Adakah Irisan Sosiologi dengan Tashawwuf?

Eveline Ramadhini

Wacana antara ilmu pengetahuan dengan agama seringkali menjadi hal yang tabu mengingat dunia yang semakin berkiblat ke arah sekuler yang notabene memisahkan antara agama dengan berbagai hal dalam sistem masyarakat. Padahal, bisa jadi keduanya memiliki kaitan yang erat, atau bahkan beririsan. Selama mendalami sosiologi tujuh tahun lamanya, sekaligus berkecimpung dalam dunia tashawwuf yang cenderung baru tiga tahun, setidaknya penulis memiliki asumsi bahwa terdapat irisan antara ilmu masyarakat yang kita kenal sebagai sosiologi dengan tashawwuf.

Apa itu sosiologi? Apa itu tashawwuf? Pertanyaan-pertanyaan tersebut barangkali muncul jika penulis memiliki asumsi seperti itu. Merujuk dari akar katanya, sosiologi diungkapkan oleh Auguste Comte (1798-1857) dalam bukunya Cours De Philosophie Positive, bahwa ia berasal dari bahasa Latin, Socius yang bermakna teman atau kawan, sementara Logos merupakan ilmu pengetahuan. Di dalam sosiologi, secara umum dijelaskan terkait keilmuan tentang masyarakat yang merujuk pada relasi yang dibangun antar manusia. Maka kita sering mendengar berbagai istilah dalam sosiologi seperti nilai, norma, birokrasi, interaksi sosial, fakta sosial, tindakan sosial, imajinasi sosiologi dan konsep-konsep lainnya yang dikonstruksikan oleh para sosiolog untuk dapat menganalisis masyarakat.

Sosiologi merupakan keilmuan yang cenderung bersinar dari dunia Barat. Tokoh-tokoh yang berperan secara sentral di sana kebanyakan berasal dari Eropa, seperti yang sudah kita tahu, yakni Karl Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1858-1917), Max Weber (1864-1920), dan juga George Simmel (1858-1918) yang selanjutnya disebut sebagai era teori klasik. Tapi, ke manakah Ibnu Khaldun (1332-1406) yang merupakan sosiolog Islam itu? Di dalam buku Sociological Theory yang ditulis oleh Ritzer dan Goodman pada tahun 1988, Ibnu Khaldun hanya masuk dalam salah satu lembar biografi, dan tidak dibahas secara kompeherensif dalam satu bab khusus selayaknya Marx, Durkheim, Weber, dan Simmel. Jadi, tulisan ini belum membahas dalam ranah kekaryaan Ibnu Khaldun—yang padahal tidak kalah penting; namun, mungkin karena perbedaan zaman yang sangat signifikan, Ibnu Khaldun tidak dibahas secara khusus dalam buku tersebut.

Adapun tashawwuf, menurut Zamzam AJ Tanuwijaya, pada dasarnya merupakan bagian dari tiga pilar agama. Ia merujuk pada Hadits Arbain nomor 2 mengenai Islam, iman, dan ihsan sebagai berikut:

Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia berkata: “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Islam adalah engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata, ”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya. Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab, ”Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para RasulNya, hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk.la berkata, “Engkau benar.” Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.”

Menurut Zamzam, Islam melahirkan ilmu yang sekarang dikenal sebagai ilmu fikih, iman melahirkan ilmu tauhid, sedangkan ihsan melahirkan ilmu Tashawwuf. Keihsanan, berdasarkan hadis tersebut pada dasarnya menajamkan aspek rasa mengenai dilihat oleh Yang Maha Tak Terlihat. Secara lebih mudahnya, imajinasi mengenai keberadaan Tuhan adalah hal yang sangat lumrah dalam dunia Tashawwuf. Dalam Rubaiat yang ditulis Rumi, sebuah puisi menjelaskan soal imajinasi tentang Tuhan yang berjudul ‘Yang Teramat Lembut’:


Wahai yang teramat Lembut,
yang menebarkan benih kesetiaan.

Dan menurunkan hujan kebaikan murni
ke atas bumi hitam ini:

Tentulah kau paham belaka keadaanku,
dimana pun aku berada.

Jangan lagi kau pernah pisahkan
aku dengan Cintaku.

Puisi ini tengah menggambarkan imajinasi seorang hamba terhadap Tuhan yang menciptakannya dan menguasai seluruh kehidupannya. Tuhan, dalam puisi tersebut digambarkan sebagai sosok yang sangat lembut karena telah memberikan kesegaran hujan yang bisa jadi berupa ilmu pengetahuan, pemahaman, sehingga jasad yang tadinya gelap dan gersang, menjadi tumbuh subur. Sang hamba pun memahami betul bahwa Tuhan lebih memahami dirinya, dibandingkan dirinya sendiri—dan tak bisa bersembunyi tanpa diketahui oleh Tuhan. Maka, dalam doanya, ia meminta agar jangan pernah dipisahkan oleh Tuhan karena ekstasenya dalam percintaan seorang hamba dengan Tuhannya. Pada intinya, ilmu Tashawwuf, menurut penulis, tengah mengajarkan ilmu bagaimana berimajinasi tentang Tuhan yang tidak bisa tercerap oleh indra, namun adanya kian nyata karena dirasa dengan hati (qalb). Realitas tentang ketuhanan yang kita pahami selama ini hanya menyangkut soal apa yang bisa dilihat oleh mata, digenggam oleh tangan, dikecap oleh lidah seperti jumlah ibadah harian yang bersifat kuantitatif—tetapi belum tentu pada apa yang dirasa dengan hati (secara kualitatif). Implikasinya, kita seringkali terjebak pada dunia yang penuh materialisme serta mendefinisikan kebahagiaan lewat kadar harta dan jabatan yang dipunya.

Dalam ilmu sosiologi pun sama. Umumnya, ilmu sosiologi bersifat abstrak dan tidak bisa diraba oleh indrawi manusia. Seperti istilah interaksi sosial, ia tidak memiliki wujud yang nyata. Demikian juga dengan fakta sosial yang dirumuskan oleh Durkheim, ia adalah hasil pemikiran objektif yang kemudian diakui sebagai teori klasik yang sangat berpengaruh dalam dunia akademik sosiologi. Lalu bagaimana dengan konsep nilai, norma, birokrasi, struktur sosial, interaksionisme simbolik, dan berbagai istilah lainnya itu? Tentu semuanya juga sama, tak memiliki wujud dan rupa namun dapat dibahasakan oleh kata-kata yang dikonstruksikan oleh para ilmuwan sosial tersebut. Dalam ilmu sosiologi, hal ini disebut sebagai imajinasi sosiologi.

Imajinasi sosiologi diungkapkan pertama kali oleh C. Wright Mills dalam bukunya The Sociological Imagination pada tahun 1959 yang merupakan seorang sosiolog Amerika terkemuka pada masanya. Ia mendefinisikan imajinasi sosiologi sebagai suatu kemampuan untuk menelaah suatu proses sosial yang berinteraksi satu sama lain yang notabene terjadi secara dinamis di dalam masyarakat. Dengan adanya imajinasi sosiologi, menurut dia, tentu seseorang dapat memahami sejarah dengan lebih bermakna bagi batinnya. Dengan demikian, terciptalah pandangan-pandangan yang objektif, bagaimana struktur sosial memengaruhi perilaku seseorang yang dibentuk oleh konteks sosial tertentu, aktor dan juga tindakan. Maka, seringkali sosiolog dapat melihat apa yang orang awam tidak bisa lihat, yang diistilahkan sebagai ‘beyond commonsense’. Maka, tak heran jika sosiologi dinobatkan oleh Auguste Comte sebagai The Queen of Social Science karena ia melahirkan cabang ilmu lainnya, semisal ilmu kesejahteraan sosial, komunikasi, antropologi, dan cabang ilmu sosial lainnya.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi dengan tashawwuf memiliki kesamaan berupa memahami sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh indrawi manusia. Tetapi yang mengherankan bagi penulis adalah kaidah sosiologi yang berpikir kritis ini malah seringkali berujung keraguan kepada Tuhan. Padahal, sosiologi juga tengah mengajarkan kepada manusia bahwa banyak hal yang tidak dapat diindra oleh raga manusia, namun nyata adanya. Di situlah titik letak irisan antara sosiologi dengan ilmu Tashawwuf.

Referensi:

Hadits Arbain nomor 2.

Mills, C. Wright (1959). The Sociological Imagination. Oxford University Press: New York.

Ritzer, George and Douglas J. Goodman (1988). Sociological Theory: Sixth Edition. McGrawHill: America.

Turner, Jonathan H, et. al (2011). The Emergence of Sociological Theory: The Sociology of Auguste Comte. Sage Publication: USA.

Comte, Auguste (1830). Cours De Philosophie Positive. Stanford Publisher: Paris.