ANALISIS ISTILAH “NAFSIYAH” DAN KAITANNYA DENGAN TASHAWWUF DALAM WAWACAN MAJAPAIT KARYA HAJI HASAN MUSTAPA

Greta Kharisma Ardiyanti

Pendahuluan

Haji Hasan Mustapa lahir di Garut, Jawa Barat, pada tanggal 3 Juni 1852. Sejak masa kecil hingga dewasa, ia diasuh dengan pola pendidikan Islami. Pada usia 8 tahun, Hasan Mustapa telah diajak ayahnya ke Mekah dalam rangka menunaikan ibadah haji. Setelah menunaikan ibadah haji, ia tinggal di Mekah untuk belajar ilmu agama dan Al-Quran. Kemudian, Haji Hasan Mustapa kembali ke Indonesia.1

Sekembalinya ke Indonesia, Haji Hasan Mustapa melanjutkan pendidikan agama di beberapa pesantren di Garut dan Sumedang, serta belajar agama ke beberapa guru. Guru-gurunya antara lain Rd. H. Yahya, Kiai Abdul Hasan, Kiai Muhammad Irja, dan murid dari Kiai Kholil Bangkalan, Madura. Selanjutnya, pada tahun 1874, ia kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama 8 tahun untuk mempelajari ilmu agama.2 Menurut Setiawan (2016), Haji Hasan Mustapa dikenal sebagai seorang penghulu Islam pada zaman penjajahan Belanda, tokoh tashawwuf, pemerhati kebudayaan Sunda, penulis risalah keagamaan dan seorang Pujangga. Sebagai pujangga, Haji Hasan Mustapa menuangkankan pikiran dan gagasannya dalam bentuk karya sastra.

Secara umum, karya sastranya terbagi menjadi dua, yaitu prosa dan puisi. Puisi Haji Hasan Mustapa yang berupa dangding dituliskan dalam bentuk baris dan bait. Sementara karyanya yang berbentuk prosa biasanya dituliskan dalam bentuk tanya jawab dan menjawab persoalan tertentu. Salah satu karya sastra Haji Hasan Mustapa ialah Wawacan Majapait (selanjutnya disebut dengan WM) yang tersimpan dalam bentuk naskah. Menurut Hidayat (2009, 4), Naskah WM merupakan koleksi naskah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan kode koleksi SD. 210. Naskah ini ditulis dalam aksara Pegon dan dalam bahasa Sunda awal abad ke-20 (Hidayat, 2009, 16-17). Naskah WM terdiri dari 302 bait. Bait ke 1-101 ditulis dalam metrum Dandanggula. Bait ke-102-201 ditulis dalam metrum Kinanti. Bait ke 202-302 ditulis dalam metrum Asmarandana.

Ekadjati (1988, 45 dalam Hidayat 2009) menyatakan bahwa isi dari naskah WM adalah ajaran agama Islam. Akan tetapi, meskipun kata Majapait terdapat dalam baris pertama di bait kedua, konten dari naskah tidak ada kaitannya dengan Majapait. Hal ini penting untuk menjadi sorotan karena dalam tulisan, judul merupakan rangkuman isi. Hal yang serupa juga ditemukan dalam babad Tanah Jawi3 yang mengisahkan bahwa Nabi Adam merupakan ayah dari dewa dan tokoh Mahabarata dari India, sebuah hal yang tidak masuk akal dari segi tempat dan waktu. Menanggapi hal ini, Karsono (2013) berpendapat bahwa dalam membaca teks, pembaca tidak bisa menggunakan pendekatan tekstual semata, tetapi juga dengan mengenali kode budaya atau penanda yang terdapat di dalam teks. Penanda tersebut dipahami melalui penafsiran sehingga menghasilkan pemaknaan yang berbeda.

Ketika membaca naskah WM, penulis juga tidak menemukan kisah Majapait sebagaimana judul teks. Akan tetapi, di dalam teks, penulis menemukan istilah, metafor dan ungkapan yang identik dengan tashawwuf, di antaranya adalah sirr, nafsiyah, nafsu, martabat tujuh, Wulang Reh, Ki Mas Dalang, dan lainnya. Oleh karena itu, dari segi istilah, metafor, ungkapan dan konten teks, penulis menyimpulkan bahwa naskah WM merupakan naskah tashawwuf dan naskah WM merupakan sebuah metafor bagi perjalanan spiritual para penempuh jalan spiritual atau salik.4 Di antara istilah, metafor dan ungkapan yang digunakan dalam naskah WM, dalam esai ini penulis hanya akan menganalisis penggunaan istilah “nafsiyah” dan kaitannya dengan ilmu tashawwuf.

Analisis Istilah “Nafsiyah” dalam Naskah WM

Dalam naskah WM, ditemukan 7 istilah “nafsiyah”. Dalam terjemahan teks, istilah nafsiyah dicetak miring. Hidayat (2009, 34), dalam pertanggungjawaban transliterasi, menerangkan bahwa kata yang berasal dari bahasa Arab tidak diterjemahkan dan dicetak miring. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa istilah nafsiyah merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Nafsiyah berasal dari akar kata an-nafs (nunfasin). Menurut Solichin (2009, 20), arti nafs adalah jiwa dan dalam Al-Quran arti nafs adalah “sisi dalam” manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan nafsiyah sebagai kata sifat dalam naskah WM adalah sesuatu yang terkait atau melekat kepada jiwa. Penggunaan istilah nafsiyah dalam naskah WM dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1. Penggunaan kata “nafsiyah” dalam naskah WM

NomorBait, barisEkspresi
114, 8Usai lahir dari nafsiyah
229, 5Nafsiyah yang dicari
338, 5Nafsiyah-nya terbawa air
484, 5Nafsiyah-nya kembali lagi
5140, 2Titis nafsiyah diri
6143, 2Hidup nafsiyah diri
7178, 2Haknya nafsiyah diri

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa istilah nafsiyah pertama kali muncul pada bait ke-14, baris ke-8.

Quran sejilid jalannya tauhid

Dibacanya kelak

Usai reda seluruh nafsu

Usai lahir dari nafsiyah

Jika dimaknai secara literal, kutipan ini akan terasa ganjil karena setiap orang yang bisa membaca huruf Hijaiyah akan bisa membaca Al-Quran. Orang yang menguasai bahasa Arab akan bisa memahami artinya, dan orang yang tidak menguasai bahasa Arab akan bisa memahami arti Al-Quran melalui terjemahannya. Hal yang perlu diperhatikan adalah kenapa Al-Quran dibaca setelah reda seluruh hawa nafsu dan lahir “sesuatu” dari nafsiyah?

Dalam perspektif sufistik, Al-Quran memiliki makna eksoteris dan esoteris (Mongabadi, Naderi, Zeinali, 2016). Al-Quran yang terdapat dalam kutipan di atas mengacu kepada Al-Quran dari segi esoteris (makna batin). Makna batin Al-Quran hanya bisa dibaca jika seseorang bebas dari kungkungan hawa nafsunya dan setelah lahir dari jiwanya. Seorang penempuh jalan spiritual akan melakukan pensucian jiwa (tazkiyatun nafs), hingga pada tingkatan kesucian jiwa tertentu, ia akan bisa memahami makna batin Al-Quran. Suhadi (n.d.), dalam bukunya yang berjudul Tasawwuf for Beginners, menyebut tingkatan ini sebagai al-muthaharun,5 sebuah istilah untuk jiwa yang disucikan, tingkat kesucian jiwa ketika manusia baru dilahirkan. Selanjutnya dalam bait ke-29, baris ke-5 tertulis:

Andalkan pamake hati

Hati yang berawal nafsu

Nafsiyah yang dicari.

Dalam kutipan di atas ada kata pamake yang artinya “digunakan dengan semestinya”, yang menegaskan bahwa seharusnya salik itu memakai hati dengan semestinya. Kemudian ada “hati yang berawal nafsu” atau hati yang masih dikuasai oleh hawa nafsu dan bahwa yang dicari adalah sesuatu yang merupakan bagian dari sang jiwa, yaitu nafsiyah atau hawa nafsu. Ketika manusia lahir ke muka bumi, dan nafs dipersatukan dengan jasad, itu seperti lautan bertemu pantai sehingga menghasilkan bunyi debur ombak yang keras. Bunyi debur ombak yang keras itu adalah hawa nafsu (atau nafsiyah di naskah WM). Dalam menempuh jalan thariqah, guna meraih kesucian diri, para salik wajib memerangi hawa nafsunya. Bagi para sufi, perang ini adalah perang yang lebih besar daripada perang fisik6 (Schimmel, 1975, 112). Jika jiwa masih dikuasai hawa nafsu, dikarenakan dorongan hawa nafsunya, maka jiwa masih akan melakukan dosa. Jiwa yang sejati akan muncul jika jiwa sudah terbebas dari kungkungan hawa nafsu.

Kesimpulan

Meski analisis istilah nafsiyah dalam naskah WM belum dilakukan seluruhnya, dari analisis istilah nafsiyah pada dua bait metrum, dapat disimpulkan bahwa Wawacan Majapait karya Haji Hasan Mustapa mengandung ajaran tashawwuf, terutama ajaran untuk membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) sehingga muncul diri yang sejati. Hal yang menarik dari naskah WM adalah penggunaan istilah nafsiyah hanya muncul di bait 1-101 (metrum Dandanggula) dan bait ke 102-302 (metrum Kinanti).

Catatan-catatan:

  1. Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid I. (2003). Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, hlm. 183-184 dalam “Sajaroh”, 2013.
  2. Ibid.
  3. Saputra, K.H. (2013). Pengantar Filologi Jawa. Cet. 2. Jakarta: Wedatama Widya Sastra
  4. Dalam bukunya yang berjudul “Mystical Dimension of Islam” (hlm. 98), Annemarie Schimmel menjelaskan bahwa salik adalah penempuh jalan thariqah melalui tahapan-tahapan spiritual (maqam) yang berbeda-beda, sehingga sampai kepada kesempurnaan tauhid, yaitu penyaksian sejati akan keberadaan Tuhan.
  5. Dalam bukunya, Suhadi mengutip sebuah ayat dari Al-Quran, “Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara, tidak menyentuhnya kecuali al-mutahharun.” (QS Al-Wâqi‘ah [56]: 77-79).
  6. Dalam hadits disebutkan: “Kalian datang dengan sebaik-baik kedatangan, kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka bertanya: “Apakah jihad besar itu?” Beliau saw bersabda: “Mujahadahnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya.” (HR Al-Baihaqi, Zuhd Al Kabir, No. 384, hadits dari Jabir bin Abdullah.)

Daftar Pustaka:

Ekadjati, Edi S., (ed.). 1984. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: Girimukti Pasaka

Hidayat, A.R. (2009). “Wawacan Majapait Karya Haji Hasan Mustapa: Suntingan Teks, Terjemahan, disertai Analisis Tema dan Fungsi”. Diakses dari Repository Kemdikbud http://repositori.perpustakaan.kemdikbud.go.id/494/

Mongabadi, B.A.D., Naderi, S., Zeinali, A. (2016). “Symbolism in Tafsir Attributed to Ibn Arabi”. Journal of Islamic Science and Culture, 4(01), 155-163. Diakses dari jiscnet.com/journals/jisc/Vol_4_No_1_June_2016/18.pdf

Sajaroh, W.S. (2013). Laporan Penelitian Individual Konsep Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa. Diakses dari Repositori UIN http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28344/3/WIWI%20SITI%20SAJAROH-FISIP-2013.pdf

Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of Islam. Jakarta Selatan: Mizan. (Setahu saya ini buku tidak diterbitkan oleh Mizan tapi Pustaka Firdaus, dan judulnya pun adalah Dimensi Mistik dalam Islam)

Setiawan, H. (2016). “Dang Ding Mistis Haji Hasan Mustapa”. Kalam, 28. Diakses dari http://salihara.org/kalam/back-issues/kalam-282016

Solichin, M.M. (2009). “Tazkiyah Al-Nafs Sebagai Ruh Rekonstruksi Sistem Pendidikan Islam”. Tadris, 4(1), 20-34. Diakses dari E-journal STAIN Pamekasan http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/tadris/article/download/242/233

Suhadi, I. (n.d.). Tasawwuf for Beginners. Diakses dari Perpustakaan Digital Internet Archive https://archive.org/stream/AboutIslamInEnglish_20151119/ImamSuhadi-TasawufForBeginner_djvu.txt

Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid I. (2003). Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve