlak Tuhannya agar tidak memperhatikan sesuatu kecuali secara keseluruhan. Dia harus menjaga diri dari mencampurkan bagian sesuatu dengan yang lain, sehingga dapat membagi perhatian. Bahkan, ia harus memperhatikan dengan sempurna segala sesuatu dengan kehadiran yang sempurna, meniru Tuhannya dalam hal menampakkan sifat-sifat-Nya yang menghiasi dirinya. Maka pahamilah niscaya engkau mendapat petunjuk. Insya Allah.67
Ayat Al-Quran, hadits dan paparan dari Sadruddin Al-Qunawi di atas memperlihatkan keterkaitan antara akhlaq dengan makhluq dan Khaliq; bahwa manusia itu diciptakan menurut citra Ar-Rahman dan juga khalifah-Nya, maka dalam ber-akhlaq pun, makhluq (manusia) harus berperilaku sebagai representasi atau perpanjangan dari Khaliq (Sang Pencipta). Sedangkan adab, pada zaman Jahiliyyah diartikan sebagai ‘mengajak makan atau undangan ke perjamuan makan’. Akan tetapi, ketika Islam muncul, kata “adab” akhirnya digunakan dalam arti “ajakan untuk memuji dan berakhlak baik”, dan juga mempunyai arti pendidikan atau pengajaran, serta al-khulqu yaitu budi pekerti, seperti tertuang dalam hadits “Rabb-ku telah mendidikku (adab), maka Dialah yang menjadi sebaik-baik pendidik.” Singkatnya, adab akhirnya diartikan sebagai norma-norma kepantasan, etiket atau tata krama. Lebih jauh Seyyed Hossein Nasr menjelaskannya sebagai berikut:
Sebuah istilah yang sering digunakan oleh kaum Sufi ditemukan juga dalam sebagian besar bahasa utama masyarakat Islam. Itulah adab yang pengertiannya mencakup kesantunan, kesopanan, berbudaya, tutur bahasa yang halus, sastra, sikap etika yang benar, dan banyak konsep lainnya. Sesungguhnya istilah itu tak dapat diterjemahkan dan barangkali harus digunakan dalam bentuk Arabnya seperti istilah-istilah karma dan guru, yang baru-baru ini telah masuk ke dalam bahasa Inggris dari bahasa Sanskrit, atau jihâd dari bahasa Arab. Semua masyarakat tradisional telah mencoba menanamkan bentuk-bentuk adab mereka sendiri di tengah anggota masyarakat sejak dari anak-anak, dan peradaban Islam bukan pengecualian. Bagi Muslim tradisional, adab meliputi hampir semua aspek kehidupan—dari menyalami orang, makan, duduk dalam sebuah pertemuan, hingga masuk ke tempat ibadah. Adapun teladan terbaik adab, kaum Sufi selalu mengaitkannya dengan tindakan dan perkataan Nabi sendiri. Adab adalah sarana mengendalikan hasrat, yang memengaruhi dan kerap berasal dari tindakan manusia. Adab juga salah satu cara memformalkan tindakan manusia sehingga mereka menampilkan keindahan dan harmoni, bukannya kekacauan dan kejelekan. Adab bahkan mendisiplinkan tubuh dan mengeluarkan kewibawaan batinnya serta watak theomorphic-nya dan mengajari kita bagaimana membawakan diri dengan cara yang pantas bagi manusia. Tujuannya adalah untuk mengendalikan ego dan hasrat serta menanamkan sifat kerendahan hati dan keramahan di dalam jiwa manusia serta melahirkan aspek megah eksistensi kita. Oleh karena itu, ia terkait erat dengan disiplin ruhani dan nilainya yang besar dalam melakukan amal kebaikan. Adab mengajari kita untuk mendisiplinkan diri dan mempersiapkan diri untuk pengurbanan tertinggi atas kehendak dan wujudnya di hadapan mezbah yang Mutlak, yang juga merupakan Kebenaran, Keindahan, Cinta, dan Kebaikan, sifat-sifat yang tecermin dalam cara tertentu dalam teladan adab Islam tradisional, melampaui seluruh aneka ragam kekhasan budaya dan etnis. Tanpa adab batin, orang tak dapat menapaki jalan menuju Taman Kebenaran.68
Salah satu kritik terhadap fenomena esksesif dari mistisisme yang belakangan banyak diusung oleh wacana Tasawuf Positif adalah ihwal stereotip cara hidup seorang sufi dengan pakaian atau penampilan fisik; atau dengan karamah dan keajaiban ini itu tak ubahnya para pesulap di layar kaca sebagai tanda kesufian. Tasawuf Positif mencoba mempromosikan kembali hal yang esensial bahwa akhlaq-lah yang paling utama bagi seorang hamba, dalam hal ini adalah para sufi, bukan penampilan fisik atau keajaiban ini itu. Namun, hal yang harus diingat juga adalah: ‘Apakah mudah menilai akhlaq seseorang hanya dengan perbuatan yang tampak secara lahiriah?’ Dan pada akhirnya, apakah mudah mengenali kebenaran?
Sebagai wawasan tambahan, kita bisa melihat perbandingan pemaparan di atas dengan etika Aristoteles yang bersifat teleologis, yaitu “keterarahan pada tujuan” atau telos yang artinya pemenuhan atau pencapaian sesuatu, penyelesaian sebuah aktivitas, titik akhir yang pada pencapaiannyalah sebuah proses diarahkan. Bagi Aristoteles, kebaikan moral merupakan tujuan terakhir dari segala perbuatan manusia secara menyeluruh. Aristoteles pun mengemukakan konsep eudaimonia yang arti harfiahnya adalah kebahagiaan, atau kesejahteraan transendental yang vital. Kata ini berasal dari eu yang artinya baik atau bagus, dan kata “daimon” yang artinya ruh. Eudaimonia menjelaskan tentang kebahagiaan yang dicapai tatkala potensi penuh seorang individu untuk suatu kehidupan yang rasional benar-benar sepenuhnya terealisasi, dan individu tersebut telah mengekspresikan segenap kapasitasnya. Upaya keras untuk mencapai realisasi diri ini, untuk menjadi manusia utuh, merupakan esensi menjadi manusia. Yang baik bagi manusia secara individual adalah segala hal yang, sejalan fitrah esensialnya, diwajibkan untuk dicapai; pengembangan fakultas rasional secara penuh melalui pelatihan potensi diri.
Gagasan dasar etika Aristoteles adalah apabila manusia hidup dengan bijaksana, maka ia akan semakin mengembangkan dirinya secara utuh, dan itu berarti membangun kehidupan yang bermakna dan bahagia, mengejawantahkan potensi-potensinya menjadi nyata sehingga menjadi pribadi yang kuat. Aristoteles menyatakan bahwa setiap keterampilan dan ajaran, begitu juga tindakan dan keputusan itu mengejar salah satu nilai. Bahwa setiap tindakan yang mengarah ke pencapaian tujuan itu masuk akal, dan setiap tindakan yang tidak menunjang tercapainya tujuan manusia itu tidak masuk akal. Aristoteles pun membagi dua macam tujuan, yaitu tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan sementara hanyalah sarana untuk tujuan lebih lanjut, sementara tujuan akhir, yang dicari bukan demi tujuan lebih lanjut, melainkan demi dirinya sendiri, mencukupi dirinya sendiri dan tak ada yang masih di tambah, adalah kebahagiaan atau eudaimonia. Aristoteles menyebut karakter prinsipil kebahagiaan yang mencukupi dirinya sendiri ini sebagai autarkeia, dan inilah sifat esensial eudaimonia. Etika Aristoteles ini bersesuaian dengan Etika Islam yang memandang bahwa tujuan penciptaan manusia itu untuk ma‘rifat (mengenal Tuhan dan mengenal dirinya) sehingga bisa merealisasikan misi hidup unik yang diembankan kepada tiap individu, dengan jalan pensucian nafs dan kedatangan Ruhul Qudus yang membukakan amanah unik yang diemban individu tersebut. Selain itu, etika Aristoteles pun merupakan etika keutamaan, yaitu sikap moral manusia—dalam suatu keadaan tetap—yang mengarahkan tingkah lakunya. Keutamaan itu bukan suatu sikap yang muncul secara kebetulan atau kadang-kadang, tapi sudah menjadi keadaan (state) yang terjaga (conserve) dalam perjalanan waktu. Dengan keutamaan itu, manusia bisa memilih jalan tengah antara dua kutub ekstrem, memungkinkan manusia untuk menentukan posisi tengah yang tepat. Ini juga bersesuaian dengan Etika Islam yang disebutkan dalam hadits bahwa “Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahannya.” Akan tetapi memasuki era modern, terjadilah pemisahan moralitas privat dan publik.69
Ihwal “Sesat”-nya Kebenaran dan “Kebenaran” yang Menyesatkan
Kebanyakan manusia tidak suka digurui. Hal itu di antaranya terlihat pada maraknya buku psikologi populer hingga keagamaan yang memberikan petuah melalui kisah. Kisah membuat pembaca merasa tidak digurui, bisa dimaknai secara personal, dan secara swalayan mereka mengambil pelajarannya. Berbeda apabila yang disampaikan berupa petuah gamblang seperti “kamu jangan sombong”, “lisanmu tajam sekali, coba jaga dari kata-kata yang menyakitkan” dan nasihat sejenisnya, maka yang muncul bukannya kesadaran, akan tetapi respons hawa nafsu yang memang cenderung menyeru kepada diri sendiri, tertutup, tidak mau dikritik, cinta disanjung, mudah patah dan lain sebagainya. Selain itu, Al-Quran pun menegaskan bahwa kisah berfungsi untuk meneguhkan fu‘ad juga pemberi ibrah sebagaimana tertuang dalam QS Hûd [11]: 120 dan QS Yusuf [12]: 111.71
Zamzam menjelaskan bahwa ada perbedaan ibrah dan hikmah. Secara bahasa, ibrah berasal dari abara yang artinya menyeberangkan atau menembus (seperti jarum). Sementara hikmah berasal dari hakama yang artinya (meng)hukum(i). Dikatakan bahwa kisah para nabi mempunyai ibrah, maksudnya ada pelajaran tersembunyi yang harus diambil dengan cara ditembus. Sementara hikmah lebih merupakan hukum yang bisa dikatakan menunjukkan keberpolaan hukum. Menyerupai rotasi elektron mengelilingi proton dan netron hingga rotasi planet mengitari matahari. Terkait dengan hikmah, Yahya bin Muadz berkata: “Hikmah melayang terbang dari langit dan tidak turun ke hati orang yang di dalamnya terdapat perkara ini: takluk pada pesona dunia, terbawa angan-angan esok hari, dengki dan iri terhadap sesama, serta suka kehormatan atas manusia. Barang siapa yang dalam dirinya terdapat salah satu sifat ini, maka hikmah tidak akan masuk ke dalam hatinya.” Akan tetapi kini, dalam keseharian, istilah hikmah seringkali direduksi maknanya hanya menjadi semacam pembelajaran subjektif yang didapat dari suatu peristiwa, tanpa menimbang sama sekali 4 hal yang harus ada pada diri seseorang agar bisa mendapatkan hikmah. Sementara Al-Quran menegaskan bahwa hanya ulil albab yang bisa mengambil pelajaran dari hikmah.72 Dengan mengamati ketiga ayat di atas, jelaslah bahwa baik ibrah maupun hikmah itu hanya bisa diperoleh oleh mereka yang mempunyai lubb atau ulil albab.
Beberapa tahun ini Indonesia dihebohkan dengan fenomena kemunculan aliran keagamaan yang dituding sesat. Dalam beberapa hal, tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan sempalan tersebut memperlihatkan sekian aktivitas dan keyakinan yang bisa dikategorikan sesat. Namun, selain sekian keganjilan yang ditampakkan tersebut, apakah memang mudah untuk memastikan antara yang sesat dan yang benar? Sebagaimana senantiasa berulang dalam sejarah manusia, yaitu bagaimana mereka membangkang dan memerangi para Nabi, hal serupa akan terjadi pula terhadap para waliyullah, yaitu umatnya pun tidak dapat mengenali kebenaran yang mereka bawa, yang kemudian malah menentangnya. Hal ini merupakan ujian bagi para utusan-Nya serta merupakan Sunatullah, sebagaimana yang dialami para Nabi di masa lalu. Pertanyaannya, apakah memang mudah untuk melihat kebenaran yang dibawa oleh para nabi, rasul, dan juga wali tersebut?
Bayangkan, seorang lelaki yang dalam kehidupan sehari-harinya tampak biasa saja. Dia menyeru kaumnya agar bertaubat dan kembali kepada Tuhan. Dalam dakwahnya, lelaki tersebut tidak pernah memperlihatkan satu mukjizat pun, jadi tidak ada yang istimewa. Memang ada segelintir orang yang mengikuti seruannya, akan tetapi para pengikut tersebut secara sosial dipandang sebagai orang-orang lemah lagi bodoh. Ketidakpercayaan kaum tersebut semakin diperparah oleh perbuatan sang lelaki penyeru yang dilakukannya sekian lama, yaitu membuat perahu di kaki bukit (bukan di tepi pantai). Sambil membuat perahu yang besar, lelaki itu menubuatkan bahwa perahu itu dibuatnya atas perintah Tuhan yang akan mengenggelamkan para pembangkang tersebut. Nama lelaki itu Nuh. Sekarang bayangkan, seandainya kita hidup sezaman dengannya, apakah kita akan dengan mudah mengimani kenabian Nuh?
Sekarang beralih ke beberapa ribu tahun sesudahnya. Seorang ayah meminta kesediaan anaknya untuk disembelih karena pada suatu malam sang ayah telah mendapat perintah tiga kali dari-Nya untuk menyembelih putranya. Bukannya menganggap sang ayah gila, sang anak malah mempersilakan sang ayah melakukan perintah Tuhan tersebut. Begitu pula sang ibu, yang malah mendukung niatan sang suami. Peristiwa tersebut terjadi di keluarga Nabi Ibrahim as. Peristiwa akan disembelihnya Ismail—yang kemudian Dia gantikan dengan kambing—merupakan asal-usul hari Idul Adha yang selalu diperingati oleh umat muslim di segenap penjuru dunia. Namun, coba bayangkan, seandainya kita hidup sezaman dengan keluarga itu dan mengetahui niatan Ibrahim tersebut, akankah kita mempercayai bahwa Ibrahim itu seorang nabi besar yang hanif (lurus)?
Bukan hanya itu. Sekarang mari kita bayangkan seorang perempuan suci yang lahir dari keluarga terbaik sepanjang masa. Bahkan Al-Quran mengabadikan nama keluarga tersebut sebagai nama surat. Tatkala lahir bayi perempuan itu telah dinazarkan oleh ibunya untuk Tuhan. Maka, perempuan suci itu dibesarkan di dalam mihrab, dan mendapatkan makanan langsung dari Tuhannya. Bahkan dia pun belum pernah disentuh oleh laki-laki. Saking sucinya, mungkin masyarakat di sekitarnya pada saat itu berpikiran bahwa dia adalah seorang nabiah (nabi perempuan). Akan tetapi tiba-tiba saja terkuak bahwa perempuan suci itu hamil tanpa menikah. Bayangkan, kalau seandainya kita pun hidup sezaman dengan perempuan tersebut, dapatkah kita terlepas dari prasangka bahwa dia telah berzinah. Sejarah berikutnya ternyata mencatat bahwa sampai hari ini Maryam binti ‘Imran tetap dipandang sebagai perawan suci yang diberi mukjizat oleh Tuhan untuk mengandung bayi tanpa proses reproduksi.
Daftar perbuatan “sesat” yang dilakukan oleh orang-orang benar ini masih dapat diperpanjang. Misalnya, kisah Khidir as yang membunuh anak kecil di hadapan Musa as atau ujian yang Allah timpakan kepada Ayub as, tetapi oleh masyarakat dipandang lebih menyerupai azab Allah (yang berarti menganggap Ayub as itu pendosa besar) dan lain sebagainya. Dari kehidupan para nabi tersebut, kita dapat melihat bahwa tidaklah mudah bagi siapa pun untuk menilai dan menghakimi apakah sesuatu itu benar atau tidak. Permasalahannya, fenomena lahiriah memang seringkali menipu. Namun, apakah perbuatan tersebut memang datang dari perintah Tuhan merupakan hal yang tidak mudah diidentifikasi. Bahkan, dalam perjalanan sejarah pasca Rasulullah, umat muslim yang kritis masih tetap mengalami kesulitan mengidentifikasi mana yang benar dan mana yang sesat. Misalnya, apakah Sunni ataukah Syiah yang merupakan Islam yang benar? Apabila menelusuri sejarah kedua golongan ini, akan didapati banyaknya ulama dan cendekiawan besar bermunculan dari kedua kalangan tersebut. Kemudian mengerucut ke kalangan Sunni. Hingga kini, masih tetap berlangsung polemik dan pertikaian ihwal apakah tashawwuf itu bagian dari Islam ataukah bukan. Akan tetapi kalau menelusuri sejarah lagi, akan didapati bahwa hingga hari ini justru tashawwuf-lah yang menjadi wajah Islam yang paling ramah dan diterima baik oleh kalangan non-muslim.
Kisah kenabian menyimpan ibrah dan hikmah yang kaya. Bahkan Ibn ’Arabi pun dianugrahi kitab Fushush Al-Hikam yang menguak hikmah dari kisah kenabian tersebut. Zamzam mengungkapkan bahwa kisah para nabi itu merepresentasikan perjalanan setiap nafs dalam kembali kepada-Nya. Secara global gambarannya dimulai dari kejatuhan manusia ke dalam dosa (nabi Adam), dan melangkahi dulu beberapa nabi hingga sampai pada Ibrahim yang dijanjikan tanah harapan. Tanah harapan ini adalah simbol dari qalb. Ibrahim pun pergi mencari tanah harapan tersebut, namun tak menemukannya. Lalu perjalanan tersebut dilanjutkan oleh Yaqub, yang digelari juga sebagai Israil, yaitu “yang berjalan di malam hari guna mencari Allah”, dan perjalanan pencarian tersebut teralihkan ketika Yusuf ‘terdampar’ ke Mesir. Kisah Yusuf paling dikenal dengan ta‘wil mimpinya dan berulang kali terpenjara di bawah tanah serta melihat cahaya datang dari atas, yang menyimbolkan jiwa yang terkurung dalam tubuh serta samar-samar melihat cahaya dan mendapat mimpi yang benar. Lalu Yusuf pun dikeluarkan dari bawah tanah dan beralih kepada Musa yang membawa Bani Israil hijrah. Konsep hijrah dalam Islam merupakan gambaran perpindahan dari keburukan kepada kebaikan. Lalu berikutnya, beralih kepada Nabi Yusa yang menghancurkan benteng Yerikho, yang menggambarkan dihancurkannya benteng yang menutupi tanah harapan atau qalb. Lalu beralih kepada Dawud, nabi dan raja yang seumur hidupnya berperang menaklukkan para raja yang bertahta di tanah harapan; ini simbol dari jiwa yang berjihad melawan hawa nafsu, karena ketika sampai di qalb, ternyata hawa nafsu telah banyak bertahta di qalb tersebut. Lalu berlanjut kepada Sulaiman yang mendirikan ‘bangunan pertama tempat Tuhan disembah dan dimuliakan’ dan tidak ada ilah yang disembah selain Allah. Lalu melompat kepada Nabi Yahya, yaitu yang dihidupkan, karena saat masih di dalam kandungan, ketika dipertemukan dengan Isa yang masih ada dalam kandungan, janin Yahya menggeliat menunjukkan tanda kehidupan. Kemudian Isa, yang dalam Al-Quran selalu disandingkan dengan Ruhul Qudus, bayi yang terlahir tanpa proses reproduksi terlebih dulu, sebagai simbol dari Ruhul Qudus yang merupakan bagian dari ‘amr Rabb. Inilah simbol saat seseorang mencapai tahap ma’rifat dan menjadi syuhada atau saksi Allah yang benar (ada pun yang mati saat berjihad, maka jika Allah berkenan, akan diangkat setingkat syuhada). Akan tetapi puncak perjalanan manusia bukanlah menjadi syuhada, namun menjadi shiddiqin, yaitu orang yang telah mencapai ma’rifat, menemukan apa misi hidupnya, lalu beramal shalih dengan misi hidup tersebut, yang disimbolkan dengan Rasulullah Muhammad saw.
Namun, Zamzam pun menjelaskan bahwa kisah kenabian ini memiliki pola fraktal, diulang dengan presisi hingga tahap terkecil. Bahwa pola perjalanan nafs untuk kembali yang digambarkan dalam perjalanan dari Nabi Adam hingga Rasulullah Muhammad saw ini diulang lagi dalam perjalanan hidup para nabi tersebut. Salah satu contohnya kisah Nabi Musa as. Surat Al-Baqarah diawali dengan kisah pembantaian anak laki-laki Bani Israil dan membiarkan hidup anak perempuan oleh Firaun dan keluarganya. Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwasanya Mesir merupakan simbol dari “Madinatul Badan” yang di dalamnya laki-laki (simbol dari nafs) dibunuh, sedang yang dibiarkan hidup adalah anak perempuan (simbol jasad). Peristiwa itu melambangkan tentang kehidupan dunia beserta berbagai kesenangannya membuat nafs mati, sehingga dalam kehidupan dunia ini manusia hanya memanfaatkan aspek-aspek jasadiah saja seperti syahwat, hawa nafsu, kemudian nalar dan psikologisnya.
Kemudian Bani Israil pun diajak hijrah meninggalkan Mesir. Pada dasarnya hijrah adalah meninggalkan keburukan menuju kebaikan. Akan tetapi Bani Israil membawa emas-emas yang mereka sembunyikan di Mesir saat berhijrah. Itu merupakan gambaran dari orang yang hendak bertaubat, meninggalkan perayaan hasratnya menikmati dunia, yang seharusnya mulai belajar zuhud, akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Sambil berhijrah, mereka masih membawa kecintaannya kepada dunia. Zamzam menjelaskan bahwa dalam Al-Quran, laut itu melambangkan kehidupan dunia. Untuk melewatinya manusia harus membelah laut seperti Musa agar tak terbasahi, atau berjalan di atas laut seperti Isa, atau mengarunginya dengan bahtera. Hanya ikan mati yang akan menjadi seasin air laut. Maka seorang salik seharusnya menjadi seperti ikan hidup, yang merenangi lautan tanpa menjadi asin. Dengan demikian, zuhud adalah hidup di dunia tapi tidak mengisi hati dengan kecintaan kepada dunia. Demikian, saat Bani Israil diajak untuk hijrah, mereka masih membawa hawa nafsu dan kecintaannya pada dunia saat hijrah yang dilambangkan dengan emas-emas bawaan mereka.
Kemudian Bani Israil pun menyeberangi Laut Merah yang dibelah. Dalam Al-Quran dikatakan sebagai “thariqat yang kering di laut” (QS Thâhâ [20]: 77). Itulah gambaran suluk, saat orang mencoba mengarungi laut (sebagai simbol dunia) namun tak terbasahi. Akan tetapi, tanpa mereka sadari, emas-emas yang dibawa dari Mesir akan menjadi penjegal jalan di tahapan berikutnya. Sesampainya di seberang, mereka diperdaya oleh Samiri untuk membuat anak sapi emas yang bisa hidup dan berkata-kata. Lalu Samiri mencampurkan pasir bekas jejak Rasul, yaitu pasir yang sebelumnya menjadi tempat berdiri sang Ruhul Amin atau Jibril as di dasar laut saat Laut Merah terbelah, dan Samiri pun melihat sosok Jibril itu. Maka, pasir bekas jejak Ruhul Amin itulah yang dicampurkan oleh Samiri dengan emas untuk membuat anak sapi emas. Ingat, ruh itu memiliki daya penghidup. Lalu mereka pun menyembah anak sapi emas itu, dan Nabi Musa pun marah serta mengutuk mereka. Itu merupakan gambaran bagaimana jika seseorang hendak bertaubat namun masih membawa hawa nafsu dan syahwat di jalan pertaubatannya, maka semua yang “dibawanya” akan menjadi anak sapi emas yang disembah (menjadi ilah).
Berikutnya, datanglah dua orang laki-laki yang bertengkar tentang siapa yang membunuh saudaranya. Kemudian nabi Musa menyuruh mereka menyembelih sapi betina. Korelasinya: sebelum itu Bani Israil menyembah anak sapi emas, yang merupakan anak-anak sapi hawa nafsu dan dilahirkan oleh sang induk sapi hawa nafsu. Ketimbang sibuk membunuhi anak-anak hawa nafsu yang jumlahnya bisa selalu bertambah lagi dan lagi, karena selalu dilahirkan terus, maka langkah paling efektif adalah membunuh induk hawa nafsu, yaitu sapi betina (Al-Baqarah). Akan tetapi siapa pun yang ditunjuk batang hidung hawa nafsu dalam dirinya akan mengeluarkan berbagai dalih. Sikap defensif tersebut terlihat saat kedua lelaki itu disuruh membunuh sapi betina, mereka berlagak tidak mengerti karena enggan. Padahal seandainya mereka langsung menyembelih sembarang sapi betina seperti saran Nabi Musa, maka beres perkara. Namun jika terkait penunjukkan batang hidung hawa nafsu, maka manusia akan selalu berdalih. Mereka pun mempersulit dirinya dengan pertanyaan yang ingin berkelit dari kewajiban menyembelih sapi betina tersebut. Akibatnya, mereka pun menjadi kesulitan mencari tipe sapi betina yang diminta justru karena berbagai dalih yang mereka lontarkan malah semakin menyulitkannya untuk mendapatkan spesifikasi sapi betina yang harus disembelih. Hampir saja mereka tidak mendapatkan sapi betina itu, kemudian mereka pun menyembelih sang produsen anak-anak sapi hawa nafsu dan kemudian memukulkan tulangnya kepada lelaki yang terbunuh tersebut. Lelaki itu pun hidup kembali dan menceritakan siapa yang telah membunuhnya. Ini adalah akhir dari kisah pembantaian di Mesir. Anak lelaki (simbol nafs) yang telah dibunuh di Mesir oleh Firaun dan keluarganya, akhirnya kembali hidup setelah induk hawa nafsu dibunuh.
Masih banyak lagi ibrah dan hikmah dari kisah kenabian yang pernah diuraikan oleh para ulama besar Islam. Setelah ditutupnya masa kenabian, bukan berarti tidak ada lagi kisah yang memiliki ibrah dan hikmah. Salah satu tradisi kisah yang paling menonjol adalah dalam sastra suluk karya para sufi. Dalam sastra suluk, kisah disampaikan melalui berbagai bentuk, misalnya anekdot. Atau hagiografi Tadzkiratul Awliyya dan fabel Mantiqul Thayr karya Fariduddin ‘Attar, roman Layla Majnun karya Nizami, puisi Matsnawi dan prosa Fîhî Mâ Fîhî karya Rumi, atau aforisme seperti Nahjul Balaghah, dan banyak lagi. Inspirasi sastra suluk ini mengalir dari proses ma‘rifatun nafs-ma‘rifatullah yang dilakoni dan bukan hanya ditelusuri dengan ujung jari seperti peta. Ini merupakan khazanah autentik dari nafs yang mengalir dari berbagai perangkat pendukungnya, seperti qalb, lubb, nur ilmu (yang datang dari luar nafs), ilmu tasawwur (yang keluar dari dalam nafs), hasanah, hikmah, ibrah, dan terutama ruh, serta merepresentasikan khazanah batiniah para ‘arifin yang unik satu sama lain. Terkait sastra suluk—yang lahir dari proses di atas—kisah yang disampaikannya tidak dibungkus dengan bahasa njelimet. Penggunaan alegori, metafora, simbol, tamsil dan hal sejenisnya sangat mendominasi sastra suluk, akan tetapi siapa pun bisa menikmati dan menafsirkan sesuai pengetahuannya. Meski begitu ada beberapa rahasia ilahiah yang berpotensi dipahami secara kontroversial oleh yang belum paham—serta bisa memunculkan label pengkafiran—sehingga seringkali dikodekan sedemikian rupa karena diperuntukkan bagi yang mencari dan memahami. Namun dalam sastra suluk jelas terlihat bahwa kedalaman tidak selalu harus identik dengan kerumitan bahasa.
Kembali kepada kasus munculnya berbagai gerakan keagamaan sempalan belakangan ini, dapat terlihat bahwa ormas-ormas Islam pun tidak selalu dapat dengan mudah untuk menentukan sikap. Permasalahan berikutnya yang muncul adalah ihwal tafsir. Sampai dimanakah sesuatu itu masih dapat ditoleransi sebagai masalah penafsiran dan bukan masalah kesesatan? Dulu pernah mencuat kasus hukum mati terhadap Ulil Abshar Abdala karena dinilai telah sesat dari Islam. Namun, bagi sebagian golongan lainnya, tawaran Ulil tersebut hanya dipandang sebagai permasalahan tafsir. Permasalahan ini semakin diperunyam dengan kondisi bahwa masyarakat Indonesia, sekali pun sudah mengenyam pendidikan serta dapat baca tulis, akan tetapi masih banyak yang hidup dalam atmosfer residual kelisanan. Belum memiliki budaya literasi yang kuat, kurang mampu membangun distansi kritis yang merupakan salah satu keuntungan dari budaya literasi. Sementara, dalam atmosfer residual kelisanan, seseorang cenderung reaktif dan spontan karena merasa dalam posisi partisipatif.73
Sebagaimana telah disinggung di awal, manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan menjiplak semua al-asmâ’ al-husnâ, dan dalam keberserahdirian kepada-Nya, itu pun mencerminkan asma-Nya, yaitu Jamal (indah) yang terkait dengan atribut tasbih (dari sabaha yang artinya mengalir, mengikuti arus) dan Jalal (agung, kuat tak tertembus) yang terkait dengan tanzih (menjauh, tak ada keserupaan). Melihat tindakan para nabi yang secara lahiriah begitu indah dan mulia, mudah bagi banyak orang untuk melihat itu sebagai aspek jamal pada diri sang nabi yang bertasbih atau berserah diri dengan mengalir mengikuti arus Kehendak-Nya. Namun, melihat tindakan para nabi yang secara lahiriah tampak buruk dan membingungkan, maka itu merepresentasikan aspek jalal pada diri sang nabi yang secara lahiriah bersifat tanzih atau menjauh dan seperti tak sejalan dengan kehendak-Nya, seakan tak ada hubungan apa pun dengan Kehendak-Nya.

Maka dari itu, representasi kebenaran mencakup juga yang jalal, bukan hanya yang jamal. Ada sejumlah nabi-nabi yang dalam tindakannya tampak aneh, representasi tak terpahami, namun tidak pernah menyimpang dari kehendak-Nya. Hal seperti ini juga banyak ditemui dalam tradisi Islam, misalnya pernyataan Abu Yazid Al-Busthami: “Barangsiapa yang tidak bermursyid, maka mursyidnya adalah iblis”. Pernyataan tersebut adalah urusan kewalian yang dihadapi oleh Abu Yazid di masanya dan bersifat temporer. Perihal kenapa pernyataan itu diucapkan bersifat kasuistis dan tidak bersifat quraniyyah (yang abadi sepanjang zaman). Urusan yang terejawantahkan secara lahiriyah dan bersifat temporer semacam itu seringkali tak terpahami di zaman berikutnya dan syaithan sering mendompleng di sana. Maka, kalimat tersebut pun menjadi thaghut di zaman yang lain, dan suatu saat bisa Dia patahkan.
Adalah Uwais Al-Qarni, seorang pemuda dari Yaman yang tak pernah bertemu langsung dengan Rasulullah saw sama sekali. Dia merawat ibunya yang telah tua renta, lumpuh dan penglihatannya pun telah kabur. Untuk kehidupan sehari-hari, dia bekerja sebagai penggembala kambing. Dia menempuh perjalanan sejauh 400 km untuk menemui Rasulullah namun tidak bertemu karena saat itu beliau sedang berangkat perang, lalu dia segera kembali ke Yaman untuk merawat ibunya. Akan tetapi, Rasulullah saw menyatakan bahwa Uwais Al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya dan sangat terkenal di penghuni langit. Terlalu mudah jika kemudian dihakimi bahwa beliau bermursyid kepada Iblis hanya karena tidak pernah bertemu, apalagi berbaiat, kepada Rasulullah saw. Kesulitan untuk menemukan kebenaran itu digambarkan oleh Rumi terkait dengan kelurusan akan apa yang sebenarnya dicari:
Pernahkah kau dengar nama dari segala sesuatu dari Yang Mengetahui?: Dengarlah makna rahasia “Dia mengajarkan kepadanya Nama-nama.”
Bagi kita, nama segala sesuatu adalah bentuk lahirnya; bagi Sang Pencipta, ia adalah hakikat batinnya.
Dalam pandangan Musa nama tongkatnya adalah “tongkat”; dalam pandangan Tuhan namanya “naga”.
Di dunia ini nama ‘Umar adalah “pemuja berhala”, namun di alam baka ia adalah “mukmin yang sesungguhnya”.
Di hadapan Tuhan, pendek kata, segala yang merupakan tujuan kita adalah nama kita yang sebenarnya.74
Karena itu, jika dipikirkan lagi, apakah seandainya saat ini ada seorang mantan gembala domba yang yatim piatu, menikahi janda, meskipun jujur tetapi buta huruf, lalu menyampaikan bahwa dia mendapat wahyu berbunyi “Iqra’” (Bacalah), akankah kita mengimani lelaki buta huruf tersebut? Terkait ini ‘Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Jangan mencari kebenaran melalui manusia, tetapi carilah dulu kebenaran, maka kamu akan tahu siapa saja yang berjalan dalam kebenaran.”
Ihwal penyimpangan dalam dunia thariqah, siapa pun yang memasuki thariqah, namun tidak berpegang kepada syariat lahiriah itu terlarang sebab keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Thariqah merupakan wadah operasional tashawwuf sebagai syariat batiniah yang menuntun pemanifestasiannya melalui ujian-ujian dalam kehidupan. Sedangkan Al-Islam, sebagai syariat lahiriah, lebih dikenal sebagai rukun Islam dan ilmunya adalah fiqih. Antara fiqih dan tashawwuf tidak boleh dipisahkan, sedangkan thariqah adalah perbuatan (af‘al) Rasulullah saw dalam kehidupan dunia. Seseorang bisa saja berdalih mencari-Nya dengan meninggalkan dunia, padahal itu merupakan waham berselubung transendensi laku hidup. Selain itu, penyimpangan pun dapat terjadi dalam bentuk kemabukan akan pengalaman mistis. Salah satu seperti yang terjadi pada Jama‘ah Salamullah (artinya “keselamatan dari Allah”) yang dipimpin oleh Lia Aminuddin, dan belakangan berganti nama menjadi Lia Eden. Sebagaimana dikemukakan oleh Syafi‘i, “Corak mesianistik Salamullah adalah keyakinan telah dibangkitkannya kembali ruh Nabi Isa as dan Imam Mahdi untuk menyatukan kembali umat Kristen dan Islam.”75 Awalnya ajaran Salamullah adalah tauhid, lalu mengajarkan bahwa ‘umat Islam dan Kristen harus bersatu karena berasal dari Dzat yang satu’ dan mereka pun memproklamasikan perang terhadap kemusyrikan dengan mendatangi tempat-tempat, seperti Gunung Kawi, Gunung Bromo, Pantai Parangtritis, dan Pelabuhan Ratu untuk menyatakan perang kepada Nyi Roro Kidul. Namun, sejak tahun 2003, Salamullah keluar dari Islam dan membangun sistem keagamaan baru, yaitu “Kingdom’s of Eden”, dan tidak lagi melaksanakan syariat Islam, seperti shalat, babi sudah dihalalkan, dan minuman keras juga boleh diminum.
Kemudian ada juga Al-Qiyadah Al-Islamiyyah yang didirikan sejak tahun 2000 dan dianggap menyimpang karena menganggap Nabi Muhammad Saw bukan sebagai nabi terakhir dan menganggap Ahmad Moshaddeq, sang pimpinan gerakan ini, sebagai rasul. Aliran ini tidak mewajibkan umatnya menjalankan shalat lima waktu, berpuasa, maupun ibadah haji sebab dianggap belum turun perintah Allah untuk menjalankan itu. Selain itu, mereka pun berpandangan bahwa saat ini baru memasuki periode Mekkah dengan ajaran pokok menegakan aqidah Islamiyyah. Ahmad Moshaddeq pernah berkata bahwa sejak tahun 2000-2006 situasinya tidak bermasalah. Namun, pada tanggal 23 Juli 2006, terjadi hal yang spektakuler. Setelah bertapa selama 40 hari 40 malam, dia pun ‘mendapat wahyu dari Allah’ dan diangkat menjadi rasul. Lalu, Jama‘ah Pengajian Al-Haq mencari pengikut baru dengan menggunakan metode multi level marketing. Setiap jemaah diwajibkan mencari pengikut baru yang diwajibkan membayar uang dalam jumlah tertentu kepada pimpinan jama‘ah Al-Haq untuk jaminan agar jama‘ah Al-Haq dapat masuk surga.
Lalu, Padepokan Kanjeng Dimas Taat Pribadi dituduh banyak melakukan penipuan, sebagaimana dinyatakan oleh Gus Ipul, Wakil Gubernur Jawa Timur, “Intinya ajaran Dimas Kanjeng itu merupakan kasus penipuan, namun dibungkus dengan kedok agama. Penipuan itu dilakukan melalui penggandaan uang. Kalau dia dapat menggandakan uang, kenapa mereka masih meminta ‘mahar kepada calon anggota baru.’” Ditengarai bahwa uang kejahatan yang berasal dari mahar itu jumlahnya sampai triliunan. Selain itu, ada banyak pelaporan terkait kasus penipuan dan penggelapan. Dimas Kanjeng pun diduga terlibat kasus tujuh pembunuhan yang diotakinya serta melibatkan empat belas tersangka.
Demikian, jika kembali ke prinsip dasar yang telah dipaparkan di atas, para mursyid yang benar adalah mereka yang telah dipelihara melalui berbagai petunjuk-Nya, sehingga berada di atas shirath al-mustaqim serta menjalankan qudrah-Nya. Mereka telah menemukan misi hidupnya dan menjadi saksi yang haqq (syuhada) lalu memandu para pencari untuk menemukan jati dirinya (misi hidup). Ciri-ciri utamanya, pertama, tidak pernah sama sekali meminta dan mengharapkan imbalan atas seruannya. Karena itu, jika dalam menapaki thariqah malah dimintai uang ini itu, entah itu istilahnya mahar atau apa pun disertai dalih agama, itu sudah menunjukkan penyimpangan yang gamblang. Kedua, yang paling pokok, sang mursyid harus mampu berkomunikasi langsung dengan Allah melalui qalb-nya, mampu menerima petunjuk-petunjuk-Nya. Selain itu, ketika seorang mursyid menerima seseorang menjadi saliknya, maka dia harus mencintainya dan sang salik itu pun harus belajar mencintai sang mursyid, seperti dikatakan oleh Soeprapto Kadis. Kasih sayang seorang mursyid kepada saliknya dapat dilihat dalam kisah tatkala seorang tokoh yang hidup sezaman dengan Rumi berkata, “Jalaluddin Rumi adalah seorang wali agung dan seorang raja. Namun, dia harus dijauhkan dari para muridnya.” Ucapan ini dilaporkan kepada Rumi. Rumi tersenyum seraya berkata, “Kalau dia dapat!” Tidak lama kemudian dia menambahkan, “Kenapa para pengikutku dipandang hina oleh orang-orang duniawi? Itu karena mereka dicintai Allah dan diridhai-Nya. Telah aku telaah dengan saksama semua manusia. Mereka semua tidak seperti yang aku harapkan, kecuali sahabat-sahabatku ini. Keberadaanku merupakan ruh sahabat-sahabatku dan keberadaan sahabat-sahabatku merupakan ruh orang-orang duniawi, entah mereka mengetahui hal ini atau mereka tidak menghiraukannya.”78
Selain itu kemursyidan adalah misi hidup, maka posisi mursyid pun tidak dapat diwariskan, baik berdasarkan senioritas kesalikan, keluasan pengetahuan, atau bahkan garis keturunan. Posisi itu hanya boleh dipegang oleh seseorang yang telah menapaki tahap shidiqqin dengan menjalankan misi hidupnya sebagai mursyid.79 Akan tetapi, jika dalam rangkaian transmisi kemursyidan dari satu generasi ke generasi berikutnya tak ada lagi yang mencapai tahap pengenalan diri serta memikul amanah misi hidup sebagai mursyid, berarti sampai situlah ‘umur’ thariqah tersebut dan tidak perlu diada-adakan upaya mengangkat penerusnya sebab sebagaimana dinyatakan hadits, “Sesungguhnya, Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta mencabutnya dari hati manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ‘ulama. Kalau Allah tidak lagi menyisakan seorang ‘ulama pun, maka manusia akan menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh. Kemudian, para pimpinan bodoh tersebut akan ditanya dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya, mereka sesat dan menyesatkan.” (HR Bukhari & Muslim)
Adapun bagi mursyid yang sudah meninggal dunia, maka semua urusan mereka di muka bumi ini pun sudah selesai sebagaimana ditegaskan dalam hadits, “Apabila anak Adam meninggal dunia, maka akan terputus amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah (amal yang pahalanya selalu mengalir), ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya,’” (HR Muslim). Hadits ini menegaskan dengan jelas bahwa misi hidup seorang mursyid itu sudah selesai bersamaan dengan kematiannya. Karenanya, jika ada suatu pandangan bahwa mursyid yang telah meninggal diyakini masih berperan menjadi mursyid bagi para saliknya yang masih hidup, itu sudah merupakan suatu penyimpangan. Kemudian, pandangan bahwa peran pembaiatan seorang salik ke dalam suatu thariqah telah diwakilkan oleh salah satu saliknya dan nanti para salik baru ini akan bertemu dan diajari oleh sang mursyid di ‘alam entah apa’ malah semakin tidak jelas juntrungannya.
Dalam QS Al-Mâ’idah [5]: 35 tertulis, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan.” Wasilah artinya segala hal yang dapat menyampaikan serta dapat mendekatkan kepada sesuatu; bentuk jamaknya adalah wasa’il. Secara syar‘i, wasilah yang diperintahkan di dalam Al-Quran adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada-Nya, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan, sedangkan arti tawassul adalah mendekatkan diri atau memohon kepada-Nya melalui wasilah (perantara) yang memiliki kedudukan baik di sisi Allah. Ibnu ‘Abbas ra berkata, “Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah peribadahan yang dapat mendekatkan diri (al-qurbah) kepada Allah.”80 Akan tetapi, sebagaimana dituliskan dalam kitab Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama‘ah fil ‘Aqidah, ada tawassul yang tergolong syirik, yaitu menjadikan orang-orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam ibadah, termasuk berdoa kepada mereka, meminta hajat dan memohon pertolongan kepada mereka, dan termasuk di dalamnya adalah mengangkat seseorang yang telah meninggal dunia sebagai mursyid bagi para saliknya yang masih hidup.
Dari sini, setidaknya, ada satu hal penting yang harus digarisbawahi bahwa mencari wasilah, salah satunya, adalah menempuh jalan pertaubatan dalam thariqah dengan dibimbing oleh seorang mursyid yang masih hidup. Namun, jika dalam ber-thariqah sang salik ber-tawassul kepada mursyid yang sudah meninggal dunia, maka apa landasan Al-Quran dan hadits-nya? Inilah yang termasuk dalam perkara syirik, bid‘ah yang diada-adakan oleh para pemimpin bodoh yang sesat dan menyesatkan, sebagaimana ditegaskan dalam hadits di atas. Hal ini dipertegas juga dalam hadits yang diriwayatkan dari Annas bin Malik ra, “Sesungguhnya, apabila datang musim kemarau, ‘Umar bin Khaththab ra minta diturunkan hujan lewat ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib dan mengatakan, ‘Ya Allah sesungguhnya dahulu kami ber-tawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, lalu Engkau turunkan hujan kepada kami. Kini kami ber-tawassul kepada Engkau dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan untuk kami.’ Annas berkata, ‘Maka, diturunkan hujan untuk mereka,’” (HR Bukhari). Ini, sekali lagi, menandaskan bahwa mencari wasilah dengan tawassul itu hanya dapat dilakukan kepada orang yang masih hidup dan bukan kepada orang yang sudah meninggal dunia sebab hanya tiga perkara saja yang masih berlanjut bagi mereka setelah kematian dan tetap menjadi mursyid bagi salik yang masih hidup bukanlah salah satu di antaranya. Lagi pula, gagasan bahwa seorang mursyid ternyata masih menjalankan misi hidupnya di dunia setelah kematiannya sama sekali tak berbeda dengan takhayul di masyarakat Indonesia ihwal ‘arwah penasaran’ yang gentayangan karena masih ada urusan yang belum selesai di mauthin dunya.
Selain itu, Zamzam juga menegaskan “Tolaklah segala jenis kasyaf yang tersingkap oleh qalb jika tidak sejalan dengan Al-Quran dan Syariat.” Pengalaman ketersingkapan dalam bentuk mimpi atau penglihatan yang benar (ru’yah) seringkali memabukkan dan membuat seorang yang menempuh jalan pemurnian jiwa jadi teralihkan dari tujuan utamanya, tak ubahnya seseorang yang naik kereta menuju Surabaya tapi malah turun di suatu tempat karena terpikat oleh pemandangan sawah dan gunung yang dilaluinya, lalu lupa pada tujuan yang sebenarnya.81 Karenanya, berbagai bentuk kasyaf yang tidak sejalan dengan Al-Quran semestinya ditolak. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, dalam Al-Quran, thariqah banyak disimbolkan dengan hijrahnya Nabi Musa as dan, dalam sebuah hadits dikatakan “Sesungguhnya, setiap amalan tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena perempuan yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju,” (HR Bukhari dan Muslim). Rumi menyebut seseorang yang tujuannya mendua sebagai ‘tukang selingkuh’, yaitu kadang kepada Allah, tetapi lebih sering kepada dunia. Dalam wayang kulit, ini disimbolkan dengan tokoh ksatria yang matanya hanya satu, yaitu hanya Allah tujuannya, sedangkan para raksasa (buta) bermata dua karena keinginannya bercabang-cabang, tidak lurus hanya satu, sebagaimana para ksatria. Itulah mengapa seorang salik harus senantiasa memurnikan niat dalam bersuluk.
Dalam hadits dikatakan bahwa “Allah Yang Maha Besar dan Agung berfirman, ‘Dari segala yang dipersekutukan, Akulah yang paling tidak butuh kepada persekutuan. Maka, barang siapa dalam pekerjaannya menyekutukan Aku dengan yang lain, Aku berlepas darinya, sedang ia milik yang ia persekutukan,’” (HR Ibnu Majah). Soeprapto Kadis menjelaskan bahwa salah satu penyakit dunia yang menjangkiti para pencari Allah adalah dunia sebagai waham dan ciri-cirinya adalah merasa paling benar dan mencari sekutu selain Allah serta bertujuan ingin terkenal. Itulah mengapa dalam suluk dikatakan bahwa dalam beramal hendaknya selalu tulus, hanya melakoni itu semua untuk-Nya, bukan untuk mencari kemasyhuran ataupun popularitas. Dalam hal ini, maksud mempersekutukan Allah adalah melakukan sesuatu tetapi demi mementingkan diri sendiri, demi kemasyhuran diri sendiri; bukan untuk-Nya. Karenanya, Abdul Qadir Jailani memberi peringatan. “Dunia ini pasar. Sesaat lagi tidak akan ada yang tersisa atau tetap tinggal seorang pun. Ketika malam tiba, seluruh penghuni akan meninggalkannya. Oleh karena itu, hendaklah bersungguh-sungguh bahwa engkau tidak akan menjual dan tidak akan membeli di pasar ini, kecuali apa yang bermanfaat bagi dirimu kelak di pasar akhirat. Mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla berarti meniscayakan kita untuk bersikap ikhlas dalam beramal untuk-Nya. Dialah yang ‘laris’ di pasaran akhirat. Akan tetapi, sifat ikhlas hanya ada sedikit dalam dirimu.” Terkait dengan hal ini, Rumi menuliskannya sebagai berikut:
Jika emas yang kau cari, kepadanya hidupmu terjual; jika kerakusanmu tertuju pada makanan, kepadanya jiwamu dipandu.
Cermati kehalusan ini: pahamilah dengan gamblang, apa yang kau damba di dasar hatimu, itulah sebenarnya engkau.
Begitu pula dengan ketersingkapan atau mukasyafah yang seringkali membuat mabuk banyak penempuh jalan pemurnian jiwa. Hal ini pernah ditegaskan dalam sebuah hadits, “Barang siapa bermimpi melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya, maka pada hari kiamat dia akan dibebani dengan ikatan di antara dua tonggak, tetapi bukan dia yang mengikatnya.” Dalam riwayat lain disebutkan, “… di antara dua tonggak dari api.”82 Dalam “Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya” atas hadits ini, Sadruddin Al-Qunawi menuliskan sebagai berikut:
“Ketahuilah bahwa balasan dan hukuman ini muncul dari maqam keadilan. Hal itu disebabkan alam terbatas dalam bentuk dan makna atau katakanlah, dalam jisim dan roh. Alam mitsal (alam pra-eksistensi) adalah barzakh yang menggabungkan dua sisi itu. Khayalan manusia merupakan bagian dari alam mitsal. Maka, yang tersusun di dalam khayalannya adalah dari materi-materi indrawi dan maknawi dengan suatu usaha sebagai bentuk yang tidak pernah dilihatnya. Kemudian, ia mengabarkan bahwa ia mengetahui itu tanpa usaha. Maka, dia telah berbohong dan mengelabui para pendengar bahwa Al-Haqq menampakkan hal itu kepadanya. Tidak diragukan, telah diumpamakan baginya bahwa alam makna itu dalam bentuk satu tonggak dan alam nyata dalam tonggak yang lain berupa perasaan yang merupakan pengenalan makna dan pengenalan rasa. Dia dibebani untuk mengikat di antara keduanya dengan ikatan yang benar seperti Al-Haqq SWT mengikat yang satu terhadap yang lain, tetapi dia tidak mampu melakukannya. Maka, dia didustakan dan dilemahkan sebagai balasan yang sesuai baginya. Pahamilah, semoga Allah memberi petunjuk.”83
Dalam hal ini, Sadruddin mengingatkan seseorang yang pikirannya malah aktif menafsir-nafsirkan suatu ketersingkapan dan bukan dari kosongnya diri ibarat seruling. Maka, nanti dia akan dituntut oleh Allah sebagai Al-Haqq untuk menyatukan antara penglihatannya dengan maknanya, sebagaimana yang dia lakukan dengan menggunakan pikirannya dan bukannya dari tuntunan pengajaran-Nya atau melalui tuntunan seorang mursyid, sebab salah satu fungsi mursyid adalah menakwilkan ketersingkapan yang dialami para muridnya, memilah mana yang merupakan obsesi, angan-angan panjang, atau tipuan dari syaithan, dan mana yang memang datang dari sisi Allah. Karenanya, akan semakin berbahaya jika salik yang mengalami penyingkapan itu menceritakan kepada banyak orang bahwa yang dilihatnya adalah begini dan begitu, terlebih lagi jika dengan ‘modal’ khayalannya tersebut dia mulai mengumpulkan pengikut untuk yang mengakuinya sebagai mursyid atau apa pun istilahnya, lalu mengambil keuntungan duniawi dari para pengikutnya.
Tugas seorang mursyid sejati adalah membantu saliknya mengenal al-haqq secara bertahap sesuai perkembangan nafs-nya serta mengembalikannya ke pengabdian yang murni. Namun, para salik pun akan dihadapkan pada dilema akan ketidakpercayaan kepada mursyid sehingga menjadi racun dan itu menjadi penyebab kegagalannya dalam bersuluk. Akan tetapi, dia pun tidak boleh taklid buta kepada mursyid.84 Kepercayaan memang tidak dapat dipaksakan dan harus muncul secara alami melalui proses yang alami pula dari qalb, sehingga mutlak diperlukan penguatan dengan ‘ilm. Karenanya sebagaimana dikatakan Ibn ‘Arabi bahwa “Syarat menjadi seorang syaikh adalah kemampuan memenuhi kebutuhan murid-muridnya yang terkait dengan pendidikan, bukan karamah dan kemampuan menyingkap batin seorang murid.” Akan tetapi tidak jarang ada saja salik yang lebih menyukai berbagai ‘keajaiban’ semacam itu. Padahal, kata mukjizat berasal dari bahasa Arab yang artinya ‘melemahkan’ (dari kata ‘ajaza, artinya lemah). Mukjizat adalah langkah terakhir yang diperlihatkan untuk melemahkan hati yang beku dan akal yang rendah sebab tidak dapat mengerti ajaran kebenaran yang dibawa oleh para Nabi. Hal ini bisa dilihat pada bagaimana as-sabiqunal awwalun tidak perlu diperlihatkan dulu mukjizat untuk mengimani risalah Rasulullah saw, terlebih mukjizat terbesarnya adalah Al-Quran.85
Penutup
Demikian, pemaparan panjang lebar di atas hendak menekankan bahwa sangat penting bagi seseorang yang hendak menempuh titian serambut dibelah tujuh untuk memiliki peta perjalanan dan tahapan yang harus dilaluinya beserta berbagai perangkap dan rambu-rambunya. Di tengah berbagai tawaran konsepsi diri tanpa diri yang anti-esensialis serta ateleologis dari pemikiran (post)modern—serta diamini sebagian kalangan muslim terpelajar—pemaparan Ibn ‘Arabi tentang mawathin bisa memperlihatkan bahwasanya jiwa (nafs) adalah diri sejati dari setiap manusia serta selalu ada dalam setiap tahapan kehidupan yang dilaluinya. Akan tetapi tidak akan mengherankan juga apabila wawasan ini hanya akan kembali berakhir menjadi mistisisme ujung jari yang semata menelusuri peta dan tak dikonkretkan menjadi penempuhan perjalanan untuk mencapai keadilan bagi diri sendiri. Termasuk bagi penulis sendiri yang bisa jadi malah terjebak menjadi burung beo. Astaghfirullah Al-Adzim.[]
FOOTNOTE
- Revisi ringkas dari cuplikan tulisan “Ma‘rifat dan Struktur Insan: Dari Ad-Dîn ke Mawathin Hingga Keadilan” yang pernah dimuat dalam Journal of Tasawwuf Studies, Vol. I, No. 02, Juli 2018, dan juga cuplikan tulisan “Tashawwuf Harus Bersama Thariqah: Mendudukkan Kembali Signifikansi Mursyid dan Thariqah Bagi Muslim Abad 21” yang pernah dimuat dalam Journal of Tasawwuf Studies, Vol. 2, No. 01, Januari 2019, untuk disusun kembali menjadi lebih komprehensif dalam buku antologi yang sedang disusun. Insya Allah.
- A. J. Arberry, Sufism: An Account of the Mystics of Islam, London & New York: Routledge, 1950, hlm. 36.
- Lihat Alfathri Adlin, “Āgama, Religion, Ad-Dîn: Antara Tradisi, Institusionalisasi Ajaran, dan Misi Hidup” dalam website PICTS, http://picts.paramartha.org/tasawuf/1-agama-religion-ad-din-antara-tradisi-institusionalisasi-ajaran-dan-misi-hidup~2301/
- Reynold A. Nicholson, Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996, hlm. 100. Bagian puisi ini diambil dari kitab Mastnawi IV, 510.
- “Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk dan pada nafs mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa itu adalah al-haqq. Dan apakah Rabb-mu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS Fushshilat [41]: 53)
- Lihat Alfathri Adlin, “Struktur Insan: Trilogi Jasad, Nafs dan Ruhul Qudus” yang akan dimuat dalam website Qudusiyah.
- Lihat Alfathri Adlin, “Dharma sebagai Etika dalam Hinduisme” dalam website PICTS, https://picts.paramartha.org/filsafat/dharma-sebagai-etika-dalam-hinduisme~1922/
- “Maka hadapakanlah wajahmu dengan lurus kepada dîn; fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah. (Itulah) ad-dîn yang lurus (al-qayim); tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Ar-Rum [30]: 30)
- Al-Ghazali, Al-Asma’ Al-Husna: Rahasia Nama-nama Indah Allah (Bandung: Mizan, 1994, hlm. 119.
- Ambo Asse, “Konsep Adil dalam Al-Qur‘an”, Al-Risalah, Volume 10 Nomor 2, Nopember 2010, hlm. 275.
- Ambo (2010), hlm. 275.
- Al-Ghazali (1994), hlm. 119.
- Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada al-malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 30)
- “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS Al-Ahzab [33]: 72)
- “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ‘Ruh itu termasuk bagian dari ‘amr Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’” (QS Al-Isrâ [17]: 85)
- Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali, Jilid 5, terj. Prof. Tk. H. Ismai Yakub, SH, MA. (C.V. Faizan: Jakarta Selatan, cetakan ketiga, 1983), hlm. 261.
- “Sesungguhnya usaha kamu berbeda-beda. Ada pun orang yang berderma dan bertaqwa, dan membenarkan kebaikan, maka Kami menyiapkan baginya jalan yang mudah. Ada pun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan kebaikan, maka Kami menyiapkan baginya jalan yang sukar, dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” (QS Al-Lail [92]: 4-11)
- Seseorang bertanya: “Ya Rasulullah, adakah telah dikenal para penduduk surga dan para penduduk neraka?” Jawab Rasulullah Saw, “Ya!” Kemudian kembali ditanyakan, “Kalau begitu apalah gunanya lagi amal-amal orang yang beramal?” Beliau menjawab: “Masing-masing bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya.” (HR Bukhari); Seseorang bertanya: “Ya Rasulullah, apa dasarnya kerja orang yang bekerja?”. Beliau Saw menjawab, “Setiap orang dimudahkan mengerjakan apa yang Dia telah ciptakan untuk itu.” (HR. Bukhari)
- Al-Ghazali (1983), hlm. 261.
- Lihat Watung Arif Budiman, “Tiap Orang, Satu Misi”, dalam website PICTS, https://picts.paramartha.org/refleksi/tiap-orang-satu-misi~1628/
- Untuk alasan generalisasi, prinsip ini lebih tepat disebut prinsip aksi stasioner, atau dalam bidang matematika juga biasa disebut prinsip Hamilton (karena ternyata solusi stasioner tidak selalu menghasilkan nilai minimum). Istilah prinsip aksi terkecil muncul pada abad ke-18 di kalangan ilmuwan dan matematikawan yang meyakini adanya semacam prinsip “ekonomis” yang mengatur alam semesta. Istilah ini populer kembali pada abad ke-20, khususnya melalui kuliah-kuliah fisika dasar Richard Feynman yang fenomenal.
- Richard P. Feynman, The Feynman Lectures on Physics: Volume 2: Mainly Electromagnetics and Matter, Basic Books: London, 1964, bab 19, hlm. 19-1 s.d. 19-2.
- A. Mustofa Bisri, “Buku Unik Seorang Fakih (Sekadar Mengantar)”, dalam Ibnu Qudamah Al-Maqdisy, Mereka yang Kembali: Ragam Kisah Taubatan Nasuha (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. v.
- Zamzam A.J. Tanuwijaya, “Thariqah Islam dalam Pandangan Kadisiyyah”, makalah yang dipresentasikan dalam acara sarasehan tentang thariqah di Pesantren Babussalam, 14 Desember 2014, tidak dipublikasikan, hlm. 1-2.
- Dalam hadits dinyatakan: “Dari Abu Hurairah berkata: ‘Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Demi Allah, sesungguhnya saya itu memohon pengampunan kepada Allah serta bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari 70 kali.’” (HR. Bukhari)
- A. Mustofa Bisri, op.cit.
- Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari shirath Engkau yang mustaqim, kemudian aku akan mendatangi mereka dari depan dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS Al-A‘râf [7]: 16-17)
- Zamzam menjelaskan, “Di dalam Al-Quran, kunci kebahagiaan hidup sejati dari makhluk, terselubung di belakang kata tasbih. Di balik kata tasbih ini, tersimpan makna berserah diri dan ketundukan yang sebenar-benarnya, makna Islam sejati, sebaik-baik keadaan hamba dalam beragama. Firman Allah, “Bertasbih kepada-Nya apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi.” (Al-Hasyr [59]: 24) Tanpa tasbih ini tak ada kehidupan bagi jiwa, sebab jiwa itu hanya dapat hidup dengan memakan kehendak-kehendak Allah. Bertasbihnya makhluk-makhluk Allah itu sesuai dengan bakatnya. Bakat langit dari ikan adalah berenang, bakat langit dari burung adalah terbang. Jika makhluk berjalan di luar bakatnya, berarti kesengsaraan dan kematian. […] Demikian pula manusia, agar dikatakan hidup, maka ia harus bertasbih menurut bakat langit masing-masing yaitu bekerja sesuai dengan bakat langitnya atau sesuai dengan kodratnya, sesuai kuasa yang diberikan Allah kepadanya… Kesamaan arti tasbih inilah yang (salah satunya) menunjukkan bahwa agama-agama langit itu merupakan ranting-ranting suci dari pohon agama universal. Implikasi dari ini adalah: bahwa kebahagiaan itu menjadi universal, dan kesesatan itu juga universal, dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Dosa itu ada pada kesadaran si manusia dan bukan terletak pada batu, simbol-simbol dan papan-papan nama.” Zamzam A. J. Tanuwijaya, “Mata Air Agama-Agama”, makalah presentasi di forum kajian Perhimpunan Islam Paramartha-Kadisiyyah, tanpa tahun, tidak dipublikasikan, hlm. 2.
- Lihat Alfathri Adlin, “Struktur Insan: Trilogi Jasad, Nafs dan Ruhul Qudus” yang akan dimuat di situs Qudusiyah.
- Lihat Ibn ‘Arabi, Cahaya Penakluk Surga: Sisi Praktis Khalwat di Kalangan para Awliya, diterjemahkan dari Al-Anwar Fîma Yamnahu Shâhib al-Khalwat min Asrâr (Pustaka Progresif: Surabaya) 2002.
- Di dalam setiap mauthin terdapat maudhi‘ yang jumlahnya begitu banyak, sehingga akal manusia tidak mampu menangkap seluruhnya. Maudhi‘ itu adalah lokasi atau tempat dari tempat. Misalnya, mauthin saya adalah di Jakarta, maudhi‘ saya adalah di STFD Driyarkara, di perpustakaan lantasi 3.
- “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS Al-Insan [76]: 1)
- “Dan, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka: ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul [Engkau Tuhan kami], kami menjadi saksi’. [Kami lakukan yang demikian itu] agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami [bani Adam] adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.’” (QS Al-A‘raf [7]: 172)
- “Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya dari ruh-Ku.” (QS Shâd [38]: 72)
- “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan fu‘ad, agar kamu bersyukur.” (QS An-Nahl [16]: 78)
- Karena itu, tidaklah tepat apabila mendoakan seseorang yang meninggal dengan kata-kata “Semoga arwahnya di terima di sisi Tuhan”. Selain kata arwah itu merupakan bentuk jamak dari ruh sehingga mengisyaratkan seseorang memilik banyak ruh, padahal tidak demikian, juga mengisyaratkan bahwasanya ruh itu bisa tertolak karena berlumur dosa, padahal ruh itu senantiasa suci sehingga dinamai juga sebagai ruhul qudus.
- Alamah Quchani, seorang tokoh agama di Iran, menulis sebuah buku pengalaman fana-nya yang menggambarkan bagaimana dia diperjalankan kembali di mauthin barzakh mulai dari penguburan hingga mengalami simulasi ulang kehidupannya dengan berbagai hal menjadi termanifestasi konkrit, seperti kebodohannya yang maujud menjadi sosok Jahal, hawa nafsu dan syahwat menjadi sosok-sosok hitam mengerikan, petunjuk yang menuntun perjalanan menjadi sosok Hadi, berbagai permasalahan diri yang menghimpit di dunia maujud menjadi penjara, dan seterusnya. Namun, karena ‘warna’ Syiah dari beliau sangat kuat, maka nuansa tersebut begitu kuat ‘mewarnai’ gambarannya tentang perjalanan di mauthin barzakh. Lihat Alamah Quchani, Tamasya di Alam Barzakh, 2003, Remaja Rosdakarya: Bandung.
- Zamzam A. J. Tanuwijaya & Tri Boedi Hermawan, “Struktur Insan dalam Al-Quran, Apa yang Tersentuh oleh Psikologi Analitik dan Status Kecerdasan Spiritual (SQ)”, dalam Journal of Tasawwuf Studies, Vol. 02, No. 01, Januari 2019, hlm.12.
- “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh dari ‘amr Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan ruh itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS Asy-Syûra [42]: 52)
- Zamzam & Tri Boedi (Januari 2019), hlm.12.
- (1) “… dan Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka kepada shirath al-mustaqim” (QS Al Mâi-dah [5]: 16); (2) “… supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan menuju cahaya …” (QS Al Ahzab [33]: 43); (3) “…Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki…” (QS An Nûr [24]: 35).
- (1) “… pada hari ketika kamu melihat orang beriman laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.” (QS Al-Hadid [57]: 22); (2) “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap-gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang-orang al-kafirin itu memandang baik apa yang mereka lakukan.” (QS Al-An‘am [6]: 122)
- (1) “… dan barangsiapa yang beriman billah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada qalb-nya.” (QS At Taghabun [64]: 11); (2) “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh diberi petunjuk oleh Rabb mereka karena keimanan mereka.” (QS Yunus [10]: 9); (3) “… dan sesungguhnya Allah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada shirath al-mustaqim.” (QS Al Hajj [22]: 54)
- (1) “Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di dalam segenap ufuk dan di dalam diri mereka sendiri, sampai jelaslah bagi mereka bahwa itu adalah al-haqq.” (QS Fushshilat [41]: 53); (2) “Sebenarnya itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” (QS Al Ankabut [29]: 49); (3) “Tidak menyentuhnya melainkan yang disucikan (al-muthaharun)” (QS Al Waqi’ah [56]: 79).
- “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah para shiddiqin dan syuhada di sisi Rabb mereka.” (QS Al-Hadîd [57]: 19)
- (1) “Barangsiapa mendapat petunjuk Allah maka dialah yang menerima petunjuk (al-muhtadi), dan barangsiapa yang disesatkan Allah maka merekalah orang-orang yang merugi (al-khasirun)” (QS Al-A‘raf [7]: 178); (2) “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS Al-Baqarah [2]: 272); (3) “… sesungguhnya petunjuk Allah adalah petunjuk yang benar” (QS Al-Baqarah [2]: 120); (4) “…Barangsiapa mendapat petunjuk, maka sesungguhnya itu bagi kebaikan diri (nafs)-nya sendiri, dan barangsiapa sesat maka itu mencelakakan dirinya sendiri” (QS Yunus [10]: 108); (5) “Dan barangsiapa ditunjuki Allah maka dialah al-muhtadi, dan barangsiapa Dia sesatkan maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penolong bagi mereka selain dari Dia” (QS Al-Isra’ [17]: 97). Petunjuk merupakan perkara signifikan dan telah diwartakan sebagai pegangan sedari awal sejarah manusia di muka bumi, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang terkait Adam: “Katakanlah, turunlah kalian berdua bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka” (QS Thaha [20]: 123). Dilengkapi juga dengan “… barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula bersedih hati” (Al Baqarah [2]: 38) dan “Mereka itulah yang tetap atasnya mendapat petunjuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Al Baqarah [2]: 5).
- Lihat Alfathri Adlin, “Āgama, Religion, Ad-Dîn: Antara Tradisi, Institusionalisasi Ajaran, dan Misi Hidup” dalam website PICTS, http://picts.paramartha.org/tasawuf/1-agama-religion-ad-din-antara-tradisi-institusionalisasi-ajaran-dan-misi-hidup~2301/
- Lihat Rumi, Matsnawi VI, 210.
- Lihat Rumi, Matsnawi VI, 742.
- Lihat Rumi, Matsnawi I, 3056.
- Lihat Rumi, Fihi ma Fihi #24.
- “Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: ‘Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu’, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).” (QS An-Nisa’ [4]: 66)
- “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaithan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS Al A‘râf [7]: 26-27)
- “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada al-mu‘min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimah taqwa dan adalah mereka berhak dengan kalimah taqwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Fath [48]: 26)
- “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah thayyibah, seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabb-nya. Dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS Ibrahim [14]: 24-25)
- (1) “Dan sesungguhnya telah tetap kalimah Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul.” (QS Ash-Shaffat [37]:171); (2) “(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: ‘Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kalimah-Nya, namanya Al Masih `Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat serta termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).” (QS Ali Imran [3]: 45)
- Nabi Isa pernah memaparkan ihwal benih ini sebagai berikut: “Kerajaan Surga itu ibarat orang yang menaburkan benih yang baik di ladangnya. Tetapi pada waktu semua orang tidur, datanglah musuhnya menaburkan benih ilalang di antara gandum itu, lalu pergi. Ketika gandum itu tumbuh dan mulai berbulir, nampak juga ilalang itu tumbuh. Maka datanglah pembantu-pembantu pemilik ladang itu kepadanya dan berkata: ‘Tuan, bukankah benih baik yang tuan taburkan di ladang tuan? Dari manakah ilalang itu?’ Jawab pemilik ladang, ‘Seorang musuh yang melakukannya.’ Lalu berkatalah hamba-hamba itu kepadanya: ‘Jadi maukah tuan supaya kami pergi mencabut ilalang itu?’ Tuan itu menolak: ‘Jangan, sebab mungkin gandum itu ikut tercabut pada waktu kamu mencabut ilalang itu. Biarkanlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai. Pada waktu itu aku akan berkata kepada para penuai: Kumpulkanlah dahulu ilalang itu dan ikatlah berberkas-berkas untuk dibakar. Kemudian kumpulkanlah gandum itu ke dalam lumbungku.” (Matius 13: 24-30) Nabi Isa pun kemudian melanjutkan: “Orang yang menaburkan benih baik ialah Anak Manusia. Ladang ialah dunia. Benih yang baik itu anak-anak Kerajaan Surga dan ilalang adalah anak-anak si jahat.” (Matius 13: 37-38) Nafs itulah yang dimaksud sebagai anak-anak Kerajaan Surga, dan nafs dititipkan ke jasad agar kelak dapat tumbuh. Tumbuh kembangnya benih nafs inilah yang dimaksud dengan bertaqwa, dan untuk merasakan buahnya, benih harus menjalani proses kehidupan yang panjang dan penuh perjuangan. Dengan demikian, wajarlah bila kemuliaan seseorang di sisi Allah diukur dalam hal taqwa.
- Lihat Alfathri Adlin, “Āgama, Religion, Ad-Dîn: Antara Tradisi, Institusionalisasi Ajaran, dan Misi Hidup” dalam website PICTS, http://picts.paramartha.org/tasawuf/1-agama-religion-ad-din-antara-tradisi-institusionalisasi-ajaran-dan-misi-hidup~2301/
- Sebagaimana tertuang dalam QS Yunus [10]: 9 dan QS Al-Ankabut [29]: 9, “Dan orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal shalih benar-benar akan Kami masukkan mereka ke dalam (golongan) al-shalihin.”
- Hal ini ditegaskan dalam QS Al-An‘am [6]: 77, “Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: ‘Inilah Tuhanku.’ Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: ‘Sesungguhnya jika Rabb-ku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk al-dhalin.’”
- “Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus (shiratim mustaqim), (yaitu) dîn yang kokoh, millah Ibrahim yang hanif, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk al-musyrikin.” (QS Al-An‘am [6]: 161)
- “Janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)-nya.” (QS Hûd [11]: 46)
- Dalam Al-Quran pun dikatakan bahwa Iblis bersumpah: “Ya Rabbi, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.” (Al-Hijr [15]: 39)
- Dalam QS Al-Hajj [22]: 11 ditandaskan juga bahwa: “Dan di antara manusia ada orang yang mengabdi kepada Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.”
- Zamzam A. J. Tanuwijaya & Tri Boedi Hermawan, 1998, “Struktur Insan dalam Al-Qur’an, Apa yang Tersentuh Oleh Psikologi Analitik, dan Status Kecerdasan Spiritual (SQ)”, dalam Journal of Tasawwuf Studies, Vol. II, No. 1, Januari 2019, (PICTS: Bandung) hlm. belum tahu.
- A. Sudiarja SJ, Kerangka Kuliah Etika Dasar: Pokok-pokok Pembicaraan Mengenai Etika Dasar, Yogyakarta: Fak. Teologi Universitas Sanata Dharma, 2008, hlm. 4.
- Shadr ad-Dîn Al-Qunawî, Pancaran Spiritual: Telaah 40 Hadits Sufistik (Jakarta: Penerbit Lentera, 1998), hlm. 168-169.
- Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf, Bandung: Mizan, 2010, hlm. 118-119.
- Pembahasan lebih lanjut ihwal dunia yang terbelah ini lihat Alfathri Adlin, “Untuk Manusia ataukah Untuk Industri?: Tradisi Sains-Teknologi Islam serta Peradaban Modern dalam Riset dan Pendidikan Indonesia”, dalam website PICTS, https://picts.paramartha.org/sosial/untuk-manusia-ataukah-untuk-industri-tradisi-sains-teknologi-islam-serta-peradaban-modern-dalam-riset-dan-pendidikan-indonesia~2541/
- “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan fu‘ad-mu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu al-haqq serta pengajaran dan peringatan bagi al-mu‘minîn.” (QS Hûd [11]: 120)
- “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS Yusuf [12]: 111)
- “Allah menganugerahkan al-hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya ulil albab-lah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS Al-Baqarah [2]: 269) Pembahasan lebih jauh ihwal ulil albab lihat Alfathri Adlin, “Tashawwuf Yes, Thariqah No: Tinjauan Kritis terhadap Fenomena Urban Sufism” dalam website PICTS, https://picts.paramartha.org/tasawuf/tashawwuf-yes-thariqah-no-tinjauan-kritis-terhadap-fenomena-urban-sufism~2378/
- Akan tetapi budaya literasi juga memiliki kelemahan, yaitu “tak tahan” terhadap ambiguitas kehidupan sebab selalu terkondisikan untuk mengejar kejelasan dan kepastian. Di sisi lain, budaya literasi malah terbiasa dengan hal semacam ini, apalagi dalam berbagai mitos atau pun folklore lisan banyak digambarkan ambiguitas hidup manusia macam itu.
- Lihat Rumi, Matsnawi I, 1238.
- Ahmad Syafi‘i Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hlm. 258. Itu semua diawali dengan pengalamannya. “Pada suatu malam ia mengalami sebuah peristiwa: seluruh badannya bergetar, keringat bercucuran, tetapi ia merasa kedinginan. Esok harinya tiba-tiba ia dapat melihat segala sesuatu seperti sebuah mobil yang dilihatnya adalah hasil korupsi dan dapat mengobati berbagai penyakit. Setelah itu, ia didatangi oleh makhluk gaib yang kemudian mendampinginya serta memberikan ajaran dan tuntunan agama Islam. Makhluk itu kemudian diketahui (mengaku) sebagai malaikat bernama Habib Al-Huda. Dalam perkembangan waktu, ada dua orang yang memberikan kesaksian bahwa makhluk gaib yang mendampingi itu adalah malaikat Jibril. Dan ketika Lia berkata kepada kedua pendampingnya itu tentang kebenaran dua orang saksi itu, pendamping itu membenarkan dan mengaku bahwa sebenarnya ia adalah malaikat Jibiril (Lia Aminuddin, 1999: 18—19). Bukti tentang kebenaran Salamullah dan ajarannya dijelaskan secara panjang lebar dalam buku Perkenankan Aku Menjelaskan Sebuah Takdir (Lia Aminuddin, 1998).” Lihat Mufid (2006), hlm. 260.
- Dimas Prasaja, “7 Ajaran Dimas Kanjeng yang Dinyatakan Melenceng”, dalam http://regional.liputan6.com/read/2625329/7-ajaran-dimas-kanjeng-yang-dinyatakan-melenceng, diunggah 13 Oktober 2016, 18:00 WIB, diakses pada tanggal 20 April 2017, pukul 07: 42.
- “Ikutilah orang yang tiada meminta balasan kepadamu; dan mereka adalah muhtadun.” (QS Yâsîn [36]: 21)
- Syamsuddin Ahmad Al-Aflaki, Tebaran Hikmah: Hikayat-hikayat di Seputar Jalaluddin Rumi, Al-Bayan: Bandung, Mei 1992, hlm. 66.
- Dalam salah satu hadits dinyatakan, “Dari Abu Hurairah ra menyatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, ‘Dahulu kaum Bani Isra’il dipimpin oleh para Nabi. Setiap seorang nabi meninggal dunia, maka diganti oleh seorang nabi lainnya. Maka, sesungguhnya, tidak ada nabi yang menggantikan setelah aku meninggal dunia. Namun, yang menggantikanku adalah khalifah-khalifah. Maka, mereka banyak mempunyai pengikut-pengikut.’ Sahabat bertanya, ‘Wahai Rasul, apa yang engkau perintahkan pada kami?’ Rasul menjawab, ‘Laksanakan baiat seperti baiat pertama kali di hadapan mereka dan tunaikan hak-hak mereka. Kalian mintalah kepada Allah yang menjadi bagian kalian karena Allah Ta‘ala menanyakan tentang apa yang mereka pimpin.’” (HR Bukhari & Muslim)
- Dalam salah satu hadits, Rasulullah Saw bersabda, “Jadikanlah dirimu beserta dengan Allah. Jika kamu belum dapat menjadikan dirimu beserta dengan Allah, maka jadikanlah dirimu beserta dengan orang yang telah beserta dengan Allah. Maka, sesungguhnya, orang itulah yang menghubungkan engkau kepada Allah.” (HR Abu Dawud)
- Keterpikatan dan mabuk pada pengalaman ketersingkapan ini dapat dilihat contohnya pada Lia Aminuddin yang mengklaim didatangi Jibril dan semakin lama semakin menyimpang arah perjalanan komunitasnya dari ajaran Islam atau mengklaim didatangi oleh nafs sang mursyid yang sudah meninggal yang mengaku masih berperan sebagai mursyid bagi para saliknya yang masih hidup. Hadits sudah memperingatkan hal semacam ini bahwasanya diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud bahwa Nabi Saw bersabda, “Barang siapa melihatku di dalam ru’yah, maka dia benar-benar telah melihatku karena setan tidak dapat menyerupaiku,” dalam riwayat lain disebutkan, “… karena tidak sepatutnya bagi setan menyerupai rupaku,” dalam riwayat lain, “… karena setan tidak menjadi aku.” Dalam riwayat lain dinyatakan, “Barang siapa melihatku, maka dia melihat kebenaran karena setan tidak dapat menampakkan diri dengan rupaku.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Bab Al-‘Ilm, hlm. 38, Al-Adab, hlm. 109 dan At-Ta‘bir, hlm. 10; Muslim di dalam Bab Ar-Ru’yah, hlm. 4 dan 7; Ibnu Majah di dalam Bab Ar-Ru’yah, hlm. 2; Ad-Darimi di dalam Bab Ar-Ru’yah, hlm. 4; dan Ibnu Hanbal, I/375, 400, 440 dan II/232, 411, 442.) Terkait hadits ini, Sadruddin Al-Qunawi dalam Pancaran Spiritual: Telaah 40 Hadits Sufistik, Penerbit Lentera: Jakarta, 1998, hlm. 128—130 memberi penjelasan sebagai berikut : Ketahuilah bahwa sekalipun Nabi Saw tampak dengan seluruh hukum nama-nama dan sifat-sifat Al-Haqq dalam akhlak dan perbuatan, tetapi tuntutan maqam risalah serta bimbingan dan seruannya kepada manusia menuju Al-Haqq yang mengutusnya kepada mereka agar yang paling tampak padanya dalam hukum dan dominasi sifat-sifat serta nama-nama Al-Haqq adalah sifat hidayah dan nama sebagai pemberi hidayah, sebagaimana Al-Haqq mengabarkan hal itu melalui sabda Nabi Saw, “Sesungguhnya, engkau memberikan petunjuk ke jalan yang lurus.” Nabi Saw adalah gambaran nama pemberi petunjuk dan tempat pengungkapan sifat hidayah. Sementara, setan merupakan tempat pengungkapan nama yang menyesatkan dan yang menampakkan sifat kesesaatan. Keduanya bertolak belakang. Dalam suatu hadits, diriwayatkan hal-hal yang mendukung pemaknaan ini. Hadits yang panjang itu menyebutkan bahwa Nabi Saw meminta bergabung dengan Iblis agar dapat melihat apa yang ada padanya. Maka, Beliau dihadang di hadapannya dan para malaikat mengelilingi Nabi Saw untuk menjaganya agar tidak terkena kejahatan Iblis. Lalu, Rasulullah Saw bertanya kepada Iblis, “Apa yang ada padamu?” Iblis menjawab, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah SWT menciptakanmu untuk memberi petunjuk, tetapi tidak ada hidayah di tanganmu sedikit pun. Sementara, Dia menciptakan aku untuk kecelakaan, tetapi tidak ada kecelakaan di tanganku sedikit pun.” Maka, Allah mewahyukan kepada Nabi Saw, “Engkau benar dan dia berdusta.” Dengan ini ditegaskan pula bahwa setan pada dasarnya adalah lawan Nabi Saw. Dua hal yang berlawanan itu tidak dapat bertemu, salah satunya, tidak dapat menampakkan rupa yang lain. Selain itu, Nabi Saw diciptakan oleh Allah untuk memberi hidayah. Kalau Iblis dapat menampakkan diri dalam rupa Nabi Saw, maka hilanglah penyandaran dan seluruh hal yang Al-Haqq tampakkan kepadanya dan ditampakkan pula kepada siapa saja yang ingin Dia beri petunjuk. Karena hikmah ini, Allah memelihara rupa Nabi Saw agar tidak ditiru setan. Jika ada yang mengatakan bahwa keagungan Al-Haqq lebih sempurna daripada keagungan setiap yang agung, maka bagaimana setan dapat berbuat maksiat untuk menampakkan diri dalam rupa Nabi Saw. Padahal si laknat itu telah menampakkan dirinya kepada banyak orang dan mengatakan kepada mereka bahwa dialah kebenaran untuk menyesatkan mereka. Dia telah menyesatkan sekumpulan orang dengan seperti ini, sehingga mereka mengira bahwa mereka melihat Al-Haqq dan mendengar perkataannya. Saya jawab, perbedaan di antara dua hal itu adalah dalam dua sisi. Pertama, setiap orang berakal mengetahui bahwa Al-Haqq tidak memiliki rupa tertentu yang menyebabkan kekeliruan, berbeda dengan Nabi Saw. Beliau memiliki rupa tertentu yang dapat diketahui dan disaksikan. Kedua, tuntutan hukum keluasan Al-Haqq adalah Dia menyesatkan orang yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki, sebagaimana disebutkan di dalam hadits yang berisi dialog Iblis dan Nabi Saw dan pembenaran al-Haqq kepada Rasulullah Saw dalam hadits itu, secara khusus, serta pemberitahuan-Nya bahwa setan itu pendusta. Nabi Saw terikat dengan sifat hidayah dan menampakkan rupanya. Maka, Dia wajib memelihara rupanya dari peniruan setan untuk mengekalkan penyandaran dan penampakan hukum hidayah pada orang yang Allah kehendaki mendapat hidayah dari Nabi Saw. Jika tidak demikian, tidak akan muncul rahasia firman-Nya, “Sesungguhnya, engkau adalah pemberi petunjuk ke jalan yang lurus,” dan tidak diperoleh faedah bi‘tsah (pengutusan). Maka, pahamilah.
- Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Bab At-Tabir, hal. 45; Abu Dawud di dalam Bab Al-Adab, hal 88; At-Tirmidzi di dalam Bab Ar-Ru’yah, hal. 8; Ibnu Majah di dalam Bab Ar-Ru’yah, hal. 8; dan Ibnu Hanbal, I/216, 246, 359 dan III/505.
- Diambil dari Shadruddin Al-Qunawi, Pancaran Spiritual: Telaah 40 Hadits Sufistik, Penerbit Lentera: Jakarta, 1998, hlm. 32-33.
- “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al-Isrâ’ [17]: 36)
- Hal ini ditegaskan dalam hadits, “Al-Quran itu lebih utama dari segala sesuatu selain Allah. Keutamaan Al-Quran atas seluruh Kalam itu seperti keutamaan Allah atas segala ciptaan-Nya. Maka, barang siapa mengagungkan Al-Quran, sungguh, ia telah mengagungkan Allah dan barang siapa tidak mengagungkan Al-Quran, sungguh, ia telah memandang rendah Haq Allah. Dan penjagaan Al-Quran oleh Allah seperti penjagaan orang tua terhadap anaknya,” (HR Tirmidzi).
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji