Marcus Aurelius, Pandemi, dan Kematian

Penulis Berfoto di depan Patung Marcus Aurelius

Oleh Fridayanti

Marcus Aurelius adalah kaisar terakhir dari Pax Romana. Ia adalah salah satu di antara lima kaisar baik (good emperor) Romawi, karena mereka dipandang berhasil memimpin Kekaisaran Romawi. Adapun empat kaisar lainnya adalah Nerva, Trajan, Hadrian, dan Antonius Pious. Marcus Aurelius memerintah antara tahun 161-180 M. Masa pemerintahannya merupakan masa keemasan Kekaisaran Romawi.

Pada suatu hari di tahun 180 M, saat musim dingin yang panjang dan sulit, perbatasan utara ditutup. Kaisar Romawi, yaitu Marcus Aurelius, di usianya yang hampir 60 tahun terbaring lemah di atas tempat tidur dalam kamp militernya di Vindobona (sekarang Wina).  Enam hari sebelumnya kaisar terserang demam dan gejalanya memburuk dengan cepat. Dalam usianya serta fisik yang sudah lemah, semua gejala menunjukkan dia tidak mungkin untuk pulih. Sepanjang kehidupan dewasanya, ia rentan terhadap nyeri dada dan perut kronis, serta serangan penyakit lainnya. Dengan melihat tanda-tanda vitalnya, tidak diragukan lagi bagi para dokter bahwa dia dalam kondisi sekarat. Namun, dalam keadaan lemah tersebut, para tabib dan pelayan yang hadir melihat sang kaisar tampak tenang. Ini tampak aneh bagi mereka. Dia bahkan meminta para tabib untuk menggambarkan dengan sabar dan secara rinci apa yang terjadi di dalam tubuhnya.

Saat itu Romawi sedang berada dalam masa pandemik yang dikenal sebagai The Antonine Plague, atau juga disebut juga dikenal sebagai Plague of Galen. Wabah penyakit telah berlangsung selama lebih dari empat belas tahun. Galen, seorang dokter Yunani yang hidup pada masa itu, menggambarkan bagaimana wabah yang besar dan panjang tersebut membawa gejala seperti demam, diare, dan paringitis serta kulit yang melepuh, yang muncul pada hari kesembilan setelah terinfeksi. Galen mengamati bahwa para korban meninggal ketika kotoran mereka berubah menjadi hitam, sebagai tanda adanya perdarahan usus. Beberapa ahli memperkirakan wabah tersebut sebagai cacar air, namun sebab sebenarnya tetap tidak diketahui.

Selama pemerintahan Marcus, jutaan rakyatnya meninggal dan diperkirakan itu nyaris sama dengan 10% populasi penduduk Romawi. Pandemi tersebut diperkirakan dibawa oleh para tentara yang kembali dari wilayah Timur. Banyak kamp legiun militer menjadi sangat rentan terhadap wabah penyakit, terutama selama musim dingin yang panjang. Sebagai catatan, Richard Rafe Champion de Crespigny, seorang sinolog, menyebut bahwa berdasarkan sebuah catatan di China, wabah itu juga terjadi di wilayah Timur Kekaisaran Han selama masa pememintahan Kaisar (146 – 168 M) dan Kaisar Ling (168 – 189 M). 

* * * * * * *

Marcus Aurelius adalah anak dari ipar laki-laki Hadrian, seorang Kaisar Romawi. Ketika anak angkat pertama Hadrian, yaitu Aelius Verus, meninggal dunia, Hadrianus membuat prasyarat kepada calon pengantinya, yaitu Antoninus Pius, untuk mengadopsi Marcus dan Lucius Verus (anak laki-laki Aelius Verus), serta mengatur agar mereka menjadi calon penggantinya. Hadrian tampaknya telah meramalkan potensi kebijaksanaan dan kebesaran Marcus. Antoninus Pius, yang juga merupakan pamannya Marcus, melaksanakan perintah tersebut. Dia mengadopsi Marcus dan memanggil guru terbaik baginya dalam persiapan untuk menggantikannya kelak sebagai Kaisar. Di antara para gurunya terdapat ahli Platonisme dan Aristotelianisme, akan tetapi pendidikan filosofis utamanya adalah Stoikisme. Antonius pun kemudian menetapkan mereka berdua sebagai calon penggantinya pada tanggal 25 Februari 138 M. Saat itu Marcus baru berusia 17 tahun. Namun, wabah tampaknya merenggut nyawa Lucius Verus, yang kemudian meninggal pada tahun 169 M. Setelah kematiannya, Marcus memerintah wilayah kerajaan Romawi seorang diri 

Marcus dikenal memiliki sifat halus dan pengasih. Diceritakan bahwa hetika salah satu pengajar yang paling dicintainya meninggal dunia, Marcus menangis begitu keras. Para pelayan Istana pun mencoba menghentikannya. Mereka khawatir bahwa orang-orang akan mendapati perilaku yang tidak pantas dari sosok penguasa masa depan. Namun, Antoninus menyuruh mereka untuk meninggalkan Marcus sendiri dan berkata “Biarkan dia sendiri. Baik filsafat maupun kekaisaran tidak akan bisa menghilangkan perasaaan yang alami.”

Bertahun-tahun kemudian sekali lagi Marcus berderai air mata di depan publik dan mengepalai sebuah kasus hukum, tatkala ia mendengar seorang pengacara menyampaikan dalam argumennya, “Diberkatilah mereka yang meninggal dalam wabah.”

Kembali ke kisah di atas, sikap tenang Marcus menghadapi kematian itu tidaklah datang secara tiba-tiba. Dia telah menyaksikan banyak kematian dan merasakan kehilangan akan orang-orang terdekatnya. Ayahnya meninggal ketika Marcus berusia sekitar usia tiga tahun. Kehilangan sosok ayah tersebut berdampak pada dirinya, membuat dirinya menjadi anak yang serius dan khidmat. Dalam buku yang ditulisnya, Marcus menggambarkan sosok ayahnya sebagai seorang yang santun dan berwibawa. Permaisuri Faustina, istrinya, meninggal dunia di usia 35 tahun. Dia pun menyaksikan delapan dari tiga belas anaknya meninggal pula. Empat orang dari delapan putrinya selamat, namun hanya satu dari lima putranya saja yang selamat, yaitu Commodus.

Marcus sudah selalu hidup di bawah bayang-bayang kematian, hingga ia pun sampai pada kesadaran bahwa kelangsungan hidup dari satu hari ke yang berikutnya dapat diambil begitu saja. Kematian dan kehilangan membuat Marcus menjadi pria yang penuh cinta dan kasih sayang. Hanya yang telah mengalami kedukaan berkali-kali bisa menangkap kebenaran bahwa kematian itu tak terelakkan dan merupakan bagian dari kehidupan. Maka, orang semacam itu tidak akan lagi menangis dan bertanya “Mengapa?” atau “Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?”

Dalam sakitnya yang semakin parah, Marcus tidak lagi menambahinya dengan mengeluh. Bagi Marcus, si pria bijaksana itu, kematian adalah hal yang paling pasti dalam hidup, tak terelakkan dan menjadi salah satu perkara yang paling terakhir untuk ditakuti.

Ia telah belajar untuk berteman dengan kematian yang melatih dirinya dalam momen-momen kematian lainnya, yaitu kematian dalam hidup. Pertama-tama, Marcus mati dalam hidup saat ia memasuki Istana Kekaisaran sebagai pewaris tahta. Kematian dalam hidup berikutnya adalah ketika Antoninus meninggal dan Marcus, yang saat itu masih belia, harus mengambil tempatnya sebagai Kaisar Roma. Ia menghadapi kematian dalam hidup lainnya, ketika meninggalkan kemegahan kota Roma, untuk berperang dan mengambil alih komando legiun Utara selama Perang Marcomannic. Sepanjang masa pemerintahannya, ia nyaris tak pernah berhenti menghadapi peperangan dengan berbagai kekuatan di luar kekaisaran.

Latihan demi latihan mati dalam hidup telah membuat dia siap untuk menghadapi kematian akhir dalam perjalanannya di dunia. Sebagai seseorang yang telah tua, dia siap dan tenang menghadapi kematian terakhir. Ia tidak hanya melatih diri dengan berperang dengan dunia luar. Latihan mati pun dia lakukan melalui meditasi secara rutin. Dengan meditasi, ia diam dan mematikan kehendak, membiarkan kehendak alami yang murni tampil. Pengalaman meditasi ini ia tuliskan dalam jurnal yang di kemudian hari dikompilasi menjadi buku yang kini dikenal dengan judul Meditations. Ketika menyelesaikan jurnal tersebut beberapa tahun sebelumnya, Marcus telah melewati tahap akhir dari perjalanan spiritualnya

Namun, ketika badannya semakin melemah, Marcus tetap melanjutkan meditasi secara pribadi, sendirian di kamarnya. Dalam meditasinya, ia melihat sosok Antoninus, ayah angkatnya, dan kemudian kakek angkatnya, Kaisar Hadrian. Bahkan hadir pula sosok Augustus yang mendirikan Kekaisaran Romawi dua abad sebelumnya. Saat itu, Marcus pun tidak lagi merasa seperti seorang kaisar, tapi hanya seorang pria tua yang lemah, sakit, dan sekarat. Dia melihat bagaimana Antoninus, Hadrian, Augustus, semuanya sama-sama mati dan berlalu. Bahkan Aleksander Agung sampai pengemudi keledai pun akhirnya berbaring di bawah tanah yang sama. Raja dan pengemis tak ada bedanya, nasib yang sama akhirnya menanti semua orang.

* * * * * * *

Saat terbaring kesakitan, mendekati akhir hidupnya, Marcus mengingatkan dirinya bahwa dia telah mati berkali-kali di sepanjang jalan kehidupannya. Meskipun secara fisik dia lemah dan telah menderita penyakit sepanjang hidupnya, namun Marcus terkenal tangguh dan tidak menyerah. Akan tetapi, setelah beranjak tua keadaanya, fisiknya memang semakin lemah dan kali ini dokter telah mengkonfirmasi kepadanya bahwa ia tidak mungkin untuk bertahan hidup.

la pun mengucapkan selamat tinggal kepada teman-teman tercintanya, empat anak perempuannya yang tersisa, menantu laki-lakinya, Pompeianus, lelaki yang menjadi tangan kanannya, dan juga kepada Jenderal senior selama Perang Marcomannik, yaitu Bruttius Praesens, ayah mertua dari Commodus. Lalu kepada teman seumur hidupnya, Aufidius Victorinus, salah satu dari jenderalnya, serta Gnaeus Claudius Severus, teman dekatnya sesama filsuf. Mereka semua berkumpul dengan wajah yang khusyuk di sekeliling tempat tidurnya. Marcus sebenarnya ingin mencium mereka satu per satu, tetapi wabah memaksa mereka untuk menjaga jarak. 

Saat semua yang hadir tengah terlibat dalam perbincangan, mendadak Marcus merosot ke depan dan kehilangan kesadaran. Beberapa temannya yang khawatir pun mulai menangis tak terkendali karena menganggapnya telah pergi. Namun, para tabib berhasil membangunkannya kembali. Tatkala Marcus menatap wajah dari mereka yang berduka di sekitarnya, ia mengamati bagaimana mereka menangis untuknya, sama seperti ketika ia menangisi istri dan anak-anaknya yang telah tiada, serta tangisannya karena kehilangan teman dan guru selama bertahun-tahun hidupnya. Kini ia mendapati dirinya sendiri sebagai seorang yang sekarat. Tak ada gunanya menolak sesuatu yang tak dapat dihindari dan di luar kendali manusia.

Sekalipun Marcus hampir tidak sadar, namun entah bagaimana segalanya malah tampak jadi lebih jelas daripada sebelumnya. la ingin mereka yang berkumpul untuk mengingat kefanaan mereka sendiri di tengah wabah yang merajalela. Maka, Marcus pun berbisik, “Mengapa engkau menangisiku dan bukannya memikirkan tentang wabah serta tentang kematian yang ada di hadapan kalian semua?” Mendadak ruangan itu pun menjadi sunyi oleh peringatan yang lembut itu. Tangisan pun mereda, tidak ada yang tahu apa yang harus mereka katakan. Marcus pun tersenyum dan dengan isyarat lemah, dia memberi mereka izin untuk pergi. Kata-kata perpisahannya kepada mereka adalah, “Jika kalian semua mengizinkanku pergi, maka aku akan mengucapkan selamat tinggal dan meninggalkan kalian semua.” 

* * * * * * *

Berita tentang kondisi Marcus pun menyebar dari kamp kaisar. Para prajurit pun berduka mendalam, karena mereka jauh lebih mencintainya daripada Commodus. Namun, sekalipun secara fisik lemah, Marcus tetap tenang dan akalnya tetap bekerja dengan baik. Adalah penting juga baginya mengondisikan mereka yang ada di sekitarnya dengan tenang dan berhati-hati mengatur transisi ke masa pemerintahan penerusnya, yaitu Commodus. Rencana suksesi dari senat dalam keadaan genting sebenarnya akan Marcus setujui. Namun, pada puncak wabah, ketika perang masih berkecamuk, maka diperlukan stabilitas. Pewaris perlu ditunjuk agar tidak terjadi perampasan kekuasaan.

Lima tahun sebelumnya pernah beredar kabar bohong bahwa Marcus Aurelisu telah meninggal dunia. Jenderalnya yang paling berkuasa di Provinsi Timur, yaitu Avidius Cassius, diangkat sebagai kaisar oleh legiun Mesir. Ini memicu perang saudara jangka pendek. Setelah pemberontakan ditumpas, Marcus terus mempercepat proses penunjukkan Commodus sebagai kaisar penerusnya. Jika Marcus meninggal tanpa pewaris, maka perang saudara lainnya mungkin akan terjadi.

Marcus sebenarnya telah menunjuk Commodus sebagai pewaris resmi, memberinya gelar Caesar ketika baru berusia lima tahun. Adik Commodus, Marcus Annius Verus, juga bernama Caesar, namun ia meninggal tak lama setelah itu. Mengganti Commodus dengan penguasa pengganti pada tahap ini, akan menyebabkan seluruh kerajaan dalam kondisi rentan. Suku Utara mungkin merebut peluang untuk memperbaharui serangan mereka, dan invasi lain bisa berarti akhir dari Romawi. Harapan terbaik Marcus sekarang adalah Commodus mengikuti bimbingan dari guru terpercaya dan penasehatnya. Saat terbaring lemah, Marcus menekankan kepada yang hadir bahwa mereka harus mengurus Commodus, satu-satunya putranya yang masih hidup, yang telah memerintah di sisinya selama tiga tahun terakhir.

Marcus sebenarnya telah menunjuk guru terbaik untuknya. tetapi pengaruh mereka menyusut seiring waktu. Tidak seperti ayahnya, Commodus tak menunjukkan minat dalam filsafat. Commodus sering berada dalam keadaan galau terombang-ambing, dan diharapkan selama ia tetap bersama dengan tentara, di bawah pengawasan dari saudara iparnya Pompeianus, maka Commodus dapat belajar memerintah dengan kebijaksanaan. Akan tetapi, bukannya terinspirasi untuk mengikuti teladan kebajikan, Commodus justru merasa takut tertular wabah bila tetap berada di antara para legiun di Utara. Dia sangat ingin kembali ke Roma yang aman. Selain itu, Commodus juga selalu dikelilingi oleh pelayan yang terus-menerus memohon kepadanya agar kembali ke rumah, di mana mereka dapat menikmati kenyamanan yang lebih besar.

Hanya Pompeianus, yang tertua di antara penasihatnya, datang menghadap Commodus dan memperingatkan dia bahwa meninggalkan perang yang belum selesai akan menjadi sangat memalukan sekaligus berbahaya. Seperti halnya Marcus, Pompeianus percaya bahwa musuh akan melihatnya sebagai pengecut, sehingga mereka akan semakin yakin untuk melakukan pemberontakan kembali di masa datang. Senat pun akan melihatnya sebagai perilaku yang inkompeten. Marcus sendiri berharap sekarang bahwa para jenderal akan berbicara kepada Commodus agar mengurungkan keinginannya yang sembrono untuk meninggalkan perbatasan Utara. Dia memerintahkan Commodus untuk menunggu beberapa hari lagi sebelum kembali. Commodus pun dibujuk, tapi apa daya, godaan kenyamanan Roma terlalu besar.

* * * * * * *

Keesokan harinya, Marcus terbangun lebih awal dan merasa sangat rapuh, serta letih. Demamnya bahkan lebih buruk. Menyadari bahwa akhir hidupnya telah menjelang, ia memanggil Commodus. Marcus telah berperang selama lebih dari satu dekade dan kini sudah berada dalam tahap akhir dari rangkaian peperangan melawan suku-suku Jermanik maupun Sarmatian yang memusuhi Romawi. Dia mendesak putranya agar mengambil keputusan untuk mengambil komando tentara, mengejar suku musuh yang tersisa sampai mereka menyerah, serta mengawasi negosiasi perdamaian yang tengah berlangsung. Marcus memperingatkan Commodus bahwa jika dia tidak tetap berada di garis depan, maka senat dapat melihatnya sebagai pengkhianat, karena telah begitu banyak yang diinvestasikan dalam perang panjang tersebut dan betapa banyaknya nyawa yang telah hilang dalam pertempuran. 

Segera setelah Commodus pergi, Marcus mengundang penjaga malam untuk menyandar di dekatnya, serta membisikkan sesuatu di telinganya. Kemudian dia menutupi kepalanya dengan selembar kain, lalu tertidur dan meninggal dengan tenang pada malam ketujuh dari sakitnya. Di pagi hari, para dokter mengumumkan bahwa Kaisar Marcus Aurelius telah meninggal. Berita tersebut dengan cepat sampai kepada para prajurit dan rakyat. Mereka menangis di jalanan. Dalam suasana duka yang riuh tersebut, penjaga malam yang bersama Marcus pun ditanya, “Apa yang Marcus katakan?” Dengan kebingungan, ia menyampaikan pesan enigmatik dari sang kaisar sebelum kematiannya, “Pergilah ke tempat matahari terbit, karena aku sudah bersiap sedia.” 

Marcus hidup sampai usia sekitar enam puluh tahun. Meskipun secara fisik dia lemah, namun Marcus telah memberi komando dengan gagah dan menjadi kaisar yang besar dan baik, serta disayangi rakyatnya. Sebaliknya, Commodus malah menjadi kaisar yang paranoia menyusul berulang-ulang upaya pembunuhan terhadap dirinya. Akhirnya, Commodus terbunuh ketika masih berumur tiga puluh satu tahun, sehingga masa pemerintahannya pun menjadi awal kemunduran bagi kejayaan Romawi.

* * * * * * *

“….Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS al-Baqarah [2]: 54)

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS al-‘Ankabut [29]: 57)
 
Demikianlah, dari saat lahir dan sepanjang kehidupan, kita sesungguhnya terus-menerus menghadapi fase kehidupan yang menuntut kita untuk mengalaminya dengan kematian. 

(Hari pertama PSBB di kota Bandung dalam masa Pandemic Covid-19, 22 April 2020/28 Syaban 1441 H.)