Dwi Afrianti
Usai mengadakan perhelatan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang berdiri pada tahun 1408, beranjak kami menyinggahi dengan makna ke Keraton Kasepuhan yang didirikan pada tahun 1529. Terletak di seberang dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Kecamatan Lemahwungkuk, tepatnya di Kelurahan Kasepuhan.
Aku mempunyai kesukaan mengamati nama-nama kecamatan yang ada pada suatu daerah. Aromanya spesifik, sangat khas, yang menurutku barangkali memiliki historisitas dan filosofi. Begitupun dengan yang ada di Cirebon. Lemahwungkuk, Kejaksan, Pujasaren, Astana, Pasayangan, Panjunan, Kejawanan, Pasuketan, dan lain sebagainya, sungguh nama-nama yang unik. Dan memang, ternyata memang memiliki sejarah dan filosofinya:
“Pada hari Sabtu, Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana) — anak dari Raja Sunda Pajajaran (Siliwangi), Sri Baduga Maharaja — yang baru pulang dari Mekah, diberi nama Somadullah oleh gurunya yang berasal dari Giri Amparan Jati (Gunung Amparan Jati), Syekh Datu Kahfi, berpamitan menuju ke Selatan. Ia tiba di tempat sunyi, hanya ada seorang tua bernama Ki Pangalang Alang. Lalu ia mengucapkan, ‘Lamma waqo’tu’ yang berarti ‘Aku telah datang’. Pernyataan Lamma waqo’tu’ pun menjadi kata Lemahwungkuk. Usai shalat, ia pun membuka hutan dengan pepohonan yang tingginya ada yang sampai 500 meter. Ketika membuka hutan di daerah yang banyak binatang buas, ia berdoa agar Allah selamatkan. Ketika selamat, ia ucapkan, ‘Fa Anjayna’, yang berarti ‘Aku telah selamat’ = Panjunan. Perjalanan selanjutnya, ia kebingungan, lalu berdoa memohon petunjuk jalan, ‘Fa Syalamuna’, yang berarti ‘Mengetahuilah’= Pasayangan, hingga terbukalah jalan. Dan seterusnya. Kasepuhan sendiri, bermakna (tempat tinggal) orang-orang yang dituakan tempat dijadikan penasihat.

Melihat pemberian nama yang tidak sembarangan, sekiranya dapatlah barangkali kita berasumsi, bahwa pendirian bangunan pun selain tidak lepas dari lokasi yang disakralkan, juga penempatan ruang-ruangnya. Kalau di Sunda dikenal dengan nama kabuyutan, memiliki arti yang sama dengan Mandala dalam bahasa Sanskerta yang dipergunakan istilahnya pada zaman Hindu-Buddha; merupakan sebuah miniatur alam semesta yang bagian-bagian ruangannya disusun berdasarkan lingkaran-lingkaran konsentris atau memusat pada satu titik Tujuan.[1] Biasanya, berlokasi di puncak gunung, lereng bukit, dan dataran tinggi. Persyaratan dekat air terutama pertemuan dua sungai menjadi persyaratan penting, karena pertemuan itu melambangkan bertemunya Kehendak kawula dengan Sang Gusti, yang karenanya menjadi manunggal. Air juga sering dipergunakan untuk upacara keagamaan. Sekarang mari kita coba lihat satu persatu susunannya.
Lokasi bangunan kompleks Keraton Kasepuhan didesain seperti model keraton di Pulau Jawa yang lazaim pada masa itu, terutama yang terletak di daerah Pesisir. Bagian halaman keraton memiliki konsep seperti kosmologi Sunda prasejarah, yaitu Tritangtu. Pura-pura di Bali juga sedemikian. Setiap halaman dihubungkan oleh gapura. Gapura-gapura tersebut menjadi penghubung antara halaman satu dengan lainnya.
Halaman terdepan memiliki gapura berbentuk candi bentar dan pada halam berikutnya berbentuk paduraksa. Setiap halaman memiliki bangunan-bangunan dengan penempatan dan fungsinya masing-masing. Bangunan-bangunan yang berada pada halaman pertama dan kedua ditempatkan di bagian Barat dan Timur. Umumnya, bangunan yang berada di sebelah Barat menghadap ke sebelah Timur serta sebaliknya dengan penggunaan bangunan terbuka atau semi terbuka seperti pada bangunan Panca Ratna, Panca Niti, Langgar Agung, Siti Inggil, Srimanganti, Lunjuk dan sebaginya.
Bangunan Keraton Kasepuhan terentang dari Utara ke Selatan dengan menghadap ke Utara, menghadap magnet dunia, dengan makna bahwa sang Raja mengharapkan kekuatan Ilahiyah. Masjid Agung Sang Cipta Rasa terletak di sebelah barat dan pasar di sebelah timur serta di tengahnya terdapat alun-alun bernama Sang Kala Buwana.

Ketika hendak melintasi jembatan, kaget melihat sebuah pemandangan yang mengganggu pandangan: kubangan sampah di dalam sungai: Sungai Sipadu.

Dua buah sungai menjadi batas kawasan utama Keraton Kasepuhan di bagian Utara dan Selatannya: Sungai Sipadu dan Sungai Kriyan. Kedua bagian tersebut sekaligus menjadi letak pintu gerbang utamanya.
Sungai Sipadu merupakan sungai yang berada di depang Gerbang Utara. Ibarat menuju sebuah tempat suci, disimbolkan dengan penitian jembatan. Hanya saja, kecewanya, dengan sungai kotor dipenuhi sampah. Beda sekali dengan keadaan sumber-sumber air di Banten yang luar biasa bersihnya, bahkan kolam ikan di hotel, bisa jernihnya luar biasa. Sedangkan Sungai Kriyan, dulunya merupakan pintu masuk ke Kota Cirebon dari laut, dari arah Selatan. Kemudian perahu yang datang, harus masuk ke Lawang Sanga (pelabuhan) sebelum masuk kawasan Keraton Kasepuhan.


Bangunan Keraton Kasepuhan yang menghadap ke Utara memiliki gerbang atau pintu ini diberi nama (1) Kreteg Pangrawit yang berbentuk Candi Bentar. Kreteg artinya perasaan, sedangkan Pangrawit artinya kecil, lembut atau halus. Sebelum menuju pintu, harus melintasi jembatan; berharap, semoga orang yang melintasi jembatan ini memiliki maksud yang bermaksud baik yang telah diperiksa oleh Panca Ratna. Pintu (2) bernama Gerbang Benteng. (3) Pintu Regol terdapat pada bagian paling depan atau pintu utama menuju bangunan Langgar Agung yang merupakan area utama Keraton Kasepuhan. Setelah melewati Langgar Agung, ada pintu besar yang di namakan (4) Pintu/ Lawang Gledegan yang biasa dijaga oleh penjaga dengan suara yang besar seperti gledeg. Selanjutnya (5) Pintu Buk Cem, terbuat dari batu bata berbentuk lengkung atau buk berarsitektur Eropa dengan hiasan piring dari Cina. Bagian atasnya atau lengkungnya seperti mahkota. Pintunya terbuat dari kayu jati ukiran yang direndam atau dibacem. Bangunan ini untuk masuk ke dalem tempat tinggal putra-putra sultan dan kaputren tempat tinggal putri-putri sultan yang belum nikah. Pintu Buk Cem berada di sebelah atau disamping bangunan bangsal keraton. Memasuki pintu Buk Cem, maka kita akan menuju langgar alit, bangsal Pringgadani dan bangsal Prabayaksa. Selain itu, terdapat (6) Gapura lonceng, kita akan mendapati museum di dalamnya.[1]
Panca Ratna dan Panca Niti
Sebelum memasuki gerbang kompleks Keraton Kasepuhan terdapat dua buah pendopo. Sebelah barat disebut Panca Ratna. Panca berarti lima, merupakan simbol dari panca indera yang diartikan sebagai jalan. Ratna berarti suka. Panca Ratna diartikan sebagai jalannya kesukaan. Dulu merupakan tempat berkumpulnya para punggawa Keraton, lurah atau pada zaman sekarang disebut pamong praja. Pendopo sebelah timur disebut Panca Niti. Niti berasal dari kata nata yang berarti mau ditata. Dulunya merupakan tempat para perwira keraton ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun.

Bangunan Panca Ratna berada pada sisi kiri depan kompleks arah barat berdenah persegi panjang dengan ukuran 8 x 8 m. Lantai tegel, konstruksi atap ditunjang empat soko guru di atas lantai yang lebih tinggi dan 12 tiang pendukung di permukaan lantai yang leih rendah. Atap dari bahan genteng, dan pada puncaknya terdapat mamolo. Bangunan ini memiliki fungsi sebagai tempat seba atau tempat yang menghadap para pembesar desa atau kampung yang diterima oleng Demang atau Wedana, secara keseluruhan memiliki pagar terali besi.
Siti Inggil
Setelah melintasi jembatan, akan mendapati Pintu Kreteg Pangrawit. Di dlaamnya terdapat Siti Inggil yang terdiri dari beberapa mande dengan filosofinya masing-masing.

- Mande Sumirang: 6 tiang utama Rukun Iman, 20 tiang penyangga. Tempat duduk sultan dan keluarga.
- Mande Semar Tinandu: 2 tiang utama Dua Kalimat Syahadat.
- Mande Pandawa: 5 tiang utama Rukun Islam.
- Mande Pengiring: 8 tiang @4: 4 penjuru mata angin dan 4 anasir.
Atap asli Mesjid Pakungwati atau Mesjid Agung Cipta Rasa berbentuk kandang keboan, bentuk kuda-kuda berangkan 4 yang memiliki arti: “inget perkara sing papat, bahwa didunia ini segalanya serba empat perkara”, yaitu:
– Nabi Adam di ciptakan dari: tanah, air, api , udara (angin).
– Nabi Muhammad diciptakan dari: jamal, jalal, kamal, akmal.
– Waktu, ada: pagi, siang, sore, malam.
– Alam ada 4, yaitu: alam kandungan, alam sadar, alam arwah, alam akhirat.
5. Mande Karesman: Pentas Sekatenan saat Idul Fitri dan Idul Adha.



Tajug Agung (Langgar Agung)[1]
Menurut Naskah Kertabhumi, Langgar Agung berdiri pada tahun 1489, sedangkan menurut catatan dari Keraton Kasepuhan, berdiri pada tahun1500 M. Langgar Agung memiliki bentuk huruf ‘T’ terbalik dikarenakan bagian teras depan lebih besar dari bangunan utama. Bagian dalam masjid terdapat sebuah mimbar yang terbuat dari kayu. Bagian atapnya merupakan atap tumpang dua dengan disangga sebagai tiang utama.
Sudah sejak selesai dibangunnya, selain digunakan untuk peribadatan maghdoh, terdapat tradisi Panjang Jimat yang dilakukan setiap Maulid Nabi Muhammad saw. Tradisi Panjang Jimat juga dilakukan oleh dua keraton lainnya di Cirebon, yaitu Kanoman dan Kacirebonan. Proses dilakukan awalnya dengan membersihkan semua benda pusaka keraton yang akan dipergunakan untuk acara Maulid Nabi. Acara puncaknya, yaitu membawa iring-iringan semua benda pusaka dari Keraton Kasepuhan hingga ke Langgar Agung. Sebenarnya proses tradisi ini merupakan berbagai serangkaian ritual yang panjang. Pada malam tersebut sangat banyak disaksikan dan warga pun ikut serta dalam tradisi Panjang Jimat.

Batas antara area Siti Inggil dengan Tajug Agung dibatas oleh dua tembok bata. Tembok bata bagian Utara terdapat dua pintu: Regol Pengada dan Gerbang Lonceng.[1]

Taman Bunderan Dewan Daru[1]
Untuk sampai ke taman ini, kita harus masuk melalui Pintu Gledegan. Di dalam taman ini ditanami delapan buah Pohon Dewan Daru. Bunder memiliki arti sepakat, Dewan memiliki arti dewa, Daru memiliki arti cahaya; diharapkan, mereka yang memasuki taman melalui pintu ini akan menerangi orang-orang yang masih hidup dalam kegelapan.
Terdapat beberapa benda di dalam Taman Binderan Pohon Dewan Daru:
- Nandi, yaitu patung kembu kecil
- Pohon Soka sebagai simbol dari hidup yang senantiasa bersuka hati
- Dua ekor patung macam putih yang merupakan simbol dari Kerajaan Sunda Pajajaran


4. Meja dan bangku batu yang sama dengan yang terdapat di halaman depan Siti Inggil





Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji