
Alfathri Adlin
(PICTS, Studia Humanika, Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB)
“‘Tis an unweeded garden, that grows to seed; things rank and gross in nature,” ujar Hamlet. Begitulah cara Shakespeare menggambarkan korupsi dengan menggunakan ‘lidah’ Hamlet, yaitu bagaimana tumbuh merambatnya suatu taman yang tak diinginkan sama sekali, sesuatu yang tumbuh menjalar dari pusat lalu ke masyarakat, sehingga memunculkan masa-masa sulit. Metafora ini meneguhkan apa yang telah diungkapkan oleh Marcus Tullius Cicero 2000 tahun yang lalu bahwa “Ikan membusuk mulai dari kepala.”
Demikianlah, secara umum bisa dikatakan bahwa hidup manusia itu juga merupakan peralihan dari satu institusi ke institusi lainnya. Setiap institusi tersebut memiliki raison d’etre-nya yang perlu dijaga integritasnya. Apabila terjadi penyalahgunaan atas institusi tersebut, maka rontoklah raison d’etre-nya oleh penghancuran integritas tersebut, seperti korupsi sebagai masalah moralitas. Korupsi adalah penyalahgunaan suatu sumber daya, entah berupa kekuasaan, uang, properti, sistem, atau bahkan pemikiran, untuk kepentingan pribadi juga institusi. Adapun ‘keuntungan’ yang diperoleh bisa berupa status, kekuasaan, uang, bahkan nama besar apabila dalam kasus plagiarisme.
Korupsi merupakan salah satu jenis tindakan imoral, akan tetapi tidak setiap perbuatan imoral merupakan tindakan penyalahgunaan atas suatu sumber daya seperti korupsi. Masalah penyalahgunaan sumber daya dalam imoralitas korupsi akan lebih mudah terlihat apabila diperbandingkan kepada keadaan bagaimana sumber daya tersebut apabila berada dalam keadaan tak terkorupsi, atau ketika integritasnya belum dirontokkan serta masih memiliki keharusan untuk dipertanggungjawabkan secara publik. Kenapa? Bahwasanya ada nilai moral tertentu dalam suatu sumber daya yang mengharuskannya digunakan untuk tujuan semestinya dan bisa dipertanggungjawabkan. Tindakan penyalahgunaan sumber daya itulah yang merupakan masalah imoralitas korupsi (tak lupa, bahwa perbuatan imoral lainnya tidak selalu terkait dengan penghancuran raison d’etre suatu institusi seperti korupsi).
Sebenarnya Apa Korupsi Itu?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menyimak setidaknya 3 bias definisi korupsi, yaitu bias legalisme, bias ekonomisme, dan bias sentrisme negara. Bias legalisme adalah bias yang mendefinisikan bahwa sesuatu itu disebut sebagai korupsi berdasarkan apa yang ditetapkan oleh undang-undang. Permasalahan dari bias definisi ini adalah banyak sekali tindakan korupsi yang tak dikenai sanksi hukum apa pun juga dan tak ditetapkan sebagai korupsi, meskipun pada dasarnya merupakan tindakan korupsi. Misalnya, sebelum tahun 1977, pemerintah Amerika mengizinkan perusahaan Amerika untuk menyuap pemerintah mana pun juga di muka bumi ini atau instansi mana pun juga, demi memenangkan kontrak bisnisnya di luar negeri. Namun, hal tersebut tak boleh dilakukan di dalam negeri Amerika Serikat sendiri. Permasalahannya apakah sebelum tahun 1977, misalnya Jakarta Operation yang dilakoni CIA, sehingga memudahkan Freeport melenggang di masa awal pemerintahan Soeharto, itu bukan merupakan tindakan korupsi brutal? Tindakan semacam itu secara substantif termasuk dalam korupsi, namun hanya dikarenakan hukum Amerika sebelum tahun 1977 tak menetapkannya sebagai ‘korupsi’ maka tak ada sanksi hukum apa pun yang bisa dikenai kepada para pelakunya. Karenanya, tindakan seperti nepotisme, suap, plagiarisme bisa saja tidak termasuk ke dalam definisi korupsi hanya dikarenakan undang-undang tak menetapkannya seperti itu. Karena, tidak setiap tindakan korupsi itu melanggar hukum dan tidak setiap pelanggaran hukum itu adalah tindakan korupsi, dikarenakan undang-undang tak menetapkannya demikian.
Adapun bias ekonomisme bisa terlihat dalam Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bab II Pasal 3 yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Dalam bias ekonomistik, sesuatu disebut sebagai tindakan korupsi karena merupakan penyelewengan yang merugikan kondisi keuangan publik atau negara. Maka tindakan seperti plagiarisme yang dilakukan seorang dosen, karena tidak terkait dengan uang namun status dan nama besar, menurut bias ekonomisme ini tidaklah termasuk dalam tindakan korupsi. Begitu juga misalnya ketika partai politik memalsukan atau mengganti kotak suara, secara kategoris itu pun bukan didorong oleh motivasi uang, walau pada ujungnya akan ada uang yang berdatangan setelah mendapatkan kekuasaan.
Sedangkan, bias sentrisme negara adalah definisi yang didasarkan pada pandangan bahwa public power itu sama dengan jabatan kenegaraan atau pemerintahan. Maka korupsi adalah memperlakukan jabatan publik sebagai urusan pribadi. Akan tetapi, permasalahannya bahwa tindakan seperti plagiarisme tidak masuk ke dalam definisi ini, juga tindakan jual jasa membuatkan tugas akhir bagi para mahasiswa. Begitu pula dengan para ‘pelaku bisnis’ di dalam badan pemerintah, sebab korupsi itu terkait dengan public power. Dengan dihapuskannya public power—yang memang tak dipangku oleh para pelaku bisnis tersebut—, maka hilang juga label “tindakan korupsi” tersebut.
Dalam tradisi klasik, istilah “korupsi” dipahami dengan memperbandingkan dan merujukkannya pada kondisi yang sebaliknya, yaitu keutuhan, kemurnian, ketidakcelaan, integritas, dan kondisi ideal, yang tidak hanya dinisbatkan pada kualitas karakter dan tindakan pribadi, namun juga pada kualitas kelembagaan. Pengertian korupsi dalam tradisi klasik menekankan terutama pada kerusakan kualitas moral pribadi seseorang, selain pada tata kehidupan-bersama dan tata kelembagaan. Di tradisi klasik, korupsi dipahami dalam pengandaian organiknya atas relasi antara kualitas moral pribadi dengan kualitas tata kelembagaan dalam kehidupan-bersama, karena di tradisi klasik tidak dikenal pembedaan antara ranah publik dan privat. Baru dalam tradisi modernlah dikenal pembedaan antara ranah publik dan privat. Di tradisi modern, korupsi secara lebih eksplisit menyangkut penyelewengan kekuasaan publik yang dipahami dalam kaitannya dengan kemunculan otonomi lembaga-lembaga negara modern. Di sini, korupsi tidak lagi dipahami dalam pengandaian organiknya sebagai relasi antara kualitas moral pribadi dengan kualitas tata kelembagaan dalam kehidupan-bersama.
Dengan hilangnya unsur-unsur pengertian korupsi di era klasik pada masa ini, secara konseptual memiskinkan korupsi, sebab terjadi pembatasan dan penyempitan pengertian korupsi itu sendiri. Apabila dalam tradisi klasik korupsi dipahami sebagai bagian sentral dari Filsafat Moral dan Filsafat Politik yang memiliki cakupan sangat luas, maka lambat laun dalam pengertian kontemporer, korupsi dipahami sebagai kebijakan publik saja. Dikarenakan tak ada kebijakan yang tidak konkret-operasional di era modern, maka pengertian korupsi pun menjadi semakin dipahami secara konkret-operasional. Namun, dengan adanya pembedaan antara ranah privat dengan ranah publik ala era modern, maka landasan dalam mendefinisikan apa itu korupsi tak sampai menyentuh ranah filosofis.
Selain itu, korupsi juga bukan sekadar pelanggaran hukum atau penyelewengan kewajiban publik. Mengatakan bahwa seseorang itu pencuri atau pelanggar kewajiban publik, tidaklah sama dengan mengatakan bahwa seseorang itu korup (corrupt). Istilah korup jauh lebih esensial daripada istilah pencuri, karena bukan hanya menyangkut tindakan seseorang, tapi juga menyangkut wataknya. Korupsi merupakan suatu konsep yang memberi arah penilaian akan tanda-tanda cacat dan ketiadaan moral yang sangat mendasar. Bukan semata ihwal apa yang sudah diperbuat seseorang, tetapi juga mengenai bagaimana seseorang telah menjadi. Meskipun di sini terkesan bahwa korupsi semata merupakan masalah moralitas personal dan individual, akan tetapi korupsi juga menjadi masalah moralitas publik tatkal hal tersebut terjadi dalam kaitannya dengan korupsi institusional.
Namun, bagaimana seandainya ada seorang tawanan di kamp konsentrasi NAZI menyuap penjaga agar bisa meloloskan diri? Bukankah menyuap juga termasuk tindakan korupsi? Permasalahannya agar suatu institusi bisa dikorupkan, maka institusi tersebut harus memiliki legitimasi secara moral. Dalam hal ini, NAZI tidaklah memiliki legitimasi secara moral. Begitu juga halnya dengan apartheid, Mafia, Yakuza, Triad dan organisasi kriminal lainnya, yang tidak memiliki legitimasi moral, sehingga tidak bisa dikorupkan.
Korupsi juga bukan semata masalah legal hukum, karena sekalipun seseorang melakukan korupsi namun tak tertangkap tangan serta dikenai sanksi hukum, toh kita tetap masih bisa menyatakan bahwa oknum tersebut telah melakukan tindak korupsi. Bukan ilegalitaslah yang membuat korupsi itu tercela, akan tetapi ketercelaan morallah yang membuat korupsi itu menjadi tindakan yang ilegal. Korupsi ditetapkan sebagai imoral bukan karena ilegal, tetapi justru sebaliknya, korupsi itu ditetapkan sebagai imoral, sehingga menjadi ilegal. Karenanya, korupsi memang merupakan masalah moralitas (meski, sekali lagi, bukan semua imoralitas adalah korupsi).
Dalam kaitannya antara korupsi dengan Filsafat Moral, maka harus dibedakan antara human qua human (manusia sebagai manusia) dengan human qua role occupant (manusia sebagai yang menduduki suatu posisi dalam jaringan institusi). Misalnya, tindakan mencuri tidak mesti terkait dengan institusi apa pun, namun jika melakukan money politic demi memenangkan suatu partai politik atau calon dari partainya, maka tindakan tersebut dikatakan sebagai korupsi. Suatu institusi dikatakan menjadi terkorupkan karena praktik dan praktik itu sendiri merupakan suatu perulangan tindakan, walau bukan berarti hanya karena baru sekali saja melakukannya, maka tidak akan dikatakan sebagai tindakan korupsi. Di Indonesia tindakan korupsi itu seringkali merupakan sebentuk perulangan, semacam habit yang lama kelamaan menjadi karakter manusia di suatu institusi.
Adapun dalam kaitannya dengan standar integritas institusi, maka suatu tindakan penyelewengan di dalamnya—dalam hal ini adalah korupsi—itu akan menjadi permasalahan moralitas. Institusi adalah sebentuk gugus keteraturan perilaku yang terkait dengan ranah tertentu dari kehidupan. Dalam arti tertentu, institusi merupakan tata aturan tentang bagaimana cara bertindak. Karena pelaku dari suatu tindakan adalah manusia, dan keberadaan institusi pun ditentukan oleh tindakan manusia di dalamnya, maka tindakan itu akan selalu dikaitkan dengan perkara baik atau buruk, sehingga institusi pun ditandai dengan evaluasi baik dan buruknya tindakan manusia di dalam institusi tersebut. Karenanya institusi pun memiliki standar integritas moral. Terlebih raison d’etre dari suatu institusi adalah sebagai bagian dari evolusi moralitas dan, dalam hal ini, institusi diharapkan bisa menyangga tata kehidupan bersama (politik).
Bagaimana Etika dalam Memandang Korupsi?
Sudah banyak diketahui bahwa moral berasal dari bahasa Latin mos, moris yang artinya sama dengan ethos; adapun moralitas adalah segenap ajaran, pandangan dan perilaku yang berkaitan dengan hidup bermoral. Sedangkan, etika berasal dari kata dalam bahasa Yunani, yaitu ethikos, yang akar katanya adalah ethos, yang itu berarti adat kebiasaan, karakter, atau kelakuan manusia. Etika adalah pemikiran atau refleksi tentang moralitas, atau moralitas yang dipandang secara sistematik. Nah, bagaimana korupsi dipandang dari etika?
Pertama, mazhab etika teleologis memahami korupsi dengan menghubungkannya pada tujuan, sasaran atau akhir dari suatu tindakan. Seperti telah dikemukakan di atas, setiap institusi itu memiliki raison d’etre-nya, dan mazhab teleologis melihat korupsi dari raison d’etre-nya suatu institusi (yang memiliki legitimasi moral). Nah, integritas dari suatu institusi tentu saja bukan dengan mengarahkannya untuk bertujuan menjadi institusi yang korup dan bisa dikorupkan. Tindakan korupsi, menurut mazhab teleologis, adalah penjungkirbalikkan atas raison d’etre dari suatu institusi yang memiliki legitimasi moral.
Kedua, mazhab deontologis memahami korupsi dengan menghubungkannya pada tindakan yang benar-benar dipertimbangkan hanya pada dirinya sendiri dan terlepas dari tujuan atau sasaran ketika, misalnya, dilakukan dalam sebentuk pelayanan. Mazhab etika deontologis juga tidak melihat baik buruknya korupsi dari dampak, namun melihat bahwa tidak melakukan tindakan korupsi itu merupakan suatu kewajiban moral pada dirinya sendiri. Immanuel Kant sebagai pencetusnya mengajukan beberapa imperatif kategoris, di antaranya bahwa seseorang harus bertindak sesuai dengan prinsip moral yang dianutnya. Ini berbeda dari kaum Libertarian yang malah ingin ‘bebas dari’, karena pandangan etika Kant mengajukan agar kita ‘bebas untuk’ memilih prinsip etika yang sesuai dengan kita, lalu menjalaninya dengan konsisten prinsip tersebut. Etika ini juga memiliki kontras yang tajam dengan gagasan libertarian ihwal kepemilikan diri, karena Kant bersikukuh kita tidaklah memiliki diri kita sendiri. Tuntutan moral dalam cara bagaimana kita memperlakukan pribadi lain sebagai tujuan ketimbang semata sebagai alat telah membatasi bagaimana kita bisa memperlakukan diri kita sendiri. Oleh karena itu, etika untuk tidak melakukan korupsi adalah tujuan pada dirinya sendiri, tak peduli apa pun dampaknya, entah baik atau pun buruk sekali pun.
Ketiga, mazhab konsekuensialis memahami korupsi dengan menghubungkannya pada dampak buruk yang ditimbulkannya, terlepas dari apakah dampak buruk itu sengaja diniatkan atau tidak. Paham utilitarianisme—yang menjadi landasan dari mazhab konsekuensialis ini—menyatakan bahwa suatu tindakan disebut baik atau buruk dikarenakan dampaknya—entah itu baik atau buruk—dan dampak itu diukur berdasarkan manfaatnya bagi sebanyak mungkin orang, menghindarkannya dari penderitaan, dan mendapatkan kenikmatan. Utilitarian memandang bahwa korupsi itu buruk secara moral sejauh menimbulkan dampak yang buruk bagi sekian banyak orang. Namun, dari sudut pandang dampak ini juga bisa dilihat bahwa korupsi pun bisa jadi memiliki dampak baik. Hal ini bisa dilihat juga dalam pandangan kontemporer tentang korupsi sebagai ‘minyak pelumas’ dan ‘pasir pengganjal’. Singkatnya, bisa dikatakan begini, karena korupsi terjadi di mana-mana, bisa jadi korupsi tidaklah buruk pada dirinya sendiri. Tak ada gunanya membicarakan apakah korupsi itu baik atau buruk, sebab akan lebih bermanfaat apabila yang dibicarakan adalah ihwal dampaknya. Misalnya, apabila suap malah bisa menghemat waktu untuk lamanya pengurusan izin dan proses administratif—yang berarti sebentuk inefisiensi yang sangat potensial mendatangkan banyak kerugian—untuk suatu proyek yang memberi manfaat bagi banyak orang—misalnya pembangunan bendungan untuk pengairan dan suplai air—maka tidak masalah untuk melakukan tindakan semacam itu. Apabila suap malah berdampak baik bagi perkembangan ekonomi, dan malah meningkatkan investasi, maka korupsi bisa dianggap sebagai sesuatu yang baik. Singkatnya, bagi mazhab ini, korupsi adalah masalah kalkulasi untung dan rugi.
Apa?!? Weberian dan Kriminologi?
Pendekatan Weberian dalam studi korupsi adalah pendekatan kajian atas suatu gejala dengan berdasarkan dan terilhami oleh kajian analitis Max Weber. Dalam konsepsi pemikiran Weber, masalah korupsi merupakan konsekuensi dari analisisnya tentang birokrasi, yaitu konsekuensi atas analisisnya mengenai legitimasi. Pemikiran Weber tentang legitimasi merupakan efek dari pertanyaan tentang hubungan antara penguasa dan yang dikuasai, serta pertanyaan mengapa sekelompok orang tunduk pada seorang penguasa. Dari pertanyaan itulah Weber kemudian merumuskan tiga hal berikut: (1) sekelompok orang tunduk pada penguasa dikarenakan ia dianggap sebagai personifikasi dari tradisi yang keramat; basisnya adalah keyakinan akan tradisi agung, inilah legitimasi tradisional; (2) apabila ketundukan itu dikarenakan suatu ‘kekuatan yang mempesona’ banyak orang, maka itu adalah legitimasi karisma; (3) dan yang terakhir adalah ketundukan disebabkan adanya suatu peraturan, yang impersonal, objektif, transparan, dan diterapkan kepada siapa pun, maka inilah legitimasi legal rasional; otoritas yang muncul dari sini adalah otoritas legal rasional.
Dalam pengertian Weberian, ciri legal rasional hanya ada pada birokrasi modern. Menurut Weber, korupsi adalah penyelewengan standar integritas legal rasional dari birokrasi modern tersebut. Korupsi merupakan bias partikularistik dari standar universal tersebut. Kunci untuk memahami pendekatan Weberian adalah evolusi birokrasi sebagai ranah privat atau perpanjangan dari kehendak penguasa ke ranah publik yang terpisah dari perkara suka tidak sukanya penguasa. Pendekatan Weberian tidak melihat korupsi pertama-tama sebagai masalah mentalitas individual, tetapi sebagai implikasi dari proses sebab akibat dikarenakan kegagalan birokrasi untuk lepas dari suka atau tidak sukanya pejabat. Menurut Weber, korupsi terjadi karena gagal atau tidak berlangsungnya proses rasionalisasi, disebabkan korupsi telah menjadi salah satu siasat menjaga legitimasi. Korupsi adalah kegagalan proses rasionalisasi dari legitimasi tradisional ke legitimasi legal rasional dikarenakan korupsi telah berfungsi sebagai penjaga keberlangsungan legitimasi seorang penguasa. Maka, pokok persoalannya bukanlah pada legitimasi tradisional atau legal rasional itu sendiri, melainkan pada tercapainya keberlangsungan legitimasi.
Dalam pendekatan kriminologi, perbuatan korupsi dipandang sebagai tindakan kriminal tetapi tidak setiap tindakan kriminal adalah korupsi. Dalam pendekatan ini, sesuatu dikatakan sebagai tindakan korupsi dengan memandang objeknya sebagai kejahatan, dan akan didefinisikan dalam kerangka hukum pidana. Konsekuensinya, korupsi pun diciutkan hanya menjadi semata masalah penetapan hukum dan tak ubahnya hanya menjadi masalah pemberian label. Namun, membuat definisi korupsi semakin luas pun malah akan menyulitkan penanganannya dalam tata negara, terlebih hukum adalah teknologi paling valid dalam tata negara. Karena itulah, pendekatan kriminologi pun menggunakan perspektif hukum pidana terhadap tindakan imoralitas yang dianggap sebagai korupsi. Tetapi, korupsi jarang menjadi fokus riset kriminologi. Biasanya hanya dicakup dalam kajian kriminalitas, seperti halnya kejahatan terorganisir. Namun, belakangan kecenderungan ini mulai berubah dan para kriminolog pun lambat laun mengakui bahwa objek kajian utamanya—yaitu kejahatan—itu selalu melibatkan korupsi.
Dalam pendekatan Weberian, pengandaian filsafat moral yang terlibat adalah etika teleologis yang memahami korupsi dengan menghubungkannya pada tujuan, sasaran atau akhir dari suatu tindakan, karena dalam pendekatan ini korupsi dipandang sebagai strategi untuk menjaga kelanggengan legitimasi. Sementara dalam pendekatan kriminologi, pengandaian filsafat moral yang terlibat adalah etika konsekuensialis yang memahami korupsi dengan menghubungkannya pada dampak buruk yang ditimbulkannya, terlepas dari apakah dampak buruk itu sengaja diniatkan atau tidak. Adapun paham utilitarianisme, yang menjadi landasan dari mazhab konsekuensialis ini, menyatakan bahwa suatu tindakan disebut baik atau buruk dikarenakan dampaknya—entah baik ataukah buruk—dan dampak itu diukur berdasarkan manfaatnya bagi sebanyak mungkin orang, menghindarkannya dari penderitaan, dan mendapatkan kenikmatan.
Lalu, Apa Motivasi Korupsi?
