
Alfathri Adlin
Pada tanggal 25 Desember 1839, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch dianugerahi gelar Graaf sebagai apresiasi dari Pemerintah Belanda karena dia telah menggagas Cultuurstelsel (Sistem Kultivasi) yang membuat negeri Belanda jadi makmur sejahtera.
Dalam pelajaran sejarah di sekolah, kita diperkenalkan Sistem Kultivasi ini sebagai Sistem Tanam Paksa. Belanda mewajibkan setiap desa menyediakan 20% tanah miliknya untuk ditanami komoditas ekspor (kopi, tebu, teh, dan nila) lalu dijual dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah kolonial. Sedangkan mereka yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) di kebun-kebun milik pemerintah sebagai gantinya.
Dalam pelaksanaannya, banyak petani petani mati bergelimpangan karena kelelahan dan kelaparan dan tidak dikuburkan. Hal ini memancing kritik keras dari kalangan humanis maupun praktisi Liberal non-pemerintah seperti Eduard Douwes Dekker (yang kita kenal juga sebagai Multatuli) dan, khusus untuk tulisan ini adalah Conrad Theodore van Deventer.
Dia membuat tulisan berjudul “Een Eereschuld” (Hutang Kehormatan) yang dimuat di majalah De Gids (1899). Singkat cerita, kritiknya terhadap Pemerintah Belanda memunculkan desakan berupa “Politik Etis” sehingga Ratu Wilhemina pun berpidato bahwa “Negeri Belanda memiliki kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran dari Penduduk Hindia Belanda.” Pidato ini mengawali kebijakan Politik Etis atau Politik Balas Budi di Hindia Belanda.
Adapun bentuk dari Politik Etis ini adalah (1) Irigasi dengan membangun serta memperbaiki bendungan untuk pengairan sawah dan pertanian; (2) Migrasi dengan memindahkan penduduk dari Tanah Jawa yang padat ke daerah lain; (3) Edukasi dengan menyelenggarakan pendidikan bagi bumi putera.
Namun, mohon maaf, tak ada makan siang gratis dari pemerintah kolonial Belanda.
Pada kenyataannya, irigasi yang dibangun dan diperbaiki tersebut hanya diperuntukkan bagi tanah-tanah subur milik perkebunan swasta Belanda, dan bukan untuk pertanian milik bumi putera.
Adapun migrasi, itu pun ternyata bukan semata untuk memindahkan kepadatan penduduk di Tanah Jawa, tapi untuk mendistribusikan “kuli kontrak” ke daerah-daerah perkebunan yang sedang dikembangkan oleh Belanda karena membutuhkan banyak tenaga kerja, seperti Deli, Lampung, bahkan Suriname, dan lain sebagainya.
Sedangkan untuk edukasi, pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk mencetak tenaga kerja terampil dan murah. Bayangkan, berapa biaya yang harus dikeluarkan jika harus mendatangkan tenaga kerja terampil dari Belanda, dan berapa pula gaji yang akan dimintanya? Kesempatan untuk mengenyam pendidikan pun tak terbuka bagi seluruh bumi putera. Hanya bagi anak-anak pegawai negeri dan kalangan mampu saja.
Belakangan mulai muncul masalah, bahwa anak-anak yang lulus Hoogere Burgerschool (HBS), yaitu pendidikan menengah umum untuk orang Belanda, Eropa, Tionghoa, dan elite pribumi, bingung hendak melanjutkan ke mana. Selain itu, industrialisasi juga mulai berkembang di Hindia Belanda sehingga membutuhkan juga tenaga terampil murah.
Di sisi lain, pecah juga Perang Dunia I (1914-1918) yang menghambat kelancaran hubungan Belanda dengan Hindia Belanda, dan para lulusan HBS di Hindia Belanda tak bisa begitu saja melanjutkan kuliahnya ke Belanda.
Untuk menanggulanginya, didirikanlah Technische Hoogeschool te Bandoeng, atau biasa disingkat menjadi THB, sebagai perguruan tinggi teknik pertama di Hindia Belanda yang dibuka sejak 3 Juli 1920 di Kota Bandung. Kini kita mengenalnya sebagai Institut Teknologi Bandung, atau biasa disingkat menjadi ITB. Gagasan awal pendiriannya adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga teknik di Hindia Belanda.
Pendidikan yang pertama kali dibuka adalah pendidikan teknik sipil untuk mencetak bricoleur (bukan engineer) yang membangun infrastruktur di Hindia Belanda, kemudian pendidikan kimia untuk mencetak bricoleur (bukan engineer) yang mengolah hasil bumi dari Hindia Belanda. Bahkan mata kuliah matematikanya pun dikonsentrasikan di tingkat satu agar langsung bisa diterapkan dalam bidang teknis. Barangkali istilah tukang insinyur lebih mengena di sini.
Sedangkan di Batavia, didirikanlah School tot Opleiding van Indische Artsen (Sekolah Pendidikan Dokter Hindia), atau yang biasa disebut sebagai STOVIA, yang merupakan sekolah untuk mendidik dokter pribumi. Kini sekolah tersebut dikenal sebagai Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
Maklum, wilayah tropis memang “cukup subur” dengan banyak penyakit. Hal ini memaksa pemerintah kolonial Hindia Belanda menyediakan tenaga kesehatan untuk menanggulanginya di berbagai wilayah jajahannya. Para lulusannya mendapat gelar “Dokter Djawa”, namun sebagian besar pekerjaannya adalah sebagai mantri cacar. Sebagian pihak menyebut bukan sebagai dokter, tapi mantri suntik.
Kenapa pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak membuka pendidikan humaniora? Tentu itu sama saja dengan “bunuh diri”. Untuk apa membuka pendidikan yang malah akan mengajarkan ilmu-ilmu kemanusiaan sehingga menyadarkan para mahasiswanya akan hak azasi manusia, kemerdekaan, kesadaran politik sebagai bangsa dan negara, dan lain sebagainya. Itulah kenapa peninggalan Belanda di bidang keilmuan yang ada di Indonesia umumnya berupa lembaga yang bergerak dalam pengembangan sains dan teknik, seperti penelitian biologi di Kebun Raya Bogor, teropong bintang di Boscha, dan lain sebagainya.
Namun, sejarah mencatat bahwa para mahasiswa THB maupun STOVIA ini malah “nakal” karena mereka membaca juga buku-buku di luar buku teks wajib untuk kuliahnya. Maka kita pun mengenal bagaimana gerakan Kebangkitan Nasional sampai gerakan kemerdekaan pun salah satunya digerakkan oleh para jebolan dua kampus ini. Itulah sebentuk “kenakalan” para mahasiswa yang harus diacungi jempol.
Namun, setelah merdeka, keadaan keuangan negara juga tidak bagus. Maka, pendidikan pun sekali lagi tak kunjung bebas dari kepentingan politik serta diarahkan untuk menghasilkan kemajuan ekonomi melalui pengembangan industri. Itulah gambaran singkat pendidikan di era Orde Lama.
Lalu bagaimana dengan Orde Baru. Tak banyak berbeda. Di era ini kita mengenal link and match yang menggali kompetensi dari para peserta yang harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja. Karenanya, kurikulum maupun sistem pendidikan—terutama pendidikan tinggi—harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar kerja. Pasalnya, hampir setiap tahun terjadi peningkatan pengangguran lulusan pendidikan tinggi karena para lulusannya tidak didukung dengan kompetensi yang dibutuhkan dunia industri. Solusinya? Kampus harus menjadi lembaga pendidikan dan pelatihan (tukang) untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar, yaitu industri.
Lalu bagaimana dengan kampus sebagai tempat pengembangan keilmuan? Bagaimana dengan kondisi literasi mahasiswa Indonesia yang jauh di bawah negara-negara lainnya? Bagaimana dengan kondisi bahwa banyak mahasiswa Indonesia tak mampu menulis? Membuat kalimat make sense dalam tugas makalah pun belepotan. Bahkan jasa membuatkan tugas akhir subur di mana-mana. Pendidikan S2 pun tak jarang ditempuh sebagai upaya untuk memiliki daya saing lebih dibandingkan lulusan S1; bukan untuk lebih mendalami ilmu.
