Oleh Dwi Afrianti, Mahasiswa S3 Religious Studies Jurusan Filsafat Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Kita harus menggambarkan dengan detil bagaimana sejarah dan proses berkembangnya ilmu dalam peradaban Islam, sama porsinya dengan sumber-sumber saintifiknya, sehingga mampu menggambarkan dengan contoh-contoh fakta bagaimana proses motivasi dan kebangkitan tersebut melahirkan disiplin-disiplin ilmiah tertentu; beberapa ditolak, sementara lainnya dikonstruksi ulang. Kita sering mengambil keilmuan astronomi sebagai contoh, itu dikarenakan ada kebutuhan metodologis untuk mengkaitkan saran-saran penulisan sejarah dalam suatu disiplin khusus sehingga lebih sesuai dengan konteks sosial pada waktu itu.
Pada banyak kesempatan, seringkali pengkajian ilmu yang sudah ada malah menciptakan disiplin-disiplin keilmuwan baru seperti ‘ilm al-miiqaat, ‘ilm al-faraa’id, dan ‘ilm al-hay’a (ilmu astronomi), sementara dimaksudkan juga untuk pentransformasian logika di dalam disiplin-disiplin itu sendiri yang membangkitkan disiplin-disiplin lain semisal perkembangan teori trigonometri sebagai hasil dari adanya kebutuhan untuk menyelesaikan solusi-solusi dari karakteristik trigonometri bola langit. Akibat yang disebabkan oleh pengadopsian trigonometri baru adalah putusnya fungsi-fungsi tali penghubung Yunani kuno dan metode-metode pemecahan masalah-masalah trigonometri bola langit.Keseluruhan penelitian jejak-jejak sejarah ini, dibimbing oleh kebutuhan untuk menjelaskan fakta-fakta sejarah dan ilmiah yang diperoleh dari pelbagai khazanah dengan ragam agama dan budaya yang luas. Penekanan pada disiplin astronomi hanya dengan tujuan sebagai contoh saja; selalu berharap bahwa, siapapun yang bertugas dalam disiplin-disiplin keilmuwan yang lain, akan juga mampu menarik kesimpulan-kesimpulan umum, yang diperoleh dalam konteks pendekatan metodologi baru terhadap sejarah keilmuwan dalam dunia islam yang diadopsi dengan gaya penuturan alternatif, untuk menguji data yang telah mereka ketahui dari disiplin-disiplin yang tengah mereka geluti.
Dengan pendekatan ini, memungkinkan kita untuk mengkonstruk ulang perkembangan-perkembangan dalam disiplin astronomi dan untuk memeriksa, hampir pada setiap sudut, motivasi-motivasi di balik terobosan yang memakan waktu panjang sejarah astronomi. Aneka macam tahapan berpikir astronomis mulai berubah, dan semakin membaik sense-nya sepanjang penerimaan akan proses kontekstualisasi baru.
Dalam beberapa kesempatan, tampak bahwa sejarah astronomi dalam dunia islam dimotivasi oleh maksud-maksud religius. Pengidentifikasian maksud-maksud tersebut berikut tikungan dan balikannya, memberikan kebutuhan besar untuk merapatkan hubungan antara ilmu pengetahuan dengan agama yang menjadi karakteristik dari peradaban Islam. Perlunya kita menyusuri jalan, bukan hanya dikarenakan untuk mengetahui sejauh apa pengaruh ide-ide tertentu agama dalam mempengaruhi motivasi terhadap minat ilmiah para ilmuwan muslim, melainkan juga untuk mengetahui, jika, seandainya terdapat model antagonis antara ilmu dan agama yang tampaknya terkait dengan baik di Eropa, sebagai etos keilmuwan yang layak, yang, berlaku juga dalam peradaban Islam.
Banyak perubahan-perubahan terjadi silih berganti sepanjang sejarah astronomi, seperti pengamatan (observasi) terhadap fenomena astronomi yang sama, yang diamati oleh Ptolemeus pada abad kedua masehi, dari lembaga Bayt al-Hikmah Baghdad pada abad kesembilan Masehi hingga menggunakan sumber yang telah ada 700 tahun sebelumnya. Perubahan-perubahan tersebut dibutuhkan oleh perkembangan-perkembangan dalam pemikiran astronomis itu sendiri, semisal munculnya teorema-teorema matematika baru, teknik-teknik matematika baru, dan akhirnya persepsi baru tentang peran dari matematika dalam disiplin-disiplin semacam astronomi. Realisasi dari peran matematika sebagai sebuah bahasa deskriptif bagi fenomena alam, tentunya mampu diaplikasikan pada disiplin keilmuan lain yang mampu memberikan penguatan atau melemahkan proses keilmuwannya.
Penekanan yang banyak terhadap peran dinamika sosial, ekonomi, dan politik dalam pembentukan konsep-konsep astronomi, akhirnya membawa kepada perkembangan yang unik dalam astronomi islam, yang memuntahkan konsep-konsep astronomi Yunani kuno, memutuskan sama sekali ikatan dengannya, yang sebelumnya dijadikan sebagai pondasi bagi peletakan konsep. Meskipun secara sosial astronom muslim menentang ilmu-ilmu Yunani kuno, namun pada saat yang sama pula mereka sebenarnya sedang menyempurnakan tradisi astronomi Yunani kuno itu, baik dalam hal pengamatan (observasi) atau penyempurnaan teori. Tapi semua perkembangan itu, perubahan silih berganti, merupakan gejala-gejala yang menimbulkan konflik berlipat ganda, sebagai hasil dari sebuah disiplin yang dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kerangka epistemologi masyarakat waktu itu, selain epistemologi umum penemuan-penemuan dari disiplin itu sendiri.
Dimensi Filosofis
Kebanyakan teori astronomi yang dihasilkan dalam peradaban Islam pada abad sembilan hingga enam belas masehi, bersumberkan pada kosmologi Aristoteles, pengecualian pada risalah berjudul al-Hay’a al-sunniiya (kemungkinan diterjemahkan sebagai Astronomi Ortodoks) dan dikelompokan ke dalam astronomi religius, semua risalah yang lain, disadari ataupun tidak, beranggapan bahwa jagat raya ini memiliki sistem geosentis, yaitu planet-planet dan bintang-bintang bergerak pada orbitnya dalam gerakan melingkar, kecepatan sama, dan sebagainya. Kosmologi Aristoteles membicarakan hal ini, dan kenyataannya menjadi dasar bagi astronomi Ptolemeus.
Dalam terminologi umum, seseorang bisa mengelompokkan keseluruhan tradisi teori astronomi islam sebagai sebuah usaha terus menerus berkelanjutan untuk menyelamatkan Ptolemeus dari kesalahannya sendiri, dalam arti mencoba untuk mengharmonisasi karyanya dengan prinsip-prinsip kosmologi Aristoteles yang sama yang diterimanya, dan pada saat bersamaan berusaha untuk mengangkat persoalan yang menempatkan Aristoteles dengan semua kontradiksi pandangan-pandangan kosmologi mereka. Ironisnya, keseluruhan tradisi teori astronomi Islam juga berusaha untuk menyelamatkan Aristoteles ketika ide-idenya tidak bertentangan, tapi di saat yang sama juga menolak Aristoteles ketika pemikirannya absurd. Ya, kalau begitu, bisalah dikatakan bahwa teori astronomi Islam terus-menerus mengalami perdebatan dengan Aristoteles, tapi dibimbing oleh komitmen untuk menjelajah alam fisik semesta dengan secermat-cermatnya.
Kita harus pahami, bahwa pengkajian akan Aristoteles merupakan pondasi dari premis-premis semisal pengaturan prinsip astronomi di dalam agama, keberadaan Tuhan, agama, dll., dalam upaya untuk memahami semesta. Kita tidak perlu berbicara langsung tentang persoalan wujuud Tuhan pada saat menggambarkan pergerakan planet-planet dan penemuan model-model matematika yang memprediksi posisi-posisi mereka pada tiap waktu dan ruang. Seseorang tidak boleh menempatkan model-model dan teknik-teknik tersebut dalam mengasumsikan keberadaan Tuhan di jagat raya. Sepanjang kosmologi Aristoteles tidak memberikan konflik kepada premis mendasar, masalah pun tidak muncul.
Tapi manakala pandangan Aristoteles tentang konsep adanya perubahan dunia melalui sebuah proses generasi dan pengrusakan, dan generasi juga pengrusakan itu sendiri tergantung pada pergerakan tubuh-tubuh langit, maka prinsip agama pun berkonflik dengan pandangan kosmologi Aristoteles, yaitu astrologi. Implikasinya, tentu saja sangat serius. Aktivitas manusia secara langsung dipengaruhi oleh gerak benda lelangit, begitulah dikatakan oleh para astrolog yang menterjemahkan perkataan Aristoteles; maksudnya, seseorang sah-sah saja mengganti, mengubah, mengurangi, bahkan membuang kewajiban-kewajiban agama yang sudah ditetapkan. Sungguh sangat merusak disiplin astronomi yang terkait erat dengan tradisi Yunani kuno (astrologi).
Untuk menghindari ikut campurnya ajaran agama dalam keilmuwan, para astronom dalam lingkungan peradaban Islam mengajukan dua pilihan, yaitu:
1. Melanjutkan hubungan dengan disiplin astrologi sebagaimana Yunani kuno lakukan, atau
2. Mendefinisikan kembali subjek disiplin sebagai upaya mencari tahu posisi-posisi planet tanpa pengikutsertakan konsep astrologi.
Pilihan kedua, memunculkan disiplin keilmuan yang empiris sekaligus mempelajari tanda-tanda Tuhan dalam penciptaan dan pemeliharaan semesta dan sebagai petunjuk akan manifestasi Ilahi.Pembenaran apapun yang astronom muslim gunakan dalam disiplin keilmuwan mereka, tetap akan menghasilkan usaha: mengkonstruksi model-model matematika yang mendukung pembenaran atas dugaan-dugaan kosmologis, dalam hal ini dugaan-dugaan Aristoteles yang belum mampu memprediksi posisi-posisi yang benar dari planet. Implikasi dari kosmologi Aristoteles terhadap astrologi, ditinggalkan sama sekali. Ilmuwan muslim memotong-motong bagian kosmologi Aristoteles tertentu, mengambil hanya pada bagian yang mereka butuhkan.
Astronomi, tidak lagi tampak astrologis seperti yang dikatakan oleh Yunani kuno, meskipun barangkali muncul dalam aneka ragam cara dan bentuk. Sejauh perkembangan komputasi dan penghitungan matematika yang terhubung dengan fenomena yang teramati dan model-model prediktif, maka dua astronom dua kebudayan dan agama itu setidaknya memiliki pendapat yang kurang lebih bisa sama. Satu-satunya perbedaan, bahwa para astronom dalam wilayah kekuasaan islam nantinya mendapatkan keuntungan dari proses perjalanan pengkoreksian parameter-parameter astronomi yang cacat dari tradisi Yunani kuno. Tapi, terpenting dari adanya perbedaan tersebut, adalah dalam hal tujuan keduanya:
1. Tradisi Yunani kuno butuh untuk menentukan posisi planet-planet agar bisa memprediksi pengaruh posisi-posisi tersebut terhadap perubahan dunia dan karakter manusia dalam daerah sublunar
2. Astronomi Islam malah ingin memotong kebutuhan prediksi perubahan dunia dan karakter manusia, walau perlu menentukan posisi-posisi yang benar dari planet-planet
Tujuan para astronom muslim, menghasilkan disiplin baru, yaitu ‘ilm al-Hay’a (ilmu astronomi), bukan astrologi atau ilmu konfigurasi.
Sekali tujuan astronomi didefinisikan, maka penelitian astronomi yang tepat, berkembang pesat selama peradaban Islam zaman pertengahan. Tetapi, tidak lantas astrologi akhirnya terhilangkan dalam masyarakat. Kenyataannya, masih terdapat banyak sumber yang memperbincangkan pertentangan dan beberapa peristiwa yang menunjukkan perkembangan dan penyebaran astrologi dalam lingkungan politik yang dijadikan sebagai petunjuk bagi tindakan-tindakan yang akan diambil oleh para raja dan pengikutnya. Tapi menghilangkan praktek astrologi dari astronomi, itu juga dimaksudkan agar astronomi itu sendiri mampu berkembang di antara elit pemuka agama yang melihat kelengkapan astronomi sebagai pendukung urusan ibadah keagamaan.
Sumber:
Penerjemahan dari Bab 5 buku Islamic Science and the Making of the Europan Renaissance karya George Saliba oleh Dwi Afrianti.
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji