Serambi Mentafakuri “Pengenalan Jiwa” dalam Psikologi C. G. Jung

Oleh Dwi Afrianti

Tahun 1955, wajah C. G. Jung terpampang di sampul depan majalah Time dengan Tagline Exploring the Soul: a Challenge to Freud. Artikel diawali dengan menceritakan tentang tiga sekawan di zaman modern bernama Freud, Adler, dan Jung, yang berjuang untuk mengenal diri sendiri dan mengendalikan dorongan-dorongan tergelap mereka. Teori-teori psikologi berikutnya dikatakan merupakan anak cucu dari Tiga Besar ini. Setelah Freud dan Adler meninggal, Jung bahkan di usia 79 tahun belum merasa letih bertualang di dalam lautan psike. Tulisan berlanjut dengan menjelaskan topik apa saja yang menjadi minat Jung, sehingga melahirkan teori Psikologi yang dia sendiri kelimpungan untuk menjelaskannya kepada para koleganya. “I” seemed strange for a modern psychiatrist.”

Tidak seperti para koleganya, Jung senang mengkaji alkemia (dimulai tahun 1928), yaitu ilmu terkait mistisisme dan protosains, yang akan mengkaji bentuk-bentuk keyakinan-keyakinan dan manifestasinya sejak zaman kuno bahkan primitif hingga modern, seperti yang memuat simbol-simbol mistis dari berbagai agama dan kebudayaan baik yang terdapat pada lukisan-lukisan di gua purba, mimpi, bangunan peribadatan, slogan-slogan kampanye, dan mitologi; khazanah Timur yang penuh mistisisme seperti yoga, reinkarnasi, budhisme, dan lain sebagainya; juga filsafat Mesir, Cina, dan Yunani; studi individuasi dalam pelbagai agama seperti Kristen, khususnya, dan termasuk Islam. Minat arkeologi, membantunya untuk mengilmiahkan temuan-temuannya. Minat sejarah menjadikan semua pengkajiannya tersebut diintegrasikan dalam rumusan psikologi, bahwa seluruh perjalanan kehidupan manusia merupakan perkembangan menuju tahapan demi tahapan berikutnya yang selalu berupaya untuk mengeluarkan unconscious menjadi conscious. Bahkan, perjalanan psike bagaikan sebuah sejarah. Karena itu Jung menyatakan, “Without history, there can be no psychology.”

Di dalam pembukaan buku otobiografi yang ditulisnya dua tahun sebelum ia meninggal,
“My life is a story of self-realization of unconscious. Everything in the unconscious seeks outward manifestation, and the personality too desires to evolve out of its unconscious conditions and to experience itself as a whole. I cannot employ the language of science to trace this process of growth in myself, for I cannot experience myself as a scientific problem.”

“Kehidupan saya adalah sebuah kisah tentang unconscious yang merealisasikan dirinya. Segala sesuatu yang terdapat di dalam unconscious mencari jalan keluar untuk tampil, dan kepribadian juga ingin berkembang keluar dari kondisi-kondisi unconscious-nya dan mengalami diri sebagai suatu keseluruhan. Saya tidak dapat menemukan bahasa keilmuwan untuk menapaki proses perkembangan di dalam diri saya, karena diri saya tidak mengalami sesuatu yang dapat dinilai sebagai persoalan ilmiah.”

Jika psikologi merupakan ilmu tentang manusia, tentang diri, maka ia harus memiliki definisi, yaitu ilmu yang menyatukan semua ilmu yang ada, karena itu bagi Jung, psikologi adalah sebuah encyclopedic enterprise. Apakah pernyataan ini muncul sebagai hasil kesimpulan setelah pengkajiannya akan begitu banyak disiplin ilmu ataukah sebagai sebab dari pengkajiannya tersebut? Keduanya saling memotivasi dan saling menguatkan. Proyek ensiklopedik yang Jung lakukan ditandai oleh terbitnya buku berjudul Psychology of the Unconscious: Transformations and Symbols of the Libido, yang perumusannya berasal dari pemikiran bahwa sejarah merupakan pondasi untuk merumuskan Psikologi Individu.

Pada tahun 1913, ia menulis surat kepada para editor Psychoanalytic Review:
“Psikologi itu ilmu yang berada di luar jangkauan satu orang individu, khususnya para psikiatris yang menjadi master dalam ilmu mental terkait anatomi pikiran. Perumusan psikologi tidak bisa hanya dilakukan oleh para psikiatris, melainkan juga para filolog, sejarawan, arkeolog, mitolog, penutur kisah rakyat, ethnolog, filsuf, teolog, pedagog, dan biolog.”

Perlu membuat teori psikologi yang ensiklopedik, sebagai tawaran bagi psikologi yang komplek karena memuat interdisiplin ilmu di atas dan mengukir area baru dari yang sudah ada. Tetapi tampaknya di zaman modern ini kerjasama tersebut akan mengalami kesulitan, karena sudah terkotak-kotaknya keilmuwan di dalam spesialisasi. Mengkaji zaman kuno yang memiliki kearifan berinteraksi intens dengan diri internal, Tuhan, dan alam, sementara hidup di pertengahan zaman modern yang sedang mematerialisasikan segala sesuatunya, bahkan psike manusia, membuat karakter kritis Jung di dalam buku-buku yang ditulisnya tidak jarang menyindir persoalan yang terdapat di zaman yang ia bertempat tinggal. Bahkan Jung menulis buku berjudul “Modern Man in Search of a Soul” yang diterbitkan pada tahun 1933.

Dalam Bab I tentang Postulat-postulat Psikologi Analitik, Jung menjelaskan,

“Bahwa pada zaman Pertengahan, jiwa dimaknai sebagai substansi yang terpisah dari raga. Manusia disebut utuh jika keduanya bersatu padu. Tetapi sejak paruh kedua abad ke-19, definisi jiwa tidak lagi seperti itu, sehingga perumusan psikologi pun menjadi ‘Psikologi tanpa Jiwa (psychologie ohne seele)’. Di bawah pengaruh sains yang termaterialkan, segala sesuatu yang secara fisik tak terlihat oleh mata dan tak terdengar oleh telinga dianggap tidak ilmiah. Jika begitu, maka konyol rasanya jika psikologi disaintifikasi. Scientific psychology, sebuah istilah yang sebenarnya hanya ilusi, meskipun tidak bermaksud untuk memasukkan psikologi ke dalam bidang metafisika.”

Karena itu, Jung sempat mengusulkan sebuah istilah “psikologi dengan psike”, yang memiliki maksud melakukan kerja dalam ruang lingkup psikologi yang terukur tanpa meninggalkan psike dalam arti yang sebenarnya. Seele, lalu apakah itu?“Bahasa Inggris “soul” berasal dari bahasa Gothik “sawala”, bahas Jerman “saiwalo”, dan terkait dengan Αἴολος, Aiolos [a͜ɪ́olos] yang memiliki arti bergerak cepat, mobile, coloured, iridescent. Psyche dalam bahasa Yunani juga bermakna kupu-kupu. Saiwalo terkait juga dengan bahasa Slavonik kuno “sila” yang bermakna kekuatan. Jika dilihat ketersambungan semuanya, jiwa dapat dimaknakan sebaga substansi yang menggerakkan kekuatan, yaitu kekuatan hidup. Bahasa Latin animus terkait spirit, dan anima terkait soul. Bahasa Yunani pneuma bisa dikaitkan juga dengan wind, spirit. Dalam bahasa Arab, angin adalah rih, dan ruuh bisa dimaknakan sebagai soul, spirit. Bahasa Yunani psyche terkait dengan psycho, to breathe, psychos, cool, psychros, cold, dan phusa. Istilah-istilah yang terdapat dalam bahasa Latin, Yunani, dan Arab tersebut menunjukkan, bahwa soul terkait dengan pergerakan udara, udara dingin dari hembusan spirit. Tidak heran jika orang-orang primitif mendefinisikan jiwa sebagai nafas-raga yang tidak tampak, atau ada juga yang mendefinisikan jiwa sebagai api atau kobaran, karena hangatnya merupakan sebuah tanda kehidupan. Dalam keyakinan primitif, nama seorang individu adalah jiwanya, dan mereka memunculkannya dengan memberikan bayi yang baru lahir nama yang sama seperti leluhurnya, dengan anggapan bayi tersebut merupakan reinkarnasi leluhur. Dari sini muncul konsep shadow atau yang dalam bahasa Yunani “synopados”, yang bermakna “dia yang mengikuti di belakang”. Seiring perjalanan hidup, shadow itu pun menghilang atau berhasil mereka hilangkan, karena mereka tahu bahwa shadow itu bukan diri mereka atau kesadaran mereka sebenarnya.

Kisah-kisah para genius menunjukkan, mereka tidak bisa menghalau sekuat apapun upaya yang mereka lakukan untuk menghentikan pikiran-pikiran yang begitu mengobsesi. Ingatan-ingatan datang silih berganti tanpa diinginkan, begitupun kita lupa akan hal-hal tertentu, tetapi pada saat kapanpun dan di manapun fantasi-fantasi berdatangan. Tetapi, dalam keadaan yang seperti itu, manusia sudah, tetap merasa menjadi tuan bagi dirinya, merasa terkendali, padahal semua hal itu merupakan gejala dari neurotik. Di zaman modern ini, para psikolog dapat memberikan diagnosa sebagai orang normal bagi seorang neurotik, karena gejala-gejala yang dimunculkan umum terjadi di zaman modern ini. Proses psikis yang terjadi, akan dianggap oleh psikolog zaman ini sebagai sebuah proses yang normal. Perasaan sudah merasa menjadi berkesadaran, “aku” yang mengendalikan, sebuah ego-consciousness, malah akan menenggelamkan “aku” yang sebenarnya masih berada di dalam unconsciousness.

Lalu di mana dan siapa psike itu? Ketika saya tertidur, mengapa saya bangun di dalam mimpi? Ketika saya mati, mengapa ada orang yang melihat saya di dalam mimpi atau dalam penglihatan lain? Bahkan ketika saya masih hidup, orang lain bisa memimpikan saya. Berdasarkan hal ini, maka saya mengambil kesimpulan bahwa di dalam psikologi, ada bagian yang tidak bisa diukur secara empiris dan ilmiah menurut pengukuran keilmuwan di zaman modern ini.” Penemuan-penemuan fisika modern membawa perubahan signifikan dalam memandang istilah saintifik (ilmiah), menghancurkan validitas absolut hukum-hukum alam sehingga menjadikannya relatif. Hukum-hukum alam adalah kebenaran statistik, hanya valid jika bersesuaian dengan kuantitas makrofisik. Dalam realitas kuantitas teramat sangat kecil, prediksi menjadi sulit untuk ditentukan, jika tidak mungkin, karena kuantitas teramat sangat kecil tidak lagi bersesuaian dengan hukum-hukum alam yang diketahui sebelumnya, Prinsip filsafat yang menjadi dasar bagi konsepsi hukum alam adalah kausalitas, tetapi jika hubungan antara sebab dan akibat hanya dilihat berdasarkan validitas statistik dan kebenaran relatif, maka prinsip kausalitas juga hanya bersifat relatif untuk menjelaskan proses-proses alamiah dan karenanya memprasyaratkan keberadaan satu atau lebih faktor yang akan digunakan untuk menjelaskan. Maka, satu penjelasan akan mengundang penjelasan lainnya, dan begitu seterusnya. Dan secara alamiah, manusia akan selalu terusik kesadarannya ketika merasa bingung dengan suatu fenomena yang tak dapat dijelaskan, lalu berupaya mencari-cari penyebabnya. Padahal, jawabannya sederhana saja: ada hal-hal yang tak dapat dijelaskan sebabnya. Keunikan individu, merupakan gambaran bahwa alam juga unik: apakah suatu peristiwa yang sama, dalam waktu yang sama, akan dipersepsi sama oleh dua individu? Konsep Chancefulness –> meaningful coincidence.

Sebenarnya, petunjuk tentang keunikan diri sudah ditaburkan sejak kecil. Dapat kita lihat pada simbol-simbol yang bertaburan sejak kecil; bahwa setiap orang, dipenuhi dengan apa-apa yang akan membawa kepada simbol-simbol penting yang menunjukkan kedirian (self). Apakah simbol-simbol itu juga berfungsi sebagai petunjuk akan takdir masa depan, barangkali juga iya, tetapi tanpa kita sadari bagaimana jalan-jalan yang diambilnya. Hanya diketahui, jika sekarang, setelah melampaui puluhan tahun lalu dari masa kecil, ketika kita memang membutuhkannya. Kita menyadari kebutuhan akan mereka jika ketidaksadaran demi ketidaksadaran kita selapis demi selapis terbuka menuju kesadaran. Masa kini yang dikuatkan, yang diberi garis tegas, diberi cap, oleh masa kecil. Atau ketika sudah ada pengetahuan tentang kaitan antara simbol dengan kehidupan, dan lain sebagainya. Apakah juga dapat dikatakan semisal, jika kebetulan saya mempunyai ayah yang gemar membaca dan menyimpankan buku-bukunya dengan rapi di rak-rak buku dalam beberapa ruangan. Ruangan yang bebas saya akses, tempat di mana juga kegiatan mengaji memanggil guru jika malam tiba. Nantinya, ruangan itu beralih ke dalam beberapa fungsi. Ruangan penyimpanan buku lainnya, tidak beralih, karena berada di kamar orang tua saya. Kalau saya tidak salah ingat. Buku-buku aneka jenis, yang saya baru paham jenisnya apa sekarang, karena melekat pada diri saya. Primbon Jawa dengan segala rupa isinya yang berbicara tentang pertanda alam yang menciptakan karakteristik diri; tanda-tanda di alam sebagai firasat; makna mimpi, angka, hari. Itu yang paling saya ingat dari buku Primbon itu. Buku lainnya, adalah buku Ihya ‘Ulumuddiin dan Taubat berwarna hijau yang ditulis oleh Imam al-Ghazali, yang membuat saya menciptakan gambaran Tuhan sebagai seorang kakek baik hati berjanggut panjang putih sedang duduk di atas singgasananya. Ke sininya saya baru tahu, ternyata gambaran Tuhan seperti itu menjadi imej-imej dalam peradaban kuno. Collective unconscious yang membimbing imaji-imaji relijius.

Dan fakta bahwa setiap orang unik, adalah kenyataan yang menunjukkan, bahwa apa-apa yang menjadi ketertarikan saya, berbeda dengan adik-adik saya, yang dilahirkan dan diasuh oleh orang tua yang sama. Di dalam ruang-ruang fisik dan spiritualitas yang berbeda.

Simbol-simbol membimbing kita hingga hari ini. Sekali lagi, tanpa kita sadari, tapi kita sadari fenomenanya.

Author Profile

Dwi Afrianti
Dwi Afrianti
Sekretaris PICTS. Meraih gelar magister di bidang Sejarah Peradaban Islam dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung pada tahun 2018. Saat ini, sedang menempuh jenjang doktoral di Filsafat Agama di perguruan tinggi yang sama.