Hikayat Pasai (1)

Dwi Afrianti

Mahasiswa S3 Prodi Studi Agama-Agama Konsentrasi Filsafat Agama, UIN Sunan Gunung Djati-Bandung.

A. Definisi Jawi

Catatan Ngaji Jawi-Melayu yang diampu oleh pak Ahmad Baso, dengan pengeditan di sana sini.

Kamis, 19 Agustus 2021, Pk. 8 – 10.

Naskah Hikayat Raja Handik dan Hikayat Raja Pasai

Naskah tentang Hikayat Raja Handik dan Hikayat Raja Pasai, yang diunggah dari British Library. Akhirnya berkesempatan juga mempelajari naskah yang terdapat di British Library, yang sebelumnya sama sekali tak punya bayangan apapun. Kepikiran pun tidak. Gusti Allah Sang Maha Tahu kebutuhan hamba-hamba-Nya.

Kata Pengantarnya mengatakan, bahwa naskah tersebut ditujukan kepada hadirin orang-orang Melayu, Makassar, dan peranakan (kelahiran lokal berdarah campuran). Hmm, jadi nemu istilah “peranakan” yang dibangsakan/ dinisbatkan kepada orang yang lahir di suatu daerah tapi bersuku/ berdarah campuran. Seperti saya lahir di Palembang, besar di Pekanbaru (Riau), tapi bersuku Jawa-Sunda.

Maksud dari naskah yang diberi judul Hikayat Raja Handik dan Pasai ini adalah, bahwa terdapat dua naskah dalam satu bundelnya (h.n.d.y.q); kolofon pada f.45r.

Naskah ini disalin oleh Encik Usman, seorang juru tulis Melayu di Makassar, di rumah Encik Johar, di Kampung Melayu Semarang, atas permintaan Encik Usep dari Kampung Belikang di Makassar, dari naskah asli milik oleh Abdullah, Kapitan Melayu Semarang, 8 Syaban 1211 (6 Februari 1797).

Ya Allah, Gusti, nyambung juga ternyata perjalanan kami sekeluarga pada tanggal 4 Juni ke Semarang. Pada tanggal 5 nya, aku bersama Nurul ke Masjid Kauman Semarang. Ketika ngobrol dengan bapak penjual baso, apakah ada masjid yang lebih tua daripada Masjid Kauman, beliau menjawab, “Ke Masjid Layur saja, Kampung Melayu. Beragam etnis yang tinggal di sana, Mbak. Dari sini sudah dekat, Mbak.”

Perjalanan yang sudah sore menjelang maghrib itu, Alhamdulillaah Allah sempatkan juga ke Masjid Layur. Insya Allah pada kesempatan lain akan aku ulas. Menarik kenapa diberi nama Kampung Melayu.

Baiklah, marilah kita kembali kepada naskah.

Naskah Raja Handik dan Raja Pasai ini merupakan naskah Melayu tertua, meskipun disalin pada tahun 1797. Tahunya, karena gaya penulisannya menggunakan model pada masa jayanya Kesultanan Pasai (Abad IX – XVI). Bandingkan dengan Prasasati Trengganu yang ditulis pada Abad XIII – XIV.

Sekarang kita akan membahas bagian Raja Pasai yang terletak pada F. 45.

Dari gaya bahasanya, adalah model bahasa Melayu Kuno dan memberikan dokumentasi tentang Islamisasi Nusantara dari Pasai pertama.

Maksud dari istilah Jawi adalah, Pasai. Lalu berkembang ke Pattani. Dulu Melayu disebut Jawi. Bahasanya disebut sebagai bahasa Jawi. Pengguna pertama kata al-Jawi, justru ditemukan pada biografi orang Hadramawt bernama Ismail Muhammad bin Jawi, Abad ke-14. Seorang Yaman, tetapi menggunakan laqob (bagian dari nama) seperti yang dilakukan oleh Abdur Rauf al-Sinkili.

Tafsir Terjemahan Al-Fatihah yang ditulis oleh Abdur Rauf bin Ali al-Fanshuri al-Jawi (l. di Barus (sekarang Sumatera Utara), w. 1699 di Sinkil) atau yang juga dikenal sebagai Abdur Raul al-Sinkili. Pada waktu ini, Abdur Rauf juga menggunakan istilah al-Jawi, bukan al-Melayu, karena basis dari bahasa yang dipergunakan adalah yang ada di Pasai. Waktu itu, Pasai dikenal sebagai Jawi. Ketika dipergunakan hingga sampai ke luar negeri semacam Timur Tengah, maka istilah al-Jawi dinisbatkan kepada orang-orang yang berada di Nusantara. Pada waktu itu, memang bahasa Nusantara di daerah Sabang sampai Merauke, banyak menggunakan bahasa Jawi, begitupun para walisongo. Pasai merupakan pusat pendidikan Islam waktu itu. Sunan Bonang dan Sunan Giri menempuh pendidikan selama satu tahun di Pasai.

Ibnu Bathutah pada tahun 1330, menceritakan tentang adanya ahlul Jawa atau Mullah Jawa yang menyebarkan Islam di Benggala, Malaka, Birma (Myanmar). Berarti, pada waktu itu, istilah Jawi sudah dikenal. Ibnu Bathutah merujuk pada Jawi yang di Sumatera, karena yang ia sempat kunjungi adalah Sumatera, bukan Pulau Jawa. Yang perlu diingat juga, bahwa pada waktu itu, Sumatera menjadi tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai daerah di Nusantara. Jadi ahlul Jawa itu lebih sebagai semua orang yang terdapat di Sumatera, yang otomatis untuk menyebutkan semua orang yan

Lalu, bagaimana istilah Jawa sekarang akhirnya dinisbatkan kepada Pulau Jawa dan orang bersuku Jawa?

Begini ceritanya …

Di Pasai ada kampung yang bernama Semut Raya, yang disingkat nantinya dengan Semutra dan Samudra. Orang-orang Nusantara mempermudah menyebutnya dengan Sumatra, yang nantinya untuk menyebut Pulau Sumatera.

Kampung Semut Raya sendiri ditemukan oleh Mirah Silu, pendiri Kerajaan Pasai. Nantinya, ia pun mendirikan Kerajaan Samudra Pasai yang penamaan Samudra diambil dari pemudahan penyebutan dari Semut Raya. Karena itulah, mengapa Kerajaan Pasai dan Kerajaan samudra Pasai itu disebut juga sebagai kerajaan kembar.

Tentang pemberian nama Pulau Jawa, sebagai pertimbangan, bahwa dari sumber-sumber Hindu di India juga prasasti-prasasti di Nusantara pada masa Hindudi di Pulau Jawa ada menyebut Jawadwipa, sehingga akhirnya istilah Jawa dinisbatkan untuk Pulau Jawa. Pemberian nama Sumatera untuk Pulau Sumatera juga diambil dari Semut Raya yang ada di Pasai, sebagai penghormatan kepada Pasai yang telah mengislamkan Nusantara untuk pertama kalinya.

Naskah bisa didonlot di sini:

http://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?ref=Or_14350