Alfathri Adlin
Suatu ketika, seorang bule melakukan wawancara melalui telepon dengan orang Indonesia, dan dia bertanya “What is your last name?” Orang Indonesia itu menjawab, “I‘m sorry.” Orang bule itu kembali bertanya “You don‘t have to sorry. And what is your first name?” Orang Indonesia kembali menjawab “You don’t know.” Dengan setengah kesal, orang bule kembali berkata “Off course I don‘t know, that‘s why I ask you. And your middle name?” Sekali lagi orang Indonesia itu menjawab “Funny…” Akhirnya, si bule marah dan menutup telepon dengan keras. Sementara orang Indonesia kebingungan, sambil memandangi nama di KTP-nya sendiri yang bertuliskan “Yudono Fani Amsori”.
Permasalahan oposisi biner antara ucapan dan tulisan sebagaimana tergambar dalam lelucon di atas dibedah lebih dalam oleh Jacques Derrida dengan menyodorkan konsep dekonstruksi yang kerap membuat berang banyak filsuf (modern) karena dianggap telah mengaburkan batasan antara sastra dengan filsafat. Di luar keributan itu semua, sebagaimana diakuinya sendiri, Derrida berhutang besar pada Heidegger sehingga dia bisa membawa hermeneutika menjadi sedemikian radikal. Namun seperti apa kurang lebih kontribusi Heidegger terhadap hermeneutika?
Husserl dan Heidegger: Dua Tipe Fenomenologi
Apabila Dilthey memandang hermeneutika untuk menemukan teori berorientasi kesejarahan bagi metode Geisteswissenschaften, maka Heidegger menggunakan kata “hermeneutika” dalam konteks pencarian ontologi yang lebih “fundamental”. Bisa dikatakan bahwa Heidegger mempertahankan klaim atas Leben yang berlawanan dengan klaim atas Geist dalam tradisi pemikiran Nietzsche dan Dilthey. Seperti halnya Dilthey, Heidegger menginginkan suatu metode yang bisa menyingkapkan hidup yang dipandang dari hidup itu sendiri, dan dalam Being and Time (1927) dia mengutip seraya menunjukkan kesepakatannya dengan tujuan Dilthey untuk memahami hidup dari luar kehidupan itu sendiri. Sudah sejak awal Heidegger mencari suatu metode yang bisa masuk ke balik dan bahkan hingga ke akar konsepsi Barat tentang Ada, metode “hermeneutik” yang memungkinkannya untuk memperlihatkan berbagai praanggapan yang telah mendasari konsepsi Ada tersebut. Seperti halnya Nietzsche, Heidegger ingin mempertanyakan segenap tradisi metafisika Barat.
Dalam fenomenologi Edmund Husserl, Heidegger menemukan alat konseptual yang tidak ditemukannya dalam pemikiran Dilthey atau Nietzsche, serta suatu metode yang bisa mengungkapkan proses ada dalam eksistensi manusia yang berjalan sedemikian rupa sehingga ada, dan bukan semata aspek ideologisnya dari seseorang, menjadi bisa terlihat jelas, sebab fenomenologi telah membukakan ranah pencerapan prakonseptual dari fenomena, yaitu ranah ketika fenomena belum dikonseptualisasikan dan dialami secara langsung sebagaimana adanya. Bagaimana pun, “ranah” baru ini memiliki arti yang cukup berbeda bagi Heidegger ketimbang Husserl. Apabila Husserl mendekati ranah tersebut dengan gagasan untuk memperlihatkan fungsi kesadaran sebagai subjektivitas transendental, maka Heidegger melihat di dalamnya medium vital ada-di-dunia yang historis dari manusia. Dalam historikalitas dan temporalitasnya, Heidegger melihat berbagai penunjuk kepada sifat dasar dari ada, yaitu ada sebagaimana menyingkapkan dirinya sendiri dalam pengalaman hidup yang lepas dari tindak mengkonseptualisasikan, mengspasialisasikan dan berbagai kategori atemporal dari pemikiran yang berpusat-pada-ide. Ada itu tak ubahnya seperti tahanan yang dirahasiakan, dan bahkan nyaris terlupakan, dari kategori-kategori statis Barat, yang justru ingin Heidegger lepaskan. Bisakah metode fenomenologis—dengan menunda dulu semua kategori dan konseptualisasi yang ada untuk kembali kepada pengalaman langsung—menyediakan metode dan teori bagi tujuan tersebut?
Untuk sebagian metode fenomenologis memang bisa melakukannya; namun untuk itu Heidegger berhutang kepada Dilthey—yang menegaskan bahwasanya pemahaman itu tidaklah universal serta menganjurkan untuk memahami hidup dari dalam hidup itu sendiri—dan juga Nietzsche—yang mengemukakan kecurigaannya terhadap segenap tradisi metafisika Barat serta menyatakan bahwasanya fakta itu tidak ada, hanya interpretasi. Kesemuanya itu merupakan ciri dari pencarian Heidegger akan kritiknya atas metafisika Barat, dan lebih khusus lagi, kritiknya terhadap ontologi, yang benar-benar membuatnya gelisah akan keterarahan Husserl yang hanya menelusuri seluruh fenomena kembali kepada kesadaran manusia, yaitu, kembali ke subjektivitas transendental. Heidegger berpendirian bahwa faktisitas ada merupakan perkara yang jauh lebih fundamental daripada kesadaran manusia dan pengetahuan manusia, sementara Husserl cenderung menganggap bahwa faktisitas ada sebagai sebuah data kesadaran. Pendirian yang dilandaskan pada subjektivitas semacam itu bagi Heidegger tidak memungkinkan adanya suatu kerangka bagi kritik yang dia pikirkan. Sekali pun pendirian tersebut sangat mencukupi untuk menghasilkan revisi yang meluas dalam epistemologi, di berbagai percabangan yang masih bisa dirasakan dalam banyak bidang hingga saat ini, namun sama sekali tidak mencukupi apabila hendak digunakan oleh Heidegger untuk mempertanyakan kembali pertanyaan tentang ada.
Ini penting karena definisi hermeneutika dari fenomenologi yang Heidegger kembangkan dalam Being and Time terkadang disebut sebagai hermeneutika fenomenologi. Penandaan ini lebih dari sekadar subbagian dalam ranah yang telah dipikirkan oleh Husserl, malahan bisa dikatakan bahwa ini menunjuk pada dua tipe fenomenologi yang sangat berbeda. Hutang Heidegger kepada Husserl tidaklah sedikit, dan cukup mengejutkan bahwa banyak dari konsepsi awal yang dirumuskannya bisa ditelusuri kembali ke Husserl; namun kesemua konsepsi tersebut ditempatkan dalam konteks yang baru dan dipakai untuk tujuan yang berbeda. Karenanya adalah menyesatkan apabila dikatakan bahwa: “metode fenomenologi” sebagai doktrin itu dirumuskan oleh Husserl dan digunakan oleh Heidegger untuk tujuan lainnya. Sebaliknya, Heidegger malah memikirkan ulang konsep fenomenologi itu sendiri, sehingga fenomenologi dan metode fenomenologis mendapatkan ciri yang berbeda secara radikal.
Perbedaan ini bisa dicontohkan dalam kata “hermeneutika” itu sendiri. Husserl tidak pernah sama sekali menggunakan kata tersebut ketika merujuk pada karyanya, sementara Heidegger menegaskan dalam Being and Time bahwasanya berbagai dimesi autentik dari metode fenomenologis menjadikannya bersifat hermeneutis; bahwa proyeknya dalam Being and Time adalah “hermeneutika Dasein”. Pilihan Heidegger untuk menggunakan kata hermeneutik menyiratkan bias antisaintifik yang menandakan suatu kontras dengan pemikiran Husserl. Nada yang serupa seperti ini juga diteruskan dalam “hermeneutika filosofis” yang dirumuskan oleh Hans-Georg Gadamer, menandai dunia itu sendiri dengan pandangan bernada antisaintisme.
Sikap yang berbeda terhadap sains juga bisa diambil sebagai pokok utama melihat perbedaan antara Husserl dan Heidegger, yang berakar dari perbedaan pendidikan awal keduanya, Husserl yang latar belakangnya matematika dengan Heidegger yang latar belakangnya teologi. Apabila Husserl ingin menjadikan filsafat sebagai “sains yang ketat dan kaku” (rigorous), “empirisisme tinggi”; bagi Heidegger, seluruh ke-rigor-an di dunia tidak bisa membuat pengetahuan ilmiah sebagai tujuan final. Kecenderungan ilmiah Husserl tercerminkan dalam pencariannya akan pengetahuan apodiktik, reduksinya, kecenderungannya untuk mencari yang bisa divisualkan dan bisa dipikirkan melalui reduksi eidetik; sementara tulisan-tulisan Heidegger benar-benar tidak menyebutkan pengetahuan apodiktik, reduksi transendental, atau struktur ego. Setelah karya Being and Time, Heidegger sepenuhnya beralih menafsirkan ulang pemikiran para filsuf terdahulu seperti Kant, Nietzsche, Hegel, dan bahkan puisi Rilke, Trakl atau Hölderlin. Pemikiran Heidegger menjadi bercorak hermeneutis dalam pengertian tradisional, yaitu berpusat pada tafsir atas teks. Apabila filsafat dalam pemikiran Husserl pada dasarnya tetap bersifat ilmiah, dan ini tercerminkan dalam signifikansinya bagi sains hari ini, maka dalam pemikiran Heidegger filsafat menjadi bersifat historis, penemuan kembali masa lalu secara kreatif, sebentuk penafsiran.
Keserupaan tema yang bisa ditarik dari kedua pemikir ini adalah pada isu historikalitas (Geschichlichkeit). Husserl telah mengamati temporalitas kesadaran dan memperlengkapi deskripsi fenomenologis dengan waktu internal kesadaran, namun keinginannya akan pengetahuan apodiktik mengarahkannya untuk menerjemahkan temporalitas ini kembali ke berbagai peristilahan sains yang statis dan representasional—yang sebenarnya malah menyangkal temporalitas dari pengada itu sendiri dan malah menegaskan bahwa wilayah idea berada di atas aliran perubahan tersebut. Maka, pada tahun 1962, Heidegger menegaskan bahwasanya fenomenologi Husserl mengelaborasi “suatu pola yang sebenarnya telah dirangkai oleh Descartes, Kant, dan Fichte. Historikalitas pemikiran sepenuhnya tetap terasa asing untuk diposisikan seperti itu.” Pada saat yang sama Heidegger merasa bahwa analisisnya dalam Being and Time “sebagaimana yang masih saya percayai saat ini [1962], dengan segera membenarkan secara material dan menyokong prinsip fenomenologi.” Fenomenologi tidak mesti ditafsirkan melulu sebagai kesadaran yang terbuka; fenomenologi juga bisa menjadi alat untuk menyingkapkan pengada, dalam segenap faktisitas dan historikalitasnya.
Fenomenologi Sebagai Hermeneutis
Dalam bagian yang berjudul “Metode Fenomenologis Investigasi” di buku Being and Time, Heidegger secara eksplisit menunjuk metodenya sebagai “hermeneutik”. Mungkin hal itu akan mengundang pertanyaan “apa kaitannya hermeneutika dengan fenomenologi?”; dan ada pertanyaan lainnya yang juga penting yaitu “apa kaitannya bagian ini dengan hermeneutika?” Heidegger kembali kepada akar kata dari bahasa Yunani “phainomenon” atau “phainesthai”, dan “logos”. Heidegger menjelaskan bahwa phainomenon berarti “yang memperlihatkan dirinya sendiri, yang termanifestasikan, yang tersingkapkan [das Offenbare]”. Dalam bahasa Yunani, kata pha itu sama dengan kata phōs yang artinya cahaya atau terang benderang, “yang di dalamnya, sesuatu itu bisa menjadi termanifestasikan, bisa menjadi terlihat”. Maka, fenomena adalah kumpulan dari apa yang terkena cahaya matahari, atau bisa dipapar cahaya, sesuatu yang diidentifikasi oleh orang Yunani dengan ta onta, das Seinde, apa sebenarnya sesuatu itu”. Dengan demikian, Heidegger menegaskan bahwa sesuatu yang menampakkan dirinya ini tidak seharusnya ditafsirkan sebagai bentuk sekunder yang merujuk kepada fenomena lainnya yang lebih primer. Malahan itu adalah menampaknya sesuatu sebagaimana adanya, dalam kemanifestasiannya.
Sementara akhiran –ologi dalam kata fenomenologi merujuk balik kepada kata logos dalam bahasa Yunani. Menurut Heidegger, logos adalah sesuatu yang disampaikan dalam wicara; maka makna terdalam dari logos adalah sesuatu yang memungkinkan sesuatu jadi tampak. Heidegger tidak mendefinisikan logos sebagai “nalar” (reason) atau “ranah” (ground) tetapi malah mengusulkan fungsi dari wicara, yang membuat baik nalar mau pun ranah menjadi mungkin. Logos memiliki fungsi apophantic, yaitu menunjuk kepada fenomena. Dengan kata lain, logos memiliki fungsi “sebagai” karena logos memungkinkan sesuatu bisa dilihat sebagai sesuatu.
Fungsi ini merupakan perkara penyingkapan, atau memanifestasikannya, apa sebenarnya sesuatu itu; logos membawa sesuatu dari ketersembunyiannya kepada terang benderang. Pikiran tidak memproyeksikan makna kepada fenomena; malahan sebaliknya, apa yang tampak merupakan manifestasi ontologis dari sesuatu itu sendiri. Tentu saja, melalui dogmatisme maka sesuatu bisa saja dipaksa hanya dilihat dari aspek-aspek yang dinginkan. Namun membiarkan sesuatu tampil sebagaimana adanya merupakan materi pembelajaran yang memungkinkan fenomena menampakkan dirinya sendiri. Logos (wicara) bukan sepenuhnya kekuasaan yang diberikan kepada bahasa oleh penggunanya, tapi kekuasaan yang diberikan oleh bahasa kepada penggunanya, suatu wahana dari ada yang digunakan oleh sesuatu yang dimanifestasikan melalui bahasa.
Maka, kombinasi dari phainesthai dan logos sebagai fenomenologi berarti membiarkan berbagai hal termanifestasi sebagaimana adanya, tanpa memaksakan berbagai kategori kita kepada berbagai hal tersebut. Ini berarti suatu pembalikan arah dari yang sudah biasa kita lakukan: bukanlah kita yang menunjuk pada berbagai hal; malah sebaliknya, berbagai hal menampakkan dirinya sendiri kepada kita. Ini sejalan dengan konsepsi Husserl tentang kembali kepada hal ihwal itu sendiri (zurück zu den sachen selbs).
Metode semacam itu memiliki signifikansi yang sangat tinggi bagi teori hermeneutik, karena metode tersebut menyiratkan bahwa penafsiran tidaklah berpijak pada kesadaran manusia serta berbagai kategori manusia tetapi dalam manifestasi dari sesuatu yang dihadapi, realitas yang kita jumpai, karena manusia seringkali sudah selalu terkurung dari praanggapan yang sudah lebih dulu ada di dirinya. Namun, perhatian Heidegger tertuju pada metafisika dan pertanyaan tentang ada. Bisakah metode semacam itu mengakhiri subjektivitas dan karakter spekulatif metafisika? Bisakah itu diterapkan pada pertanyaan tentang ada? Sayangnya tugas tersebut menjadi semakin rumit dengan adanya fakta bahwa ada sama sekali bukan fenomena, melainkan sesuatu yang lebih bersifat melingkupi dan sukar untuk dipahami.
Namun Heidegger menemukan akses, suatu pemahaman tertentu akan kepenuhan dari ada yang menurutnya bukanlah pemahaman yang tetap, namun terbentuk secara historis, yang terakumulasi dalam pengalaman ketika berhadapan dengan fenomena. Maka, mungkin Ada bisa dibedah dengan analisis tentang bagaimana sesuatu menjadi tampak. Ontologi harus menjadi fenomenologi, harus beralih ke proses pemahaman dan penafsiran yang melaluinya berbagai hal menampakkan diri; ontologi harus terbuka terhadap mood dan arahan dari eksistensi manusia; ontologi harus bisa membuat struktur dari ada-di-dalam-dunia menjadi terlihat.
Bagaimana kesemua ini bisa berkaitan dengan hermeneutika? Ini tak lain maksudnya bahwa ontologi harus, sebagaimana fenomenologi ada, menjadi “hermeneutika” eksistensi. Namun tentu saja hermeneutika semacam ini tidaklah menyerupai metodologi filologis gaya lama atau bahkan metodologi umum dari Geisteswissenschaften sebagaimana yang dibayangkan oleh Dilthey. Hermeneutika ini membuka apa yang tersembunyi, bukan membentuk penafsiran atas penafsiran (yang dieksplisitkan secara tekstual) tapi tindakan primer penafsiran yang terutama mengangkat sesuatu dari ketersembunyiannya.
Maka, hermeneutika pun menjadi “interpretasi atas ada dari Dasein”. Secara filosofis, ini mengedepankan struktur dasar kemungkinan bagi Dasein; ini merupakan “analisis atas eksistensialitas Existenz”, yaitu, analisis kemungkinan autentik ada bagi manusia. Menurut Heidegger, hermeneutika merupakan fungsi penjabaran mendasar yang melaluinya Dasein dengan sendirinya bisa mengenal sifat dasar ada. Hermeneutika sebagai metodologi penafsiran bagi kemanusiaan merupakan bentuk turunan yang didasarkan pada dan tumbuh dari fungsi ontologis primer penafsiran.
Dengan begitu, hermeneutika menjadi ontologi pemahaman dan penafsiran. Sementara itu, atas nama disiplin filologi, sebagian kritikus mungkin melihat dengan gusar pembelotan definisi ini, namun sesungguhnya Heidegger benar-benar telah memperdalam dan memperluas kecenderungan historis dalam mendefinisikan hermeneutika secara lebih komprehensif. Heidegger mendefinisikan hakikat hermeneutika sebagai kekuatan ontologis pemahaman dan penafsiran yang memungkinkan penyingkapan ada dan pada akhirnya potensialitas dari ada Dasein itu sendiri. Dengan cara lain bisa dikatakan bahwa: hermeneutika masih merupakan teori tentang pemahaman namun pemahaman yang didefinisikan berbeda (secara ontologis).
Sifat Dasar Pemahaman
Pemahaman (verstehen) merupakan istilah khusus dalam pemikiran Heidegger. Baginya, pemahaman adalah kekuatan untuk mengerti kemungkinan manusia itu sendiri bagi ada, dalam konteks Lebenswelt yang di dalamnya manusia itu eksis. Pemahaman merupakan suatu bentuk atau unsur pokok dari ada-di-dalam-dunia. Pemahaman bukanlah suatu entitas di dunia tapi merupakan struktur dalam ada yang memungkinkan penggunaan aktual dari pemahaman pada tingkat empiris. Pemahaman merupakan dasar bagi seluruh penafsiran; pemahaman memiliki asal yang sama dengan eksisnya manusia dan hadir dalam setiap tindakan penafsiran.
Dengan demikian, pemahaman itu bersifat fundamental secara ontologis dan mendahului setiap tindakan bereksistensi. Sisi lainnya dari pemahaman ada dalam fakta bahwa pemahaman selalu berhubungan dengan masa depan; inilah karakter proyektifnya (Entwurfscharakter). Namun, proyeksi mestilah memiliki dasar, dan pemahaman selalu terkait dengan situasi seseorang (Befindlichkeit). Namun, hakikat dari pemahaman bukanlah semata pada mengerti situasi seseorang, namun dalam penyingkapan potensialitas konkret bagi ada di dalam horizon dari tempat manusia di dunia. Untuk aspek pemahaman ini Heidegger menggunakan istilah “eksistensialitas” (Existenzialität). Heidegger melihat bahwa ciri-ciri penting dari pemahaman itu selalu beroperasi di dalam serangkaian hubungan yang telah ditafsirkan, suatu keseluruhan yang saling berhubungan (Bewandtnisganzheit). Implikasi dari hal ini bagi hermeneutika meluas, yaitu hingga mengeksplorasi implikasi lingkaran hermeneutik bagi struktur ontologis dari pemahaman dan penafsiran eksistensial seluruh manusia. Pokok pentingnya bahwa dalam pemikiran Heidegger, pemahaman menjadi bersifat ontologis.
Dunia dan Hubungan Kita dengan Objek di Dalam Dunia
Istilah “dunia” dalam pemikiran Heidegger tidak merujuk kepada lingkungan kita, semesta sebagaimana tampak bagi tatapan ilmiah; dunia yang dimaksud lebih dekat kepada sesuatu yang bisa kita sebut sebagai dunia personal. Dunia bukanlah segenap pengada, dunia adalah keseluruhan yang di dalamnya manusia selalu mendapati dirinya sendiri telah terbenam, dikelilingi oleh berbagai manifestasinya sebagaimana disingkapkan melalui pemahaman yang selalu bersifat serba melingkupi dan mendahului pengertian. Dunia adalah sesuatu yang dipahami “bersamaan” dengan berbagai entitas yang muncul di dunia, namun pemahaman mestilah dilakukan melalui dunia. Ini fundamental bagi seluruh pemahaman; dunia dan pemahaman merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari konstitusi ontologis keberadaan Dasein.
Berbagai perabotan yang digunakan sehari-hari, berbagai gerakan tubuh yang dilakukan tanpa berpikir, semuanya menjadi transparan. Hanya baru ketika terjadi sejumlah kerusakan maka kesemuanya itu menjadi terperhatikan. Pada titik ketika sesuatu tidak berjalan sebagaimana semsetinya, maka barulah kita mengamati sebuah fakta signifikan: makna dari objek-objek ini berada dalam relasinya dengan keseluruhan struktural dari makna dan intensi yang saling berkaitan. Ketika terjadi kerusakan, untuk sesaat makna dari objek-objek itu menjadi terang, mencuat secara langsung dari dunia. Pengalaman ini menyiratkan prinsip hermeneutik: bahwa ada-nya sesuatu itu disingkapkan bukan oleh tatapan analitis kontemplatif tetapi dalam momen ketika sesuatu itu mendadak muncul dari ketersembunyiannya dalam konteks fungsional dunia. Demikianlah, karakter dari pemahaman akan bisa dipahami lebih baik bukan melalui katalog analitis berbagai atributnya, bukan pula dalam segenap fungsi sebenarnya, tetapi ketika sesuatu itu tak berjalan sebagaimana mestinya, ketika membentur jalan buntu, barangkali ketika sesuatu yang seharusnya ada malah hilang.
Catatan Kritis
Sebagaimana telah diperlihatkan sebelumnya, pergeseran hermeneutika dari alat untuk menafsir teks dalam filologi menjadi cara berpikir dimulai oleh Heidegger. Menurut Heidegger, hidup berarti memahami, dan itu berarti menafsir. Segala pemahaman tentang hidup dimungkinkan karena kita menafsir. Tak ada hal dalam dunia manusia yang tanpa tafsiran. Bahwasanya bahasa, kosa kata, pemberian nama pada setiap hal, adalah tafsir pada tingkat pertama. Bisa dikatakan bahwa bahasa adalah semacam ‘cetakan es’ realitas, bahwa realitas itu tanpa bentuk dan bahasa adalah cetakannya. Bahasa adalah cara berpikir yang khas, pola tafsir yang khas, cara manusia memahami dan membentuk dunianya sendiri yang unik. Karena ada banyak bahasa, maka berarti ada banyak dunia, sebab bahasa menentukan cara kita memahami sesuatu. Bahasa adalah lensa berwarna, bukan lensa bening netral ataupun cermin. Bahasa manusia lebih dari sekadar alat komunikasi dan koordinasi perilaku, bahasa juga sekaligus alat refleksi (renungan) dan alat interpretasi yang memungkinkan manusia memahami realitas melalui konsep-konsep abstrak dan kesadaran diri yang makin tinggi (manusia sadar bahwa ia sadar), yang akhirnya melahirkan kebudayaan yang unik dan pelik. Bahasa memungkinkan manusia membuat “abstract linguistic distinction of linguistic distinction” (konsep ‘meja’ dan ‘kursi’ dipilah lagi ke dalam ‘panjang’, ‘lebar’, ‘tinggi’; lalu di pilah lagi ke dalam ‘inci’, ‘sentimeter’, ‘milimeter’, dan seterusnya).
Dalam esai “Letter on Humanism”, Heidegger menuliskan diktum enigmatik bahwa “Bahasa adalah rumah Ada dan dengan bermukim di dalamnyalah maka manusia pun eksis”. Lazimnya, bahasa hanya dianggap sebagai alat untuk mengkomunikasikan suatu informasi; atau diasumsikan juga bahwasanya bahasa biasa (prosaic) itu adalah norma, sedangkan bahasa puitis adalah derivatif. Namun, diktum Heidegger itu merujuk pada bahasa sebagai representasi—atau kalau dalam peristilahan yang digunakan oleh Heidegger adalah penyingkapan ada—yang selalu berlangsung secara historis dan selalu dalam konteks pemahaman zamannya. Bahwa seorang yang hidup di zaman modern ketika mengeluhkan—menggunakan bahasa—ihwal penyakitnya maka akan mengaitkannya pada penjelasan medis modern, sementara seorang yang hidup di abad pertengahan maka akan mengaitkannya pada dosa kedagingan manusia yang bisa disembuhkan melalui kesalehan dan ibadah, misalnya penyakit kusta. Hal ini menunjukkan bahwa kebenaran itu terkait dengan interpretasi yang selalu berevolusi secara historis. Pandangan Heidegger atas bahasa inilah yang melandasi hermeneutika modern sebagai kerangka berpikir baru filsafat.
Pandangan ini memperlihatkan bahwa segala pemahaman manusia tentang sesuatu hal dimungkinkan justru karena sudah adanya praanggapan atau prasangka terlebih dahulu, sehingga tak ada pemahaman tanpa praanggapan, prasangka, netral dan murni. Pola berpikir yang mengandaikan pemilahan Subjek-Objek sudah sulit dipertahankan. Dalam hidup, kebenaran bukanlah sekadar soal fakta melainkan lebih masalah makna. Terlampau lama orang mengira kebenaran adalah soal fakta, dan karenanya peradaban teramat berlebihan bersandar pada sains hingga masalah makna sempat dianggap sekadar perkara subjektif. Hermeneutika menghilangkan pola pikir subjek-objek, dan bahwa dunia manusia sudah selalu merupakan dunia menurut tafsir bahasa manusia sendiri. Namun, bukan berarti bahwa segala hal itu hanyalah penafsiran sebagaimana Nietzsche yang menyatakan bahwasanya tak ada fakta, hanya tafsiran. Bagaimana pun, suatu tafsir bisa terlahir karena ada sesuatu dari objek yang diamati yang memungkinkan tafsir itu lahir.
Dulu orang sering mengklaim bahwa sains itu objektif dan bisa terbebas dari subjektivitas dan tafsiran, namun dengan perkembangan terbaru dalam sains seperti teori chaos, quantum, fraktal dan prinsip ketidakpastian, sains pun ternyata tak bisa mengelak dari nuansa penafsiran walau mungkin tipis lapisannya. Sementara dalam humaniora, lapisan yang tersedia untuk penafsiran memang lebih tebal. Seperti halnya hanya ada satu teori untuk gravitasi yang masih bisa ditumbangkan oleh teori lainnya yang lebih mampu menjelaskan lebih lengkap, namun ada 8 teori untuk psikologi manusia yang satu sama lain bisa saling bertolak belakang; begitu kurang lebih perbedaan kadar penafsiran dalam sains dan humaniora. Singkatnya, bahwa penafsiran itu bukanlah sesuatu yang terlahir semena-mena, namun kadar kemungkinan penafsirannya saja yang berbeda-beda dalam tiap jenis disiplin ilmu, dalam hal ini khususnya adalah sains dan humaniora.[]
Catatan:
* Sebagian tulisan ini disadur oleh Alfathri Adlin dari bab 9 buku Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer karya Richard E. Palmer, Northwestern University Press, Evanston, 1969.
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji