
Tessa Sitorini
“Jika dirimu diserang dan dadamu (shadr) tidak balik menyerang, itu (tanda nafs) muthma’innah.”
(Imam An-Niffari)
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Jika kita dikritik lalu masih naik hatinya, itu tanda jiwanya belum muthma’innah. Jika difitnah lalu marah, itu juga tanda bahwa jiwanya belum muthma’innah.
Jika jiwa belum muthma’innah berarti dia belum siap berangkat menuju Allah, dia belum mencapai jiwa yang diridhai, padahal berangkat menuju Allah itu adalah taubat yang sebenar-benarnyanya.
Orang beriman pasti akan diuji dengan hal yang tidak menyenangkan, targetnya adalah untuk mengukur gejolak hati. Sejauh mana hati itu menyerang balik.
Dengan demikian maka kita akan mensyukuri semua hal yang menyerang dari luar, karena untuk mengukur tingkat keganasan hati kita sendiri.
Allah menghadirkan masalah di antaranya untuk mengukur tingkat gejolak hati kita. Hanya saja kebanyakan manusia malah disibukkan dengan masalah yang hadir, sehingga Allah jadi tidak hadir di sana. Walaupun diuji seumur hidup tetap saja tidak efektif sebab tenaganya hanya habis dipakai untuk menyerang balik.
Padahal itulah pentingnya kita mendapat tempaan dari luar, yaitu agar jiwa menjadi muthma’innah, dan barulah dengan demikian kita dapat kembali kepada Allah dengan ridha dan diridhai.
(Disadur dari tausiyah Zamzam AJ Tanuwijaya, 13 Juni 2010)
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Bagi para hamba yang Allah rahmati, maka akan Dia pancarkan ke dalam qalb mereka cahaya Kuasa-Nya sehingga menampilkan apa-apa yang ada di dalam qalb-nya. Sesungguhnya dunia yang dihadapi oleh seseorang itu tiada lain merupakan gambaran dari kondisi qalb-nya sendiri.
Di tingkatan fenomena, proyeksi dari qalb itu bisa berupa kesialan, musibah, atau kemudahan dan kebahagiaan. Sayangnya, manusia cenderung terbiasa cenderung menunjuk orang lain sebagai kambing hitam atau melemparkan kesalahan kepada sesuatu di luar dirinya, sibuk berapologi alih-alih berintrospeksi ke dalam dirinya sendiri.
Sesungguhnya, fenomena yang tampak di sekitar itu bagaikan layar tiga dimensi dari qalb kita masing-masing, dan kemudian menjadi warna kehidupan yang menimpa setiap orang.
Jadi kalau kita murung, maka jangan salahkan Tuhan, akan tetapi cobalah untuk memahami hidup ini apa, dan bukan hanya mempermasalahkan benar atau salahnya, mencari kambing hitamnya, akan tetapi hendaklah kita belajar memahami mekanismenya.
Setiap warna kehidupan yang terpancar tentu akan dibaca secara subjektif oleh setiap individu, adapun dari awal sampai akhir Allah Ta‘ala hanya memancarkan cahaya kasih-Nya yang sama.
Jadi, daripada menunjuk-nunjuk hidung orang, mencari kambing hitam, melontarkan amarah, merawat kebencian lalu menghias-hiasi dendam kepada seseorang dengan berbagai pembenaran, lebih baik energi yang ada itu dipakai untuk membaca kondisi hati diri sendiri per saat ini.
Hal itu akan lebih meringankan hati.
(Disadur dari tausiyah Zamzam AJ Tanuwijaya, 7 Januari 2006)
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Jika kau ingin menemukan kebenaran dan meraih ridha Allah, maka hindari berbuat buruk serta kendalikan amarahmu. Jika tidak bisa menghentikan amarah, setidaknya engkau tidak memperlihatkannya.
Ketika kau melakukan hal ini, engkau akan diridhai Allah dan mengecewakan setan. Engkau akan mulai mendidik hawa nafsumu dan meluruskan serta mempersingkat jalanmu. Kemarahan merupakan sebuah akibat dan tanda hawa nafsu yang tidak terkendali, bagaikan binatang buas yang tidak ditambatkan dan tidak dikandangkan. Saat mengendalikan amarah, engkau seakan mengikatkan tali kekang di kepalanya dan palang di sekitarnya. Engkau pun mulai menjinakkannya, mengajarinya bagaimana bertingkah laku, mematuhi, agar ia tidak menyakiti orang lain atau dirinya (karena ia merupakan bagian darimu).
Ketika disiplin ini tercermin darimu – yang menampakkan seseorang yang bisa mengendalikan perasaannya dan mengekang amarahnya – musuhmu akan tenang. Engkau tidak akan bereaksi pada hasutannya. Engkau tidak akan menghukumnya atau menanggapi sikap negatifnya, melainkan mengabaikannya. Sikap ini lebih efektif daripada menghukumnya. Dia mungkin digiring untuk melihat hakikat tindakan-tindakannya, agar menyadari apa yang pantas dan agar mengakui kesalahan-kesalahannya.
Camkanlah saran ini dan jadikan ia sebagai kebiasaan. Jika engkau lakukan, kau pasti akan melihat hasil positif dan pahala di sini serta di akhirat.
(Nasihat dari Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi)
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji