PROSES PENGENALAN DIRI

Rulli Rachman

Beberapa hari yang lalu, salah seorang teman membagikan sebuah gambar. “Things Introverts Love”, judulnya. Dalam gambar tersebut dijelaskan beberapa hal yang disukai oleh orang introvert. Antara lain bahwa orang introvert itu menyukai kegiatan-kegiatan yang dilakukan sendiri (solo activities) seperti membaca atau melukis, bahwa orang introvert itu menyukai apabila sebuah acara dibatalkan, menyukai hari yang diguyur hujan, menyukai perbincangan yang intens dan mendalam tentang sebuah topik tertentu. Termasuk juga menyukai proses menyendiri dan berintrospeksi.

Terus terang saya agak terkejut membaca beberapa deskripsi dalam gambar tersebut. Saya selalu menyangka (kalau tak mau dibilang berasumsi) bahwa saya adalah orang yang ekstrovert. Ini dilihat dari fakta bagaimana saya mampu untuk bersosialisasi dan berakrab-akrab dengan mudah kepada siapapun, di mana pun. Tapi kalau melihat gambar tersebut, ternyata saya juga menyukai beberapa aktivitas yang disukai oleh para introvert. Bahkan hampir semua ilustrasi gambar aktivitas orang introvert itu saya sukai. Jadi apakah saya orang introvert?

Kesimpulan tentu tidak bisa diputuskan sepintas dengan hanya bermodalkan gambar tersebut. Ada beberapa hal lain yang perlu digali untuk menguatkan kesimpulan tersebut. Salah satunya saya coba merunutnya dari pekerjaan terakhir yang saya jalani.

Selama tujuh bulan saya pernah bekerja sebagai salah satu tenaga sales engineer (penjualan) alat mekanikal yang banyak digunakan di sektor industri dan pembangkit listrik. Profesi ini sebenarnya di luar ekspektasi saya. Ketika melamar di perusahaan tersebut, awalnya saya berencana untuk bergabung di bagian internal sales, melayani hal-hal yang berbau teknis dalam rangka mendukung kegiatan penjualan. Namun pada waktu itu calon atasan saya berpendapat lain. Menurutnya, saya memiliki kemampuan untuk menjadi seorang sales engineer. Antara lain bahwa saya memiliki modal jaringan karena aktif di komunitas alumni dan memiliki kemampuan verbal yang cukup untuk berkomunikasi dengan customer. Selain itu latar belakang saya sebagai sarjana teknik mesin juga adalah modal dahsyat untuk menjadi seorang sales engineer.

Yang terjadi selanjutnya adalah saya tidak mampu memenuhi target penjualan yang diharapkan. Saya sudah melakukan semuanya; membuat rencana penjualan berikut target proyek yang diincar, membuat jadwal visit customer dengan optimal, memanfaatkan jaringan alumni serta pertemanan untuk mendapatkan info proyek dan sebagainya. Jasad saya lelah tapi hasil tak kunjung menghadirkan imbalan yang setimpal. Saya melakukan evaluasi: apakah ternyata saya tidak bisa bekerja sebagai sales? Akhirnya saya pun memutuskan untuk mundur dari perusahaan tersebut.

Apa yang terjadi? Apakah karena kecenderungan saya sebagai orang introvert itu justru jadi penghalang utama saya untuk sukses berkarir sebagai seorang sales? Retorika yang barusan saya tulis itu jelas merupakan kesimpulan sesat. Tidak benar bahwa orang introvert itu tak mampu jadi seorang sales. Vice versa, pun kebalikannya, si ekstrovert belum tentu akan mulus jalannya sebagai seorang sales.

Daniel H. Pink dalam artikelnya di Washington Post berjudul “Why extroverts fail, introverts flounder and you probably succeed”, mengutip sebuah studi meta-analisis dari hampir sekitar 4,000 orang sales yang menemukan bahwa tidak ada korelasi antara orang ekstrovert dengan kinerja sales. Kutipan tersebut merujuk kepada makalah penelitian yang dilakukan oleh Murray R. Barrick, Michael K. Mount dan Timothy A. Judge yang berjudul “Personality and Performance at the Beginning of the New Millenium: What Do We Know and Where Do We Go Next?”.

Geoffrey James, contributing editor di situs Inc.com mengungkapkan hal senada. Menurut Geoffrey, teknik sales tradisional seperti intruding, persuating dan persisting itu sudah usang. Lebih lanjut Geoffrey menjelaskan bahwa teknik sales yang efektif itu terdiri dari 3 (tiga) hal utama: (1) riset guna memahami lebih dalam tentang kebutuhan pelanggan, (2) listening – mendengar untuk memahami kebutuhan individu, dan (3) reaktif untuk beradaptasi sesuai dengan kebutuhan. Celakanya, ketiga hal tersebut biasanya mampu dilakukan oleh seorang introvert.

Lalu apa yang membuat saya tidak mampu memenuhi target penjualan? Padahal saya sudah bekerja dengan memanfaatkan modal yang ada: kemampuan teknis dan jaringan. Atasan saya waktu itu memberikan pendapatnya. Menurutnya, saya tidak memiliki gairah (passion) untuk bekerja sebagai seorang sales. Tambahnya lagi, seorang sales itu harus memikirkan tentang pekerjaan siang malam. Setelah melalui proses yang agak panjang, barulah saya mengamini pendapat tersebut. Saya menyukai untuk bertemu dan berbicara panjang lebar dengan klien, tapi saya tidak nyaman apabila hal tersebut dilakukan secara terus menerus. Energi saya bisa habis dan tidak tersisa ruang untuk aktivitas lain. Saya menghargai prinsip kerja keras tapi saya pun tidak setuju dengan konsep bekerja hingga 24 jam penuh. Saya merasa bahwa tiap-tiap waktu itu ada hak-nya masing-masing. Apabila saya dipacu untuk bekerja 24 jam penuh guna ‘sekadar’ memenuhi target penjualan, maka saya telah bertindak zalim terhadap istri dan anak-anak di rumah.

***

“Man ‘Arafa Nafsahu Faqad ‘Arafa Rabbahu”, barangsiapa mengenali dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. Dulu saya menganggap konsep ini sedikit rumit. Apakah dengan mengenali potensi atau bakat yang ada dalam diri kita, maka kita akan serta merta mengenal Rabb kita? Apakah ketika kita menunaikan pekerjaan yang sesuai dengan passion kita – sesuatu yang selalu digadang-gadang oleh motivator – itu berarti kita sudah mengenal diri? Lalu bagaimana dengan mereka yang sibuk bekerja membanting tulang demi keluarga padahal mereka tidak menyukai pekerjaan tersebut, apakah artinya mereka termasuk dalam kategori gagal mengenal diri? Lalu kapan mereka akan mengenal Tuhannya?

Begitu banyak pertanyaan. Tapi perlahan saya coba untuk menguraikan konsep pengenalan diri tersebut. Menurut Mursyid Thariqah Qudusiyah, bapak Zamzam AJ Tanuwijaya, pengenalan diri bukan proses instan. Proses pengenalan diri adalah proses yang panjang dan berlangsung terus menerus. Yang terpenting adalah kita menjalani hidup dan menerima segala apa pun yang dihadirkan oleh-Nya. Karena itu merupakan proses awal bagaimana kita berserah diri kepada-Nya. Segala hal yang terjadi sudah diatur dalam skenario milik-Nya. Berserah diri bukan berarti pasrah terhadap apa pun nasib yang dialami. Justru berserah diri itu berarti berusaha semaksimal mungkin dalam menerima dan menjalani segala apa yang sudah diatur oleh-Nya.

Maka dari itu, seseorang yang bekerja keras walaupun pekerjaan yang dilakoni itu bukan passion-nya, bisa jadi mereka sedang dalam proses berserah diri tersebut. Ada hal-hal lain yang sedang coba disodorkan oleh-Nya pada orang tersebut, atau ada sesuatu yang harus diperjuangkan olehnya.

Konsep mengenal diri jangan terburu-buru ditafsirkan dengan muluk-muluk sehingga membikin kita jadi bingung harus mulai dari mana. Bapak Zamzam mengajarkan untuk memulai dari hal-hal kecil di sekitar kita. Salah satunya adalah bekerja dengan memanfaatkan kemudahan yang diberikan oleh-Nya. Saya mungkin dibekali kemampuan untuk menjalin hubungan sosial dan bergaul dengan banyak orang, tapi saya tak dimudahkan dalam memanfaatkan jaringan tersebut untuk keperluan komersial.

Pengalaman saya dalam bekerja tersebut hanya salah satu contoh kecil. Masih banyak kemudahan-kemudahan lain yang perlu kita cari dan temukan. Karena kemudahan ini akan menunjang kita dalam beramal shalih, utamanya untuk bisa mencapai misi hidup yang sudah diamanahkan oleh-Nya. Insya Allah.[]