Impresi Pertama Memasuki Cirebon (1)

Dwi Afrianti, Mahasiswa S3 Religious Studies Jurusan Filsafat Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung.


Tertulislah waktu itu di dalam catatan facebook: 20 Juli 2019, tempat aku mencatatkan perjalanan ke Cirebon dalam tajuk Cirebon; Napak Tilas Jejak Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga. Dua tahun yang lalu, yang Alhamdulillaah ternyata menjadi bagian dari apa-apa yang ditakdirkan pada tahun 2021 ini, Romadhon 1442 H. Dua judul tulisan aku pindahkan ke sini, sisanya aku eksplorasi dari berbagai sumber: tradisional maupun kontemporer. Semoga Allah mudahkan.

———————————-

Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin, Yang telah menyebabkan terjadinya suatu perjalanan berikut fasilitas (rezeki) yang diberikan… Kami syukuri dengan menceritakan sedikit yang kuperoleh, baik berdasarkan survey pribadi, Naskah Mertasinga, Naskah Babad Cirebon, Naskah Kuningan, dan sumber sekunder dan tertier (buku-buku hasil penelitian dari Nina Lubis, Sobana Hardjasaputra, Agus Aris Munandar, Uka Tjandrasasmita, Sulendraningrat, Denys Lombard, Pusat Studi Sunda, Kosoh, Munoz, Yoseph Iskandar, Wolters, dan lain sebagainya, maupun dari internet).

Banyak yang tak kuketahui hubungan antara, terutama Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga di Cirebon ini, bahkan ketika pernah menulis hal terkait keduanya — ketika kubaca kembali tulisanku tersebut — seperti tanpa ruh.

Sekarang aku akan mencoba menuliskan kembali, dengan rasa yang terasa hingga kini… meskipun agak lebay, rasanya barangkali seperti pulang naik haji — padahal belum pernah naik haji — seperti yang pernah disampaikan oleh yang pernah naik haji.

—————————————–

Persiapan yang tak terlalu matang sebenarnya, selain hati yang tertawan untuk ke Cirebon. Istri ngajak ke suatu tempat, dan suami menawarkan ke Cirebon. Disambut baik, karena sudah sangat lama ingin ke Cirebon. Sebuah gagasan yang hadir sejak SMP – SMA, dikarenakan punya Oom yang berasal dari Cirebon, dan teman kuliah S1 juga, tapi aku belum pernah ke sana. Dan sekarang bangkit lagi, dengan alasan lain termasuk juga karena banyak situs sejarahnya. Di perjalanan menuju Cirebon, malah teringat sesuatu, yang malah ingin menjadikan perjalanan ini sebagai perjalanan lahir batin yang bersejarah. Isinya sejarah, perjalanannya pun diusahakan memiliki nilai sejarah yang bermakna/ bertujuan ‘ibroh (pelajaran), hikmah, ataupun dzikron (pengingat).

Tidak membaca-membaca terlebih dahulu tentang Cirebon, selain sibuk dengan mencari-cari tempat bersejarah apa saja yang ada di Cirebon berikut penginapan yang dekat dengan catatan jaraknya sekaligus. Terpilihlah hotel bernama Hotel Asri daerah atau kecamatan Lemahwungkuk, dipilih berdasarkan pertimbangan dekat dengan tujuan utama, sekaligus menjadi tempat yang memfasilitasi anak-anak yang suka berendam di bathtub bulak balik bahkan tengah malam sekalipun.

Berangkat Jumat, 12 Juli 2019, Pk. 06.30, dengan mengendarai mobil yang disupiri Pak Suami. Oh iya, perasaan hati inginnya menggunakan baju merah. Ntah kenapa ingin merah, ketika ngepak pakaian, aku tidak mengerti. Sekedar mengikuti rasa saja dulu. Hahaha memang baju yang kukenakan pada perjalanan ini semuanya merah. Padahal jika dipadupadan dengan warna kulit yang cenderung cokelat tua, makin kelihatan gelaplah aku. Baru ngeh dengan “kemerahan” yang identik dengan warna “kecinaan”. Kita lihat saja nanti bagaimana tampak hubungannya dalam perjalanan ini…

Memasuki jalanan Cirebon kurang lebih pk. 11.15, tampak kental Cirebon ini dengan pagar berarsitektur khas Jawa. Majapahit, menurutku. Jadi, hingga saat itu, dan sudah sejak lama, bagiku Cirebon memang masuk ke dalam suku bangsa Jawa. Logat penduduknya juga lebih kepada Jawa. Tetapi dipatahkan oleh suami yang mengucap, “Nuhun,” ketika menerima kembalian uang dari membeli sesuatu.

Belakangan baru tahu, bahwa kata Nurdin, lupa siapa beliau, bahwa, ”Caruban akar katanya dari campuran. Cirebon merupakan melting pot (kuali peleburan), titik temu dan titik campur ber-bagai ragam kebudayaan. Tidak hanya lokal seperti Jawa dan Sunda, tetapi juga kebudayaan global, Tiongkok, Arab, India, atau bahkan Eropa setelah memasuki era kolonial.”

Kekentalan kedua, penamaan daerah-daerah yang ada di Cirebon, aku suka banget. Sepertinya khas. Lemahwungkuk, Kejaksan, Pujasaren, Astana, Pasayangan, Panjunan, Kejawanan, Pasuketan, dan lain sebagainya. Belakangan tahu, memang memiliki sejarahnya.

Pada hari Sabtu, Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana) yang diberi nama Somadullah oleh gurunya dari Gunung Jati, Syekh Datul Kahfi, berpamitan menuju ke Selatan. Ia tiba di tempat sunyi, hanya ada seorang tua bernama Ki Pangalang Alang. Lalu ia mengucapkan, “Lamma waqo’tu” yang berarti “Aku telah datang”= Lemahwungkuk. Usai shalat, membuka hutan dengan pepohonan yang tingginya ada yang sampai 500 meter. Ketika membuka hutan di daerah yang banyak binatang buas, ia berdoa agar Allah selamatkan. Ketika selamat, ia ucapkan, “Fa Anjayna,” yang berarti “Aku telah selamat” = Panjunan. Perjalanan selanjutnya, ia kebingungan, lalu berdoa memohon petunjuk jalan, “Fa Syalamuna,” yang berarti “Mengetahuilah” = Pasayangan, hingga terbukalah jalan. Dan seterusnya.

Siapa Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana dan Syekh Datuk Kahfi ini, insya Allah nanti akan kuceritakan pada sesi berikutnya.

Sekarang, kembali kepada kisah perjalanan kami…

Seperempat jam sebelum shalat Jumat, kami sengaja berhenti di Goa Sunyaragi. Maksud hati, mengunjungi tempat bersejarah terdekat yang dijumpai dulu sebelum ke hotel. Para perempuan duduk menanti dibukanya Goa Sunyaragi, sementara para lelaki shalat Jumat di Mesjid Annajah yang ditempuh dengan berjalan kaki selama kurang lebih 5 menit dengan jalan pintas dari dalam kompleks Goa Sunyaragi.

Sedikit memperhatikan sambil menunggu, di luar Goa Sunyaragi (halaman parkir), tampak beberapa lampion berwarna merah bertuliskan aksara Cina. Lupa menanyakan terjemahannya. Di halaman depan sebelum pintu masuk, terdapat beberapa kios yang menjual sepatu, kacamata, kaos, dan lain-lain. Belakang kios ada halaman lain yang dua ruangannya tempat pembuatan topeng atau sejenisnya. Terdapat juga beberapa kios penjual minuman dan makanan ringan semacam baso dan rujak. Juga ada resto cukup antik yang menjual minuman dan makanan ringan juga. Tidak terlalu detil kuperhatikan, karena tidak niat membeli makanan dan minumannya. Dari jauh, tampak di dalam kompleks Goa Sunyaragi, sebuah mushalla kecil.

Shalat Jumat usai. Dan ternyata, kami memutuskan untuk mengatasi bunyi orkestra dari perut dulu… Nyari-nyari tempat makan terdekat sambil mobil terus melaju, kaget juga begitu mengetahui kekentalan lain yang ada di Cirebon. Mall. Ya, Mall. Di mana-mana berdiri mall. Hampir saja Cirebon kujuluki sebagai Negeri ‘1000’ Mall, mengikuti Lombok yang dikatakan sebagai Negeri 1000 Mesjid.

Mall yang paling menonjol, adalah Mall dengan nama Grage. Menonjol kataku, karena namanya nyentrik, menurutku. Karena kupikir slengekan dari Garage Sale. Hahaha maunya. Belakangan tahu, menurut kitab Purwaka Caruban Nagari, Grage itu kependekan dari Negara Gede, yang berarti kerajaan yang luas. Versi lain mengatakan, berasal dari singkatan para pedagang terasi yang tak sabar menanti proses pembuatan terasi, sehingga mereka berteriak, “Geura, Age!” Versi lain, berteriak memanggil terasi itu sendiri, “Gerage!” Mall Grage, sebagaimana Cirebon juga pernah dikenal dengan sebutan Grage, merupakan ikon dari kota Cirebon. Pangeran Cakrabuana, ketika pernah menjadi kuwu (kepala desa), sering disebut sebagai Kuwu Grage atau Kuwu Cirebon. Belakangan juga tahu, dinamakan Grage Mall, karena memang letaknya di daerah Grage.

Akhirnya, kami berhenti juga di Grage Mall. Makan siang… Setelah makan siang, nurutin kemauan anak-anak. Keliling-keliling… hingga ah aku lupa nyampe hotel jam berapa. jelang maghrib kayaknya.