Belum lagi permasalahan para dosen galak yang mengajar dengan membosankan. Plagiarisme dan kelangkaan pemikiran yang orisinal. Apakah mahasiswa yang memiliki IPK tinggi itu pastilah calon dosen, dan apakah calon dosen harus memiliki IPK tinggi? Bagaimana jika ada seorang mahasiswa yang sebenarnya berbakat jadi peneliti, seperti Newton, namun malah dipaksa menjadi dosen, sementara dia tak bisa mengajarkan ilmunya secara artikulatif? Bukankah dosen yang semacam itu malah “membunuh” minat belajar sekian generasi mahasiswa yang diajarinya? Bahkan tak jarang ada juga dosen galak yang tak suka ditanya karena dia memang tidak menguasai ilmunya dengan baik. Akibatnya, dia melindungi diri dengan sikap galak tersebut, dan berabernya, mahasiswa pun tak paham akan pengajarannya.
Kondisi semacam ini semakin terabaikan oleh visi hilirisasi dalam dunia pendidikan di era Reformasi. Hilirisasi mencanangkan agar riset di perguruan tinggi bukan hanya menghasilkan publikasi tapi pemecahan riil. Semua kegiatan riset harus dilaksanakan dalam ‘spirit hilirisasi’ ke dunia industri, kemudian lembaga litbang dan perguruan tinggi juga sebaiknya berada dekat dengan kawasan industri sehingga peneliti dapat melakukan praktik di industri. Syarat berupa pemecahan riil ini juga menjadi salah satu syarat bagi seorang akademisi untuk bisa menjadi Guru Besar, yaitu harus menulis di jurnal nasional terakreditasi berupa penelitian empiris yang menawarkan solusi. Lantas, bagaimana caranya agar para akademisi filsafat bisa menjadi Guru Besar dengan syarat seperti itu? Dr. Mohammad Kemal Agusta pernah mengungkapkan:
“Manakah yang lebih dulu harus ada? Industri yang maju atau kultur pengembangan ilmu yang solid? Saya lebih condong pada yang kedua. Betul bahwa industri yang maju akan mendorong pengembangan keilmuan lebih jauh lagi. Tapi keberadaan industri maju bukan syarat perlu untuk kehadiran kultur keilmuan yang baik. Bangsa Eropa Timur secara ekonomi jelas lebih melarat daripada saudaranya di Eropa Barat, tapi kampus-kampusnya tetap memiliki tradisi keilmuan yang baik, terutama di bidang-bidang teoretik seperti matematika, misalnya. Tentu saja simbiosis mutualisme antara elemen universitas, pemerintah dan industri (istilah kerennya triple-helix) adalah kondisi yang diinginkan. Tapi kondisi ini tidak bisa dicangkokkan begitu saja, seperti yang dilakukan pemerintah selama ini. Kondisi ini harus ditumbuhkan, dan akan tercapai ketika masing-masing elemen itu mencapai titik optimal pertumbuhan masing-masing. Sekarang pertanyaannya: bagaimana industri dan pemerintahan kita bisa tumbuh menjadi lembaga yang mapan dan haus inovasi sehingga bisa menghargai pengembangan ilmu, bila setiap tahun mereka disuplai oleh orang-orang yang merupakan hasil dari sistem pendidikan yang sakit?”
Melihat sejarah pendidikan tinggi Indonesia semenjak Politik Etis yang digagas untuk menghasilkan tenaga kerja terampil dan murah bagi pemerintah kolonial Belanda, lalu cengkeraman kepentingan politik di era Orde Lama dan Orde Baru yang tak banyak berbeda juga dari “Politik Etis” ternyata tetap berlanjut hingga era Reformasi ini. Maka, ada benarnya apa yang dikemukakan oleh Bambang Sugiharto, bahwa:
Sesungguhnya selalu ada perasaan malas namun sekaligus antusias manakala kita mesti bicara soal pendidikan di negeri ini. Malas oleh sebab tentang hal itu kita sudah banyak memperbincangkannya sementara dalam kenyataan sistem pendidikan tak pernah berubah juga. Antusias oleh sebab segala hiruk-pikuk kekerasan dan berbagai persoalan konkrit di negeri ini hari ini sesungguhnya sebagian berakar dalam sistem pendidikan yang memang sakit juga.
Etos kerja yang payah—terutama di institusi-institusi negeri—cara berpikir yang dangkal, kelangkaan kreativitas, ketakmampuan berdisiplin, ketakmampuan menyelesaikan persoalan, berbagai bentuk pertengkaran sosial-politik yang naif, hingga korupsi, kolusi dsb. yang terus saja mendera kita, adalah produk dari tidak berhasilnya sistem pendidikan melepaskan kita dari struktur mentalitas budak.
Memang tidak mudah. Kita terlanjur harus menyeret beban sejarah yang payah. Sejarah panjang manusia yang terjajah. Pendidikan awal yang kita kenyam adalah pendidikan untuk melahirkan pegawai administratif murah bagi pemerintah Belanda (meski Belanda menganggapnya sebagai tindakan “balas-budi” terhadap Indonesia). Sedang setelah merdeka pun pendidikan segera diterkam oleh kepentingan politis. Pada era Orde Baru lebih kentara lagi bahwa pendidikan diperlakukan sebagai sarana pengembangbiakan kontrol politis secara sistematis demi melestarikan status quo. Serentak pula ia merupakan pabrik suku-cadang bagi struktur raksasa kapitalisme global. Demikian sejarah pendidikan kita adalah sejarah pelestarian mentalitas kuli secara sistematis.
Pendidikan di Indonesia—terutama pendidikan tingginya—ternyata diarahkan hanya untuk mencetak karyawan, dan bukan untuk mendidik manusia menjadi dirinya sendiri. Semua peserta didik diarahkan menjadi sekrup industri. Lalu bagaimana dengan mereka yang bercita-cita ingin menjadi ilmuwan? Secara basa-basi bisa saja seolah-olah didukung, namun toh pada kenyataannya “kebutuhan pasar kerja di industri” yang menjadi komando sehingga kurikulum pun selalu diubah-ubah untuk disesuaikan dengan kebutuhan industri dan sistem pendidikan pun hanya menjadi balai pelatihan tukang. Pendidikan tinggi seolah tak lebih dari bentuk baru pencetakan kuli kontrak ala Politik Etis, hanya saja kali ini pelakunya adalah bangsa kita sendiri.
Lebih dari 2000 tahun yang lalu Platōn telah menuliskan dalam kitab terkenalnya, yaitu Politeia, tentang aretè (keutamaan) yang dipaparkan oleh Sōkratēs, tokoh utama dalam buku tersebut. Melalui beberapa analogi, Sōkratēs menegaskan bahwa setiap manusia itu memiliki kerja atau fungsi khusus (ergon), misalnya kita hanya bisa melihat menggunakan mata, mendengar menggunakan telinga, atau bagaimana gunting pemangkas bisa memangkas dahan-dahan tumbuhan menjalar jauh lebih baik daripada pisau belati karena gunting tersebut memang diciptakan untuk tujuan tersebut, dan itulah keutamaan (aretè ) dari gunting pemangkas. Begitu juga keutamaan (aretè) dari mata dan telinga.
Seharusnya demikian pula dengan manusia. Bahwa keutamaan (aretè) seseorang itu adalah ketika dia melakukan apa yang dimudahkan baginya, yang bisa dia lakukan dengan sangat baik dibandingkan orang lain. Apabila keutamaan (aretè) seorang peserta didik itu adalah menjadi pemusik, atau perupa, atau fisikawan, atau filsuf, atau apa pun, maka fungsi pendidikan seharusnya adalah mendidik dia sebagai manusia untuk menemukan keutamaannya tersebut, dan bukannya malah memukul rata bahwa fungsi pendidikan adalah untuk mencetak karyawan bagi kebutuhan industri. Namun, apa daya, ternyata visi Politik Etis dalam edukasi masih bertahan lama dalam pendidikan tinggi di negeri ini. Jika merujuk kepada pemikiran Platōn (maupun Sōkratēs), kondisi pendidikan sebagai pelatihan untuk mencetak karyawan ini tetap langgeng karena keutamaan (aretè ) — yang seharusnya menjadi visi dalam pendidikan — ternyata tidak pernah berada di tangan mereka yang memang memiliki keutamaan (aretè ) untuk menangani pendidikan.
Selamat Hari Pendidikan Nasional.[]
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji