Dwi Afrianti
16 April 2021, 06.17.
Jumat, 4 Romadhon 1442 H.
Menulis, mencari-cari yang menjadi fokus bagi hati di dalam perjalanan menjelajah Banten kali ini. Agak terlambat, dibandingkan ketika menulis perjalanan ke Yogya tentang Borobudur dan tiga topik ketika perjalanan ke Cirebon. Namun, masih mending dibandingkan ketika ke Desa Cangkuang, yang data-datanya belum sempat dieksplorasi lebih jauh. Tetapi masih mending daripada tempat-tempat lain yang dilewati begitu saja sebelumnya seperti Museum Fatahillah dll nya, ketika kesadaran sejarah masih minim. Tetapi beruntung, masih menyimpan jejak-jejaknya dengan foto-foto. Menariknya, semua tampak terhubung.
Menuliskan perjalanan dalam beberapa tempat, seperti mencari-cari kesejatian diri. Hal yang masih tersembunyi, bahkan tempat aku dilahirkan, Palembang, yang bulak balik ke sana setahun sekali hingga SMA; dan tempat aku dibesarkan selama 18 tahun, Pekanbaru-Riau; juga tetangganya, Bukit Tinggi, Pariaman, dan sekitarnya, tak pernah kudatangi tempat-tempat bersejarahnya. Ke mana saja selama ini aku? Apakah perlu meloncat dulu ke Jawa dan Sunda, sebagai suku-ku?
Provinsi Banten tempat suami dibesarkan, tepatnya di Kota Cilegon. Di sana, sama-sama di Cilegon, tinggal seorang Shiddiqin yang sama-sama menjadi Guru kami dan sahabat-sahabat lainnya.

Ada apa di Banten, sehingga pada abad ke-20-21 ini ditakdirkan seorang Shiddiqin menetap di sana pada tahun 1974 hingga 2007 setelah sebelumnya bertempat tinggal di Jakarta dan lahir di Cilacap, cukup menjadi pertanyaanku, yang semoga ada jawabannya nanti di dalam penelusuran ini. Lalu pada tahun 2008 beliau pindah ke Bandung hingga wafatnya pada tahun 2010 dan dimakamkan di Desa Mandalasari.
Kali ini, langkah tidak terlalu menggebu-gebu untuk menuliskan sejarah terkait Banten, karena tampaknya hati sedang mencoba mengurutkan alur dan settingnya terlebih dahulu. Aku bilang hati, bukan pikiran, karena hati itu seperti lampu mercusuar yang menyorotkan cahayanya. Yang melihat dan menafsirkan apa yang disorot, adalah akalnya. Akal tampaknya perlu mencari-cari data lebih lengkap dulu, baru bisa menerjemahkan kehendak hati.
Jadi, aku mencoba mencari-cari, menemukan rasaku selama di Banten, yang akhirnya menemukan tiga fokus:
1. Hubungan Palembang, Kesultanan Demak, Cirebon, Banten, Desa Cangkuang, Samudera Pasai
2. Sistem Penjagaan Alam Masyarakat Gunung Pulosari-Pandeglang, Situs Kerajaan Salakanagara –> Suku Baduy
3. Perbedaan Bentuk Perjuangan Melawan Penjajahan antara Cirebon dan Banten
———————————–
Berangkat Jumat, 2 April 2021, bertepatan dengan wafatnya Isa al-Masih. Seperti biasa, disupiri Pak Suami, setelah selesai beberes dadakan yang dimulai baru Pk. 02.30 dan pencarian hotel di detik-detik terakhir mau berangkat, kurang lebih pukul 7 an. Selang waktu itu, sambil nyiapin sarapan enam orang dan tentunya sarapan enam orang itu pula. Tetapi tampaknya, aku kekurangan sarapan, karena di dalam mobil sibuk mencari-cari wadah berisikan sisa nasi dan telur yang tidak sempat kuhabiskan. Harus ikhlas ketika dia ditempatkan di bagasi, di tumpukan paling bawah, sehingga gak bisa diambil. Bersyukur, di tengah perjalanan berhenti membeli tahu cihuni goreng sebanyak dua porsi yang beberapa kepingannya masih bertahan selama dua hari di rumah mertua. Mantap, makan nasi baru dilaksanakan jelang Maghrib, dan anak-anak tidak rewel. Semoga memang karena perjalanan menjejak Sejarah Banten ini terasa menyenangkan bagi mereka.
Dua hari lainnya, kami menginap di dua hotel: Sanghyang, hotel dengan pinggiran pantainya berbatu karang sehingga tidak dapat bermain-main di pinggirnya; dan Jayakarta, hotel berpasir putih. Kelak, hotel bertajuk Jayakarta itu, memiliki makna tersendiri bagi pencarian jejak sejarah ini. Sedangkan Sanghyang bermakna: Dia Yang Maha… Berada di Atas segalanya.
Kami tiba di Banten tidak sampai pada Pk. 13. Memasuki simpang tiga Serang Kota-Kesatrian-Cilegon, Pak Supir mengambil belokan ke kanan.

Sambutan bacaan “Eka Wastu Baladika” mencuri hati dan pandanganku. EKA (setia) WASTU (alat) BALADIKA (prajurit pilihan terbaik)= Senyap dan sigap: Kesetiaan merupakan alat untuk menjadi prajurit pilihan terbaik. Dia bekerja sigap dalam senyap (sepi ing pamrih). Barangkali, sebuah doa bolehlah terucap demikian, bagi siapapun yang mengharapkan-Nya. Sekaligus, barangkali bolehlah perjalanan menjejak Banten ini diberi tema Eka Wastu Baladika. Nantinya, tampaknya, tema ini menjadi ciri dari para prajurit Banten dan karakter sebuah suku: Baduy, yang mencuri perhatianku, diperkuat dengan begitu bersihnya kolam, sungai, danau yang ada di beberapa tempat yang kutemui di Banten termasuk sawah ladang dan barisan pepohonannya, sehingga menginspirasiku untuk menuliskan ceritanya.
Prediksi Banten akan hujan karena bercermin pada Bandung dan daerah-daerah lain, tidak terjadi. Luar biasanya, siang itu panas terik. Bersyukur, bisa berjalan kaki panjang dalam bakaran sang Raja Siang. Semoga sebagai asupan Vitamin D alami, setelah lebih banyak berlama-lama di dalam rumah.
Banten, keadaan alamnya terkait erat dengan Selat Sunda dan Sumatera Selatan. Jajaran gunung berapi yang ada di daerahnya terjadi karena endapan di kedua tepi Selat Sunda (Lampung dan Banten) yang diakibatkan oleh lapisan tuffa yang terjadi pada zaman tertier jelang kwarter. Diduga, dataran rendah Banten terbentuk akibat pelipatan-pelipatan masa tertier akhir oleh endapan tuffa kwarter dan aluvial.
Gunung memiliki peran penting bagi masyarakat Hindu, terutama pada masa Kerajaan Sunda Banten. Selain sebagai pusat spiritual, gunung memiliki peran bagi pusat nilai masyarakat.
A. Kecamatan Kramatwatu-Serang:
a. Melihat Gunung di Pandeglang dari Kramatwatu
Mobil melaju memasuki kecamatan Kramatwatu, Serang. Kami melewati sebuah universitas bernama Falatehan. Faletehan sendiri memiliki banyak panggilan, atau disebut juga sebagai Fatahillah, Kyai Fathullah atau Tubagus Pase. Nanti saja aku ceritakan tentang beliau, karena inginnya cerita disesuaikan dengan alur penjejakan saja.

Kramatwatu merupakan salah satu dari 29 kecamatan yang ada di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Luas Kota Kramatwatu 48,59 km2 yang di dalamnya terdapat 15 desa.

Batas wilayah Kota Kramatwatu: sebelah utara dengan Teluk Banten. Sebelah barat dengan Kecamatan Bojonegara dan Kota Cilegon. Sebelah selatan dengan Kecamatan Waringin Kurung, dan sebelah timur dengan Kota Serang. Kramatwatu terdiri dari dua kata: Kramat= sesuatu yang sangat penting, mistis dan Watu=batu.
Historisitas pemberian nama Kramatwatu, selain dengan batu mistis, menariknya juga dengan nama Kabupatan Pandeglang, yang berasal dari dua kata: Pande dan Gelang. Memasuki Serang dan tersadar pertama kali dengan adanya kecamatan ini dan keterhubungannya dengan Pandeglang, memiliki arti tersendiri bagiku.
Begini konon, cerita mitosnya:
“Seorang putri raja bernama Cadrasari dan Pangeran sebuah kerajaan lain bernama Sae Bagus Lana sama-sama saling jatuh cinta. Teman seperguruan Sae Bagus Lana, Pangeran Cunihin, ternyata juga jatuh cinta kepada sang putri. Singkat cerita, kesaktian Pangeran Sae Bagus Lana yang melebihi Pangeran Cunihin dicuri oleh Pangeran Cunihin, terlebih paras dan tubuh fisiknya diubah menjadi orang tua renta, sehingga ketika Pangeran Cunihin menculik sang Putri, Pangeran Sae Bagus Lana tidak mampu melakukan apapun.
Gurunya menyarankan agar Pangeran Sae Bagus Lana membuat sebuah gelang besar sesuai dengan muatnya tubuh Pangeran Cunihin. Gelang ini, nantinya untuk dikalungkan di batu keramat yang akan dibuat oleh Pangeran Cunihin atas permintaan Putri Cadrasari. Ketika Pangeran Cunihin masuk ke dalam gelang itu, maka tubuh dan kesaktiannya akan kembali kepadanya seperti sedia kala. Tetapi, terlebih dahulu sang Putri harus membujuk Pangeran Cunihin untuk mencari batu yang dimaksud dan membuat lubang ditengah, dan lalu memasuki lubang yang sudah dikenakan gelang buatan tersebut. Akhirnya dengan berbagai siasat, hal itu pun terwujud.”
Kepandaian Pangeran Sae Bagus Lana membuat gelang menjadi sebab dari kemunculan nama Pande-g (e) lang, sedangkan batu berlubang itu menjadi sebab dari kemunculan nama Watukramat.
Di Kecamatan Watukramat ini lah terdapat Danau Tasikardi. Perjalanan menujunya dikawal oleh barisan persawahan dan pepohonan serta di kejauhan tampak Gunung Karang (1778 Mdpl) yang masif aktif, Gunung Pulosari, dan Gunung Aseupan. Gunung ini semuanya terletak di Kabupaten Pandeglang. Insya Allah nanti kita akan bahas situs penting di Pandeglang, yaitu Kerajaan Salakanagara, kerajaan tertua di Bumi Nusantara yang berdiri pada Abad 165 M.
Gunung Karang, Gunung Pulosari, dan Gunung Aseupan merupakan tiga gunung yang dikeramatkan.

Gunung Karang adalah gunung berapi yang memiliki tinggi 1778 Mdpl, dan terletak di tengah-tengah Kota Pandeglang. Sewaktu-waktu bisa meletus, sehingga tidak kebayang bagaimana nanti keadaan masayarakat jika itu terjadi. Gunung ini indah sekali. Puncaknya disebut sebagai Sumur Tujuh karena memiliki tujuh sumber mata air dan hutan hujannya ditumbuhi oleh anggrek. Di gunung ini pula dimakamkan Pangeran Tb. Jaya Raksa. Skip saja dulu, ya, siapa beliau. Belum ada literatur akurat untuk dapat ditampilkan sebagai referensi cerita.

Gunung Pulosari dengan ketinggian 1346 ini menyimpan banyak sejarah hingga Abad ke-16 M. Mulai dari pesisirnya sebagai tempat berdirinya Kerajaan Salakanagara abad ke-2 M. Menurut Direktur Bantenologi, Helmi Faizi Bahrul Ulumi, Gunung Pulosari menjadi gunung suci tempat mandala dalam kosmologi masyarakat Hindu. Gunung Pulosari menjadi tempat penyiaran dakwah Islam oleh Sunan Gunung Djati dan anaknya, Mawlana Hasanuddin, Sultan Banten pertama dari istri Sunan Gunung Djati bernama Nyai Kawung Anten, anak dari Surosowan (anak dari Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi) dengan istrinya, Kentrik Manik Mayang Sunda, anak dari Prabu Susuk Tunggal, Raja Kerajaan Sunda.
Kelak, Sultan Banten pertama, Mawlana Hasanuddin (1479-1570), memberikan nama keraton-nya dengan nama kakeknya: Keraton Surosowan. Surosowan sendiri sebelumnya merupakan Raja Banten atau dikenal sebagai Pucuk Umun; beragama Hindu, tidak masuk Islam, tetapi sangat toleran kepada cucunya dan umat Islam lainnya waktu itu.
Melihat interaksi sedemikian, menarik.
1. Sunan Gunung Djati (1448-1568) adalah adik ipar dari Cakrabuwana (1423-1529), pendiri Cirebon yang konon masuk Islam dari mimpi disyahadatkan oleh Nabi Muhammad saw. Lalu bersama adiknya, Rara Santang, ke Mekah. Keduanya bertemu dengan Raja Mesir, Raja Huud yang sedang mencari istri lagi setelah ditinggal mati istrinya. Lalu menikah dengan Rara Santang. Anak pertamanya, adalah Sunan Gunung Djati yang memang dinadzarkan untuk menjadi Raja di Jawa.
2. Mawlana Hasanuddin adalah anak Sunan Gunung Djati dari Nyai Kawung Anten, anak dari Surosowan yang merupakan anak dari Sri Baduga (ayahnya dari Pangeran Cakrabuana dan Rara Santang, ibunya Sunan Gunung Djati)
3. Ratu Ayu Kirana (w. 1554) Istri dari Mawlana Hasanuddin (1479-1570) adalah anak dari Pangeran Trenggono (1455-1518), Raja Demak ke-III.
4. Nantinya, Fatahillah (1448-1570) atau Faletehan atau Fadhlullaah Khan dari Pasai menikah dengan Ratu Wulung Ayu, jandanya Raja Demak ke-II, Pangeran Sabrang Lor (1480-1521) atau Pati Unus. Ratu Wulung Ayu sendiri merupakan anak dari Sunan Gunung Djati dengan istrinya bernama Nyai Ageng Tepasari. Sunan Gunung Djati sendiri memiliki enam orang istri.
b. Perairan di Danau Tasikardi
Mobil terus melaju menelusuri Kramatwatu menjejaki objek bersejarah di Banten. Sebuah jalan bernama Pegadingan yang terletak di Desa Margasana, 6 km dari pusat Kota Serang, dengan jarak tempuh sekitar 5-10 menit dari Jl. Raya Serang, menyimpan sebuah sumber air yang dibungkus dalam sebuah danau.
Danau yang bagaimanakah ini?

Mungkin agak lebay, ya, tatkala melihat air yang ada di danau ini. Bersih banget. Terkaget begitu karena jarang mendapati sebuah sungai, danau, kolam yang bisa bersih dari sampah-sampah atau bahkan lumut. Terlebih, jika melihat arti dari namanya yang terdiri dari dua suku kata dalam bahasa Sunda: Tasik (danau) Ardi (buatan), atau Tasikardi.

Danau buatan yang terjaga, karena airnya bersih. Berwarna hijau kebiru-biruan. Kalau bisa mengambil fotonya, akan menangkap air yang berwarna biru sangat cantik sekali. Atau bisa juga menangkap ada perbedaan warna pada dua bagian danau: hijau dan biru.
Lantainya terbuat dari ubin batu bata. Di tengah danau terdapat, apa yang disebut sebagai Pulau Keputren dengan kolam pemandian di tengah-tengahnya. Seputaran Danau Tasikardi ditumbuhi jejeran pepohonan yang tinggi menjulang. Sebuah jalan untuk mengitarinya dengan jalan darat, kanan-kirinya dihiasi pemandangan pepohonan yang saling menautkan pucuk-pucuknya. Tambahannya di masa kini, barangkali adalah beberapa deretan gazibu untuk para pengunjung sekedar melepas pandangan ke danau, bercengkrama dengan keluarga, sanak saudara dan atau teman, memancing, dan lain sebagainya. Bahkan asyik juga nih membawa pekerjaan di dalam laptop ke tempat ini.

Pada sisa tanah yang masih luas, bisa dipergunakan untuk berkemah. Secara keseluruhan, kompleks Tasikardi seluas 6, 5 Ha.
Namanya Danau Buatan, tentunya ada tujuan dalam pembuatannya. Panembahan Mawlana Yusuf yang memerintah pada tahun 1570-1580 sebagai Sultan Banten ke-2 setelah ayahnya, Mawlana Hasanuddin, membuatkan danau dengan Pulau Keputren ini untuk tempat peribadatan dan kholwat sang ibu yang bernama Ratu Ayu Kirana, putri dari Pangeran Trenggono, Raja Demak ke-III.
Menuju Pulau Keputren, menggunakan perahu kecil. Bangunan turap, kolam pemandian, dan sisa-sisa pondasi masih bisa kita saksikan di pulau tersebut.

Pemanfaatan air pada Danau Tasikardi sendiri, disalurkan ke sawah-sawah, keperluan air minum, dan kebutuhan sehari-hari lainnya bagi keluarga kesultanan di Keraton Surosowan yang terletak 3, 3 km dari Danau Tasikardi.
Sebelum masuk ke Keraton Surosowan, terlebih dahulu air yang semula keruh dan kotor dijernihkan dengan teknik pengindelan: adanya semacam bunker yang berfungsi sebagai penyaringan air (filter station). Untuk menghubungkan Danau Tasikardi, Pengindelan, dan Keraton Surosowan, saluran air (pipa) dengan berbagai ukuran (diameter 2 – 40 cm) yang terbuat dari terakota pun digunakan.
Teknik penjernihan air di bangunan pengindelan ini menggunakan teknik pengendapan dan penyaringan dengan pasir dan ijuk.
Tiga buah pengindelan dipergunakan, yang semuanya memiliki struktur dan bahan bangunan yang sama, yakni dari pasangan bata dengan spesi berupa campuran bata, pasir, dan kapur (tras barter). Bagian luar bangunan diplester dengan spesi yang sama.
1. Pengindelan Abang, tempat mengendapkan Air dari Danau Tasikardi yang masih keruh.

2. Pengindelan Putih, tempat penyaringan dan penjernihan kembali air yang berasal dari Pengindelan Abang.

3. Pengindelan Emas, tempat air hasil penjernihan dan penyaringan dari pengindelan putih yang diendapkan lagi, lalu air yang telah bersih tersebut dapat langsung dialirkan ke pancuran mas yang ada di kompleks Keraton Surosowan termasuk Mesjid Agung Banten.

Melihat proses pengairan sedemikian, cukup menjawab tanya ketika melihat kebersihan beberapa sumber air lainnya di Banten.
Sumber:
1. Menjejak pribadi: turun lapangan langsung.
2. https://travelingyuk.com/danau-tasikardi/214980…
3. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/…/sistem-pengaturan…/
4. Foto bangunan Pengindelan diambil dari internet.
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji