Oleh Fridayanti W. P., dosen Psikologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Editor Bahasa: Dzatul Lu’lu, alumnus Linguistik UI
Imam Al-Ghazali rahimahullah bangun pada suatu pagi, lalu shalat, seperti biasa. Setelah itu, ia bertanya kepada adiknya, Ahmad Ghazali, “Hari apa ini?” “Senin,” jawabnya.
Ia meminta kepada adiknya untuk dibawakan kain kafannya, dan ketika menerimanya, ia menciumnya, meregangkan tubuh di sepanjang kain itu, dan berkata, “Rabb, saya tunduk dengan suka cita.” Kemudian, ia mengembuskan napas terakhir.
Di bawah sandaran kepalanya, mereka menemukan bait-bait berikut yang disusun olehnya, mungkin, pada malam hari.
“Katakanlah kepada teman-temanku ketika mereka melihatku mati,
menangis untukku dan meratapiku dalam kesedihan.
‘Jangan percaya bahwa mayat yang kalian lihat ini adalah diriku sendiri.
Dengan nama Allah, aku berkata kepada kalian, ini bukanlah aku.
Aku adalah ruh, dan ini hanyalah daging,
tempat tinggal dan pakaianku untuk sementara waktu.
Aku adalah harta karun, dengan azimat yang disembunyikan,
dihiasi debu, yang melayaniku sebagai tempat suci.
Aku adalah sebuah mutiara, yang meninggalkan cangkangnya yang kosong.
Aku adalah seekor burung, dan tubuh ini adalah sangkarku.
Kini, aku telah terbang dan meninggalkannya sebagai tanda.
Segala puji bagi Allah, yang kini telah membebaskanku,
dan mempersiapkan bagiku tempat di surga tertinggi.
Sampai hari ini, aku mati, meskipun hidup di tengah-tengah kalian.
Kini, aku hidup dalam kebenaran, dengan kuburan
—sebagai pakaian yang dibuang.’
Hari ini aku bercakap-cakap dengan Orang-Orang Suci yang ada di atas,
tanpa tabir sebagai perantara, aku menyaksikan Tuhan, secara berhadapan.
Aku melihat “Lauh Mahfuz”, dan di sana aku membaca,
Apa pun yang telah dan sedang terjadi, serta semua yang akan terjadi.
Biarlah rumahku runtuh, letakkan sangkarku di tanah,
buanglah azimat, ini bukan tanda lagi.
Singkirkan jubahku, itu hanyalah pakaian luarku.
Tempatkan mereka semua di dalam kubur, biarlah mereka dilupakan.
Aku telah melewati jalanku dan kau tertinggal,
tempat tinggalmu bukanlah tempat tinggal bagiku.
Jangan berpikir bahwa kematian adalah kematian.
Bukan! Itu adalah kehidupan,
sebuah kehidupan yang melampaui semua yang bisa kita impikan di sini.
Sementara di sini, di dunia ini, kita tertidur.
Kematian hanyalah tidur, tidur yang akan diperpanjang.
Jangan takut ketika kematian mendekat,
itu hanyalah keberangkatan untuk rumah yang diberkati.
Pikirkanlah rahmat dan kasih Rabb-mu,
bersyukurlah atas rahmat-Nya dan datanglah tanpa rasa takut.
Aku yang sekarang, bahkan kalian pun, akan seperti itu,
karena aku mengetahui, demikian pula kalian,
jiwa-jiwa manusia, semuanya, berasal dari Allah.
Tubuh-tubuh, semuanya, disatukan.
Baik dan jahat, sama-sama milik kita.
Kini aku memberi kalian pesan kebaikan.
Semoga keselamatan dan suka cita dari-Nya, selamanya, milik kalian.”
Atas kepergian Al-Ghazali, Ibn Asy-Syakir berkata, “Dia meninggal dalam rahmat Allah Ta‘ala pada hari Senin, 14 Jumadi Ats-Tsani 505 H; dimakamkan di pinggiran kota Tabran. Semoga Allah Ta‘ala menganugerahkan kepadanya semua jenis nikmat di akhirat sebagaimana yang Dia berikan kepadanya, melalui karunia-Nya, berupa penerimaan ilmu dalam kehidupan dunianya.”
Sedangkan Ibn Al-Jauzi berkata dalam Al-Muntazam: ‘Sesaat sebelum kematiannya, salah satu sahabatnya berkata: “Nasihati aku.” Ia berkata: “Kamu harus memiliki keikhlasan”, mengulanginya sampai dia meninggal.’
Sumber:
As He Breathed His Last – Imam al-Ghazali’s Last Poem. https://seekersguidance.org/articles/general-artices/as-he-breathed-his-last-imam-al-ghazalis-last-poem/
Imam Al-Ghazali: A Biography and Introduction. https://www.imamghazali.org/resources/imam-ghazali-biography
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji