
Dwi Afrianti
Bismillaahirrahmaaniirrahiim.
Awalnya, saya ingin mengkaji adz-Dzariyat [51]: 7-11 setelah sebelumnya menyelesaikan untuk sementara bagian ke-1-nya ayat 1-6, yaitu tentang orang-orang yang berbeda pendapat (qawlim mukhtalifiin), sehingga mereka dipalingkan dari “apakah Al-Haqq?” Dipalingkan dari apa atau siapa. Penyebab dipalingkannya adalah karena dianggap telah banyak berdusta (al-kharrashuun) dan selalu bodoh akan kehidupan akhirat. Perbuatan itu pun menceraiberaikan al-hubuk, jalinan tali pengikat butir-butir tasbih sebagai jalan yang menyampaikan kepada Al-Haqq.
Lalu, keinginan saya berubah. Saya ingin kembali mengkaji khawaatiim al-Baqarah [2]: 285–286, karena asbabun nuzul-nya dari peristiwa para sahabat Rasulullah saw. yang merasa ketakutan akan turunnya ayat sebelumnya (yaitu ayat ke-284), yang menyiratkan kemunafikan di dalam ayat itu. Mereka takut menjadi orang munafik, dikarenakan tidak akan mungkin hati mereka akan bisa diam tanpa berkata-berkata sesuatu yang buruk sedikit pun. Dan, bagaimana mungkin kejahatan sedikit pun yang terdapat dalam hati pada suatu hari nanti tidak akan terkeluarkan?
QS. al-Baqarah [2]: 284
لِّلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَإِن تُبْدُوا مَا فِي أَنفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُم بِهِ اللَّهُ ۖ فَيَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan, jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka, Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Mereka merasakan beban mereka bertambah berat dan tidak ingin diberikan beban semacam itu, melainkan shalat, puasa, bersedekah, berjihad adalah beban yang sanggup mereka pikul.
Rasulullah saw. berkata, “Jangan seperti ahlul kitab yang mengatakan meereka mendengar, tapi mendurhakai apa yang mereka dengar. Ucapkanlah, ‘Kami dengar dan kami taat.’”
Kemudian turunlah QS. al-Baqarah [2]: 285–286 yang merupakan cara yang tepat untuk menentramkan hati, yaitu beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, dan para rasul. Kepada merekalah diberikan doa, “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya. Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami, ya, Rabb, dan kepada Engkaulah tempat kembali (al-Mashiir).Ya, Rabb, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya, Rabb, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya, Rabb, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap al-kaafiruun.”
Istilah al-kaafiruun ini juga menjadi perhatian saya, karena saya ingin tahu hal-hal apa saja yang dimaksud dengan kekafiran, penyebab dan akibat, serta pengobatannya.
Pada hari ke-3-4 Ramadhan pukul 7.09 WIB, saya pernah memosting tentang khawaatiim al-Baqarah, lalu saya kirimkan lagi pukul 11.29 WIB. Hal yang sangat berkesan bagi saya.. Dan, pada hari ini, hari ke-19 Ramadhan, kurang lebih pukul 06 WIB, kembali hal ini menarik perhatian saya. Saya sebenarnya ingin lebih memahami maksud dari ayat tersebut. Saya buka tafsir ath-Thabari dan Ibnu Katsir, namun akhirnya malah lamaaa hanya merenungi satu demi satu kata yang terdapat di dalam khawaatiim al-Baqarah tersebut. Ketika saya sudah mendapatkannya, tiba-tiba terdengar terjemahan ayat dari murattal yang dibacakan di samping saya.
Saat mengkaji Al-Qur`an, terkadang saya sambil mendengarkan murattal Al-Qur`an. Begitu pun kali ini. Cukup sering ada ayat-ayat tertentu yang melekat erat di pendengaran saya. Ketika terdengar itu, langsung saya telusuri maksudnya. Tidak pernah sebelumnya saya mencari keterhubungan antara apa-apa yang sedang dikaji dengan apa-apa yang sedang didengar (atau terdengarkan). Sering juga yang keluar malah “astaghfirullaah al-‘adzhiim” ketika merasakan diri sedang dalam keadaan yang disebutkan oleh ayat yang dibacakan; “na’udzubilllaah min dzalik” tersuarakan jika mendengar ayat yang saya tak ingin seperti yang dibacakan; “aamiin, ya, Rabbal ‘aalamiin” jika ada ayat yang menyuarakan suatu kabar gembira.
Dan, terdengar ‘lantang’lah QS. asy-Syuraa [42]: 52
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur`an) dan tidak pula mengetahui apakah al-iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur`an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus (shiraathim mustaqiim).”
Kondisi ayat yang dibacakan itu ada yang betul-betul saya pahami, karena sedang menggambarkan kondisi saya. Hingga hari ini, saya tidak memahami apa sebenarnya iman itu. Apa yang bisa membuat saya bisa yakin benar bahwa saya dengan layak bisa dikatakan orang yang telah beriman? Hidup saya penuh keraguan, ketidakyakinan.
Lalu, saya membuka tafsir ath-Thabrani dan Ibnu Katsir tentang QS. asy-Syuraa [42]: 52. Terkejutlah saya dengan hadits Nabi Muhammad saw. (semoga kita semua dapat berjumpa dengan beliau saw. Aamiin, ya, Rabbal ‘aalamiin). Ibnu Katsir menggandengkan ayat ke-52 dengan ayat sebelumnya (yaitu ayat ke-51) dan sesudahnya (yaitu ayat ke-53).
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِن وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia, kecuali dengan perantaraan wahyu, atau di belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat), lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur`an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur`an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur`an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus (shiraathim mustaqiim).
صِرَاطِ اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ أَلَا إِلَى اللَّهِ تَصِيرُ الْأُمُورُ
(Yaitu) jalan Allah (shirath Allah) yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit (as-samaawaat) dan apa yang ada di bumi (al-ardh). Ingatlah bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan (al-umuur).”
Menurut Ibnu Katsir, tiga ayat di atas ini menjelaskan tentang tingkatan wahyu.
Dari hadits Nabi Muhammad saw. dari Kitab Sahih Ibnu Hibban,
“إِنَّ رُوح القُدُس نَفَثَ فِي رُوعي: إِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقَهَا وَأَجَلَهَا، فَاتَّقَوُا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ”
“Sesungguhnya Ruhul Qudus telah membisikkan ke dalam diriku bahwa sesungguhnya seseorang itu tidak akan mati sebelum rezeki dan ajalnya disempurnakannya. Karena itu, bertakwalah kamu kepada Allah dan berbaik-baiklah dalam meminta.”
Maksud dari kalimat “Berbaik-baiklah meminta”, barangkali bisa dijawab oleh QS. ar-Ra’d [13]: 14
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ ۖ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُم بِشَيْءٍ إِلَّا كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَاءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَا هُوَ بِبَالِغِهِ ۚ وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ
“Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang al-Haqq. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air agar air sampai ke dalam mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa al-kaafiriin itu, hanyalah sia-sia belaka.”
Yang membuat saya terperanjat di sini adalah bahwa Rasulullaah saw. juga pernah menyebutkan istilah Ruhul Qudus, yaitu utusan Allah dalam inti qalb manusia.
Hadits Nabi Muhammad saw. yang menyatakan, “Man ‘arafa nafsahu faqad Rabbahu”, yang memiliki arti, “Barangsiapa mengenal nafs (jiwa), maka akan mengenal Rabb-nya.” Ruhul Qudus ini yang memberitahu nafs (jiwa) akan tujuan penciptaannnya di dunia, karena yang mengadakan persaksian/perjanjian di alam alastu (QS. al-A’raaf [7]: 172) adalah Rabb dengan Ruhul Qudus dan nafs. Ruhul Qudus yang berada di inti qalb, tentunya baru terbuka jika nafs tersucikan (tadzkiyatun nafs). Nafs tersucikan jika qalb terbersihkan (muthahharuun).
Di Jawa, hadits man ‘arafa itu diistilahkan sebagai manunggaling kawula lan gusti, Kehendak Allah yang menyatu pada diri hamba. Kehendak itu disampaikan oleh gusti kecil yang disebut sebagai Ruhul Qudus kepada nafs (jiwa). Contoh-contoh tentang persoalan ini misalnya terdapat di dalam kisah Musa dan Khidr, Dewa Ruci, Serat Cabolek, Sunan Pengging, dan Syekh Siti Jenar.
Ibnu Katsir menjelaskan QS. al-Baqarah [2]: 87 tentang “Ruhul Qudus” yang telah memperkuat ‘Isa bin Maryam salah satunya dengan beberapa hadits Nabi saw. di bawah ini:
Dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari ‘Aisyah ra. dituliskan bahwa Rasulullah saw. pemah menaruh sebuah mimbar di masjid untuk Hassan bin Tsabit. Ia selalu membela Rasulullah (dengan bait-bait syairnya), sehingga beliau pun berdiri seraya berdoa, “Ya, Allah, dukunglah Hassan dengan Ruhul Qudus, sebagaimana ia telah membela Nabi-Mu.”
Catatan:
Jika ingin diperkuat oleh Ruhul Qudus, maka belalah Nabi saw., karena membela Rasulullah saw. sama artinya dengan mengikuti Rasulullah saw. Dan, itu merupakan satu-satunya cara untuk bisa mencintai Allah. Itulah yang disebut sebagai dengan taubat yang sebenar-benarnya taubat (tawbatan nashuha).
Dari QS. Ali Imran [3]: 31:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam kitab al-Bukhari dan Muslim, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. tertulis Umar bin al-Khaththab pemah melewati Hassan, ketika ia sedang membaca syair di dalam masjid. Ia pun memperhatikannya, sehingga Hassan berkata kepadanya, “Aku telah membaca syair di dalamnya dan di sana terdapat orang yang lebih baik darimu.” Setelah itu, Umar menoleh ke arah Abu Hurairah seraya berkata, “Demi Allah, apakah engkau pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Ya, Allah, perkenankanlah bagiku, perkuatkanlah ia dengan Ruhul Qudus?” Ia menjawab, “Ya, pernah.”
Demikianlah.
Wallahu a’lam bish-shawwab…
Dwi Afrianti
Cisaranteun Kulon
19 Ramadhan 1441 H
Sabtu, 12 Mei 2020 pukul 08.02 WIB
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji