Dwi Afrianti
Sabtu Pagi, 21 Juli 2019. Kurang lebih Pk. 09 – 11
Berencana menyusuri tiga keraton: Kanoman, Kacirebonan, dan Kasepuhan; yang ketiganya berjarak tak lebih dari 1,5 km dari hotel. Dalam kecamatan Lemahwungkuk juga.Tentunya yang pertama direncanakan akan didatangi, adalah yang terdekat, 1,1 km, yaitu Keraton Kanoman. Meskipun paling dekat, ternyata Pak Supir tak berhasil menemukannya. Mobil sampai masuk jalan-jalan yang sulit sekali dimasuki mobil, lalu petunjuk dari hp selalu memberikan jalan-jalan yang seakan-akan tidak masuk akal. Jika aku jadi supirnya, aku tidak akan pernah menggunakan petunjuk digital itu. Manusia kuno yang lebih mempercayakan pertanyaan kepada para penduduk.
Bagaimanapun, mesin tidak lebih tahu daripada manusia, kataku. Ah, hanya pembelaan karena tidak bisa menggunakannya saja.
Penumpang belajar untuk taat, diam saja, membiarkan supir mencoba mencari-cari lagi dengan menggunakan hp. Tapi tidak kuat juga, karena kelamaan tidak ketemu, karena itu akhirnya aku memberanikan diri untuk menawarkan memberikan pertanyaan kepada penduduk. Kata penduduk, Keraton kanoman terletak di depan jalan besar, dan gampang dilihat, hanya saja memang dekat pasar, sehingga mobil harus parkir dekat pasar, dan jalan hanya sedikiiiit saja ke keraton. Setelah dikasih ancar-ancarnya, pencarian diteruskan. Alhasil, tidak ketemu juga, dan aku tidak memaksa kok untuk harus ke sana. Kalau tidak ketemu, ya tidak mengapa. Tetapiiiii akhirnya kami menemukan sesuatu yang lebih besar daripada itu.
Tadinya, Masjid Agung Sang Cipta Rasa tidak terlalu menjadi tujuan kedatangan ke Cirebon, meskipun aku jadwalkan juga, tapi karena takut tidak keburu untuk ke sana, maka tidak menjadi skala prioritas. Ternyata Allah berkehendak lain…
Hasil dari perjalanan tak menemukan Keraton Kanoman, malah menemukan Keraton Kasepuhan. Yang bikin girang itu, ternyata satu kompleks dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa, sehingga tempat yang tak menjadi skala prioritas itu, justru menjadi perjalanan pagi pertama.
Kami mendatangi Masjid Agung Cipta Rasa dulu sebelum ke Keraton Kasepuhan.
Satu bangunan berarsitektur khas Jawa lagi. Baik pagar maupun gapura berbatu mata merah dengan pagar berbentuk punden berundak ala Hindu. Majapahit lagi? Kulihat atapnya berbentuk limasan tanpa kubah. Mesjid berarsitektur Majapahit?
Gapura bergambar Candi Laras yang menjadi pintu masuk-keluar utama halaman mesjid, hanya dibuka saat shalat ied dan perayaan Mulid Nabi Muhammad saw. Hari biasa terdapat pintu kecil di sebelahnya atau dari pintu belakang sebelah gang rumah penduduk.
Tulisan di plang:
“Masjid ini dibangun sekitar tahun 1480 M atau semasa dengan wali songo menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Nama masjid ini diambil dari kata ‘Sang’ yang bermakna Keagungan. ‘Cipta’ yang berarti dibangun. Dan ‘Rasa’ yang berarti digunakan.”
Masjid Agung Sang Cipta Rasa menjadi simbol dari pluralisme Cirebon. Didirikan setahun setelah Masjid Agung Demak selesai dibangun (1479 M). Masjid yang menjadi arsitek dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini adalah Sunan Kalijaga dan Raden Sepat, arsitek dari Kerajaan Majapahit yang menjadi tahanan perang Kesultanan Demak ketika Majapahit kalah dalam menyerbu Demak, dengan melibatkan 500 orang dari Majapahit, Demak, dan Cirebon.
Berdasarkan sebuah sumber (dapat dari pdf, tapi tanpa nama peneliti, tetapi di footnotenya tertulis, bahwa ia mendapatkan data berdasarkan sumber primer dengan metode wawancara), Raden Sepat, merancang bangunan mesjid di atas tanah seluas 400 meter persegi (20 X 20 meter) berdenah bujur sangkar dengan kemiringan 30 derajat arah barat laut. Wajar jika arsitektur bangunan masjid ini bercorak akulturasi budaya Hindu, Jawa, dan Cina. Raden Sepat di utus Raden Fatah Sultan Demak untuk turut membantu pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Raden Sepat tak pernah kembali ke Majapahit. Ia dan sisa pasukannya masuk Islam dan bergabung dengan kesultanan Demak.
Menurut Daniya Iriyani, pintu masuk mesjid utama dinamakan sebagai pintu “Makrifat” atau “Narpati”, yang dikatakan oleh Adnan Maylani dan Munadi, DKM Masjid, bahwa pintu itu merupakan simbol dari kewalian Sunan Gunung Jati. Pintu-pintu lainnya, berukuran kecil dan pendek yang mengharuskan setiap orang yang masuk ke dalam mesjid harus membungkukkan diri. Sebagaimana ayat al-Quran, “Masukilah gerbangnya dalam keadaan bersujud.”
Total jumlah tiang penyangga ada 74 buah; di luar ada 44 dan di ruang utama ada 30. Berdasarkan penuturan salah satu petugas adzan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, bahwa angka 7 disini berarti, bahwa dibangunnya Masjid Agung Sang Cipta dalam tujuh hari. Tetapi ada juga yang mengatakan, bahwa angka 7 berarti proses penciptaan manusia melalui 7 kali kali proses. Dan angka 4 menjelaskan doa yang dibaca setelah sholat jumat oleh 4 orang yaitu: imam, khotib, muroqi, dan salah satu petugas adzan pitu (tujuh). Tiang sanggah utama (soko guru) ada 12, yang berarti terdapatnya 12 bulan dalam setahun. Tinggi 17 meternya melambangkan jumlah rakaat shalat wajib. 18 tiang melambangkan jumlah shalat sunat.
Tiang-tiangnya dibawa dari Majapahit. Satu tiang diminta oleh pengawal Putri Ong Tien dari Tiongkok (yang nantinya menjadi istri Sunan Gunung Jati) yang bernama Njoo Kit Tjit kepada Sunan Gunung Jati untuk pembangungan klenteng di kecamatan Jamblang (Hok Kek Cheng Shin). Sunan Kalijaga kebingungan ketika tiang hilang satu. Satu tiang yang hilang tersebut penggantinya adalah satu tiang utama (saka guru) yang dibuat oleh Sunan Kalijaga dari serpihan kayu yang disatukan. Tiang yang diminta oleh Njoo Kit Tjit itu juga dijadikan sebagai tiang penyanggah utama. Dan klentengnya dibangun di malam yang sama dengan pembangunan Mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
DR. Oppan Raffan Hasyim, filolog memaparkan, ”Itu menjelaskan kenapa di Mesjid Agung Sang Ciptarasa ada yang namanya saka tatal. Saka itu campuran dari berbagai serpihan (tatal) kayu yang dijadikan saka masjid sebagai pengganti kayu jati untuk Kelenteng Jamblang. Dalam sejarahnya, pembangunan Kelenteng Jamblang itu sama, berbarengan.”

Saka tatal merupakan ciri khas Sunan Kalijaga dalam membangun mesjid, sebagaimana mesjid Demak. Saka tatal mensimbolkan, “Jangan bercerai berai, berpegang teguh kepada Allah Swt. dan al-Quran. Orang-orang yang rusak masih bisa dirangkul untuk menuju jalan kebaikan. Hidup harus ada manfaatnya.”
Konon, Mesjid Agung Cipta Rasa ini adalah pasangan dari Mesjid Agung Demak yang bertipe maskulin, lebih gagah; sedangkan Mesjid Agung Cipta Rasa bertipe feminin.
Pada bagian mihrab masjid, terdapat ukiran berbentuk bunga teratai yang dibuat oleh Sunan Kalijaga, juga terdapat tiga buah ubin bertanda khusus yang melambangkan tiga ajaran pokok agama, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Konon, ubin tersebut dipasang langsung oleh Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga pada awal berdirinya masjid. Makna filosofis yang terdapat di mihrab, menunjukan adanya gambar ombak laut segara yang disebut mungal, yang mensimbolkan asma Rahman dan Rahim Allah tidak terbatas. Gunung disebut mangil, yang menurut Azhari, bahwa dalam belajar menuntut ilmu, seorang musrid itu harus mudawamah, tekun istiqomah; Terus- menerus dan sungguh-sungguh, karena gunung tidak rapuh terkena panas dan hujan. Matahari disebut mungup, artinya surur ma’rifat: ketika seseorang sudah cerdas hatinya sehingga mencapai tingkat ma’rifat. Ada pendapat lain yang menjelaskan, bahwa makna mungal, mangil, mungup, yang terletak di mihrab atau pengimaman adalah, bahwa menjadi imam atau pemimpin harus mempunyai wawasan yang luas seperti lautan segara, tinggi ilmunya, dan harus bisa memberikan pencerahan kepada rakyatnya.
Pada awalnya, Mesjid Sang Cipta Rasa Cirebon disebut Masjid Agung Pakungwati, karena berada di dalam komplek Keraton Pakungwati (Sekarang disebut sebagai Keraton Kasepuhan). Pakungwati adalah nama dari puteri tunggal Pangeran Cakrabuana, sehingga menjadi satu-satunya pewaris tahta Keraton Cirebon yang oleh ayahnya kelak dinikahkan oleh Sunan Gunung Jati yang nantinya naik tahta sebagai Sultan Pertama Kesultanan Cirebon. Beberapa Sumber sejarah juga menyebutkan, bahwa Pakungwati adalah penggagas pembangunan masjid yang kemudian diwujudkan oleh suaminya (sunan Gunung Jati). Pendapat tentang Masjid Agung Sang Cipta Rasa dulunya adalah Masjid Agung Pakung Wati ini, di perkuat dengan adanya bukti prasasti berbentuk ukiran kayu yang ada di tiang balok kayu, serambi sebelah selatan dekat saka tatal, bertuliskan huruf Arab pegon yaitu berbunyi, “Dugi hinggini Masjid Agung Pakung Wati ing martabate Insan Kamil babad pelesto ning ing rengkeppe masjid dentata dugi ing bumi hijrah nabi Muhammad Saw. min syahri jumadil awwal minsyahri muharrom,” yang artinya, “Sampai sekarang Masjid Agung Pakungwati sebagai manusia sempurna sejarah dari awal sampai akhir selesai tertata rapih seperti ini, ada di tanah ini bertepatan hijrah Nabi Muhammad Saw., Jumadil Awal sampai bulan Muharram.”
Sebenarnya, atap asli Mesjid Pakungwati atau Mesjid Agung Cipta Rasa ini, berbentuk kandang keboan, bentuk kuda-kuda 4 yang memiliki arti ingeto perkara sing papat, bahwa didunia ini segalanya serba empat perkara, seperti:
1. Nabi Adam di ciptakan dari: tanah, air, api , udara (angin).
2. Nabi Muhammad diciptakan dari: jamal, jalal, kamal, akmal.
3. Waktu, ada: pagi, siang, sore, malam.
4. Alam ada 4, yaitu: alam kandungan, alam sadar, alam arwah, alam akhirat.
Nanti, memasuki halaman Keraton Kasepuhan, juga terdapat bilik-bilik yang salah satunya menggunakan konsep keempatan ini.

Terdapat 2 buah sumur bulat yang dangkal tampak dasarnya sebagai tempat wudhu yang dulunya digunakan oleh para wali. Bernama Banyu Cis; Bayu berarti air dan Cis diambil dari nama tombak yang digunakan untuk khotbah Di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Dua sumur itu bermakna, bulatkan tekad dalam membaca dua kalimat Syahadat. Masyarakat menganggap, bahwa dua sumur itu adalah air zamzamnya Cirebon, sehingga yang datang ke mesjid meminum airnya selain berwudhu.
Terdapat Istiwa atau bencet, yaitu alat penunjuk waktu dengan memakai sinar matahari. Berbentuk bundar dengan tonggak besi di permukaannya. Para wali juga menggunakan hisab sebagai penentu waktu sholat, dikarenakan semisal cuaca dalam keadaan mendung, maka susah untuk melihat sinar matahari. Jadi dilakukanlah hisab untuk melihat hitungan tahun. Kalender hisab ini terletak di dinding serambi utara dekat bedug Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji