Dwi Afrianti
Mahasiswa S3 Prodi Studi Agama-Agama Konsentrasi Filsafat Agama UIN Sunan Gunung Djati-Bandung
Kajian komprehensif tentang ajaran kosmologi Abuu Raihaan Muhammad ibn Ahmad al-Biiruunii, menjadi salah satu yang paling banyak dipelajari oleh para pelajar dan ilmuwan Muslim. Tugas yang sangat sulit, karena di satu sisi, belum ada upaya serius untuk mengkaji kosmologi al-Biruunii dengan cermat dan sistematis. Dan di sisi lain, karya filosofis yang ditulisnya, tempat barangkali ia memperlakukan kosmologi dengan lebih lengkap, tidak lagi ada. Untuk menemukan konsepsi yang mendasari banyak kajiannya tentang manifestasi Alam (Nature), perlu mengumpulkan potongan-potongan kecil karya-karyanya.
Abuu Raihaan al-Biiruunii lahir di luar (biiruun) kota Khwaarazm – pada masa modern disebut Khiva dan masa kuno disebut Khorasmia – pada tahun 362 H/ 972 M, daerah penghasil para cendekiawan dan orang bijak Muslim yang paling hebat. Sejak kecil, al-Biiruunii sudah menunjukkan bakat besar keilmuwan dan berada di dalam bimbingan Abuu Nasr al-Mansuur, seorang astronom dan matematikawan yang menulis komentar untuk Spherics karya Menelaus dan ia merupakan murid dari Abu’l Wafaa’. Bagian awal kehidupan al-Biiruunii dijalani pada masa kekhalifahan Ma’muuniiyah di Khwaarazm, yang disebut juga Khwaarazmiyah, yang berada di bawah dinasti Saamaaniyah, tetapi nantinya menjadi berdiri sendiri. Al-Biiruunii melakukan perjalanan ke daerah-daerah Persia yanng lain. Pada tahun 388 H/ 998 M – 403 H/ 1012 M berada di Jurjaan mengabdi di istana Syams al-Ma’aalii Qaabuus ibn Wushmgiir. Pada masa ini, tahun 390 H/ 1000 M, ia menulis Kitab al-Aathaar al-Baaqiyah yang terkenal.
Meningkatnya kekuatan Turki di Asia Tengah memuncak selama kekhalifahan Mahmuud dari Ghazna dalam penghancuran sebagian besar kerajaan Persia kecil di wilayah tersebut. Pada tahun 408 H/ 1017 M Mahmuud merebut Khwarazm dan tahun berikutnya menawan Abuu Raihaan, yang sebelumnya sudah menjadi musuh politiknya di Ghazna. Sebagai astronom dan astrolog Istana, al-Biiruunii menemani Mahmuud dalam banyak kampanyenya, termasuk penyerangan ke India yang memberikan kesemptan bagi al-Biiruunii untuk mengkaji berbagai khazanah Hinduisme. Pada tahun 422 H/ 1031 M ketika al-Biiruunii kembali ke Ghazna, ia menyusun apa yang barangkali merupakan karya paling terkenalnya, India, sama seperti Kitaab al-Tafhiim.
Mahmuud wafat di Ghazna pada tahun 421 H/ 1030 M. Terjadi pertikaian di antara anak-anaknya yang dimenangkan oleh Mas’uud, yang menjadi pelindung besar al-Biiruunii dan orang yang kepadanya al-Biruni dedikasikan kitab al-Qaanuun al-Mas’uuddii. Al-Biiruunii menjalani sisa hidupnya di Ghazna, melanjutkan menulis dan belajar hingga akhir hayatnya pada tahun 442 H/ 1051 M. Sepanjang hidupnya, Al-Biiruunii banyak menyaksikan kekacauan politik dan perubahan kondisi kehidupan di Asia Tengah dan Persia, juga menyaksikan perubahan besar dalam minatnya. Minat awal pada matematika dan astronomi, bidang yang menjadikannya sebagai salah satu otoritas terbesar dalam sejarah keilmuan Muslim, lalu perhatiannya beralih ke kronologi dan sejarah, dan akhirnya, selama bagian terakhir hidupnya, mengkaji optik, kedokteran, mineralogi, dan farmakologi sebagaimana yang ditunjukkan dalam Kiitab al-Saidanah (atau Saidalah). Sepanjang perubahan ini, minat al-Biiruunii dalam agama dan peribadatan tetap kuat; kutipan-kutipannya dari Bhagawad Gita tidak kurang dari penjelasannya tentang perayaan-perayaan religius agama-agama di Asia Barat, menjadi bukti minat dan pemahamannya yang kuat akan agama. Karyanya tentang perbandingan agama menjadi salah satu kontribusi terpenting.