Tatkala membicarakan tentang motivasi korupsi, setidaknya terdapat tiga lapis alasan, yaitu, pertama, logika sarana-tujuan; kedua, logika hasrat, suatu keinginan yang lahir dari disposisi moral tertentu, yang bukan hanya negatif, tapi bisa juga positif. Ini memberi jalan bagi logika ketiga, yaitu logika moral. Dalam logika sarana-tujuan, orang berdalih bahwa dia melakukan perbuatan tersebut demi mencapai suatu tujuan atau target tertentu. Sementara logika kedua, perkaranya lebih subtil. Ini dikarenakan corak hasrat individu itu tidak terbentuk secara tiba-tiba begitu saja, melainkan merupakan suatu pengendapan dari kebiasaan yang terus menerus dilakukan, seperti keinginan untuk memiliki barang mewah dan tampil bergengsi yang membuat seseorang mau menempuh jalan apa pun untuk mencapainya. Apabila logika pertama itu sifatnya berupa kalkulasi, maka logika kedua adalah suatu kecenderungan.
Dalam persepsi umum, tindakan korupsi seringkali dipandang sebagai sesuatu yang dimotivasi oleh hal-hal yang negatif, padahal terbuka kemungkinan bahwa apabila hal yang negatif itu bisa menjadi disposisi yang melekat pada hasrat, maka hal itu kemudian maujud menjadi sesuatu yang ‘seolah’ positif secara simtomatik. Misalnya, polisi yang memalsukan barang bukti agar bisa menangkap seorang penjahat, sehingga keadilan pun bisa ditegakkan. Seperti itulah salah satu contoh dari “korupsi demi tujuan luhur” atau noble-cause corruption (kebetulan fenomena ini memang lahir dari dunia kepolisian), istilah yang pertama kali dipakai pada tahun 1992. Bagaimanapun, tindakan ini tetap membengkokkan standar integritas moral suatu institusi, terutama institusi hukum dan negara. Singkatnya, korupsi demi tujuan luhur adalah tindakan korupsi yang di dalamnya tujuan menghalalkan cara (menyerupai prinsip Machiavelli).
Di Indonesia, contohnya bisa kita lihat dalam peristiwa di akhir tahun 70-an, ketika muncul ‘petrus’ alias penembak misterius, yang bertujuan melenyapkan para penjahat kambuhan dan preman agar bisa menekan kejahatan (karena banyak korban adalah preman bertato, maka muncullah ketakutan di masyarakat pada waktu itu bagi yang memiliki tato). Dalam tindakan petrus ini, segala standar integritas lembaga hukum dilabrak demi tujuan memberi ketenangan pada masyarakat dan menurunkan angka kriminalitas yang tinggi. Korupsi demi tujuan luhur ini biasanya dilakukan pada saat penegakkan hukum dan aturan tak berdaya, sehingga hal seperti ini biasanya merupakan suatu tindakan yang berulang.
Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa permasalahan penyalahgunaan dalam tindakan korupsi yang terkait dengan masalah moralitas akan lebih terlihat apabila hal itu dibandingkan dengan keadaan bagaimana sesuatu atau sumber daya itu apabila berada dalam keadaan tidak terkorupsi. Begitu pula halnya dengan korupsi. Demi tujuan luhur yang disebabkan adanya nilai moral tertentu yang seharusnya diarahkan kepada tujuan semestinya dan terkait raison d’etre suatu institusi. Fakta bahwa infrastruktur untuk pemecahan suatu masalah masih lemah itu adalah suatu hal; sedangkan pembengkokan standar adalah hal lainnya lagi. Korupsi demi tujuan luhur adalah suatu argumen yang didasarkan pada cara berpikir “karena infrastruktur pemecahan suatu masalah tidak berdaya, maka harus terjadi suatu pembengkokan standar integritas moral agar masalah tersebut teratasi.” Selain itu, dikarenakan korupsi demi tujuan luhur merupakan respons berulang atas ketidakberdayaan infrastruktur dalam mengatasi suatu masalah, maka korupsi demi tujuan luhur pun seringkali menjadi rutinitas solusi tanpa pertimbangan yang panjang dan matang, taken for granted. Tabik.[]
Rujukan:
B. Herry-Priyono, Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2018.
Keterangan Ilustrasi: Foto aksi panggung Rage Against the Machine diambil dari situs One Green Planet, https://www.onegreenplanet.org/lifestyle/meet-the-veg-heavy-metal-masters-who-power-their-chords-with-plants/
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji