Yang Tersembunyi di Balik Hijab: Mitologi, Teologi, dan Ideologi dari Jilbab


Alfathri Adlin

(Guru SMP Al-Kautsar, Alumni SKAU)

Baghdad beberapa ratus tahun yang lalu. Seorang perempuan berwajah cantik memasuki kota tersebut dengan hanya menutupi separuh wajahnya menggunakan cadar serta membiarkan separuhnya lagi terbuka. Maka, bertanyalah seorang lelaki yang berpapasan dengannya, “Mengapa engkau tidak menutup seluruh wajahmu?” Dia menjawab, “Tunjukkan dulu kepadaku seorang laki-laki sejati, agar aku bisa menutup seluruh wajahku. Di seluruh Baghdad ini, hanya ada satu laki-laki sejati, dan dia adalah Husayn (ibn Mansyur Al-Hallaj). Seandainya bukan karena dia, aku bahkan tidak akan menutup separuh wajahku seperti ini.” Perempuan tersebut adalah saudara Husayn ibn Mansyur Al-Hallaj, sang sufi martir.2

Jakarta sekian tahun lalu. “Saya gemar sekali mengenakan jilbab panjang,” ujar Miranda Risang Ayu. “Suatu hari saya bercermin, saya melihat lipatan jilbab yang saya sentuh bergerak gemulai.” Baginya, hijab—selain berfungsi untuk menutup aurat—juga dapat membebaskan apa yang harus dibebaskan, sehingga dia dapat menemukan pengganti dari kegemulaian tubuh perempuan pada lipatan-lipatan jilbab. Ide pemaduan antara estetika kain dan gerak lain itu ditemukannya setelah sering mendatangi berbagai thariqah.3 Maka, berputar-putarlah para perempuan berjilbab panjang yang menarikan tarian kreasinya, tarian yang mirip dengan tarian para darwisy berputar dari thariqah Mawlawiyyah.

Demikian. Penggunaan hijab biasanya didasarkan pada suatu konsep keagamaan serta pemahaman dan penafsiran personal akan konsep tersebut. Sudah sejak zaman Rasulullah saw. hijab menjadi isu yang cukup sensitif bagi kaum muslimin, misalnya seperti yang terjadi pada pertengahan bulan Syawal tahun kedua Hijriah. Peristiwa yang bermula dari ulah beberapa orang Yahudi, ketika memaksa seorang muslimah untuk membuka tutup wajahnya, tetapi ditolak perempuan tersebut. Namun, ketika muslimah tersebut hendak pergi, tanpa disadarinya, salah seorang dari para laki-laki Yahudi tersebut mengaitkan ujung jilbabnya, hingga tersingkaplah pakaian bagian punggungnya. Muslimah tersebut menjerit-jerit ketika menyadari kejadian itu, sementara para lelaki Yahudi tersebut tertawa-tawa melihat kejadian itu. Pada saat itu, seorang laki-laki muslim melihat kejadian tersebut. Ia langsung membunuh laki-laki Yahudi yang melakukan perbuatan tidak senonoh tadi, tapi kemudian ia balik dikeroyok dan dibunuh oleh orang-orang Yahudi yang ada di sekitarnya. Ketika peristiwa ini sampai ke telinga Rasulullah saw., beliau pun memerintahkan kaum muslimin untuk bersiaga perang mengepung kaum Yahudi tersebut. Namun, atas desakan Abdullah bin Ubay, maka Rasulullah saw. pun, dengan marah, hanya mengusir mereka. Peristiwa itu kemudian tercatat dalam sejarah sebagai pengkhianatan pertama kaum Yahudi (yaitu, Bani Qainuqa’) terhadap umat muslimin.

Jilbab atau kerudung, dalam berbagai bentuk dan nama, sebenarnya telah memiliki sejarah yang lebih tua dari zaman Rasulullah saw. Dalam Taurat, misalnya, dikenal istilah semakna dengan jilbab, yaitu tiferet; sedang dalam Injil terdapat istilah redid, zammah, re’alah, zaif, dan mitpahat.4 Bukan tak mungkin bahwa istilah serupa, apabila ditelusuri lebih jauh, akan ditemukan juga dalam agama-agama lain, seperti Hindu dan Buddha, karena bagaimana pun pakaian mewakili suatu tanda atau simbol keagamaan. Namun, tetap harus diingat bahwa senantiasa tercipta jarak atau keterpisahan antara tatanan nilai yang hakiki dengan pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari secara luas. Berkaitan dengan penggunaan jilbab atau kerudung ini, Epstein, seorang antropolog, mengatakan “Tradisi perempuan menghijabi diri mereka ketika mereka bepergian dalam masyarakat umum telah sangat lama (dilakukan) di negeri timur. Barangkali rujukan pertamanya dapat ditemukan dalam kodeks bangsa Assyria, yang mengatur supaya para istri, anak perempuan, janda, ketika bepergian ke luar rumah, harus berhijab.”5

Adapun dalam tulisan ini sejarah hijab akan coba dikaji secara global mulai dari mitologi, teologi sampai ideologi, sehingga pada akhirnya ketiga kategori tersebut secara tidak langsung merepresentasikan gejala khusus dari tiap era yang berbeda.

Seputar Permasalahan Jilbab dan Pengertiannya

Kata hijab berasal dari kata hajaba yang berarti menyembunyikan dari pandangan atau juga dinding pemisah. Sedangkan, dalam konteks yang luas hingga hari ini, hijab sering dikaitkan dengan penutupan aurat secara bersahaja oleh perempuan Muslim berupa jilbab, kerudung, dan yang sejenisnya. Persoalan jilbab memang tidak sederhana sebagaimana tidak sederhananya pula makna istilah tersebut bagi setiap orang. Secara harfiah, jilbab berarti pakaian yang luas atau lapang dan dapat menutup aurat perempuan, kecuali muka dan kedua telapak tangan hingga pergelangan saja yang ditampakkan. Jilbab adalah bentuk mashdar dari akar kata jalaba yang berarti “membawa” atau “menghimpun.” Adapun bentuk jamaknya adalah jalâbîb yang berarti baju kurung (auter garments atau juga mantle dan cloak) yang dapat menutupi seluruh anggota badan; di dunia Arab lebih dikenal dengan istilah jalabiyyah. Selain itu, ada juga tajalbaba yang berarti “membajui”. Lisânul ‘Arab mendefinisikan jilbab sebagai “… kain bagian luar atau penutup yang dililitkan pada bagian atas pakaiannya untuk menutupi dirinya dari kepala hingga ujung kaki. Jilbab tersebut benar-benar menyembunyikan tubuhnya.”6 Dalam Al-Qamus dikatakan jilbab merupakan pakaian yang lebar, yang biasa dipakai untuk menutupi pakaian (dalam) mereka dan menutupi seluruh tubuh (kecuali yang boleh ditampakkan).

Ibnu Hazm menuliskan bahwa “dalam bahasa Arab … jilbab merupakan kain bagian luar yang menutupi seluruh tubuh. Sepotong pakaian yang terlalu kecil untuk menutupi seluruh tubuh tidak dapat disebut sebagai jilbab.”7 Sebagaimana dicatat oleh Nasaruddin Umar, jenis-jenis pakaian perempuan dalam vocabulary Arab pada masa Rasulullah dikenal dengan beberapa istilah, yaitu “Khimar, pakaian yang khusus menutupi bagian kepala, dir’, pakaian yang khusus menutupi bagian badan, niqab dan burq pakaian yang khusus menutupi daerah muka kecuali bagian bola mata, idzar, yaitu pakaian berjahit yang menutupi anggota badan sampai ke bagian kaki, rida’, pakaian luar yang menutupi bagian atas badan ke bagian bawah di atas idzar, dan jilbab, yaitu kerudung yang menutupi bagian luar kepala, termasuk menutupi dir’ dan khimar.”8

Beberapa peristilahan yang sering terkait dengan perkara hijab ini, di antaranya muncul dalam QS An-Nûr [24]: 31, adalah khimar, bentuk jamaknya adalah khumur, memiliki makna tudung atau selendang untuk penutup kepala. Kata ini merupakan bentuk turunan dari akar kata khamara yang berarti menutupi atau menyembunyikan. Terkait pula dengan kata khamr yang berarti anggur, atau secara harfiah berarti “sesuatu yang menutupi atau mendera pikiran atau kepala.” Adapun ‘awra, istilah bahasa Arab untuk pudendum, seringkali diterjemahkan sebagai bagian pribadi atau bagian yang dapat menimbulkan malu apabila terlihat, atau sesuatu yang seharusnya ditutupi. Jika merujuk kepada Lisanul ‘Arab, istilah zina adalah termasuk “segala sesuatu yang memperelok.” Istilah ini kemudian dipahami sebagai kecantikan alami maupun ornamen buatan yang berarti perhiasan, dandanan, dekorasi, pakaian, dan cara berpakaian. Kata ini berasal dari akar kata zana yang berarti berias, berdandan, berhias, menambahi ornamen, berpakaian, dan membuat seseorang (perempuan) menjadi lebih cantik dan percaya diri. Ilyas Islam mencoba merumuskan apa yang termasuk zina yaitu wajah, tangan dan kaki serta apa pun yang tampak dari tubuh seorang perempuan karena faktor yang tak terkendali seperti hembusan angin, atau yang di luar keperluan.9

Kemudian ada lagi istilah juyûb yang merupakan bentuk jamak dari kata jayb, turunan dari kata jawb, yaitu memotong, dan merujuk kepada belahan (dari pakaian) yang maksudnya bahwa tutup kepala harus menutupi leher dan menggantung di atas dada. Adapun kata kerja tabahraja menandai aktivitas menghiasi sesuatu, merapikan diri, menjadi tidak alami (palsu), berpakaian untuk diperlihatkan. Ini, menurut Ilyas, tidak hanya untuk membuat seseorang menjadi cantik, tapi juga untuk memamerkan dirinya, untuk mengembangkan daya tarik seseorang dengan tujuan memancing hasrat. Ini tidak hanya merujuk kepada pakaian, tapi juga perilaku, seperti berjalan dengan langkah menggoda juga bertingkah genit atau yang tidak keruan. Hal ini terkait dengan kata bahraj yang berarti salah, lancung, palsu, memalukan, tidak layak, murahan, sampah, sedangkan oknumnya disebut dengan mubahraj, yaitu menyolok, mentereng tapi tak berharga, terlalu glamour, banyak hiasan, suka pamer, rosokan, dan murahan.10

Dalam QS Al-Ahzab [33]: 33 terdapat istilah tabarruj yang berarti “menampilkan kecantikan.” Turunan kata lainnya adalah buruj yang digunakan dalam beberapa ayat di Al-Quran (QS An-Nisâ [4]: 77; QS Al-Hijr [15]: 16; QS Al-Furqân [25]: 61; QS Al-Burûj [85]: 1). Buruj artinya “menara” karena visibilitasnya yang jelas. “Visibilitas” yang jelas dari perempuan pun dapat diakibatkan dari tipe pakaian yang digunakannya, cara mereka berjalan atau bertingkah laku. Dalam tafsir klasik, tabarruj diartikan sebagai (1) mengigal atau berjingkrak-jingkrak secara menggoda; berjalan dengan cara yang seksi; mendandani diri sendiri secara lengkap; (2) bercumbu-cumbuan, berkelétah; dan (3) berias, memperlihatkan dandanan, memamerkan daya tarik tubuh. Tabarruj juga termasuk membuka tudung kepala, mengikatkannya ke belakang, yang berlawanan dengan diikat ke depan, sehingga mengekspos leher, kalung, telinga dan anting-anting yang dikenakannya. Dalam pengertian umum, tabarruj berarti seorang perempuan yang memperagakan dirinya sendiri di hadapan publik, termasuk gaya berjalannya yang tak tertutup serta menggunakan kain yang menyingkapkan lekuk tubuh, ornamen, make-up, dan sejenisnya.11

Lebih jauh lagi, dalam kaitannya dengan sejarah dunia Islam, Nasaruddin mencatat sejumlah penutup kepala yang dikenal dengan istilah-istilah yang berbeda di tiap-tiap bangsa, misalnya istilah cadar yang lebih terkenal di Iran serta berasal dari bahasa Persi, yaitu chador yang berarti “tenda” (tent). Dalam tradisi Iran cadar berarti “sepotong pakaian serba membungkus yang menutupi seorang perempuan dari kepala hingga ujung kaki.”12 Sedangkan di India, Pakistan dan Bangladesh lebih dikenal dengan istilah purdah yang berasal dari bahasa Indo-Pakistan, pardeh yang bermakna “gorden” (curtain). Istilah charshaf lebih dikenal di Turki untuk nama pakaian muslimah tersebut, milayât di Libya, abâya, serta kudung atau kerudung untuk daerah Indonesia, Thailand Selatan, Malaysia, dan Brunei Darussalam.13

Beryl Causari Syamwil, yang termasuk generasi awal pemakai jilbab di Indonesia, mengamati bahwasanya di Indonesia busana muslim bukanlah tradisi baru karena sudah ada ketika pertama kali Islam datang, tapi masih dalam proses untuk menutup aurat. Dia menunjuk selendang tipis yang dikenakan perempuan Indonesia untuk menutupi sebagian rambutnya sebagai bukti dari proses menuju penggunaan jilbab dalam pemahaman seperti hari ini. Selain itu, Beryl juga menunjuk proses baju bodo, busana adat Bugis yang pada awalnya hanya berupa selembar sutra halus tembus pandang, tetapi kemudian menjadi tujuh lapis ketika pengaruh Islam masuk. Pada tahun 50-an, para perempuan Bali masih banyak yang bertelanjang dada, tapi hari ini mereka telah menggunakan bebat sebagai penutup dadanya. Menurut Beryl, di daerah-daerah Indonesia yang belum berpakaian tertutup penuh bisa jadi dikarenakan proses evolusinya terhenti oleh banyak faktor.14 Dari sini dapat dilihat pengertian masyarakat tentang batas aurat pun terus mengalami perubahan, dari aurat yang tadinya dibiarkan terbuka berubah menjadi tabu apabila terlihat, kemudian kembali terbuka dalam bentuk lebih halus seperti yang sering terjadi pada saat-saat sekarang ini.

Menurut Ahmad Mansyur Suryanegara pengaruh Islam tersebut akan lebih mudah dilihat pada busana pengantin dari berbagai suku yang memiliki pengaruh Islam cukup kuat. Pertama, keindahan busana pengantin laki-laki dan perempuan yang terdapat unsur pengaruh lingkungannya, baik motif hiasan, bahan dan warnanya. Kedua, unsur panjang pada tiap daerah di Indonesia yang sangat bervariasi. Ketiga, tudung kepala untuk laki-laki dan perempuan yang beraneka ragam. Menurutnya, besar kecilnya pengaruh Islam berakar pada sebuah komunitas di Indonesia saat awal masuknya Islam itu terlihat dari sedikit banyaknya pakaian adat suatu daerah yang menutupi bagian tubuh manusia. Sedangkan mengenai jilbab, Mansyur mengatakan bahwa itu adalah busana dengan ukuran yang mampu menutupi keburukan atau kekurangan tubuh serta tidak mengekspos perhiasan fisik.15

Pada kenyataannya, (tradisi) kerudung yang telah berkembang di Indonesia khususnya, dan negara-negara Melayu pada umumnya, ternyata memiliki makna yang sepadan dengan istilah khimâr pada zaman Rasulullah saw. Namun, proses menutup aurat tersebut sempat terhenti ketika Belanda melalui berbagai peraturannya mewajibkan setiap siswi untuk menggunakan rok ke sekolah-sekolah. Karenanya, tak heran apabila cukup banyak orang yang terkejut ketika isu jilbab dan baju kurung diangkat lagi ke permukaan. Mengenai hal ini Kees van Dijk mencatat bahwa:

Bangsa Belanda dan bangsa Eropa lainnya yang tiba di Hindia Belanda berkonfrontasi dengan bangsa Indonesia dalam hal gaya hidup Eropanya, termasuk dalam hal pakaian. Orang-orang Indonesia, yang telah berziarah ke pusat keagamaan Islam, dan orang-orang Muslim dari daerah pusat Islam lainnya, dari Saudi Arabia kini, Persia, Mesir dan India, memperkenalkan, mendorong, dan memodifikasi gagasan dan simbol religius berkaitan dengan cara bagaimana semestinya bagi seorang Muslim untuk berperilaku di masyarakat, termasuk norma-norma dalam berpakaian. Belakangan ini, lajunya telah meningkat secara drastis dan tingkat persentuhannya menjadi semakin intens, tetapi konfrontasi antara tiga kompleks pemikiran utama, perilaku, dan pakaian—Barat, Muslim, dan Indonesia—telah lama berlangsung, semenjak kontak pertama antara dunia Barat dan Muslim.

Di Indonesia, kontak dengan bagian-bagian dunia Islam lebih lama daripada dengan daratan Eropa; orang-orang Muslim telah meninggalkan bekas lama sebelum orang Belanda dan Eropa hadir dalam situasi ini. Oleh karena itu, pilihan antara mengenakan pakaian yang berdasarkan aturan Muslim atau budaya pribumi telah berlangsung amat lama.16

Demikian sejumlah peristilahan yang menandai berbagai bentuk hijab di dunia Islam. Selain itu juga, pemaparan sejarah evolutif pemakaian busana untuk menutupi kepala dan tubuh di Indonesia, dari pakaian adat yang terbuka, hingga lambat laun mulai tertutup. Berikutnya, kita akan masuk ke dalam kajian lapis demi lapis gejala khusus yang muncul pada tiga era secara global, yaitu mitologi, teologi, dan ideologi dari jilbab.

Mitologi Hijab

Ada asumsi menarik mengenai asal-usul kerudung atau jilbab yang diungkapkan oleh Nasaruddin bahwa dalam beberapa literatur Yahudi penggunaan kerudung berawal dari peristiwa dosa asal, yaitu peristiwa ketika Hawa menggoda suaminya, Adam, untuk memetik dan memakan buah khuldi, buah terlarang, yang mengakibatkan mereka berdua menjadi berdosa dan terusir dari Surga. Akibat peristiwa tersebut, dalam Kitab Talmud disebutkan Adam dan Hawa mendapatkan kutukan berupa 10 penderitaan.17 Salah satu bentuk kutukan terhadap perempuan adalah dia akan mengalami menstruasi. Maka, dalam rentang sejarah manusia, menstruasi dianggap sebagai sebentuk simbol—baik secara teologis maupun mitos—yaitu menstrual taboo. Dari sini pulalah para antropolog mengaitkan asal-usul penggunaan jilbab. Istilah menstruasi sendiri memiliki makna teologis,18 sebagaimana dijelaskan Owen:

Kata menstruasi (mens) berasal dari bahasa Indo-Eropa. Akar katanya adalah manas, mana, atau men, yang juga sering menjadi Ma. Artinya, sesuatu yang berasal dari dunia gaib kemudian menjadi “makanan” suci (divine food”) yang diberkahi, lalu mengalir ke dalam tubuh dan memberikan kekuatan bukan hanya pada jiwa, tetapi juga fisik. Mana juga berhubungan dengan kata Mens (Latin) yang kemudian menjadi kata mind (pikiran) dan moon (bulan). Keduanya mempunyai makna yang berkonotasi kekuatan spiritual. Dalam bahasa Yunani, Men berarti Month (Bulan).19

Menstruasi merupakan salah satu penderitaan (kutukan) yang harus dijalani oleh Hawa dan segenap kaumnya. Karena itu, perempuan yang sedang mengalami menstruasi dianggap sedang berada dalam suasana tabu dan darah menstruasinya (menstrual blood) dianggap sebagai darah tabu yang menuntut perlakuan khusus. Larangan melakukan hubungan seksual ketika seorang perempuan sedang menstruasi, terdapat di hampir semua agama, kepercayaan, dan adat istiadat. Bahkan, di kalangan Yahudi dan Kristen ada kepercayaan bahwa beberapa jenis makanan tidak boleh disentuh saat seorang perempuan sedang menstruasi, karena dikhawatirkan akan mencemari, terutama makanan atau minuman yang mengandung alkohol. Mengenai hal ini Grahn menjelaskan bahwa tatapan perempuan yang sedang menstruasi memiliki daya rusak  Sang Mata Kejahatan yang dapat menyebabkan gagal panen, membusuknya makanan, dan sakitnya anak kecil.20 Kepercayaan akan menstrual taboo mengakibatkan munculnya berbagai macam tanda dan isyarat yang harus digunakan oleh perempuan pada anggota badan tertentu agar masyarakat dapat terhindar dari pelanggaran terhadap menstrual taboo. Mengenai tabu tersebut Franz Steiner juga Evelyn Red menjelaskan lebih jauh:  

Istilah tabu atau taboo pada darah haidl … berasal dari rumpun bahasa Polynesia. Kata ta berarti tanda, simbol (mark) dan kata pu atau bu adalah keterangan tambahan yang menggambarkan kehebatan (intensity), lalu diartikan sebagai “tanda” yang sangat ampuh (marked thoroughly) … Taboo juga sering diartikan dengan “tidak bersih” (unclean, impure), tetapi juga diidentikkan dengan kata “suci” (holy) dan “pemali” (forbidden). Tabu juga sering dikacaukan pengertiannya dengan sakral (sacred) dan profane … Menstrual taboo sudah menjadi istilah yang umum digunakan dalam buku-buku antropologi yang berbicara tentang persoalan menstruasi.21

Dari menstrual taboo lahirlah apa yang disebut sebagai menstrual creation berupa kosmetik, sisir, selop, sandal, sepatu, pondok haidl, kerudung dan cadar. Pada mulanya, kosmetik hanya digunakan oleh perempuan yang sedang menstruasi dan terlarang bagi anak-anak yang belum menstruasi, orang yang sudah menopause, apalagi laki-laki. Kosmetik ini berfungsi sebagai isyarat tanda bahaya (signal of warning), agar tidak terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo serta sebagai penolak bala. Cara penggunaan kosmetik tersebut juga memiliki corak dan tata cara masing-masing pada setiap daerahnya. Selain itu, di beberapa kelompok masyarakat, perempuan yang sedang menstruasi tidak boleh menginjakkan kakinya ke tanah tanpa alas kaki (selop, sandal atau sepatu) untuk mencegah polusi dan malapetaka. Bahkan di beberapa daerah, alas kaki tersebut dibuat berat, berukuran kecil dan runcing, agar perempuan yang sedang menstruasi tidak bisa berjalan jauh ke mana-mana. Kemudian, pondok haidl, suatu pondok yang dibangun jauh dari perkampungan dan dikhususkan untuk perempuan yang sedang menstruasi agar mereka tidak membaur dengan masyarakat, termasuk keluarga dekatnya sendiri. Adapun cadar (hood) pertama kali digunakan untuk perempuan yang sedang menstruasi dan pengganti pondok haidl bagi perempuan dari kalangan raja atau bangsawan. Cadar tersebut berfungsi untuk menutupi pancaran mata terhadap cahaya matahari dan sinar bulan yang diyakini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan malapetaka bagi alam dan manusia. Nasaruddin menjelaskan:

Penggunaan kata “hut” dalam bahasa Inggris yang berarti “kerudung/cadar yang menutup bagian kepala sampai ke leher” dan kata hat yang berarti topi mempunyai kedekatan makna dan boleh jadi berasal dari satu akar kata dengan hut yang berarti “bangunan sementara” (temporary wooden house) bagi perempuan yang sedang menstruasi. Secara etimologis kata hut maknanya berkonotasi negatif, karena bisa juga berarti bangunan yang jelek (the house of rude construction). Sama dengan kata hood, selain berarti kerudung/cadar, juga berarti “penjahat” dan “buaya darat”. Karena itu, penggunaan dua kata yang disebut terakhir digunakan dalam konteks yang negatif pula.22

Epstein memaparkan bahkan dalam agama Yahudi muncul peraturan perempuan yang bepergian ke ruang publik tanpa menggunakan hijab menjadi penyebab sah bagi penceraian.23 Mungkin karena itu pula, maka Nur Veergin menunjuk ajaran agama lain, khususnya Kristen, sebagai penyebar penggunaan chador atau kerudung hitam panjang. Sebagaimana dinyatakannya “Kebiasaan itu datang dari Byzant (ajaran Kristen), ia datang dari Iran, tetapi ia jelas tidak diturunkan, tidak berasal dari budaya nasional Turki atau pun budaya Islam di Turki.”24

Di sisi lain Farzaneh Milani mengatakan bahwa perubahan dari pondok haidl menjadi jilbab adalah hasil perjuangan perempuan bangsawan, akan tetapi tidak ada data yang pasti mengenai kapan peralihan itu terjadi. Sedangkan menurut Navabakhsh, jilbab sudah menjadi bagian dari tradisi pra-Islam, bahkan 500 tahun SM jilbab sudah menjadi pakaian kehormatan bagi perempuan bangsawan di Kerajaan Persia. Lebih jauh lagi, dia menyatakan bahwa pada awalnya Al-Quran tidak menetapkan kapan perempuan harus dihijab dari lingkungan laki-laki. Apalagi hijab sebagai pengucilan perempuan sama sekali tidak dikenal sebagai fenomena sosial historis di masa Rasulullah. Baginya, saat itu hijab lebih sering diasosiasikan dengan gaya perempuan kelas atas di kalangan masyarakat petani dan para pendatang. Hal itu dipandangnya sebagai bagian dari tradisi pra-Islam di Syria dan adat di kalangan orang-orang Yahudi, Kristen, dan Sasania.25 Hal senada terlontar dari Fatimah Mernissi yang menyatakan bahwa jilbab dalam arti hijab untuk memisahkan perempuan dari masyarakat tidak dikenal pada masa Rasulullah. Hal tersebut baru dikenal dua abad setelah Rasulullah saw. wafat, khususnya saat Kitab Fikih mulai disusun dan setelah Islam meluas serta mengakomodir berbagai kultur dan mitos lokal, misalnya bekas wilayah kerajaan Persia dan Romawi yang memiliki peraturan tegas ihwal penggunaan jilbab.26 Sekali lagi, hal tersebut juga ditegaskan oleh Akbar S. Ahmed: 

Meskipun hijab, chador atau bahkan purdah tidak terdapat di masa awal Islam menurut pendapat beberapa cendekiawan, seiring perjalanan waktu busana ini mulai dikaitkan dengan Islam. Kebiasaan ini terasimilasi bersamaan dengan penaklukan masyarakat Persia dan Byzantium dan dianggap mencerminkan semangat Al-Quran. Mungkin benar penutupan diri dan pemakaian cadar mencerminkan perempuan kelas atas, perempuan urban yang berusaha melindungi diri dari pandangan mereka yang berkeliaran di pasar ataupun ladang-ladang pertanian. Namun, selama beberapa abad, kebiasaan ini menyebar ke bagian lain dalam masyarakat. Di kelompok-kelompok tertentu hal ini menyebar ke bagian lain dalam masyarakat. Di kelompok-kelompok tertentu, hal ini mendatangkan konsekuensi yang tidak menguntungkan. Perempuan di kota-kota kecil dan besar sering terkurung di rumah-rumah kecil dengan kontak sosial yang terbatas dan karena itu terhalang dari kehidupan masyarakat.27 

Pemaparan historis tersebut tentu akan mengundang polemik di masa ini, terlebih tatkala pemakaian busana semacam itu juga semakin marak belakangan ini. Kembali kepada pandangan bahwasanya jilbab itu berasal dari menstrual taboo sebagaimana dikemukakan oleh para antropolog di atas, bisa jadi sebenarnya merupakan sebentuk deviasi dari ajaran agama awal. Sudah biasa terjadi bagaimana ajaran suatu agama  pada awalnya memiliki makna transenden, jernih dan murni, karena masih diajarkan oleh tangan pertama secara langsung; tak ubahnya minum langsung dari mata air. Namun, setelah pembawa agama tersebut meninggal dunia, beberapa generasi berikutnya ajaran agama tersebut akan mulai terdeviasi, dan mulai muncul berbagai penambahan yang bahkan cenderung mengada-ada.28 Selain itu, bisa terlihat di era modern ini bagaimana orang di masa lalu seringkali dipandang tak ubahnya anak kecil dengan pikirannya yang naif. Nalar instrumentalistik khas modern membuat kita tak bisa menangkap makna puitis dari mitos sebagaimana dikemukanan Giambattista Vico, seorang pakar hukum terkemuka dari Italia, yang pada tahun 1725, menerbitkan buku berjudul Principi di Scienza Nuova d’intorno alla Comune Natura delle Nazioni (yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai The New Science). Salah satu gagasan pokok Vico dalam buku itu adalah:

“… persepsi pasti bahwa yang disebut sebagai manusia ‘primitif’, manakala dinilai sebagaimana semestinya, menyingkapkan dirinya sendiri bukan sebagai orang-orang yang bebal kekanak-kanakan dan barbar, tapi secara naluriah dan khas memberi tanggapan ‘puitis’ terhadap dunia, dikarenakan dia secara inheren memiliki ‘kebijaksanaan puitis’ (sapienza poetica) yang menerangkan tanggapannya terhadap lingkungannya dan menempatkan kesemuanya itu dalam bentuk ‘metafisika’ dari metafora, simbol dan mitos.”29

Demikian. Manusia modern macam kita seringkali terlalu gegabah dalam menilai berbagai mitos di masa lalu dikarenakan “… dengan sifat dasar keberadaban kita, maka kita (orang-orang modern) sama sekali tidak bisa membayangkan dan hanya bisa mengerti dengan susah payah sifat dasar puitis dari manusia-manusia pertama ini. (34)”30 Oleh karena itu, bisa jadi jilbab yang dianggap terlahir dari menstrual taboo merupakan jejak yang terbaca oleh para antropolog pada fase ketiga dari deviasi suatu ajaran agama, tatkala mitos di generasi awal malah ditafsirkan menjadi sedemikian harfiah dan konkret pada sekian generasi berikutnya, dan semakin bias saat dibaca dalam kajian modern yang seringkali mengandalkan nalar instrumentalistik saja.

Mitos, sebagai cara berpikir, memiliki makna lebih dalam daripada yang tampak secara fenomena, sedangkan perlakuan terhadap menstrual taboo memberi kesan lebih merupakan penafsiran harfiah kaku dan represif dari suatu ajaran agama yang lazimnya memiliki dimensi esoterik. Namun, dimensi ini seringkali sukar ditransmisikan sehingga mudah terkubur dalam perjalanan waktu, terdeviasi oleh benak manusia yang cenderung membatasi ide-ide yang universal, yang kehilangan mata air ajaran agamanya (mitos bisa juga mengalami hal serupa). Namun, melihat bagaimana ajaran mengenai pemakaian jilbab ternyata diakomodir oleh kitab-kitab suci, menandakan telah terjadi deviasi, bukan mitos (dalam arti awam). Dalam lintasan sejarah lazimnya telah terpola bagaimana deviasi akan dikoreksi serta dimurnikan kembali untuk kemudian terdeviasi kembali, kemudian dikoreksi dan dimurnikan kembali. Demikian seterusnya.

Melihat bagaimana sebuah kerudung atau jilbab cukup sering muncul di berbagai belahan bumi yang memiliki jejak dari ajaran agama-agama besar, bukan tidak mungkin bahwa kerudung atau jilbab tersebut memang termasuk bagian dari ajaran agama di masa awalnya dengan penyesuaian terhadap budaya. Dalam Islam, karakteristik alam dan budaya dari suatu bangsa tentu akan sangat mewarnai bentuk dari ajaran dan aturan agama yang ada di wilayah tersebut, khususnya masalah perilaku orientasi seksualitas para lelakinya (terutama apabila dikaitkan dengan penggunaan jilbab, atau lebih luas lagi, cara menutup aurat bagi perempuan); sebagaimana Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda, “Cadar yang sesungguhnya terletak di mata kaum lelaki.”

Dalam hal ini, budaya sebenarnya lebih merupakan proses pemaknaan, baik pada alam atau realitas eksternalnya, juga pada sistem sosial yang memiliki nilai-nilai adiluhung, baik pada identitas maupun kehidupan sehari-hari. Namun, tetap harus ada suatu pembedaan yang tegas antara kebiasaan sehari-hari berupa bentukan yang cenderung banal dengan budaya sebagai cerminan jiwa yang hakiki dari suatu bangsa serta mengandung nilai-nilai adiluhung, simbolik lagi transenden. Budaya membedakan dirinya dengan alam untuk menetapkan identitas keberadaannya, lalu melegitimasi diri dengan membandingkannya kembali pada alam serta menetapkan dirinya sebagai “yang alamiah” lebih sebagai “yang kultural” itu sendiri. Alam merupakan realitas mentah yang melingkupi suatu masyarakat. Betapa pun tak tersentuhnya, “yang alamiah” adalah makna yang dibentuk oleh suatu budaya bagi alam. Dengan kata lain, “yang alamiah” merupakan produk budaya, sedangkan alam itu sendiri adalah pra-kultural.31 

Hal ini nantinya akan terkait pula dengan orientasi seksual dari para laki-laki di tiap-tiap daerah. Perilaku dan ketertarikan secara seksual terhadap perempuannya pun berbeda-beda, sehingga melahirkan tabu yang berbeda-beda pula, namun tetap berada di seputar daerah erogen perempuan. Para perempuan di daerah gurun biasanya menggunakan bahan yang berlapis, menutupi wajah dan berbentuk terusan (untuk menghindari dehidrasi dan hilangnya panas tubuh) yang disesuaikan dengan kondisi alam, budaya, serta kebiasaan masyarakatnya. Sedangkan di daerah-daerah tropis yang biasanya cukup hijau dengan iklim yang sejuk, kebanyakan dari pakaian daerahnya sudah menutupi sebagian besar tubuhnya, dari mulai leher, lengan hingga ujung kaki. Tidak seperti para perempuan di gurun, para perempuan di daerah tropis biasanya hanya menggunakan kerudung yang digulungkan di kepalanya, serta pakaian yang biasanya terdiri dari dua potong kain untuk tubuh dan bagian kaki; yang juga disesuaikan dengan kondisi alam, budaya, dan kebiasaan masyarakatnya.

Selain itu, melihat uraian para antropolog di atas, terkesan penggunaan jilbab tidak terkait secara langsung dengan hasrat seksual laki-laki terhadap bagian-bagian tubuh perempuan yang terbuka. Hasrat yang tampak mencolok dari berbagai paparan antropolog di atas mengarah kepada hasrat untuk mengkonkritkan segala yang imaterial dari perkara transendental. Bagaimana menstrual taboo memiliki dampak langsung secara fisikal, dan pencegahannya pun melalui atribut-atribut fisikal pula, misalnya jilbab. Hasrat pengkonkretan ini bisa dilihat juga dalam agama Yahudi, misalnya tatkala Bani Israil mendatangi Nabi Samuel untuk memilihkan bagi mereka seorang raja seperti bangsa lain. Terlihat bahwasanya sulit sekali bagi Bani Israil untuk bisa hidup berbangsa dan bernegara dengan mengangkat Tuhan sebagai Rajanya. Mereka memerlukan sosok raja yang lebih konkret, yang memiliki istana dan singgasana, sebagaimana bangsa lainnya. Begitu pula halnya dalam agama Nasrani, dengan sosok Yesus yang mati di tiang salib. Penggambaran Tuhan yang antropomorfis seperti Yesus yang mati di tiang salib untuk menebus dosa umat manusia merupakan suatu hal konkret yang lebih mudah dihayati ketimbang Tuhan yang Maha Gaib, yang tak terinderai dan tak terbayangkan. Bukan tak mungkin hasrat pengkonkretan tersebut juga terjadi pada perkembangan mitologi yang berputar di sekitar permasalahan jilbab.

Teologi Hijab

Dalam Islam tak ada kaitan antara penggunaan jilbab dengan menstrual taboo (bahkan istilah ini sama sekali tidak dikenal), begitu pula perlakuan terhadap perempuan yang sedang menstruasi. Pada masa Rasulullah saw., perempuan dari kalangan Yahudi apabila sedang mengalami menstruasi, maka masakannya tidak dimakan dan mereka tidak boleh bersama keluarganya di rumah. Kemudian, datanglah seorang sahabat menanyakan perihal itu kepada Rasulullah saw., dan beliau pun diam untuk beberapa saat, dan turunlah ayat QS. Al-Baqarah [2]: 222.32 Setelah ayat itu turun, Rasulullah saw. bersabda “Lakukanlah segala sesuatu (kepada istri yang sedang haidh) kecuali bersetubuh.” Kaum Yahudi pun terkejut mendengar turunnya ayat ini, terkejut melihat bagaimana hal yang selama ini mereka tabukan ternyata dianggap sebagai suatu hal yang alami (adzan). Mereka pun bereaksi dengan mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh laki-laki itu (Nabi saw.) adalah suatu penyimpangan dari tradisi besar kita. Hal ini dilaporkan kepada Rasulullah saw. oleh Usaid Ibn Hudhair dan Ubbad Ibn Basyr, dan wajah Rasulullah saw. pun berubah karena tidak suka dengan reaksi kaum Yahudi tersebut.33 Kontak sosial dengan perempuan yang sedang mengalami menstruasi ini sering didemonstrasikan oleh Rasulullah saw., misalnya, beliau pun minum dalam satu bejana dengan ‘Aisyah yang sedang haidh; selain itu beliau saw. pun sering menegaskan berulangkali dalam hadis, misalnya, “Segala sesuatu dibolehkan untuknya kecuali kemaluannya (faraj).”

Adapun penggunaan hijab dalam ajaran agama Islam bermula dari usulan ‘Umar bin Khaththab sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah, “Apabila para isteri Nabi hendak buang air pada malam hari, mereka pergi ke tanah lapang. ‘Umar (bin Khaththab) mengusulkan kepada Nabi saw. supaya menyuruh para isteri beliau memakai hijab. Namun, Rasulullah saw. tidak berbuat apa-apa. Pada suatu malam Saudah binti Zam’a, istri Rasulullah, keluar waktu Isya, dan dia adalah seorang perempuan yang tinggi perawakannya. Lalu, ‘Umar menyapanya, ‘Hai, kami mengenal engkau, hai, Saudah!’ Dia menyapa, karena sangat mengharapkan supaya turun ayat hijab. Memang sesudah itu turun ayat hijab.” (HR. Bukhari) Kenapa ‘Umar bin Khaththab yang malah mengusulkan penggunaan hijab karena Rasulullah saw. sendiri menyebutkan ihwal ‘Umar dalam hadisnya: “Sesungguhnya sebahagian dari umatku itu orang-orang yang disampaikan berita (muhaddats), guru, dan ahli-ahli ilmu kalam. Dan, sesungguhnya Umar itu sebahagian dari mereka.” Hal ini dapat dilihat pula pada Asbabun Nuzul dari beberapa ayat-ayat Al-Quran yang ternyata turun atas usulan atau juga membenarkan usulan ‘Umar bin Khaththab. Secara fenomena, turunnya ayat-ayat dalam Al-Quran seolah dikarenakan berbagai pertanyaan yang dilontarkan kepada Rasulullah saw., sehingga Al-Quran seolah tersusun dari berbagai peristiwa yang kebetulan terjadi, atau juga atas usulan dari ‘Umar bin Khaththab. Ini sudah masuk pembahasan soal takdir; perkara  tersebut terlalu besar dan tidak relevan untuk dibahas dalam tulisan ini.34

Kembali ke permasalahan pakaian, pada kesempatan lain Rasulullah saw. pernah bersabda ihwal pakaian sebagai simbol dari Ad-Dîn—yang lagi-lagi dilekatkan kepada ‘Umar bin Khaththab. Dari Abu Sa’id Al-Khudri, katanya Rasulullah saw. bersabda: “Aku bermimpi dalam tidurku, seolah-olah aku melihat manusia dihadapkan kepadaku. Baju (qamis) mereka di antaranya ada yang sampai ke susunya dan ada pula yang kurang dari itu. Kulihat juga ‘Umar bin Khaththab dihadapkan kepadaku, sedangkan bajunya dihela-helanya karena sangat dalam.” Para sahabat bertanya: “Apakah takwil mimpi Anda itu?” Jawab Nabi saw.: “Ad-Dîn.” (HR. Bukhari)35 Ad-Dîn didirikan di atas iman dan amal shalih, yang biasa juga diistilahkan dengan taqwa.36 Karena itu, qamis ‘Umar bin Khaththab pun melambangkan ketakwaan, sebagaimana disebutkan dalam hadis lain “Iman itu tidak berpakaian. Pakaiannya ialah takwa, perhiasannya ialah malu, dan buahnya ialah ilmu.” (HR. Al-Hakim dan Abi Darda) Hadis ini juga menjelaskan apa dimaksud dalam ayat QS. Al-A’râf [7]: 26.37

Adapun untuk perkara iman sendiri, yang akan menjadi fondasi terdasar dalam permasalahan jilbab nantinya, dibahas secara komprehensif oleh Al-Ghazali.38 Iman itu berwujud cahaya, tempatnya dalam qalb, dan fungsinya untuk menerima petunjuk yang akan membimbing manusia menuju Shirathâl Mustaqîm (yaitu jalan orang-orang yang dianugerahi ni‘mat) dengan mengerjakan amal shalih. Ada perbedaan kualitas dan entitas yang signifikan antara mu‘min dan al-mu‘min, baik dalam Al-Quran maupun Al-Hadits, seperti perbedaan antara book (yang bisa merujuk ke buku secara umum) dan the book (yang merujuk pada suatu buku tertentu saja) dalam bahasa Inggris. Apabila seseorang telah mendapatkan cahaya iman, maka disebut sebagai mu‘min (atau mu‘minât). Sedangkan, apabila orang tersebut bertakwa (bentukan dari iman dan amal shalih; dan orangnya disebut sebagai muttaqîn, sedangkan jenjang tertingginya adalah al-muttaqîn), maka dia disebut sebagai al-mu‘min (atau al-mu‘minât), dan seminimal-minimalnya jenjang al-mu‘min adalah shalihîn.39 Selain itu, al-mu‘min merupakan orang-orang yang telah dianugerahi rahmat—minimal rahmat pertama40—sehingga digelari pula sebagai al-muthahharûn (lihat QS Al-Wâqi‘ah [56]: 79). Mengenai hal ini, dalam salah satu hadits yang dimuat dalam Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali diungkapkan, “Jika Allah telah memberimu rahmat, maka rahmat itu harus ditunjukkan di dalam hidupmu.” Mereka bertanya kepada beliau saw., “Bagaimana rahmat Allah itu harus ditunjukkan?” Beliau menjawab, “Dengan berpakaian yang bersih, berbau harum, memperputih rumah, menyapu halaman rumah, dan menyalakan lampu sebelum terbenam matahari, sehingga akan menambah keindahannya.”41

Rangkaian ayat Al-Quran dan hadis di atas berfungsi untuk menjelaskan aspek-aspek mendasar pembentuk landasan dari syariat Islam mengenai hijab serta subjek yang ditujunya, sehingga ayat mengenai hijab tersebut dapat lebih terpahami konteksnya sebagaimana tercantum dalam (QS. Al-Ahzab [33]: 59), (QS. Al-Ahzab [33]: 55), dan QS. An-Nûr [24]: 31.42 Al-mu‘minât adalah suri tauladan yang harus ditiru para mu‘minât, baik keberserahdiriannya, ketakwaannya, tingkah lakunya, bahkan hingga cara berpakaiannya, sebagaimana diungkap dalam hadis, misalnya “Barang siapa meniru-niru tingkah laku suatu kaum, maka dia tergolong dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud), kemudian “Manusia itu menurut agama temannya. Maka, hendaklah diperhatikan oleh seseorang kamu akan orang yang akan diambil menjadi teman.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Al-Hakim) Sedangkan, dalam hadis lain diungkapkan, “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan, kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Dari rangkaian hadis di atas bisa sedikit terjelaskan penyebab Rasulullah saw. pada saat itu melarang pakaian yang melewati mata kaki, karena itu mencerminkan kesombongan keagamaan, sehingga seolah-olah sang pemakai adalah orang yang agamanya sebagus ‘Umar, sementara ‘Umar secara jasadiah hanya mengenakan pakaian yang tak jarang ada tambalannya. Seperti itu juga larangan Rasulullah saw. tentang pemakaian sutra dan emas, karena itu adalah pakaian laki-laki penghuni surga. Karena itu, permasalahan keislaman seseorang tidak hanya dilekatkan pada penggunaan jilbab secara fisik saja, utamanya justru dalam peniruan akhlak dan tingkah laku seorang al-mu‘minât, hingga suatu hari bisa dimasukkan ke dalam golongan al-mu‘minat tersebut.

Sebagaimana dicatat Nasaruddin bahwa feminis seperti Fatimah Mernissi dan Riffat Hasan bisa saja menggugat keberadaan jilbab dan hijab dengan berbagai alasan kritis, tetapi dampak positif dari penggunaan jilbab tidak dapat mereka nafikan, seperti yang dikemukakan oleh Lama Abu Odeh:

“Bagi seorang feminis, keragaman seksualitas berhijab dapat menjadi sangat menarik dan menjanjikan interaksi dan dialog yang kaya dengan para perempuan yang berhijab. Posisinya secara bersesuaian akan menjadi lebih bernuansa dan beragam. Daripada mengabaikan mereka sebagai musuh, ancaman, kesadaran yang salah, ia dapat memandang mereka sebagai komunitas perempuan yang beragam, bercabang, nampak bersatu, yang berusaha untuk tetap bertahan dalam sebuah lingkungan yang tidak bersahabat bagi mereka sebagaimana pula baginya. Adalah sebuah keragaman yang mengundang percakapan antara ‘yang sama’, daripada keterpisahan dari ‘yang lain’.”43

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penggunaan jilbab telah banyak ditulis dalam berbagai literatur yang membahasnya secara panjang lebar, tetapi tetap dengan satu nafas yang sama bahwa jilbab tidak boleh menampilkan lekuk-lekuk tubuh perempuan, transparan, atau segala hal yang bisa mengundang syahwat bagi laki-laki yang melihatnya. Namun, ada hal-hal lain juga yang mesti dilihat secara hati-hati, misalnya perbedaan antara rapi dan bermegah-megah. Selain itu juga, predikat berlebihan tidak bisa serta merta ditempelkan terhadap segala bentuk yang dipandang (secara subjektif) mewah dan berkemilauan sebaba kezuhudan (yaitu, tidak mengisi qalb dengan kecintaan terhadap dunia) seringkali tersembunyi, seperti Nabi Sulaiman yang memang kaya raya, tapi tak mencintai kekayaan tersebut.

Namun, secara umum, hadis memberikan larangan mengenai cara berpakaian, di antaranya: “Rasulullah mengutuk laki-laki yang berpakaian seperti perempuan dan perempuan berpakaian seperti laki-laki. (HR. Adu Duad dan An-Nasa‘i), dan “Allah tidak akan melihat kepada orang yang berpakaian terlalu dalam sampai terseret di tanah, karena kesombongannya.” (HR. Bukhari), serta hadis yang termuat dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali, yaitu “Tiga orang tidak ditanyakan tentang mereka: laki-laki yang bercerai dari jama’ah orang banyak, laki-laki yang mendurhakai imamnya, lalu meninggal dalam berbuat maksiat. Maka, kedua orang itu tadi tidak ditanyakan halnya. Dan, perempuan yang suaminya tiada bersama dengan dia dan telah dicukupkannya untuk perempuan itu perbelanjaan dunia, lalu perempuan itu berhias di luar batas di belakangnya, maka tidak ditanyakan dari halnya. Dan, tiga orang tiada ditanyakan halnya, yaitu laki-laki yang bertengkar dengan Allah tentang selendang-Nya. Dan, selendang Allah itu ialah keagungan (al-kibria’), sarung-Nya ialah kemuliaan laki-laki yang dalam keraguan tentang Allah dan laki-laki yang putus asa daripada rahmat Allah.”

Ada catatan menarik yang dibuat oleh Nasaruddin mengenai makna dari warna serta motif jilbab yang digunakan oleh perempuan kaum Badui (Bedouin women) di kawasan Timur Tengah, selain juga penggunaannya yang dilakukan pada momen-momen tertentu. Dia menjelaskan bahwa:

“Perempuan yang sudah kawin menggunakan jilbab warna hitam dengan bahan ikat pinggang warna merah. Warna hitam pertanda simbol kelemahan manusia yang tidak luput dari kesalahan dan dosa, sedangkan warna merah adalah simbol penciptaan hidup (creation of life) yang diasosiasikan kepada darah menstruasi. Darah adalah simbol kehidupan (fertility symbol). Ketika terjadi pembuahan, darah menstruasi akan terhenti dan terwujudlah sebuah janin, jadi motif warna merah mempunyai teologi tersendiri. Kalau sedang bepergian jauh, mereka menggunakan jilbab hitam, dan pada acara-acara resmi, seperti pesta perkawinan, mereka menggunakan selendang hitam (black shawl/milaya).”44

Sedangkan mengenai cara berpakaian, bentuk dan warnanya, hadis menekankan aspek kesederhanaan karena dalam ajaran Islam senatiasa ditegaskan ihwal jalan pertengahan, suatu keseimbangan. Selain wujud penampakan luar yang memang harus diperhatikan, aspek dalam atau nafs manusia jauh lebih utama untuk diperhatikan, dipelihara, disucikan, serta “diberi pakaian” (baca: taqwa). Karena itu, pakaian, khususnya hijab, sebenarnya lebih merepresentasikan permasalahan akhlak dan kesucian nafs sang pemakai yang menuntut kesimetrian pada aspek luar atau jasadiah dan tingkah laku. Hal ini bisa dilihat dari rangkaian hadis yang dimuat kitab Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali sebagai berikut ini: (1) “Kebajikan semuanya dijadikan pada orang yang sedang (pertengahan)”; (2) “Pekerjaan yang terbaik ialah yang di tengah-tengah (sedang)”; (3) “Pakaian untukmu yang terbaik ialah yang berwarna putih, maka pakailah dan juga untuk mengafani mayat-mayatmu”; (4) “Sesungguhnya, aku adalah hamba, aku memakai pakaian, sebagaimana yang dipakai oleh hamba”; (5) “Bahwa Allah itu indah dan mencintai keindahan”; (6) “Bahwa Allah tiada memandang kepada rupamu dan hartamu. Sesungguhnya, Ia memandang kepada qalb-mu dan amalmu”; (7) “Wahai, Tuhanku, jadikanlah batiniahku lebih baik daripada zahiriahku. Dan, jadikanlah zahiriahku itu yang baik!”

Adapun dalam khazanah agama yang turun sebelum Islam, ada juga anjuran untuk menggunakan penutup kepala bagi perempuan, misalnya seperti yang tertulis dalam Kitab Injil 1 Korintus 11: 2-16.45

Dari uraian seputar permasalahan teologi jilbab tersebut mulai terlihat penggunaan pakaian secara umum, serta penggunaan jilbab secara khusus, terkait dengan permasalahan pengendalian hasrat maupun tingkat kesucian nafs. Segala macam penampilan yang dapat memancing hasrat, baik termanifestasikan maupun hanya bergemuruh dalam qalb, adalah perkara yang harus dihindari. Hasrat seksual terlarang bukan semata dihukumi tatkala terealisasi secara fisikal, tapi juga ketika mulai berkecamuk dalam dada. Pengendalian hasrat yang dianjurkan adalah hingga ke tingkatan lintasan hati. Namun, jangan dilupakan juga imajinasi seksual lelaki terhadap perempuan tetap bisa ‘menembus’ hijab yang dikenakannya.

Selain itu, tampak pula jilbab lebih merupakan atribut al-mu‘minât dengan kualitas nafs tertentu, sehingga penggunaannya pun selalu terkait dimensi esoteris. Secara eksoteris, jilbab memang memiliki dampak psikologis dan sosiologis yang tak bisa diabaikan, tapi tidak semua perkara dalam agama bisa dicocok-cocokkan maksudnya dengan basis material tertentu. Misalnya, sudah lazim umat Islam kebanyakan memaknai pengharaman memakan daging babi dikarenakan adanya cacing pita yang bisa menjadi bibit penyakit. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, kini bahaya cacing pita pada daging babi pun sudah bisa diatasi. Nah, apakah runtuhnya basis material berupa cacing pita tersebut akan membuat daging babi menjadi halal. Ataukah, jangan-jangan, umat Islam akan mencari-cari lagi basis material lainnya untuk bisa berargumentasi secara (pseudo)ilmiah tentang pengharaman tersebut? Permasalahannya, bisa jadi alasan pengharaman daging babi itu terkait dengan perkara yang sifatnya lebih transendental. Namun, seperti telah diutarakan di atas, apakah manusia akan kembali mengikuti hasrat pengkonkretannya atas berbagai perkara transendental tersebut?

Ideologi Hijab

Di bagian awal telah diperlihatkan bagaimana jilbab dalam penggunaannya di masyarakat pra-Islam ternyata banyak diselubungi oleh mitos mengenai menstrual taboo, mitos yang bisa jadi lebih dekat kepada fenomena deviasi ajaran agama yang kemudian merendahkan dan menindas perempuan. Adapun dalam Islam, penggunaan jilbab sama sekali tidak berhubungan dengan mitos menstrual taboo tersebut. Dalam Islam, jilbab merupakan representasi dari nafs al-mu‘minât yang telah dibersihkan (al-muthahharun), cahaya iman yang telah “diberi pakaian” takwa, dan karenanya jilbab juga merupakan representasi dari akhlak yang mulia serta keihsanan. Namun, dalam perubahan zaman, era di mana berbagai elemen peradaban semakin kompleks dan sistem kemasyarakatan mengarah ke globalisasi, maka makna jilbab pun berkembang, bahkan hingga ke arah yang tak terduga. Sehingga—meminjam kata-kata Yi-Fu Tuan—, “Kita tidak dapat tetap bermoral dalam segenap makna kata tersebut, maupun (kita tak dapat) menjaga proyek dan kreasi-kreasi kita—termasuk perkakas, perumahan, perkotaan, dan pertamanan—kesungguhan moral dalam bentuk apa pun, tanpa di suatu tempat di belakangnya terdapat sebuah dukungan dari suatu model realitas religius yang dirasakan amat mendalam.”46

Fenomena yang menarik dari maraknya penggunaan jilbab di Indonesia adalah gerakan tersebut justru dipelopori oleh mahasiswi di lingkungan perguruan tinggi non IAIN/UIN dan sekolah-sekolah menegah non pesantren sejak tahun 1980-an, sebagaimana dicatat oleh Kees van Dijk:

“Popularitas jilbab yang berkembang pesat sekali lagi telah mengangkat diskusi tentang apa yang merupakan tradisi Arab dan apa yang merupakan ajaran agama. Mereka yang membedakan kedua hal tersebut menemukan bahwa cadar jarang dikenakan oleh para mahasiswi di institusi-institusi perguruan tinggi Islam, tetapi mahasiswi di universitas sekuler kadang memilih untuk mengenakannya. Diperkirakan bahwasanya perwujudan Islam yang lebih ekstrim menemukan dukungannya pada mereka yang belum mendalami nilai-nilai Islam semenjak kanak-kanak, tetapi oleh mereka yang menemukan pentingnya Islam kemudian dalam kehidupan mereka.”47

Gejala ini sebenarnya memiliki kaitan erat dengan Revolusi Iran 1979 yang menetapkan seluruh perempuannya—termasuk turis asing yang sedang berkunjung ke negeri itu—untuk memakai jilbab apabila akan bepergian keluar rumah. Bahkan, pada saat itu, majalah-majalah berbahasa Inggris—seperti Yaumul Quds, Makjubah, dan lain sebagainya—menampilkan potret-potret perempuan anggun, terpelajar, pejuang, dan tokoh masyarakat dengan jilbabnya yang beraneka corak dan warna.48 Akbar S. Ahmed melihat proses kembalinya umat Islam kepada identitas primordial merupakan suatu cara memperoleh kembali martabatnya yang hilang, sebagaimana dinyatakannya, “Seorang perempuan mengenakan hijab atau seorang pria memelihara jenggot, keduanya berupaya mendapatkan kembali harga diri mereka. Mereka membuat pesan: dengan menonjolkan diri dan identitas mereka sendiri; mereka bermaksud menangkap kembali sedikit martabat yang secara mendalam diperlukan oleh semua manusia.”49

Di Turki tahun 1839, misalnya, ketika rezim Nasionalis-Sekuler pimpinan Kemal Ataturk berkuasa diterapkanlah institusi Tanzimat (reorganization) ketika simbol-simbol dan identitas lokal kembali diperkuat, jilbab dianggap sebagai identitas asing yang harus dilepaskan, bahkan thariqah Mawlawiyyah pun dilarang melakukan ritual tarian berputarnya. Namun, ketika rezim konservatif berkuasa, maka isu pertama yang diangkat adalah reislamisasi kaum perempuannya. Sedangkan di Indonesia, jilbab muncul dalam bentuk simbol yang memiliki banyak makna serta didasarkan pada pemahaman perempuan yang menggunakannya, bahkan Suzanne April Brenner berpendapat bahwa jilbab di Indonesia merupakan suatu peristiwa yang “seratus persen modern” dan perempuan berjilbab sebagai “suatu tanda globalisasi, suatu lambang identifikasi orang Islam di Indonesia dengan umat Islam di negara-negara lain di dunia modern ini … (serta) … menolak tradisi lokal, paling tidak dalam hal berpakaian; dan sekaligus si pemakai juga menolak hegemoni Barat, dan hal-hal lain yang terkait dengannya di Indonesia.”50

Pada awalnya, jilbab di Indonesia hanya dianggap sebagai simbol busana kaum pinggiran. Selain itu, pemakaiannya pun sangat dibatasi oleh ruang dan waktu, misalnya pada saat melayat, shalat tarawih berjamaah di masjid, atau pada hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Adapun perempuan yang mengenakan jilbab ke mana pun ia pergi biasanya adalah seorang perempuan yang sudah berhaji (hajjah). Tentu saja, hari ini hal tersebut telah mengalami perubahan yang cukup drastis, sebagaimana dicatat oleh Akbar, bahwa “Hijab pada tahun 1980-an dan 1990-an telah menjadi mode dan menjadi simbol identitas Muslim yang diakui di kalangan gadis-gadis muda. Mesti ditegaskan bahwa rasa takut dan tekanan dari rumah harus dihadapi para gadis yang mengenakan busana itu. Banyak gadis yang tetap mengenakannya meski mendapat tentangan di rumah. Hal itu merupakan cara yang sopan untuk mengatakan: di sinilah saya berdiri dan saya bangga karenanya.”51

Pernah seorang sahabat, yang nota bene aktivis feminis berkata, “Jilbab bagiku adalah sebuah pembebasan. Karena, dengan jilbab ini, aku bisa beraktivitas di masyarakat secara leluasa tanpa harus dipandang rendah oleh orang lain.” Feminisme lazimnya memprotes ihwal terlalu dominannya kepentingan laki-laki dalam melahirkan teologi, misalnya, benturan dengan penggunaan jilbab yang diasumsikan sebagai penjara bagi kaum perempuan. Namun, hal itu dibantah oleh sahabat tadi tatkala ditanya pendapatnya mengenai kontradiksi tersebut. Begitulah jilbab hari ini, pemaknaannya yang begitu beragam tampaknya lebih mendekati ke arah ideologis. Penelitian lapangan yang dilakukan oleh Karen W. Washburn, misalnya, memperlihatkan banyak sisi menarik mengenai landasan pemahaman personal akan penggunaan jilbab pada tiga orang perempuan yang bisa dianggap mewakili sekian banyak bentuk ‘ideologi’ jilbab.52

Dari tiga studi kasus yang dikemukakan oleh Washburn, kasus Noor adalah yang paling menarik. Noor kadang-kadang memakai jilbab dan kadang-kadang tidak, bergantung pada perasaannya serta keadaan. Bagi Noor, jilbab hanyalah suatu cara berpakaian, bukan sebagai suatu simbol agama yang dikaitkan dengan suatu state tertentu di nafs (seperti telah diuraikan di atas). Selain itu, Noor pun menyatakan dirinya sebagai feminis. Pengalaman lainnya yang dia alami adalah pernah dikira sebagai PSK ketika pulang dari kampus malam hari, padahal dia sedang mengenakan jilbab. Pola pemahaman dan penafsiran terhadap jilbab seperti yang dilakukan Noor ini merupakan salah satu bentuk pembacaan semiotis terhadap jilbab (walau dengan itu berarti melucuti dimensi esoterisnya).

Namun, selain ketiga studi kasus yang dikemukakan oleh Washburn itu, ada juga fenomena lain dari jilbab yang dapat dikategorikan sebagai fenomena gaya hidup pop, fenomena yang biasanya dikenal dengan nama kudung gaul, jilbab lontong, jilbab trendi, bahkan hingga jilboob. Perempuan yang mengenakan kudung gaul tersebut biasanya selalu mengenakan jilbab pada saat bepergian keluar rumah—berbeda dari Noor—tapi jilbab itu kemudian dikombinasikan dengan pakaian berupa sweater atau t-shirt yang kekecilan (body fit), sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuhnya, tergantung di atas pinggangnya, serta celana (jeans maupun katun) yang juga ketat (stretch atau hipster). Cara berpakaian ini memang sedang menjadi trend fashion yang seringkali diidentikkan sebagai pakaian anak gaul. Oleh karenanya, cara pandang mereka terhadap jilbab sering dihakimi sebagai sangat naif, banal dan permukaan sebab dalam pergaulan pun mereka dianggap mengikuti etika yang berlaku pada komunitas anak gaul, seperti cara berpacaran, kebiasaan jalan-jalan di mal, ngeceng, mendatangi jumpa fans atau konser idolanya dan berteriak-teriak histeris, bahkan dalam beberapa kasus ada yang hingga melakoni bercumbu bebas dan seks di luar nikah. Kudung gaul, dalam hal ini, dipandang sebagai sebentuk ideologi hibrid. Dalam bentuk apa pun, fashion dan hasrat untuk tampil sesuai trend selalu menemukan jalannya.

“Busana muslimah kian trendi,” begitu headline yang tertulis di sebuah koran nasional dan menandakan bahwa dunia fashion pada akhirnya melirik busana muslimah sebagai alternatif gaya. Misalnya seperti yang terjadi pada tanggal 10 Januari 1996 dengan digelar peragaan busana bertema “Tendensi Busana Muslim” yang bertempat di Puri Agung, Hotel Sahid Jakarta serta memperagakan karya-karya dari 12 desainer. Peragaan tersebut bisa dikatakan merupakan suatu terobosan baru di saat itu, suatu pergelaran besar yang menyajikan keanggunan dan kemewahan busana muslimah yang kemilau, yang dapat membuat seorang ibu menangis, karena kehabisan undangan seharga Rp45.000,00 (suatu harga yang cukup mahal untuk saat itu). Acara ini merupakan upaya adaptasi busana muslimah yang dulu diidentikkan dengan pakaian kaum pinggiran ke kalangan atas. Sebagaimana layaknya peragaan fashion, hanya 30% saja dari busana yang diperagakan dapat dipakai, sebab sisanya hanyalah untuk menarik perhatian saja. Atau, paling tidak, untuk melepaskan kreativitas sang desainer yang diungkapkan lewat karya-karyanya yang “unik”; suatu cara untuk menghindari kejenuhan akan model busana yang itu-itu saja.53 

Tentu saja kreasi-kreasi tersebut memang terlalu riskan untuk dikatakan memenuhi syarat-syarat yang digariskan dalam syariat Islam secara harfiah. Fenomena lainnya ialah pada saat ini pun relatif lebih mudah untuk menemukan showroom busana muslimah dengan berbagai koleksinya yang menarik. Harganya pun ada yang berkisar dari ratusan ribu hingga jutaan. Busana muslimah pun kini muncul dalam berbagai corak dan warna, bahkan juga dipadukan dengan berbagai corak etnik. Mengenai ini, Kees van Dijk mencatat,

“Kekayaan dan kerumitan juga tidak bebas dari pelanggaran-pelanggaran. Salah satu konsekuensi dari penekanan yang baru terhadap Islam adalah pengadopsian gaya busana Muslim—untuk pemakaian sehari-hari juga untuk peristiwa-peristiwa yang lebih seremonial—dan gaya busana Muslim memperlihatkan … Rok-rok yang panjang dan kepala yang berhijab—hiasan jilbab Muslim yang bergaya banyak dicari—tetapi ajaran yang paling ketat mengenai bahan-bahan pakaian Muslim yang pantas tidak dijadikan sebagai hukum. Pakaian-pakaian berwarna-warni cerah dan tidak selalu serba menyembunyikan. Muslimah di Indonesia, sebagaimana pernah dinyatakan dalam suatu pertunjukan semacam itu, ‘menginginkan busana yang menarik, nyaman, dan memungkinkan kebebasan gerak’. Pertunjukan busana Muslim diselenggarakan serangkai dengan pertunjukan ‘biasa’ lainnya, di mana pakaian yang sesuai dengan ajaran Islam dipertunjukkan sebagaimana juga dengan gaya-gaya lain yang lebih berani … Meski demikian, pertunjukan busana Muslim merupakan sebuah indikasi pergeseran gradual menuju nilai-nilai Islam, sebagaimana popularitas ‘Muslim pop’, wahana para artis dan penyanyi yang telah berubah menjadi religius.”54

Begitulah, gaya visual memang bisa menyatu dengan gaya hidup, sebab manusia tidak bisa lepas dari bahasa rupa, baik tiga dimensi maupun dua dimensi. Pada zaman tradisional masyarakat terbagi sangat jelas, baik melalui perhiasan ataupun pakaian. Peter York menyatakan bahwa dibandingkan dengan hari ini, orang zaman dulu hidup dalam penjara gaya, karena dalam masyarakat tradisi lama gaya visualnya relatif tidak banyak berubah. Adapun dalam sistem masyarakat modern batas-batas budaya lokal, nasional maupun regional dengan cepat menghilang karena arus gelombang gaya hidup global melalui media sangat mudah untuk berpindah-pindah tempat.55 Alvin Toffler menyatakan bahwa sekarang ini terjadi kekacauan nilai, yang diakibatkan oleh runtuhnya sistem nilai tradisional yang mapan, sehingga yang ada adalah nilai-nilai terbatas seperti kotak-kotak nilai yang disebutnya sebagai subkultur (sebagai akibat peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern). Toffler memandang gaya hidup merupakan alat yang dipakai oleh individu untuk menunjukkan identifikasinya dengan subkultur tertentu. Gaya hidup tersebut disusun dari mosaik beberapa item super-product yang menyediakan cara mengorganisir produk dan idea.56

Dalam perspektif ini, busana muslimah pun bisa dikategorikan sebagai gaya hidup yang menawarkan identitas sekaligus sarana untuk menghindari kebingungan dikarenakan begitu banyak pilihan. Namun, gaya hidup yang berkembang hari ini sangat beragam, mengambang dan tidak hanya dimiliki oleh suatu masyarakat khusus. Dengan kata lain, semua individu adalah konsumer yang bisa memilih dan membeli gaya hidupnya sendiri sesuka hati, sehingga terjadilah ketidakpastian nilai dan gaya hidup yang sejatinya ditawarkan oleh busana muslim. Karena sistem pasar gaya hidup inilah, maka perubahan radikal dan ironis dalam idiom busana muslimah pun terjadi secara paradigmatik maupun sintagmatik.

Hijab untuk bagian kepala biasanya berupa jilbab yang telah dijahit sedemikian rupa, tetapi secara paradigmatik bisa digantikan dengan sehelai kain, entah berupa kain saja, taplak, bahkan selimut (mengingat pada masa awal turunnya perintah jilbab ini banyak sekali kaum muslimin yang hidup sangat kekurangan), tapi tetap dengan mengindahkan syariat penutupan aurat. Sedangkan secara sintagmatik, hijab biasanya terdiri dari khimar, dir’, niqab dan burq, idzar, rida’, dan jilbab. Selain itu, secara sintagmatik pula, warna hijab membentuk idiom yang memiliki makna-makna spiritual, seperti warna hitam dan warna merah seperti yang telah diuraikan di atas. Warna-warna lain pun memiliki makna transendental seperti warna putih—warna yang dianjurkan oleh Rasulullah saw.—melambangkan kesucian nafs beserta keberserahdiriannya. Biru gunung lambang kehendak yang mantap, biru samudra lambang kebijaksanaan yang dalam, biru keungu-unguan lambang qalb yang rapuh tanpa kesetiaan, kuning gading lambang kerinduan yang dalam akan perintah Tuhan, dan sebagainya.

Sedangkan untuk saat ini, idiom hijab atau busana muslimah tersebut dapat diubah secara paradigmatik. Jilbab, misalnya, diganti dengan topi yang menutupi rambut saja, atau ciput yang biasanya hanya menjadi bagian dalam dari jilbab, atau bahan-bahan lainnya yang biasanya fashionable namun masih menampakkan bagian leher. Selain itu, misalnya lagi, secara sintagmatik jilbab dipadukan dengan sweater atau t-shirt body fit ditambah celana atau jeans yang ketat (stretch atau hipster). Selain itu, pemilihan warna pun dikombinasikan dengan pertimbangan matching atau tidak, sebatas estetika pop.57 Sebagaimana dicatat oleh Odeh:

“… Dan, ada pula mereka yang menggunakan warna-warni, malu-malu, tapi dengan berani, semakin menjadi lebih memasyarakat. Mereka mengenakan make-up dengan hijabnya. Mereka lebih kreatif, mengikuti gaya busana masyarakat, secara konstan berupaya melunakkan hijab. Mereka menciptakan beragam cara untuk mengikatkan scarf kerudung pada leher mereka, yang dengan sendirinya menjadi lebih berwarna-warni selain warna putih standar. Pakaian hijab yang longgar tiba-tiba menjadi sedikit lebih ketat, lebih berwarna, lebih berani dalam meniru busana Barat, bahkan jika hal ini tidak secara eksplisit memperlihatkan bagian tubuh perempuan. Kita dapat pula memperhatikan mereka di jalan-jalan bercakap-cakap dengan pria, berjalan-jalan dengan mereka, menumbangkan pemisahan yang dikedepankan oleh hijab terhadap perbedaan jenis kelamin.”58

Hal ini bisa dilihat pada kostum pramugari di berbagai penerbangan dunia Arab yang menggunakan kostum rancangan desainer Prancis yang tidak lagi terpaku pada norma motif maupun bentuk tradisional. Selain itu, desainer dalam pengungkapan fashion-nya biasanya selalu berpindah-pindah dalam memilih bagian tubuh yang ingin ditonjolkannya, dan umumnya yang menjadi perhatian adalah daerah-daerah erogen, seperti dada, pinggang, paha, pantat, kaki, tangan dan bagian tubuh lainnya yang selalu dikaitkan dengan keperempuanan. Prediksi Jean-Luc Godard luput ketika dia menyatakan “Bisa saja seseorang harus memilih antara etika dan estetika, akan tetapi apa pun yang dipilih, dia akan selalu menemukan yang lain di ujung jalan.”59 Senada dengan hal ini, Odeh mencatat: 

“… Andaikan kita dapat membekukan waktu tersebut dalam era 70-an, dalam upaya untuk memahami hubungan perempuan dengan tubuh mereka, kita akan menemukannya berlapis-lapis dan amat rumit. Dari satu sisi tubuh mereka nampak sebagai medan perang di mana perjuangan budaya masyarakat postkolonial berlangsung. Di sisi lain, busana Barat yang menutupi tubuh mereka membawa dengannya konstruksi kapitalis atas tubuh perempuan: yang terseksualisasi, terobjektivikasi, terbendakan, dan sebagainya … Namun, karena kapitalisme tidak pernah benar-benar menang dalam masyarakat postkolonial, ketika ia berhasil tinggal bersama dengan formasi-formasi sosial pra-kapitalis (tradisionalisme), tubuh-tubuh para perempuan ini juga secara simultan terkonstruksi secara ‘tradisional’: ‘terbendakan’, ‘termilikkan’, terteror sebagai wakil kehormatan (seksual) keluarga. Proses tinggal bersama (kohabitasi) dalam tubuh perempuan dari konstruksi ganda ini (yang kapitalis dan yang tradisional) dialami oleh para perempuan ini sebagai sesuatu yang senantiasa berselisihan. Yang awal seperti memaksa mereka untuk menjadi perayu, seksi, dan seksual, sementara yang terakhir menjadi pemalu, konservatif, dan aseksual. Yang awal didukung oleh atraksi pasar (konsumsi komoditas-komoditas Barat), yang terakhir didukung oleh ancaman kekerasan (sang perempuan amat disucikan, seringkali dengan kematian, jika ia mengorbankan kehormatan seksual keluarga).”60

Fashion pada dasarnya adalah antusiasme yang singkat terhadap sesuatu seperti pada gaya berpakaian. Gejolak tersebut datang dan pergi secara cepat dengan kekuatan tinggi sebagai suatu phantasmagoria—dan tak ubahnya musim dengan waktu sendiri. Selain itu, fashion pun merepresentasikan kecenderungan perilaku manusia yang berlangsung sangat singkat. Dalam masyarakat modern, fashion merupakan industri yang memutar faktor manusia dan modal yang kemudian menjadikannya sebagai kebutuhan industri sehingga terbentuklah pola-pola yang berkaitan dengan perkembangan fashion. Penilaian terhadap suatu komoditi (dalam hal ini adalah busana muslimah) ditentukan oleh pola pikir masyarakat yang berkembang pada saat itu yang dapat menular dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya melalui media sehingga mengembangbiakkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, makna-makna konotatif; inilah ideologi.

Studi konotasi dalam gaya hidup pop diulas secara rinci oleh Roland Barthes melalui semiologi dengan mengamati pengkeramatan yang berhasil mengubah budaya borjuis kecil sehingga menjadi berkesan universal, menyingkapkan konotasi yang pada dasarnya adalah mitos-mitos yang dibangkitkan oleh sistem tanda lebih luas yang membentuk masyarakat. Mitos-mitos menyelimuti hidup manusia dengan sedemikan halusnya justru, karena mereka tampak benar-benar alami. Konotasi, meskipun merupakan sifat asli tanda, agar dapat berfungsi membutuhkan keaktifan pembaca. Barthes membuat peta tentang bagaimana tanda bekerja.61

Hal ini dijelaskan lebih jauh oleh Barthes sebagai berikut,

Penanda-penanda konotasi, yang dapat kita sebut konotator, terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Secara alamiah, beberapa tanda dapat dikelompokkan bersama untuk membuat sebuah konotator tunggal—asalkan yang disebut terakhir tadi memiliki sebuah petanda konotator tunggal; atau dengan kata lain, satuan-satuan dari sistem terkonotasi tidak mesti memiliki ukuran yang sama dengan sistem yang tertandakan: fragmen-fragmen besar dari diskursus yang bersangkutan dapat membentuk sebuah satuan sistem terkonotasi tunggal (inilah kasus, sebagai contoh, dengan nada suatu teks, yang tersusun dari sejumlah banyak kata, tetapi maka dari itu merujuk pada sebuah petanda tunggal). Bagaimanapun caranya, ia dapat menutup pesan yang ditunjukkan, konotasi tidak menghabiskannya: selalu saja tertinggal ‘sesuatu yang tertunjukkan’ (jika tidak diskursus menjadi tidak mungkin sama sekali) dan konotator-konotator selalu berada dalam analisa tanda-tanda yang diskontinu dan tercerai-berai, dinaturalisasi oleh bahasa pemerlihat yang membawanya.

Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus; itu adalah, jika anda mau, sebuah fragmen ideologi. … Petanda-petanda ini memiliki suatu komunikasi yang amat dekat dengan budaya, pengetahuan, sejarah, dan melalui merekalah, demikian dikatakan, dunia yang melingkunginya menginvasi sistem tersebut. Kita dapat katakan bahwa ideologi adalah suatu form (dalam pemaknaan seperti Hjemslev) penanda-penanda konotasi, sementara retorika adalah form dari konotator-konotator.62

Pendek kata, konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Penggunaan tanda satu persatu dapat mengurangi kecenderungan anarkis penciptaan makna yang tak berkesudahan. Namun, di sisi lain, keanekaragaman budaya dan perubahan terus-menerus membentuk wilayah petanda konotatif yang bersifat global dan tersebar. Ideologi, secara semiotika, adalah penggunaan makna-makna konotasi tersebut di masyarakat, makna tingkat ketiga, seperti tergambar dalam bagan berikut.63

Secara sekilas bagan tersebut mengisyaratkan bahwasanya tak ada satu pun aktivitas penggunaan tanda yang bukan ideologi. Namun, sebenarnya tidak seperti itu. Ideologi, pada dasarnya, adalah sistem kepercayaan yang dibuat-buat, suatu kesadaran semu yang kemudian mengajak (interpellation) kepada individu-individu untuk menggunakannya sebagai suatu “bahasa”, sehingga membentuk orientasi sosialnya dan kemudian berperilaku selaras dengan ideologi tersebut. Sebagaimana dinyatakan Louis Althusser bahwa “… Apa yang sebenarnya ditunjuknya adalah suatu himpunan relasi-relasi yang ada, tidak seperti suatu konsep ilmiah, ia tidak menyediakan kita dengan sebuah alat untuk mengetahuinya. Dalam suatu cara khusus (ideologis), ia menunjukkan beberapa eksistensi, tetapi tidak memberikan kita esensinya.”64

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, jilbab adalah pakaian yang diwajibkan bagi al-mu‘minât (dengan kesadaran iluminatifnya) sebagai representasi dari qalb-nya yang tercahayai serta nafs-nya yang tersucikan. Apabila jilbab masih berupa sistem penampakan, entah fashion, simbol keagamaan, wacana (dekonstruksi) maupun kesadaran semu, maka pada tataran tersebut bisa jadi jilbab masih merupakan kesadaran ideologis yang sangat rentan terhadap permainan semiotis. Sebagaimana dinyatakan kembali oleh Althusser:

“Bukanlah keinginan akan objek-objek yang mendorong fetisisme komoditi, tapi keinginan untuk suatu kode … Inilah artikulasi mendasar dari proses ideologis: bukan dari proyeksi kesadaran yang teralienasi ke dalam berbagai superstruktu. Namun, dalam generalisasi pada seluruh tingkatan dari suatu kode struktural65… [Maka, ideologi] bukanlah suatu tipuan misterius dari kesadaran; ideologi adalah suatu logika sosial yang disubstitusikan untuk lainnya (dan yang menyelesaikan kontradiksi yang sebelumnya), sehingga mengubah definisi dari nilai itu sendiri.66 Ideologi adalah sihir dari kode yang membentuk ‘dasar dominasi’ … [Ideologi] tampak sebagai semacam selancar kultural berbuih di atas tepian pantai ekonomi.”67

Permainan tanda dalam busana kini pun telah menjadi ajang perjuangan akan pluralitas dan identitas. Namun, sering pula terjadi pencurian tanda dari suatu kode yang telah mapan dan diberi makna baru yang, tak jarang, ironis. Hal ini dijelaskan oleh Dick Hebdige:

“Perjuangan di antara diskursus, definisi dan makna yang berbeda di dalam ideologi. Oleh karena itu, pada saat yang sama, hal itu selalu merupakan sebuah perjuangan di dalam signifikansi: sebuah perjuangan untuk pemilikan tanda yang meluas, hingga bidang-bidang yang paling mendunia dari kehidupan sehari-hari … [objek-objek] dapat disesuaikan secara ajaib; ‘dicuri’ oleh kelompok-kelompok subordinat dan dibuat membawa makna-makna ‘rahasia’: makna-makna yang menyatakan, dalam kode, sebentuk resistensi terhadap aturan yang menjamin subordinasi mereka yang berkelanjutan.”68

Hijab sebagai busana muslimah kini mengalami perkembangbiakan dalam bentuk permainan tanda yang lebih halus. Jilbab tidak lagi dikaitkan mitos yang mengkonkretkan (kebalikan dari mitos sebagai sapienza poetica), tidak pula dengan berbagai tabu, akan tetapi dengan citraan atau, dalam bentuk yang lebih sophisticated, wacana dekonstruksi (syariat). Seperti yang juga terjadi pada Hippies, Punk, dan lainnya, jilbab pun tidak terlepas dari sentuhan Raja Midas kapitalisme yang mengubahnya menjadi kode-kode dalam bentuk komoditi yang bebas dikonsumsi. Di dunia bisnis dan hiburan, busana muslimah seringkali muncul sebagai penanda dari perayaan hari-hari keagamaan dalam Islam. Hal ini memang lazim, karena pakaian cenderung dipakai sebagai representasi ideologi dalam “demokrasi selera” yang menawarkan sekian banyak pilihan gaya hidup. Permainan semiotis dari simbol-simbol keagamaan tidak hanya terjadi pada hijab saja. Contoh lain adalah seperti penggunaan peci haji yang secara sintagmatik dipadukan dengan kode busana gaul lainnya, sehingga menghasilkan citraan baru. Atau, janggut yang tak jarang diidentikkan dengan Islam fundamentalisme, kini juga menjadi kode milik anak gaul dengan cara diberi warna-warna yang menyolok. Makna-makna kebudayaan yang adiluhung itu seringkali malah menjadi beban bagi gaya hidup pop, apalagi makna-makna transendental. Baudrillard menyatakan bahwa dalam hal ini: “Tidak ada kesejatian objek dan denotasi tidak akan pernah lebih dari sekadar konotasi-konotasi yang paling molek …. Fungsi(onalitas) bentuk-bentuk, objek-objek, menjadi lebih tak terpahami, tak terbaca, tak terhitung, setiap hari.”69

Barthes, yang ingin menghancurkan gagasan bahwa tanda itu bersifat alami, pernah menganalisis bagaimana kaitan antara pakaian, tabu dan tanda yang ingin dikomunikasikan oleh si pemakai kepada masyarakat. Dia mengemukakan bahwa tabu-tabu pada gaya berpakaian bukanlah suatu batasan akan kebebasan manusia, melainkan tabu itu memperingatkan bahwa jenis-jenis pakaian tertentu akan menciptakan suatu citra diri sang pemakai dalam pandangan orang lain. Orang bisa saja mengabaikan peringatan ini, tapi dia harus menjalani konsekuensi dari citra yang diciptakannya di dalam benak-benak orang lain yang melihatnya. Tak jarang bahwa citra yang diciptakan dari suatu gaya berpakaian yang asing memang bertujuan untuk menarik perhatian orang lain, seperti gaya punk yang menantang orang lain dengan anting, peniti, rantai dan kalung anjing, serta gembok. Atribut-atribut tersebut sangat riskan untuk menimbulkan rasa sakit bagi para pemakainya, sangat mudah bagi orang lain untuk menyakitinya dengan memegang dan menarik atribut-atribut tersebut dari tubuh mereka. Namun, pada kenyataannya, nyaris tak ada orang yang iseng melakukannya. Dalam hal ini, kudung gaul bisa jadi ingin menciptakan kode yang menyatukan modernitas dengan religiusitas. Barthes mengajukan bahwa manusia itu senantiasa menyadari efek dari cara berpakaiannya terhadap orang lain, tapi mereka selalu mencoba berpura-pura bahwa cara mereka berpakaian itu sangat alami dan spontan. Mereka sebenarnya mengekspresikan kesadaran dan pilihan yang secara gaya hidup telah ditentukan serta cara mereka ingin dilihat oleh orang lain.

Odeh pun memberikan ilustrasi bagaimana dengan berjilbab seorang perempuan dapat terhindar dari pelecehan seksual (sexual harassment), terlindung dari perkataan dan perlakuan yang tidak senonoh terhadap dirinya dibanding dengan perempuan yang berpakaian terbuka seperti yang dikemukakannya “Kesediaan seorang perempuan untuk mengemukakan keberatan terhadap gangguan pria, sangatlah berbeda ketika ia berhijab. Rasa ‘untuk tidak tersentuh’ dari tubuhnya biasanya lebih kuat daripada seorang perempuan yang tidak berhijab.”70 Demikianlah. Pandangan yang lazim berkembang saat ini adalah pembedaan alam/budaya (nature/culture). Misalnya, makan itu alam, sedangkan apa yang dimakan adalah budaya. Dalam hal ini, segala yang terkait dengan agama pun diyakini sebagai bagian dari budaya, dan karena itu hanyalah konstruksi sosial semata, tak ada realitas lain di baliknya, selain konstruksi wacana agama saja. (Namun, bukankah alam pun adalah konstruksi. Pemahaman manusia kontemporer akan tubuh, lautan, gunung, bumi, ruang angkasa, pada kenyataannya, berasal dari konstruksi sains yang berkembang dari abad ke-16.) Begitu pula dengan pandangan yang menyatakan bahwa jilbab itu hanyalah konstruksi budaya semata, tetapi, di sisi lain, bisa juga menjadi rezim.

Penutup

Tidak perlu merangkai kata-kata hingga menjadi kalimat demi mewakili ide, juga tidak perlu membicarakannya melalui alat-alat suara demi menyampaikan sebuah maksud. Adalah tubuh dan segala sesuatu yang dipakaikan ke tubuh itulah yang akan membentuk kata-kata atau alat untuk menyampaikan ide. Pakaian merupakan ekspresi dari suatu jalan hidup, sedangkan hijab, khususnya, merupakan representasi kesucian nafs. Namun, simbol dapat dipandang sebagai wadah kosong yang bisa diisi dengan petanda apa pun. Oleh karena itu, Washburn pun mengategorikan jilbab sebagai personal symbol yang membawa makna, baik di tingkat personal maupun kebudayaan, karena tidak semua orang memakainya.71 Secanggih-canggihnya semiotika membeberkan wacana jilbab, tetaplah sulit untuk bisa mewakili keseluruhan fenomena jilbab yang ada hari ini dikarenakan hal tersebut selalu berkaitan kepribadian si pemakai beserta hasrat dan pemaknaan subjektifnya. Jilbab dalam basis teologinya kini senantiasa berada dalam dilema ketika berhadapan dengan media dan gaya hidup pop, juga berhadapan dengan persimpangan jalan antara nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai gaul.

Demikianlah sekilas perjalanan jilbab dari mitologi, teologi hingga ideologi. Tampaknya pola sejarah manusia memang berjalan ke arah yang semakin halus. Tak ada lagi perbudakan manusia secara fisik di dunia ini, yang kemudian berganti pola menjadi apa yang biasa dikenal sebagai hegemoni. Tak ada lagi fetisisme terhadap berhala, berganti menjadi fetisisme terhadap komoditi dan citraan yang dikandungnya. Begitu pula halnya dengan hijab sebagai simbol keagamaan, pergeseran yang dialaminya bukan lagi berupa mitos yang dikonkretkan, atau tabu yang menekan perempuan, akan tetapi bergerak ke arah yang semakin halus berupa permainan semiotik atau pembacaan berbasis wacana yang semakin sophisticated. Dalam garis tipis halus dan licin itulah manusia meniti jalannya.[]


FOOTNOTE

  1. Ini merupakan artikel pertama yang saya buat pada tahun 1996. Semenjak itu telah direvisi belasan kali hingga saat ini. Versi panjang pertama pernah dimuat di Jurnal Pemikiran Islam, International Institute of Islamic Thought – Indonesia, Vol. 1, No.1, Maret 2003. Kemudian direvisi lagi dan dimuat dalam Alfathri Adlin (ed.), Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multiperspektif, Yogyakarta: Jalasutra, 2006. Tulisan ini juga muncul di situs http://ferysyifa.tripod.com/hijab.htm tanpa izin penulis serta diganti judulnya menjadi “Tersimpuh di Balik Hijab: Menyisir Mitologi, Teologi dan Ideologi Jilbab (Untuk Adikku Sayang..!) dengan dihilangkan nama saya sebagai penulisnya. Adapun versi revisi terakhir ini diselesaikan pada tanggal 23 Oktober 2020, bertepatan dengan hari ulang tahun istri tercinta.
  2. Disadur dari Javad Nurbakhsh, Wanita-Wanita Sufi, Bandung: Mizan,1996.
  3. Disadur dari liputan di koran Republika, tahun 1996, namun saya lupa mencatat hari dan tanggalnya.
  4. Lihat Nasaruddin Umar, “Antropologi Jilbab”, dalam Ulumul Qur’an, no. 5, vol. VI, Lembaga Studi Agama dan Filsafat bekerjasama dengan Pusat Peranserta Masyarakat: Jakarta, 1996, hlm. 36.

  5. Louis M. Epstein, Sex, Laws and Customs in Judaism, New York: Ktav Publishing House, Inc., 1967, hlm. 36.

  6. Ilyas Islam, The Hijâb in the Qur’ân, sebuah artikel yang saya dapatkan dari internet, namun kini sudah tidak ada lagi. Saat mengutipnya sekian tahun lalu, saya masih belum tahu seperti apa semestinya pencantuman sumber dari internet, terlebih ini merupakan tulisan pertama yang saya buat dengan belajar secara otodidak.

  7. Ilyas, The Hijâb.

  8. Nasaruddin (1996), dikutip dari Abdul Halim Abu Syaqqah, Tahrir al-Ma’rah fi ‘Ashr al-Risalah, Juz IV, Darul Qalam lil-nasyr wal-Tauzi’: Mesir, hlm. 54.

  9. Ilyas, The Hijâb.

  10. Ilyas, The Hijâb.

  11. Ilyas, The Hijâb.

  12. Farzaneh Milani, Veils and Words: The Emerging Voices of Iranian Women Writer, New York: Syracuse University, 1992, hlm. 20.

  13. Milani (1992), hlm. 37.

  14. Lihat Beryl Causari Syamwil dalam “Busana Muslimah kian Trendi”, Republika, Minggu, 28 Januari 1996, hlm. 4.

  15. Ahmad Mansyur Suryanegara, “Membudayakan kembali Libasut Taqwa di Indonesia”, Diskusi Busana Muslimah, Festival Istiqlal 1991, 29 Oktober, Hotel Borobudur Intercontinental, Jakarta.

  16. Dijk, Kees van, “Sarong, Jubbah, and Trouser”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances: Dressing State & Society in Indonesia, Leiden: KITLV Press, 1997, hlm. 43.

  17. Nasaruddin (1995), hlm. 37. Lengkapnya, penderitaan itu adalah sebagai berikut, bahwa bagi Adam beserta seluruh kaumnya kutukannya adalah:

    1. Sebelum terjadi kasus pelanggaran (spiritual decline) postur tubuh laki-laki lebih tinggi dari pada bentuk normal sesudahnya.
    2. Laki-laki akan merasa lemah ketika ejakulasi.
    3. Bumi akan ditumbuhi banyak pohon berduri.
    4. Laki-laki akan merasa susah dalam memperoleh mata pencarian.
    5. Laki-laki pernah makan rumput di lapangan rumput, tetapi Adam memohon kepada Tuhan agar kutukan yang satu ini dihilangkan.
    6. Laki-laki akan memakan makanan dengan mengeluarkan keringat di alisnya.
    7. Adam kehilangan ketampanannya yang menakjubkan yang telah diberikan Tuhan kepadanya.
    8. Ditinggalkan oleh ular yang sebelumnya telah menjadi pembantu setia laki-laki.
    9. Adam dibuang dari taman Surga dan kehilangan status sebagai penguasa jagat raya.
    10. Laki-laki diciptakan dari debu dan akan kembali menjadi debu. Ia ditakdirkan untuk mati dan dikubur.

    Sedang bagi Hawa beserta seluruh kaumnya kutukannya adalah:

    1. Wanita akan mengalami siklus menstruasi, yang sebelumnya tidak pernah dialami oleh Hawa.
    2. Wanita yang pertama kali melakukan persetubuhan akan mengalami rasa sakit.
    3. Wanita akan mengalami penderitaan dalam mengasuh dan memelihara anak-anaknya yang membutuhkan perawatan, pakaian, kebersihan, dan pengasuhan hingga dewasa. Ibu merasa risih manakala pertumbuhan anak-anaknya tidak seperti diharapkan.
    4. Wanita akan merasa malu terhadap tubuhnya sendiri.
    5. Wanita akan merasa tidak leluasa bergerak ketika kandungannya berumur tua.
    6. Wanita akan merasa sakit pada waktu melahirkan.
    7. Wanita tidak boleh mengawini lebih dari satu laki-laki.
    8. Wanita masih akan merasakan hubungan seks lebih lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi.
    9. Wanita sangat berhasrat melakukan hubungan seks terhadap suaminya, tetapi amat berat menyampaikan hasrat itu kepadanya.
    10. Wanita lebih suka tinggal di rumah.
  18. Salah satu pembahasan yang cukup menarik, misalnya, bisa dibaca pada tulisan Robin Edgar berjudul “Red Moon Rising: Menstrual Symbolism in Total Lunar Eclipses” yang awalnya merupakan tulisan yang bisa dibaca gratis di sebuah situs, namun kini telah menjadi buku yang diterbitkan independen oleh penulisnya sendiri.

  19. Lara Owen, Her Blood is Gold: Celebrating the Power of Menstruation, San Francisco: Harper, 1993, hlm. 29.

  20. Judy Grahn, Blood, Bread, and Roses: How Menstruation Created the World, Boston: Beacon Press, 1993, hlm. 87.

  21. Nasaruddin (1995 & 1996), hlm. 78 & 43, dikutip dari beberapa sumber yaitu Franz Steiner, Taboo, London: Penguin, 1956, hlm. 32; Evelyn Red, Woman’s Evolution, New York: Pathfinder, 1993; Thomas Buckley & Alma Goettlieb, Blood Magic: The Anthropology of Menstruation, Berkeley: University of California Press, 1988, hlm. 7.

  22. Nasaruddin (1995), hlm. 78.

  23. Epstein (1967), hlm. 41.

  24. Akbar S. Ahmed, Living Islam: Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand Hingga Stornoway, alih bahasa oleh Pangestuningsih, Bandung: Mizan, 1997, hlm.233.

  25. Mustafa Hashem Sherif, “What is Hijab”, dalam Journal the Muslim World, vol. LXXVIII, no. 2, hlm. 157.

  26. Nasaruddin (1996), hlm. 39.

  27. Akbar S. Ahmed (1997), hlm. 232-233.

  28. Di sebuah biara tua, hiduplah seorang Guru Zen bernama Tao. Di sekitar biara tersebut, hidup seekor kucing yang sangat jinak kepada Guru Tao. Kucing itu selalu mengikuti ke mana saja Guru Tao pergi. Suatu hari, ketika Guru Tao berceramah, kucing itu mengikuti Guru Tao ke dalam biara, sehingga mengganggu kegiatan ceramah. Guru Tao pun memerintahkan kepada muridnya agar mengikat kucing itu di luar biara selama ia berceramah. Hal ini terjadi berulang kali. Bertahun-tahun kemudian, ketika Guru Tao telah meninggal dunia, kucing yang sama diikat di luar biara ketika ada yang berceramah. Dan akhirnya kucing itu pun mati juga. Selepas kematian kucing tersebut, dicarilah kucing-kucing lain untuk diikat di luar biara selama ceramah. Hal ini dilakukan secara turun menurun tanpa ada seorang pun tahu hubungan antara kucing dan ceramah. Tidak ada seorang pun yang mempunyai nyali untuk bertanya selain meneruskan tradisi tersebut.

  29. Terrence Hawkes, Structuralism and Semiotics, London: Routledge, 1988, hlm. 2.

  30. Hawkes (1988), hlm. 2. Nomor dalam setiap kutipan seperti ini merujuk kepada pasase dari The New Science karya Vico sebagaimana tercantum dalam terjemahan yang direvisi dalam edisi ketiga, oleh Thomas Goddard Bergin dan Max Harold Fisch (1968), Ithaca and London: Cornell University Press.

  31. Lihat Hawkes (1988).

  32. Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS Al-Baqarah [2]: 222)

  33. Abû Al-Fida Ismail Ibnu Katsir, Tafsir AlQuran Al-Adzim, Beirut: Darul Al-Fikr, 1986, hlm. 259.

  34. Di antara sekian banyak sahabat Rasulullah saw., ‘Umar bin Khaththab adalah orang yang—sebelum masuk Islam—terkenal sangat keras, dan bahkan dikatakan pernah mengubur hidup-hidup putri kandungnya sendiri. Namun, setelah masuk Islam, sikapnya tetap keras dan tegas, akan tetapi kali ini sebaliknya, mengandung banyak hikmah dan mengagumkan. Terkait turunnya beberapa ayat Al-Qur’an atas usulan atau juga membenarkan usulan dari ‘Umar bin Khaththab itu dikarenakan dia adalah seorang muhaddats sebagaimana diungkapkan dalam salah satu hadits. Ini bukan berarti ‘Umar lebih tinggi dari Rasulullah saw. Dalam sirah nabawiyah tercatat ketika Rasulullah saw. menjanjikan akan menjawab pertanyaan orang Yahudi keesokan harinya. Namun, hingga hampir seminggu tak ada wahyu turun untuk menjawab pertanyaan tersebut. Lalu, turunlah ayat yang menegur beliau saw., agar senantiasa mengatakan ‘Insya Allah’ saat menjanjikan sesuatu. Sebagai Nabi dan Rasul, beliau saw. tak ubahnya seruling yang di bagian tengahnya kosong dan hanya berbunyi apabila Sang Pemilik memainkan serta membunyikannya. Di sisi lain, sebagai salah satu umat Rasulullah saw, sebagai seorang muhaddats, ‘Umar hanya mengusulkan suatu perkara yang kiranya memerlukan hukum serta pemecahan dari Allah dan Rasulullah saw. Dalam hadits lainnya diungkapkan bahwa “Seandainya ada nabi sepeninggalku (Rasulullah saw.), tentu ‘Umarlah orangnya.”

    Ibn ‘Arabi pernah menjelaskan bahwasanya ada dua jenis khalifah, yaitu khalifah Rasul dan khalifah Allah. Khalifah Rasul adalah khalifah yang apabila menemukan suatu kasus dalam masyarakatnya, maka dia akan merujuk pada kasus serupa yang pernah terjadi di masa nabi atau rasul sebelumnya. Sedangkan, khalifah Allah adalah mereka yang memiliki ‘ain (mata air) hukum dalam dirinya, dan dia bisa mengambil hukum langsung dari Allah. Ibn ‘Arabi menyebutkan bahwa hingga masa dia hidup, baru ada dua khalifah Allah, yaitu ‘Umar bin Khaththab dan ‘Umar bin Abdul Aziz. Jika diamati dalam riwayat hidup ‘Umar bin Khaththab, akan terlihat bahwa dia membuat banyak kebaruan sehingga bisa menjelaskan apa yang Ibn ‘Arabi maksudkan ihwal ‘Umar bin Khaththab sebagai khalifah Allah.

    Misalnya, apabila selama hidupnya Rasulullah saw. hanya melakukan shalat tarawih berjamaah sebanyak 10 kali, maka di masanya, ‘Umar melazimkan shalat tarawih berjamaah tersebut sebulan penuh. Apabila pada masa Rasulullah tahapan untuk mencapai talak tiga itu cukup lama, maka oleh ‘Umar dinyatakan bahwa apabila seorang suami berkata kepada istrinya “Kamu saya cerai, cerai, cerai” sebanyak tiga kali berurutan, maka jatuhlah talak tiga kepada istrinya. Ibn ‘Arabi pernah menjelaskan bahwa salah satu hukum paling luar biasa dalam sejarah Islam adalah hukum nikah mut‘ah yang 14 kali diberlakukan dan dibatalkan semasa Rasulullah masih hidup. Lalu, hukum itu ditutup untuk selama-lamanya oleh ‘Umar bin Khaththab. Dan, masih banyak lagi ‘kebaruan’ yang ‘Umar bin Khaththab lakukan semasa hidupnya.

    Bukan hanya itu. Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, “Umar bin Al-Khathab meminta izin kepada Rasulullah, sementara itu dalam majelis beliau banyak sekali wanita-wanita Quraisy yang bicara kepada beliau dengan suara keras yang melebihi suara beliau. Ketika ‘Umar bin Al-Khathab meminta izin masuk, maka mereka bangkit dan buru-buru mengenakan hijab (penutup seluruh tubuh) kemudian Rasulullah mengizinkannya masuk, maka ‘Umar masuk sementara Rasulullah tertawa, maka ia berkata, ‘Semoga Allah membukakan gigimu (untuk tertawa) wahai Rasulullah.” Nabi saw. bersabda, “Aku kagum dengan wanita-wanita yang berada dalam majelisku ini, tatkala mereka mendengar suaramu maka dengan cepat mengenakan hijabnya.” ‘Umar berkata, “Padahal engkau paling berhak ditakuti oleh mereka, wahai Rasulullah.” Kemudian ‘Umar melanjutkan, “Wahai, musuh-musuh diri kalian sendiri, apakah kalian takut kepadaku dan tidak takut kepada Rasulullah?” Mereka menjawab, “Ya, sebab engkau lebih tajam (kata-katanya) dan lebih keras dari Rasulullah.” Nabi bersabda, “Sudahlah, wahai, putra Al-Khathab, Demi Zat yang jiwaku ada pada-Nya, tidaklah setan bertemu denganmu berjalan pada suatu jalan yang sama, kecuali ia mencari jalan selain jalanmu.” (HR. Bukhari-Muslim)

    Rumi pernah menjelaskan bagaimana setan bisa mendekati Nabi—terkait hadits yang menyatakan “Setan lari dari bayangan ‘Umar”—bahwa “Muhammad adalah sebuah samudera, sedangkan ‘Umar sebuah cangkir. Kita tidak melindungi samudera dari air ludah anjing, sebab samudera tidak akan cemar hanya oleh mulut anjing, sedangkan sebuah cangkir akan tercemar; sebab isi sebuah benda yang kecil akan berubah menjadi buruk akibat jilatan seekor anjing.” Dengan demikian, materi tidak suci apa pun yang menyentuh Nabi tak akan mengubah kesucian pribadinya yang bagaikan samudera. Namun, di sisi lain, jika diamati dalam sejarah bagaimana selama ‘Umar masih hidup, bahkan ketika beliau menjadi khalifah, kehidupan kaum Muslim relatif aman. Para penyebar fitnah dan setan yang mengipas-ngipasi mereka seperti mati kutu. Selain seperti hadits yang Rasulullah sabdakan di atas, ihwal setan yang lari dari ‘Umar, sebagai orang yang pernah lama hidup dalam dunia kelam, ‘Umar tentu saja sangat paham akan sepak terjang serta pola pikir para pendosa dan alam syaithan. Akibatnya, mereka tak berkutik selama ‘Umar masih hidup.

    Namun, Hudzaifah pernah berkata, “Dahulu kami duduk-duduk bersama ‘Umar, lalu dia mengatakan, ‘Siapakah di antara kalian yang masih hafal hadits Rasulullah yang mengisahkan tentang fitnah persis sebagaimana yang beliau katakan?’ Maka, aku katakan, ‘Aku.’ Beliau mengatakan, ‘Sesungguhnya, kamu telah berani angkat bicara, maka bagaimanakah yang beliau katakan tentangnya?’ Aku katakan, ‘Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Fitnah yang timbul pada diri seseorang karena keluarganya, harta, jiwa, anak, maupun tetangganya, maka itu semua akan bisa terhapus akibatnya dengan menjalankan puasa, shalat, sedekah, dan amar ma’ruf serta nahi munkar.’ Maka, ‘Umar pun berkata, ‘Bukan itu yang aku maksudkan, yang aku inginkan adalah cerita tentang fitnah yang datangnya bergelombang bagaikan ombak lautan.’ Maka, Hudzaifah berkata; Aku katakan kepadanya, ‘Tidak ada urusan apa-apa antara Anda dengannya, wahai, Amirul Mu‘minin. Sesungguhnya antara Anda dengan fitnah itu terdapat pintu gerbang yang terkunci.’ Maka, ‘Umar bertanya, ‘Apakah pintu itu nanti akan terpecah atau dibuka?’ Hudzaifah berkata, ‘Aku katakan; Tidak, akan tetapi pintu itu akan terpecah.’ Maka, ‘Umar berkata, ‘Kalau demikian, maka tentunya pintu itu tidak akan bisa terkunci untuk selamanya.’ Maka kami pun bertanya kepada Hudzaifah, ‘Apakah ‘Umar mengetahui siapakah yang dimaksud dengan pintu itu?’ Maka Hudzaifah menjawab, ‘Iya, sebagaimana dia tahu bahwa setelah malam ini akan datang esok hari. Sesungguhnya, aku telah menceritakan kepadanya suatu hadits yang bukan termasuk perkara yang rumit.’ Perawi berkata, ‘Marilah kita tanyakan kepada Hudzaifah siapakah yang dimaksud dengan pintu itu, maka kami pun bertanya kepada Masruq; tanyakanlah kepadanya. Maka, dia pun bertanya kepada Hudzaifah, lalu dia menjawab, ‘Pintu itu adalah ‘Umar.’” (HR. Muslim, diriwayatkan pula oleh Bukhari)

    Maka, setelah ‘pintu fitnah itu terpecah’ yaitu terbunuhnya ‘Umar bin Khaththab, sejarah mencatat bagaimana para pendosa penyebar fitnah beserta syaithan yang mengipas-ngipasinya seperti ‘merayakan kebebasan’ untuk membuat banyak kekacauan di tengah umat Islam saat itu, hingga berujung pada terbunuhnya Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Bahkan, ketika menjelang ajalnya, dalam pangkuan sahabat yang memegangi ‘Umar yang tengah meregang nyawa, sahabat besar tersebut sempat berkata: “Bukankah aku adalah pintu fitnah yang Rasulullah pernah katakan?” Sejarah mencatat bahwa sepeninggal beliau, umat Muslim kala itu dilanda  “fitnah yang datangnya bergelombang bagaikan ombak lautan.”

    Sosok ‘Umar bin Khaththab yang kakinya pernah ada di dua dunia, di dunia kelam penuh dosa, lalu beralih ke dunia terang benderang. Kemudian, penggambaran Rasulullah atas ‘Umar. Namun, cukup mengherankan bahwa kalangan Islam Liberal dengan tergesa-gesa menunjuk ‘Umar bin Khaththab sebagai salah satu representasi dari Muslim Liberal tanpa menimbang berbagai hal di atas dan hanya bersandar pada cara mereka berwacana, yaitu menjadikan teologi sebagai pelayan bagi pemikiran dan filsafat Barat.

  35.  Untuk memahami apa yang dimaksud dengan ad-dîn, lihat Alfathri Adlin, “Āgama, Religion, Ad-Dîn: Antara Tradisi, Institusionalisasi Ajaran, dan Misi Hidup”, di situs PICTS, https://picts.paramartha.org/tasawuf/1-agama-religion-ad-din-antara-tradisi-institusionalisasi-ajaran-dan-misi-hidup~2301/

  36. Untuk penjelasan tentang arti taqwa, lihat tulisan yang berjudul “Shirath Al-Mustaqim”… (belum selesai direvisi).

  37. “Hai, anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu, dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa (libasut taqwa) itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari ayat-ayat Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS Al-A’râf [7]: 26)

  38. Untuk penjelasan tentang arti taqwa, lihat tulisan yang berjudul “Shirath Al-Mustaqim”… (belum selesai direvisi).

  39. Lihat QS Al-Ankabût [29]: 9; QS Al-Isrâ’ [17]: 9; QS Al-Kahfi [18]: 2; QS An-Nûr [24]: 62. Untuk penjelasan lebih jauh tentang arti taqwa, lihat tulisan yang berjudul “Shirath Al-Mustaqim”… (belum selesai direvisi).

  40. Untuk penjelasan tentang rahmat pertama, lihat Alfathri Adlin, “Tashawwuf Yes, Thariqah No: Tinjauan Kritis terhadap Fenomena Urban Sufism”, di situs PICTS, https://picts.paramartha.org/tasawuf/tashawwuf-yes-thariqah-no-tinjauan-kritis-terhadap-fenomena-urban-sufism~2378/

  41. Hadis ini sebenarnya sangat simbolik, untuk sedikit mengetahui makna simbolik dari hadits ini, lihat kerangkanya dalam Alfathri Adlin, “Struktur Insan: Trilogi Jasad, Nafs dan Ruhul Qudus”, yang rencananya akan dimuat di situs Qudusiyah.

  42. “Hai, Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri al-mu‘minîn: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Ahzab [33]: 59); “Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa hijab) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS Al-Ahzab [33]: 55); “Katakanlah kepada al-mu‘minât: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan, hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan dalam kaumnya, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan, janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai, al-mu’minîn supaya kamu beruntung.’” (QS An-Nûr [24]: 31)

  43.  Lama Abu Odeh, “Post-Colonial Feminism and the Veil: Thinking the Difference”, dalam Mary M. Gergen & Sara N. Davis (ed.), Toward a New Psychology of Gender: A Reader, New York: Routledge, 1997, hlm. 254-255.

  44. Nasaruddin (1996), hlm. 39.

  45. Aku harus memuji kamu, sebab dalam segala sesuatu kamu tetap mengingat akan aku dan teguh berpegang pada ajaran yang kuteruskan kepadamu. Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan kepala dari Kristus ialah Allah. Tiap-tiap laki-laki yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang bertudung menghina kepalanya. Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya. Sebab laki-laki tidak perlu menudungi kepalanya: ia menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Namun, perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Dan, laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan diciptakan karena laki-laki. Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat. Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab, sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah.

    Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung? Bukankah alam sendiri menyatakan kepadamu, bahwa adalah kehinaan bagi laki-laki jika ia berambut panjang, tetapi bahwa adalah kehormatan bagi perempuan, jika ia berambut panjang? Sebab rambut diberikan kepada perempuan untuk menjadi penudung.

    Namun, jika ada orang yang mau membantah, kami maupun Jemaah-jemaah Allah tidak mempunyai kebiasaan yang demikian.

  46. Yi-Fu Tuan, sebagaimana dikutip oleh Victor Papanek, “The Coming of a New Aesthetic: Eco-Logic, Etho-Logic, Bio-Logic”, dalam Jeremy Myerson (ed.), Design Renaissance, England: Open Eye Publishing, 1994, hlm. 29.

  47. Dijk (1997), hlm. 75-77.

  48. Beryl Causari Syamwil, “Harapan kepada Peran Buku-buku Tentang Wanita Islam di Indonesia”, dalam Salman Komunikasi Aspirasi Ummat, Dzulqaidah 1414, hlm. 19.

  49. Ahmed (1997), hlm. 212.

  50. Karen E. Washburn, “Jilbab, Kesadaran :Post-Kolonial, dan Aksi Tiga Perempuan (Jawa)”, dalam Monika Eviandaru, dkk., Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm. 111.

  51. Ahmed (1997), hlm. 233.

  52. Lihat Washburn (2001), hlm. 111-138.

  53. Kebosanan adalah perilaku yang dipacu oleh masyarakat industri atau kapitalis. Sistem nilai yang berlaku di situ adalah nilai-nilai yang berpijak pada suatu kapital atau uang. Masyarakat diajak berkelana dalam siklus kehidupan fashion, dan diajari untuk selalu meraih sesuatu yang baru dan juga untuk cepat bosan terhadap suatu mode. Sebuah siklus yang seolah selalu menawarkan kebaruan, suatu progress, padahal sebenarnya mereka hanya berputar-putar saja. Selain itu, masyarakat pun seolah diberikan kebebasan untuk memilih yang sebenarnya adalah pendiktean dari seperangkat gaya oleh produsen kepada konsumen.

  54. Dijk (1997), hlm. 77-78.

  55. Lihat Peter York, Style Wars, London: Sidgwick and Jackson, 1980.

  56. Lihat Alvin Toffler, Future Shock, Manhattan: Random House, 1970.

  57. Pernah dalam suatu fashion show, Karl Lagerfeld memancing kegemparan di Chanel saat Claudia Schiffer memakai baju rancangannya yang dihiasi dengan tulisan Arab. Seorang tamu yang hadir menunjukkan bahwa itu merupakan bagian dari ayat Al-Quran dan Chanel segera menarik gaun itu keluar dari koleksinya serta mengeluarkan pernyataan permintaan maaf, meskipun belakangan terungkap bahwa kaligrafi tersebut sebenarnya adalah sebuah puisi cinta Mughal yang diambil dari Taj Mahal. Insiden ini cukup untuk membuat takut para desainer fashion lain untuk menggunakan kaligrafi dalam rancangannya. Namun, dari sini bisa terlihat bahwa “estetika visual” bagi desainer jauh lebih utama ketimbang maknanya.

  58. Odeh (1997), hlm. 257.

  59. Jean-Luc Godard, sebagaimana dikutip dalam Papanek (1994), hlm. 29.

  60. Odeh (1997), hlm. 246-247.

  61.  Roland Barthes, “Myth Today”, dalam Mythologies, diseleksi dan alih bahasa oleh Annete Lavers New York: Paladin, 1983, hlm. 115.

  62. Roland Barthes, Elements of Semiology, alih bahasa oleh Annete Lavers & Colin Smith, New York: Hill and Wang, 1994, hlm. 91-92.

  63. John Fiske, Introduction to Communication Studies, edisi kedua, London: Routledge, 1990, hlm. 171.

  64. Louis Althusser, For Marx, alih bahasa oleh Ben Brewster, New York: Vintage, 1970, hlm. 223.

  65. Althusser (1970), hlm. 92

  66. Althusser (1970), hlm. 118.

  67. Althusser (1970), hlm. 144.

  68. Dick Hebdige, Subculture: The Meaning of Style, London: Routledge, 1993, hlm. 17-18.

  69. Jean Baudrillard, For A Critique of Political Economy of the Sign, London: Telos Press, 1981, hlm. 196.

  70. Odeh (1997), hlm. 248-249.

  71. Washburn mengambil pembagian ini dari Dr. Gananath Obysekere yang mengkategorikannya menjadi tiga bagian, dan dua kategori selain personal symbol tersebut adalah, pertama, cultural symbol, suatu simbol yang sangat dikenali dan diketahui oleh orang di satu kebudayaan. Kedua, psychogenetic symbol, suatu simbol yang mungkin mempunyai arti personal untuk pelaku-pelaku di zaman dulu, tetapi yang sekarang sudah hilang arti personalnya. Lihat Washburn (2001), hlm. 131-132.