Dharma sebagai Etika dalam Hinduisme

Alfathri Adlin

Menurut Klostermaier, Hinduisme adalah berziarah ke Tirupati, sebuah program politik, sebuah filsafat mendalam, sebuah cara hidup, khotbah tentang Bhagavad Gitâ, hidup asketis, malam ceria dengan melantunkan pujian Rig-Weda di sebuah rumah Bombay, ritual rutin bagi para Brâhmana, festival kuil di Madurai dan mandi di sungai Ganggâ, dan lain-lain.1 Hinduisme merupakan tradisi religius tertua dan tidak diketahui siapa pendirinya; ahistoris sekaligus nonhistoris karena tidak memiliki awal sejarah dan tidak ada pendiri tunggal. Hinduisme muncul dalam berbagai bentuk dan variasi; dipersembahkan dan ditafsirkan oleh masing-masing pengikutnya dengan cara yang begitu beragam, sehingga sangatlah sulit untuk mendefinisikannya, terutama isinya. Di Barat, Hinduisme diperlakukan sebagai salah satu agama utama di dunia, namun bagi kaum Hindu, Hinduisme adalah cara hidup, sebuah budaya besar yang kaya, sebuah lingkungan yang meliputi kaum Hindu dari lahir sampai mati, sebuah Hukum atau Kebenaran Abadi (Sanâtana Dharma).

Istilah Hindu yang dipergunakan sekarang sebagai nama agama pada umumnya tidak dikenal pada zaman klasik. Beratus- ratus tahun sebelum tahun masehi, penganut ajaran kitab suci Weda tumbuh subur dan berkembang pesat dalam masyarakat, sehingga para ahli menyebutkannya dengan nama agama Weda atau Zaman Weda. Kemudian Hindu dipakai sebagai nama dengan mengambil nama tempat di mana agama itu mulai berkembang, yakni di sekitar sungai Sindu atau Indus. Kata Sindu inilah yang kemudian berubah menjadi kata Hindu karena terkena pengaruh hukum metathesis dalam bahasa Sanskerta di mana penggunaan huruf “s” dan “h” dapat ditukar- tukar, misalnya kata “Soma” dapat menjadi kata “Homa”, kata “Satima” dapat menjadi “Hatima”, dan sebagainya. Kata Hindu atau Sindu dalam bahasa Sanskerta adalah tergolong kata benda maskulin, yang berarti titik-titik air, sungai, laut, atau samudra. Air melambangkan Amrita yang berarti air kehidupan yang kekal abadi, dipergunakan dalam upacara-upacara agama Hindu dalam bentuk tirtha (air suci).2

Menurut R. Antoine, sangatlah sulit untuk mendefinisikan Hinduisme, karena “Hinduisme bukanlah satu agama dengan syahadat tunggal yang harus dipatuhi oleh semua orang. Hinduisme lebih merupakan sebuah federasi berbagai pendekatan terhadap Realitas yang berada di balik kehidupan.”3 Selain pluralitas doktrin, aliran serta latihan, ada dua unsur yang membuat elaborasi definisi menjadi sulit. Pertama, Hinduisme tidak memiliki seorang pendiri seperti dalam Buddhisme, Kristen, dan Islam; kedua, Hinduisme tidak memiliki lembaga otoritas yang merumuskan batas-batas dogma.

Pandangan Introspektif Ihwal Diri dalam Vedânta

Radhakrisnan pernah mengemukakan bahwa Etika Timur itu berorientasi kehidupan, keselamatan, keseimbangan alam, dan bukan diskusi skolastik atau akademis, tetapi orientasi kehidupan; mencari kebijaksanaan, terlibat dalam sosialitas; kaitan kerohanian dan fisik tak terpisahkan dan juga merupakan kebijakan hidup sosial. Etika Hindu juga melihat ke dalam (introspektif), entah mulai dari mana, masuk ke jati diri, ke kedalaman, bukan dunia eksternal (atmavidya); kebenaran bukan sesuatu yang objektif atau berkorespondensi dengan dunia luar, melainkan dengan kesungguhan diri; dekat dengan psikologi dan etika; berkecenderungan mistik, gnostik; subjek atau aku diredam dalam peleburan.4

Pandangan introspektif tersebut bisa ditemui juga dalam Upanishad yang juga dikenal sebagai Vedânta, dan telah ribuan tahun menjadi sumber inspirasi religius umat Hindu. Secara etimologis “vedânta” berarti bagian akhir Weda. Upanishad ditulis oleh dan diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah meninggalkan kehidupan duniawi (sannyâsin). Bagi mereka Upanishad menjadi pegangan primer dan dasar metafisika yang melandasi semua ajaran Hinduisme. Walau pun diterima sebagai “sruti”, yakni sebagai bagian dari pewahyuan Weda, status Upanishad bukan menyampaikan kearifan manusia, namun menyediakan kebenaran yang membebaskan. Ucapan-ucapan dalam Upanishad dianggap sebagai ungkapan verbal dari kebebasan terakhir. Upanishad tidak ditulis dengan gaya textbook seperti filsafat modern, tetapi menawarkan ajarannya dengan cara yang tidak sistematis dan melalui cerita, perumpamaan, aforisme dan metafora. Upanishad mengajarkan ‘jalan pengetahuan’ (jñâna-yoga) untuk mencapai kebebasan akhir. Dasar teori realitas dan metode yang diusulkan adalah untuk mencapai pencerahan, namun metodenya sangat beragam.5

Meskipun sering dianggap sebagai bentuk paling representatif dari mistisisme Timur dan metafisika, Vedânta belum mencapai tingkat popularitas yang sama di Barat sebagaimana yang telah dicapai yoga dan Zen. Ini mungkin dikarenakan yoga dan Zen terhubung dengan praktik-praktik tertentu dan rata-rata orang akrab dengan keduanya—sekali pun hanya sebatas nama—melalui berlimpahnya tawaran kursus Yoga dan Zen (sementara saat ini yoga seringkali hanya diidentikkan dengan latihan hatha yoga). Vedanta, sebaliknya, dipandang lebih sebagai semacam metafisika yang musykil, sesuatu yang menjadi makanan kepala dan hanya bisa diakses oleh segelintir elit intelektual. Di sisi lain, ada banyak upaya kontemporer yang mencoba mempopulerisasikannya dengan melihat Vedânta sebagai akumulasi total dari semua sistem agama dan filsafat, suatu filsafat perennial dalam bentuknya yang paling sederhana dan paling padat, semacam agama universal, yang, sekalinya berbagai percabangan kusut dalam keeksotikkan tersebut dihapuskan, maka bisa benar-benar masuk akal dan mudah dimengerti bahkan bagi seorang anak kecil sekali pun.

Tentu saja, baik pendekatan yang terlalu rumit mau pun pendekatan yang terlalu disederhanakan membuat akses ke Vedânta tidak harus sulit, karena keduanya bisa saja mendorong kesalahpahaman bahwa Vedânta dengan sendirinya hanya ditujukan secara eksklusif bagi kalangan intelek. Oleh karena itu, bagi sebagian orang, Vedânta tampak beberapa kali lebih sulit daripada, misalnya, penggabungan pemikiran Kant, Hegel, dan Schelling menjadi satu, sementara bagi sebagian yang lainnya, Vedânta itu dapat direduksi menjadi beberapa konsep siap pakai—misalnya Brahman, Âtman, maya, reinkarnasi, dan sejenisnya—yang dengan itu segenap teka-teki di dunia dapat dipecahkan sekaligus.

Vedânta memang ingin dipahami dan, seperti semua pandangan dunia dan agama lainnya, Vedânta memang mencoba mencari tahu “apa yang berada jauh di inti terdalam yang menopang seluruh semesta ini,” begitu kalau meminjam istilah dari Faust karya Goethe. Namun, ketika semua telah diklarifikasi, sesuatu yang tak terungkapkan tetap saja ada di jantung Vedânta yang sebenarnya, sesuatu yang mengungkapkan dirinya sendiri hanya dalam kesadaran mistis batin, mempertahankan sesuatu yang misterius bahkan dalam pewahyuan. Sama halnya seperti Taoisme, Zen Buddhisme, tashawwuf, dan mistisisme Kristen, Vedânta terutamanya adalah jalan yang harus dijalani sendiri. Tujuannya adalah ingin mencapai inti terdalam manusia, intuisinya yang terdalam, yang di sana cahaya kebenaran tiba-tiba bersinar. Penekanannya adalah pada pengalaman dan penyadaran. Manakala hal ini tidak lagi menjadi pokok ajarannya maka yang tersisa hanyalah sebuah bangunan kosong di hadapan kita, suatu sistem, ideologi, hanya salah satu di antara banyak hal sejenis lainnya.

Manakala Vedânta mempertahankan vitalitasnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Romo dari Benedictine bernama LeSaux (Swami Abhishiktananda)—yang hidup dan mati di India—yang berkata tentang Upanishad yang juga berlaku bagi semua Vedânta: “Tidak cukup begitu saja ditekankan bahwa pengalaman ini [pengalaman akan realitas ÂtmanBrahman] memiliki asal-usulnya di tingkat terdalam dari wujud kita. Panggilan dari Upanishad berasal dari alam yang melampaui ruang dan waktu. Suaranya muncul dari keheningan. Panggilan ini berusaha untuk menyadarkan manusia dan membawanya kembali ke dirinya sendiri. Sama seperti guru, kitab-kitab sucinya juga adalah cermin yang di dalamnya manusia secara bertahap menemukan dirinya sendiri dan akhirnya mengakui kebenaran terdalam tentang dirinya sendiri. Momen tersebut datang ketika percikan-percikan cahaya yang terbang melintas dari satu kutub ke kutub lainnya. Setelah itu, tidak ada apa-apa lagi selain cahaya terang di mana-mana—dan di dalamnya semuanya lenyap, sang guru, murid, dan bahkan kitab suci…”6

Menurut ajaran Advaita Vedanta, yaitu, ajaran non-dualitas, Brahman dan wujud terdalam kita, Âtman, itu identik. Baik istilah Âtman mau pun Brahman, secara etimologis, menyiratkan suatu kekuatan dinamik, namun pada masa berikutnya secara bertahap istilah itu berubah menjadi bermakna wujud yang statis. Âtman juga secara sifat dasarnya sebenarnya merujuk pada sesuatu yang dinamis, sebagai napas kehidupan, hingga menjadi energi dasar yang menjaga makhluk hidup tetap hidup. Bukanlah suatu kebetulan bahwa kata ini awalnya diidentifikasikan terutama dengan prana (energi hidup). Maka kata Âtman, seperti kata psukhe dalam bahasa Yunani, nefes dalam bahasa Ibrani, dan nafs dalam bahasa Arab, pertama-tama dan terutama sekali bermakna napas dan kehidupan. Namun sejak awal, Âtman telah dikaitkan dengan person individual, dengan sang “aku” atau diri. Memang benar bahwa dalam tradisi Vedanta berikutnya, Âtman malah menandakan hampir kebalikan dari “aku” atau “ego”. Tapi ini terjadi karena “aku” yang dipersonifikasikan dianggap sebagai ilusi, dan Âtman berarti Diri transenden ilahi yang melampaui segala topeng ego.7 

Dharma dalam Bhagavad Gita

Bhagavad Gita artinya ‘Nyanyian Tuhan’ atau ‘Nyanyian Suci’. Kitab suci umat Hindu ini adalah bagian dari Bhisma Parwa dari Mahabharata yang disusun oleh Bhagawan Wyasa … Isinya ialah pembicaraan antara Sri Krishna dan Arjuna dalam medan perang Kuruksetra di mana berhadapan antara saudara Pandawa dan Kaurawa. Pembicaraan ini dibukukan dalam 700 sloka…Bhagavad Gita juga disebut dengan lain nama, yaitu Upanishad, bagian akhir dari Weda-weda. Ini mengingat juga bahwa apa yang diajarkan oleh Sri Krishna sebagai Awatara dari Bhatara Wishnu adalah pengetahuan suci yang abadi dan diulangi dari zaman ke zaman bila keadaan dunia dalam kegelapan di mana umat manusia melupakannya … Di sini Sri Krishna sebagai Awatara dari Bhatara Wishnu mengajarkan pada Arjuna bagaimana mencapai pembebasan diri, kebahagiaan yang abadi, mengatasi kesengsaraan hidup, dengan melaksanakan kewajiban di dalam hidup menurut Swadharma.”8 Begitulah penjelasan tentang Bhagavad Gita sebagaimana dituliskan oleh Prof. Dr. I. B. Mantra, salah seorang penerjemah otoritatif kitab tersebut ke dalam bahasa Indonesia.

Bhagavad Gita adalah kitab paling muda dari semua teks agama Hindu yang diperkirakan baru ditulis sekitar 400 SM, dan malah ada yang menyatakannya baru ditulis sekitar 200 SM. Namun, menariknya, kitab ini justru mendapatkan popularitas paling besar dan bisa dibilang mempunyai kedudukan sentral dalam menyatukan banyak sekte Hindu yang berkembang di kemudian hari. Menurut Ronald W. Neufeldt, popularitas Bhagavad Gita baru dimulai pada abad sembilan belas, sebelum itu Bhagavad Gita dianggap sebagai salah satu kitab Upanishad yang hanya dikenal oleh kalangan elit atau kalangan Hindu terpelajar.9 Bagi Mahatma Gandhi, popularitas dan penerimaan yang luas atas Bhagavad Gita adalah dikarenakan nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya, hal itu semakin cepat menyebar dan disukai karena Bhagavad Gita pun mudah dipahami sebab ditulis dengan bahasa Sanskrit yang sederhana, serta menawarkan nilai-nilai moral yang mudah dipahami oleh masyarakat biasa.10

Etika dalam Hinduisme itu dimulai dengan melihat ke dalam (introspektif), masuk ke jati diri, ke kedalaman. R.C. Zaehner menjelaskan bahwa dalam Bhagavad Gita dibedakan tiga komponen, yaitu ‘badan’, ‘buddhi’ dan ‘atman’. Dalam Bhagavad Gita ada pembedaan istilah yang  problematis, yaitu antara ‘buddhi’ sebagai jiwa dan ‘atman’ sebagai jatidiri; “buddhi kadang juga diterjemahkan dengan kebijaksanaan atau akal, yang biasanya menyertai pertimbangan ‘jiwa’. Sementara ‘jati diri’ (atman) karena sifatnya yang abadi, sebagai bagian dari yang ilahi, tidak mempunyai tanggung jawab moral.”11

Lebih jauh lagi, ‘buddhi’ sebagai jiwa berarti “…‘jiwa’ tetap merupakan subjek yang mengontrol keutuhan dari seluruh pribadi. ‘Jiwa’ juga bertanggung jawab atas jatuh bangunnya pribadi dan karena itu menjadi fakultas paling penting dari manusia. ‘Jiwa’ merepresentasikan seluruh pribadi dan merupakan subjek yang menjalani perpindahan hidup [6,43] dan menjadi satu-satunya dari antara fakultas manusia yang meresap dalam dan dapat memahami ‘jatidiri’ manusia dalam kemuliaannya yang abadi [6, 201-21]. ‘Jiwa’ itu mengontrol budi sebagaimana budi pada gilirannya mengontrol indera-indera [6, 25-26] yang ada di bawahnya dan berkat keutuhan yang diselenggarakan oleh ‘jiwa’, manusia mencapai Brãhman, Tuhan sendiri [18, 49-54].”12 Namun, seperti pernah dikemukakan oleh Mantra, untuk mencapai pembebasan diri, kebahagiaan yang abadi, mengatasi kesengsaraan hidup, adalah dengan melaksanakan kewajiban di dalam hidup menurut Swadharma. Apa itu Dharma?

Kata “Dharma” berasal dari bahasa Sanskerta, akar katanya adalah “dhr” (baca: dri) yang artinya menjinjing, memangku, memelihara, mengatur, atau menuntun. Akar kata “dhr” ini kemudian berkembang menjadi kata dharma yang mengandung arti hukum yang mengatur dan memelihara alam semesta beserta segala isinya. Dalam hubungan dengan peredaran alam semesta, kata dharma dapat pula berarti kodrat (diri). Sedangkan dalam kehidupan manusia, dharma dapat berarti ajaran, kewajiban atau peraturan-peraturan suci yang memelihara dan menuntun manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup yaitu tingkah laku dan budi pekerti yang luhur. Dalam Pustaka Smrti Santi Parwa 109.11 disebutkan:13

Dharanad dharma ityahur  Dharmena widrtah prajahKata dharma dikatakan datang dari kata Dharana (yang berarti memangku, menjunjung, atau mengatur)Dengan dharma semua makhluk diatur

Istilah ‘agama’ dengan ‘dharma’ mempunyai pengertian yang sulit dibedakan, maka dalam kaitannya dengan nama agama Hindu biasa juga disebut Hindu Dharma, bahkan di India lebih umum nama ini dipakai. Konsep dharma itu penting untuk memahami Bhagavad Gita, sebuah konsep yang berkembang di India, namun tidak terbatas pada ajaran agama baik Hindu atau pun Buddha. Dharma adalah sebuah kata yang sulit untuk diterjemahkan, bahkan Agama Hindu menyebut dirinya sebagai Sanatana Dharma. Secara sempit, dharma bisa diterjemahkan sebagai kewajiban, semacam tatanan kehidupan, yang merupakan hukum universal yang mengatur seluruh alam semesta, bahkan sebelum penciptaan. Contohnya, adalah dharma seekor kerbau untuk memamah biak, adalah dharma seekor ular untuk menjadi pemangsa. Kehidupan di dunia ini berjalan bila masing-masing makhluk, baik yang hidup atau yang mati, menjalankan dharma-nya. Secara lebih spesifik, dharma dalam tradisi Weda berarti penerapan dari dharma yang universal itu sendiri, yaitu segala macam kewajiban hidup yang sesuai dengan hukum universal.14

Nah, Bhagavad Gita bermula dari dilema yang dihadapi oleh Arjuna. Ia tahu bahwa membunuh adalah perbuatan yang tercela. Tetapi apabila ia berhadapan dengan kejahatan, dalam hal ini diwakili oleh para Kurawa, apakah membunuh dibolehkan atau tidak. Dharma Arjuna sebagai satria (ksatriyadharma) mengharuskan dia untuk menegakkan keadilan, dan demikian membunuh Kurawa. Namun dharma Arjuna sebagai sanak saudara (kuladharma) bagi Kurawa mengharuskan ia untuk mengasihi mereka.15 Menariknya, dilema ini tidak dihadapi oleh Duryadana, di pihak Kurawa, yang merasa yakin bahwa perang yang ada di hadapannya adalah sebuah perang yang benar, untuk memperebutkan tahta kerajaan Astina, dan dharma-nya adalah menjadi seorang raja. Dalam dilema itu, Arjuna berniat ingin melarikan diri dari dharma-nya sebagai seorang satria, karena ia mengira dapat membebaskan diri dari karma buruk yang akan ditanggungnya jika ia tetap maju ke medan perang. Kesemuanya ini memberikan dilema yang berat bagi Arjuna, hingga dia tidak dapat melanjutkan untuk maju ke medan perang. Di titik inilah ia meminta bantuan kepada Sri Krishna, penasehatnya, sekaligus kusirnya di medan perang. Sri Krishna pun menegur paham Arjuna yang melihat bahwa melarikan diri dari tindakan adalah solusi dari dilemanya, maka dimulailah percakapan tentang dharma dalam Bhagavad Gita, seperti yang tertuang di bawah ini (cetak tebal dari saya)16:

Bab XVIII no. 41 – 48

41. O, Arjuna, tugas-tugas itu terbagi menurut sifat dan watak kelahirannya sebagai halnya Brahmana, Ksatrya, Waisya dan Sudra

Pembagian empat kelas ini sebenarnya bukan terdapat pada Hindu saja, tetapi bersifat universal. Klasifikasi tergantung dari tipe alam manusia, dari bakat kelahirannya. Tiap-tiap dari empat kelas ini mempunyai karakter tertentu. Ini tidak selalu ditentukan oleh keturunan. Dalam Bhagavad Gita, teori warna diluaskan dan mendalam. Kehidupan manusia di luar, mewujudkan wataknya yang di dalam. Tiap makhluk mempunyai watak kelahirannya, yaitu, swabhawa. Dan yang membuat efektif dalam kehidupan adalah kewajibannya, swadharma.

Tiap-tiap individu adalah fokus dari Yang Maha Tinggi. Kewajibannya adalah mewujudkan dalam hidupnya kemungkinan kekuatan suci ini. Selama kita melakukan pekerjaan sesuai dengan alam kelahiran kita, maka itu adalah baik dan benar, dan bila itu kita abdikan kepada Tuhan, maka pekerjaan kita menjadi alat penyempurna bagi jiwa. Problem dari kehidupan manusia ini adalah menemukan kebenaran itu dari jiwa kita, kemudian kita hidup menurut kebenaran itu sendiri.

Ada empat tipe dalam garis besarnya dan ini kemudian mengembangkan empat macam kehidupan sosial. Keempat kelas ini tidak ditentukan oleh kelahiran, tetapi berdasarkan karakter jiwa.

42. Ketenangan, pengendalian diri, keteguhan tapa, kesucian, kesabaran dan keadilan, kebijaksaan dan pengetahuan, dan kepercayaan pada agama, ini adalah kewajiban-kewajiban seorang Brahmana, yang lahir menurut bakatnya (alamnya).

43. Kepahlawanan, keteguhan, ketetapan hati, kecerdikan, tidak lari dari peperangan, kemurahan hati dan kepemimpinan, ini adalah kewajiban ksatrya yang lahir menurut bakatnya (alamnya).

44. Pertanian, pemeliharaan ternak dan perdagangan adalah kewajiban-kewajiban dari Waisya yang lahir menurut bakatnya. Pekerjaan yang berkarakter melayani

adalah kewajiban dari Sudra yang lahir dari alamnya (bakatnya).

45. Ingat! berbakti menurut kewajibannya masing-masinglah seseorang bisa mencapai kesempurnaannya. Dengan berbakti pada kewajibannya masing-masing, seseorang mencapai kesempurnaan, dengarkanlah itu!

46. Dia sebagai asal mula dari semua makhluk dan berada di mana-mana, maka dengan menyembah Dia melalui pelaksanaan kewajiban masing-masing, orang dapat mencapai kesempurnaan.

47. Lebih baik swadharma sendiri meskipun kurang sempurna pelaksanaannya, daripada dharma orang lain yang sempurna pelaksanaannya. Karena seseorang itu tidak akan berdosa jika melakukan kewajiban yang telah ditentukan oleh alamnya sendiri.

48. Orang hendaknya jangan melepaskan pekerjaan yang sesuai dengan diri, O Arjuna! Meskipun mungkin ada kurangnya, karena semua usaha diselimuti oleh kekurangan-kekurangan, seperti halnya api oleh asap.

Bab III No. 33 – 35

33. Sebagai orang bijaksana, bergerak menurut alamnya sendiri, maka demikian pula makhluk bergerak mengikuti alam. Apakah gunanya menahan dari hawa nafsu itu?

34. Ikatan dan keengganan indra terhadap objek-objek yang bersangkutan, adalah sudah pembawaannya. Barang siapa jua pun, janganlah membiarkan jiwa ditarik oleh kedua pertentangan ini, sebab ini adalah dua musuhnya. Tiap-tiap perbuatan kita hendaknya berdasarkan budi atau pengertian dan jangan sampai dikuasai oleh getaran nafsu, yang akhirnya tidak jauh dengan binatang.

35. Adalah lebih baik dharma sendiri meski ada kekurangan dalam pelaksanaannya, daripada dharma orang lain walaupun baik dalam pelaksanaan.

Kalaupun sampai mati, dalam melakukan dharma sendiri adalah lebih baik, sebab menjalankan bukan dharma sendiri adalah berbahaya. Keinginan kita adalah untuk mencapai kesempurnaan hidup. Kita tidak boleh setengah-setengah dalam kewajiban kita.

Haruslah benar-benar di dalam pekerjaan sendiri. Kewajiban adalah swadharma. Pada penemuan “swadharma” sendiri akan terletak kebahagiaan hidup. Pengabdian yang terbesar yang dapat kita lakukan bagi masyarakat, adalah atas dasar penemuan dari swadharma, kelahiran bakat sendiri.TIiap-tiap orang harus mengerti bakat kelahirannya. Dalam bakat yang sama, tidak semua orang mempunyai keistimewaan.

Yang penting adalah, bahwa tiap-tiap orang itu harus sungguh-sungguh dapat mengerjakan tugas yang diamanahkan kepadanya dengan memuaskan. Tiap-tiap orang itu harus menjadi patriot dalam bidangnya masing-masing, baik kecil maupun besar.

Bab IV No. 13 – 14

13. Catur warna Kuciptakan menurut pembagian dari Guna dan Karma (sifat dan pekerjaan). Meskipun Aku sebagai penciptanya, ketahuilah, Aku mengisi gerak dan perubahan.

Pengertian warna adalah menurut pembawaan dan fungsinya. Pembagian menjadi empat adalah berdasarkan kewajiban. Orang dapat mengabdi sebesar mungkin menurut pembawaannya. Di sini ia dapat melaksanakan tugasnya dengan rasa cinta dan keikhlasan, sesuai dengan ajaran Hindu.

14. Pekerjaan tidak dapat menodai Aku, pun juga Aku tidak terikat dan tidak merindukan hasil-hasil pekerjaan itu. Ia yang mengetahui Aku demikian, maka ia tidak akan terikat oleh hasil pekerjaan. Juga gerak tidak menodai Aku! Yang menggerakkan pelaksanaan semua itu adalah getaran sinar suci, oleh karena itu mengatasi pengaruh dari karma, yang membawa baik dan buruk dalam proses kosmos ini.

Bab V No. 25

25. Orang suci, yang dosanya telah dimusnahkan, kebimbangannya telah dihilangkan, pikirannya telah mencapai keadaan yang tetap dan yang suka melakukan kebaikan kepada semua makhluk, mencapai kebahagiaan dalam Tuhan.

Melakukan kebaikan kepada semua makhluk bukan berarti memberi bantuan keperluan kebutuhan materil, tetapi membantu untuk dapat menemukan alam (bakat) yang sebenarnya (swadharma) untuk mencapai kebahagiaan abadi.

Bhagavad Gita menekankan pada dua segi dari agama, yaitu: pertama, yang sifatnya perseorangan di mana kita harus menemui yang suci di dalam diri kita sendiri. Dan kedua, segi sosialnya di mana masyarakat dikendalikan dengan bayangan dari yang suci.[]

Catatan-catatan:

  1. Klostermaier, Klaus K., Hinduism: A Short Introduction, Oxford, England: Oneworld Publication, 2002, hlm. 1-2.
  2. Disadur dari http://cakepane.blogspot.com/p/ajaran-dharma.html, diakses pada tanggal 7 Januari 2014.
  3. Antoine, R., “Sacred Books and Religious Literature.” Religious Hinduism: A Presentation and Appraisal. 3rd rev. edition. Ed. R. De Smet and J. Neuner. Allahabad: St Paul Publications, 1968. Hlm. 31.
  4. A. Sudiarja, “Pertemuan 2: Perbandingan Filsafat Timur-Barat”, Hand out Filsafat Komparatif, 5 September 2013, hlm. 3-4.
  5. Matius Ali, Filsafat India: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, Sanggar Luxor, Tangerang, 2010, hlm. 99.
  6. Hans Torwesten, Vedanta: Heart of Hinduism, diadaptasi oleh Loly Rosset, terjemahan dari Bahasa Jerman oleh John Phillips, Grove Press, New York, 1985, hlm. 4.
  7. Ibid., hlm. 49-50.
  8. Prof. Dr. I.B. Mantra, Bhagawad Gita: Alih Bahasa dan Penjelasan,Upada Sastra, 1992, hlm. ii-iii.
  9. A. Sudiardja, Membaca Bhagavad-Gita Bersama Prof. R.C. Zaehner, Penerbit USD, Yogyakarta, 2012, hlm. vii.
  10. Ibid., hlm. 7.
  11. Ibid., hlm. 46.
  12. Ibid., hlm. 47.
  13. Disadur dari http://cakepane.blogspot.com/p/ajaran-dharma.html, diakses pada tanggal 7 Januari 2014.
  14. Klostermaier, Hinduism…, 2002, hlm.5
  15. Angelika Malinar, The Bhagavad Gita, Cambridge: Cambridge University Press, 2007, hlm. 227.
  16. Kesemua kutipan Bhagavad Gita beserta penjelasannya diambil dari Prof. Dr. I.B. Mantra, Bhagawad Gita: Alih Bahasa dan Penjelasan, Upada Sastra, 1992.