Meskipun sulit menemukan karya filosofinya, diketahui bahwa al-Biiruunii telah mengkaji filsafat secara mendalam dan dengan baik membahasakannya, dan khusus berminat pada filsafat anti-Aristoteles seperti filsuf Muhammad ibn Zakariyyaa’ al-Raazii. Banyak waktu yang dipergunakan al-Biiruunii untuk mencari karya al-Raazii berjudul Fi’Ilm al-Ilaahi, dan karya para filsuf lainnya, dan sebelumnya menulis sebuah risalah yang mengomentari kesalahan-kesalahan al-Raazii.
Pada waktu-waktu luangnya, al-Biiruunii juga mengkaji Vedanta dan teks-teks Hinduisme lainnya yang, jika bukan filsafat dalam pengertian modern atau bahkan menurut Aristoteles, tentunya termasuk dalam bentuk hikmah paling murni. Bagaimanapun, sikap Abu Raihaan kepada filsafat Yunani Aristoteles jauh dari ramah.
Di samping karya-karya utama yang masih ada seperti al-Aathaar al-Baaqiyah, India, Kitaab al-Tafhiim, Kitaab al-Jamaahir fi Ma’rift al-Jawaahir, al-Qaanuun al-Mas’uudi, dan Kitaab al-Daidanah dan Kitaab Tahdiid Nihaayaat al-Amaakiin, al-Biiruunii menulis sejumlah besar risalah kecil yang sebagian besar berkaitan dengan astronomi dan geografi, tetapi juga sebagian besar mata pelajaran lain termasuk filsafat. Karya-karyanya tentang filsafat seperti Kitaab asy-Syaamil fi’l Mawjjuudaat al-Mahsuusah wa’l-Ma’quulat, Kitaab fi’l-Tawassut bain Aristuutaalis wa Jaaliinuus fi’l-Muharrik al-Awwal, Riyaadat al-Fikr wa’l-‘Aql, Maqaalah fi’l-Bahth ‘an al-‘Aalam wa Ikhtilaaf Fusuul al-Sanah, tampaknya hilang bersama banyak terjemahan ke dalam bahasa Sanskerta seperti Element Euclid dan Almagest Ptolemeus. Terjemahan-terjemahan berbahasa Sanskerta seperti Yoga Suutras of Patanjali yang dianggap hilang, ditemukan beberapa waktu lalu di Istanbul. Al-Biiruunii juga sedikit menulis beberapa karya sastra seperti Qaasim al-Suruur wa’Ayn al-Hayaat, dan Urmuzdyaar wa Mihriaar. Di dalam Fii fihrist kutub Muhammad bin Zakariyyah al-Raazii, al-Biiruunii memberikan sebuah daftar berisikan 113 karyanya pribadi dan 25 lainnya yang ditulis oleh Abuu Nasr al-Mansuur ibn al-‘Iraaq, Abu Sahl ‘Isaa ibn Yahyaa al-Masiihii, dan Abuu ‘Ali al-Hasan ibn ‘Ali al-Jili yang berada di dalam pengarahannya.Haajji Khaliifah di dalam Kasyf al-Zunuunnya menyebutkan, bahwa terdapat 15 karya lain yang ditulis al-Biiruuni 14 tahun sebelum kematiannya. Lebih jauh, tujuh manuskrip lain yang ditemukan tidak menyebutkan karya yang lain. Jika seseorang memasukkan Yaaquut ke dalam daftar yang menyebutkan terjemahan-terjemahan berbahasa Sanskerta dan ditulis oleh orang lain dan dinisbahkan kepada al-Biiruunii, maka keseluruhan jumlahnya menjadi 180. Sebagian besar tulisan al-Biiruunii mengganakan bahasa Arab, dan beberapanya Persia, meskipun tidak satupun yang menggunakan bahasa Ibunyaa, al-Khwarizmi.
Al-Biiruunii memiliki cinta tertentu kepada bahasa Arab, yang disadari sepenuhnya sebagai bahasa yang universal. Kitaab al-Tafhiim yang ditulis al-Biiruunii dalam bahasa Arab dan Persia, tampak menunjukkan kefasihan al-Biiruunii dalam kedua bahasa tersebut, merupakan salah satu karya besar di masa pertengahan. Buku tersebut, tidak diragukan lagi, merupakan karya awal tentang sains yang paling penting di persia dan menyediakan sumber yang kaya untuk prosa dan leksikografi Persia sama besarnya dengan sumber pengetahuan tentang Quadrivium yang materinya ditulis dengan gaya yang tinggi.
Selain pertemuan pribadi dengan sejumlah cendekiawan Muslim, Kristen, Hindu, dan orang-orang bijak di masanya, al-Biiruunii juga memiliki akses pada banyak teks keilmuean Yunani, Babilonia, Manikean, dan Zoroaster. Faktanya, sebuah karya seperti al-Qaanuun al-Mas’uudii bukan hanya sebagai ringkasan astronomi Muslim, melainkan sebuah sumber yang berasal dari banyak keilmuwan kuno seperti Khaldean dan Yunani yang teks aslinya telah hilang. Selain itu, memiliki pengetahuan menyeluruh tentang teks-teks astronomis-matematis dari Almagest, Elements, berbagai Sinddhaanta, dan karya Hindu lainnya. Al-Biiruunii juga mengenal baik sejumlah besar tulisan terkait “filsafat alam” dan sejarah. Kitaab al-Jamaahir fi Ma’rifat al-Jawaahir merupakan teks Islam paling lengkap tentang mineralogi, yang sumber-sumbernya diperoleh dari para Ilmuwan Muslim seperti al-Kindi, Muhammad ibn Zakariyyaa’ al-Raazii, Jaabir bin Hayyaan, juga tokoh sastrawan dan sejarawan seperti Nasr bin Ya’quub al-Dinawarii, Ahmad bin ‘Ali, Abu’l-‘Abbaas al-‘Ummaani, dan para penulis Yunani seperti Aristoteles, Archimedes, Apollonius of Tyana, Dioscorides, Plitarch, Ptolemeus, Galen, Bolos Democritus, Plato, Heraclides, dan Diogenes. Al-Biiruunii juga mengutip puisi Arab – Islam maupun pra-Islam – juga karya dari Persia, India, Syria, dan Aleksandria. Terlebih, al-Biiruunii sering dengan sangat fasih menyebutkan ayat-ayat suci dalam banyak agama termasuk Perjanjian Lama dan Baru, Avesta, dan, tentu saja Al-Quran. Dan dalam risalah Ifraad al-Maqaal fi Amr al-Dholaal, dalam menjelaskan tentang waktu, al-Biiruunii mengutip hadits Nabi saw., Umar bin al-Khaththab, al-Asy’ari, al-Syafe’i dan banyak otoritas Muslim lainnya, menunjukkan kedalaman pengetahuannya tentang banyak sumber hukum dan teologi Muslim. Tetapi juga, ada sedikit hal yang luput tak tersentuh oleh keilmuwan pada masanya. Karena ketidakhati-hatian penerjemahan, al-Biiruunii tidak begitu dikenal atau berpengaruh di Barat Latin sebagaimana Ibnu Sina pada masanya. Jika al-Qaanuun al-Mas’uudii waktu itu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, maka barangkali akan sama terkenalnya seperti al-Qaanuun karya Ibnu Sina.
Dalam dunia Muslim, bagaimanapun, al-Biiruunii selalu diingat sebagai guru besar astronomi, astrologi, geografi, dan matematika. Tulisan India nya merupakan hal yang unik dalam sejarah Muslim, dan al-Aathar al-Baaqiyah merupakan sumber terbaik yang menunjukkan kronologi dan kejadian-kejadian relegius di Asia Barat Kuno. Kitaab al-Tafhiim menjadi inspirasi langsung bagi risalah-risalah ilmiah penting pada abad-abad setelahnya, termasuk Kitaab Rawdaawt al-Munajjimiin yang ditulis oleh Syahrdaan bin Abi’l-Khair al-Raazi dan kitab Kaihaan Shinaakht oleh Hasan Kattaan al-Marwazii, yang keduanya ditulis pada abad ke-5 H; juga bersumberkan pada karya yang ditulis pada abad ke-6 H, yaitu kitab Jahaan-i Danish oleh Syaraf al-Diin Muhammad bin Mas’uud bin Muhammad al-Mas’uudii dan kitab Kifaayat al-Ta’liim fi Sinaa’at al-Tanjiim oleh Sayyid al-‘Ulamaa’ Abu’l-Mahaamid bin Mas’uud bin al-Zakii al-Ghaznawi. kitab yang terkenal, Mu’jam al-Buldaan yang ditulis oleh Yaaquut bin ‘Abdallaah al-Hamawii, ditulis pada abad ke-7 H, dan Kitaab al-Tafhiim fi Ma’rifat Istikhraaj al-Taqwiim yang ditulis oleh Mazhar al-Diin Muhammad al-Laaroo pada abad ke-9 H juga mendapatkan inspirasi dari al-Tafhiim al-Biiruunii. Tulisan-tulisan al-Biriruunii muncul pada masa sedang berkobarnya aktivitas intelektual pada abad ke-4 H dan mereka semua berupaya dengan cara terbaik untuk menyatukan banyak cabang kajian ilmuwan Muslim dengan ilmu-ilmu dari orang-orang yang darinya para ilmuwan Muslim mewarisi ilmu-ilmu kuno.
Dengan demikian, selama berabad-abad karya-karya al-Biiruunii telah melayani seluruh keberhasilan sebagai sumber bagi ilmu-ilmu alam dan sejarah dan menerima otoritas sebagai guru besar yang tulisan-tulisannya patut dipercaya. Sebagai astronomer dan astrologer, khususnya, al-Biiruunii hampir menjadi prototipe dan figur ideal untuk diikuti. Pembacaan sepintas karya-karya al-Biiruunii cukup menunjukkan kemampuan mengintegrasikan aneka khazanah dengan Islam. Ia mengakui universalitas kebenaran dalam kajiannya tentang agama-agama lain, dan menghubungkan universalitas itu dengan teks-teks al-Quran yang memberikan kesaksian atas universalitas nubuwwah. Kajiannya tentang perbandingan agama tidak menjadikan al-Biiruunii “eklektik” dalam hal apapun, melainkan sebaliknya, menegaskan bahwa religiusitasnya sebagai seorang Muslim. Al-Biiruunii menyadari sepenuhnya karakter universal Islam dan peran pemersatunya dalam menyatukan perbedaan berbagai bangsa. Dalam Kitaab Tahdiid Nihaayaat al-Amaakiin, ia memberitahu kita:
“Dan sekarang Islam telah muncul di Timur dan Barat sebagai bagian dari dunia dan telah menyebar di antara Andalusia Barat dan bagian Cina dan India Tengah di Timur, dan antara Abissinia dan Nubia di Selatan dan Turki dan Slavia di Utara. Hal tersebut tidak pernah terjadi sebelumnya, mampu menyatukan semua perbedaan bangsa-bangsa dalam satu ikatan cinta.”
Kajian geografi, astronomi, dan sebagainya, pada faktanya merupakan kajian yang tepat, karena sangat penting bagi kehidupan religius umat Islam, dan harus dikaji dalam pandangan sedemikian. Tidak pernah terpikir oleh al-Biiruunii, bahwa tujuan “ilmu ya demi ilmu itu sendiri”, “seni ya demi seni itu sendiri”. Seni dan ilmu, keduanya harus melayani sendi-sendi kehidupan ideal Islam yang dipahami sebagai “kehidupan yang baik” dalam komunitas Muslim, dan merupakan tujuan akhir yang harus dicari. Bagaimanapun, validitas kajian ilmu-ilmu tidaklah sebenar dapat ditentukan secara pasti berdasarkan kegunaan praktisnya, karena kegunaan tersebut tidak sebenar dapat menentukan nilai-nilai batiniyah pelbagai hal. Sebaliknya, validitas kajian ilmu-ilmu dapat ditemukan dalam ayat al-Quran. Manusia diperintahkan untuk merenungi langit dan bumi yang Tuhan ciptakan dengan Kebenaran (bi’l-haqq).
Al-Biiruunii juga menunjukkan beberapa pengetahuan tashawuf, meskipun istilah ia menganggap istilah Sufi diturunkan dari kata sophos, dan di dalam buku India, ia sering membandingkan doktrin Hindu dengan kesufian. Tetapi, ada sedikit keraguan bahwa ia bukan seorang sufi. Ia adalah seorang pembelajar dan ilmuwan hebat, dan seorang Muslim taat yang telah telah belajar banyak dengan membaca, mengamati, dan berpikir dan telah menguasai banyak cabang ilmu pengetahuan; tetapi dia tidak mengikuti jalan pemurnian jiwa dan perolehan intuisi langsung, yang dalam Islam masuk dalam ranah tashawuf. Ia memiliki penghormatan yang sama untuk spiritualitas sufi dan mayoritas umat Islam yang taat. Tetapi, bagaimanapun, ia tidak pernah berpartisipasi di dalamnya. Al-Biiruni juga menunjukkan minat yang besar dalam filsafat bernuansa Socrates.
Mengacu pada sebuah kalimat di India tentang kebijaksanaan, ia memberi tahu pembaca bahwa “kalimat ini mengingatkan, bahwa salah satu definisi filsafat adalah sebagai upaya untuk menjadi sebanyak mungkin menyerupai Tuhan.” Di sisi lain, ia sangat menentang filsafat silogistik dan rasionalistik Aristoteles, sebuah oposisi yang berbagai modelnya akan kami kaji di bab selanjutnya. Ia menghormati pencapaian ilmiah Stagirite, tetapi memiliki pandangan berbeda dengan Peripatetik dalam hal pertanyaan-pertanyaan besar seperti makna penciptaan dan keabadian atau ketidakabadian dunia. Al-Biiruunii telah melakukan kajian intensif tentang al-Raazii, dan barangkali juga penulis lain yang telah diresapi oleh ide-ide Hermetik. Jika saja kita dapat menemukan beberapa karya filosofis al-Biiruuniis yang hilang, barangkali kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih koheren tentang doktrin yang ia pegang terkait pertentangannya atas kaum Aristotelian.
Kita dapat melihat lagi dan lagi bagaimana kajiannya tentang matematika, geografi, atau astronomi yang sangat teknis dan rasional, ternyata secara alami dapat membawa pada pembuktian beberapa atribut Sang Pencipta. Penekanan pada kemuliaan aspek nalar sebagai sebuah jembatan alamiah menuju realitas suprarasional dan keimanan religius, dan bukan sebagai penghalang menuju keduanya, merupakan aspek batiniyah dari ruh Islam. Dalam hal ini, al-Biiruunii dapat dianggap sebagai salah satu Muslim dalam peradaban Islam yang paling mengabadikan diri mereka untuk mengkaji ilmu-ilmu rasional dan yang mensintesakan pencapaian budaya-budaya pra-Islam dan mengembangkan mereka dalam ruh Islam.
Sumber:
Diterjemahkan oleh Dwi Afrianti dari buku An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, Seyyed Hossein Nasr.
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji