Sekilas tentang Bahasa Jawa Kuno

Greta Kharisma Ardiyanti

Bagi saya, bahasa Jawa kuno adalah bahasa yang indah dan filosofis. Setiap elemen dari bahasa Jawa Kuno, menurut saya, sungguh sarat makna. Makna yang dikandung unsur-unsurnya bukan sekadar suatu pemahaman akan arti imbuhan atau kata. Lebih dari itu, hal tersebut mengandung hakikat yang mencerminkan perjalanan manusia dari ia dilahirkan, hingga ia kembali ke asal-usulnya. Itu ibarat wadah yang menampung esensi, atau, jika dipandang terbalik, esensi dari perjalanan hidup manusia yang sedemikian besar dan luas terangkum dalam unsur-unsur bahasa tersebut. Tidak semua bahasa mengandung esensi yang sedemikian dalam seperti itu. Hal inilah yang membuat saya terkesan dengan bahasa Jawa kuno dan ingin mempelajarinya lebih jauh.

Keindahan hakikat dari bahasa Jawa Kuno tercerminkan mulai morfem, kata, dan kalimat. Hakikat yang terkandung dalam morfem-morfem itu bergabung membentuk hakikat yang lebih besar dalam tingkatan kata sehingga membentuk hakikat yang lebih besar dan kompleks pada tataran kalimat. Yang akan dijabarkan dalam esai ini, hanya pada tataran morfem dan kata saja.

Contoh keindahan bahasa Jawa Kuno dari segi morfem adalah morfem “su”, “duh”, dan “kha”. Morfem “kha” memiliki arti “langit”, morfem “su”, memiliki arti cerah, sementara morfem “duh” memiliki arti “gelap”. Morfem “su” dan “kha” jika digabungkan membentuk kata “sukha”, yang artinya suka, kebahagiaan. Sementara, morfem “duh” dan “kha” jika digabungkan akan membentuk kata “duhkha” yang memiliki arti duka, kesedihan.

Hal menarik dari dua kata tersebut adalah makna literalnya. Dalam kata “sukha”, jika morfem pembentuk kata tersebut diartikan secara literal maka artinya adalah “langit cerah”, sementara kata “duhkha” jika morfem pembentuknya diartikan secara literal maka artinya adalah “langit gelap”. Jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya apa kaitan antara makna literal kedua morfem dan makna kata yang dihasilkannya? Apa kaitan antara “langit cerah” dengan suka atau kebahagiaan? Apa kaitan antara “langit gelap” dengan duka?

Dalam perspektif tashawwuf, langit itu dikaitkan dengan aspek batin dalam diri manusia, sementara bumi itu dikaitkan dengan aspek ragawi dari manusia. Aspek batiniah merupakan aspek spiritual yang tinggi, sehingga disimbolkan dengan langit, sementara aspek ragawi berfungsi sebagai wadah aspek batin manusia selama di bumi.

Di antara sekian banyak aspek batin dalam diri manusia yang paling dikenal adalah jiwa dan qalb (hati). Terdapat hadis dalam khazanah Islam yang berbunyi, “Jika seorang hamba berbuat sebuah dosa, maka akan ditorehkan sebuah noktah hitam di dalam hatinya. Tapi, jika ia meninggalkannya dan beristigfar, niscaya hatinya akan dibersihkan dari noktah hitam itu. Sebaliknya, jika ia terus berbuat dosa, noktah-noktah hitam akan terus bertambah hingga menutup hatinya.” Itulah dinding penutup yang Allah sebutkan dalam ayat, “Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka kerjakan itu menutup hati mereka.” (HR Tirmidzi dan Ibn Majah, dihasankan oleh Syaikh Al Albani).

Demikianlah, ketika seseorang berbuat dosa, maka hati sebagai komponen batin manusia pun menjadi menggelap karena noda-noda yang ditimbulkan oleh dosanya. Ibaratnya seperti “langit” menggelap. Sementara, ketika seseorang memohon ampun atas dosanya, maka noda hitam dalam hatinya akan dihapus sehingga hatinya pun kembali bersih. Ibaratnya seperti “langit” yang cerah.

Kemudian, apa hubungan antara “langit cerah” dengan “suka atau kebahagiaan” dan “langit mendung” dengan “duka atau kesedihan”?

Hal ini serupa dengan yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim bahwa hati yang bersih adalah hati yang sehat (qalbun salim), sehingga pemiliknya akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam kehidupannya. Qalb yang bersih dan sehat itu tempat bernaung nafsul muthmainnah (jiwa yang tenang). Ketika orang tersebut meninggal, maka jiwanya akan menghadap Tuhan dengan tenang. Penjabaran ini menunjukkan kaitan antara “langit cerah”(sebagai simbol hati yang bersih) dengan “suka atau kebahagiaan”.

Sebaliknya, hati yang penuh noda karena dosa adalah hati yang sakit (qalbun maridh) dan juga hati yang mati (qalbun mayyit). Pemilik kedua jenis hati tersebut tidak akan tenang karena hatinya masih tertutupi oleh segala penyakit hati (iri, dengki, dendam dsb.) dan dosa-dosa lain. Ketika hati seseorang masih diliputi dosa, maka cahaya kebenaran yang ada tidak bisa ia lihat. Itu ibarat bumi yang berada di bawah langit yang juga ditutupi oleh mendung. Meskipun cahaya matahari menerpa, ia tidak bisa melihatnya karena mendung (dosa) yang menutupinya. Oleh karena itu, “langit gelap” (tertutup dosa) berkaitan dengan rasa “duka atau kesedihan” karena ketidakmampuan seseorang untuk melihat kebaikan yang hadir dalam kehidupannya.[]