Dwi Afrianti
Perjalanan sekitar April 2021, mulai dibuat tulisan pada Kamis, 5 Agustus 2021, Pk. 9.18 – Jumat, 6 Agustus 2021 sebelum Subuh.
Bagian 1: Artefak yang Terletak di Halaman Depan-Kiri Museum
Sebelum berkisah tentang “Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama”, aku kilas balik sedikit, ya, nyritain preambulenya. Ini tulisan ke-12 dari ekspedisi perjalanan yang dicatatkan dalam upaya mesyukuri ni’mat-Nya. Sebagaimana tahapan penelitian sejarah yang melalui empat tahap: heuristik, kritik, interpretasi, maka tahap keempatnya, yaitu melakukan historiografi (penulisan), haruslah dilakukan, agar lengkap untuk apa tujuan perjalanan itu dilakukan. Dan sejarah agar memiliki makna sebagai pengajaran (‘ibroh), memiliki hikmah, senantiasa merupakan refleksi diri, mendzikiri Allah, maka penulisannya tidak sekedar menggunakan pendekatan sejarah belaka, melainkan dengan tambahan pendekatan lain, yaitu auto-etnografi yang berupaya memakna sejarah berdasarkan pengalaman pribadi yang didukung oleh bukti-bukti ilmiah; Pendekatan filsafat sejarah dibutuhkan untuk tujuan sejarah mencapai kepada pengenalan diri yang Allah Kehendaki, atas refleksi yang terdapat dalam auto-etnografi.
Perjalanan ke Banten hingga sampai ke tahap 12 penulisan ini, semoga bermanfaat bagi diri pribadi khususnya dan teman-teman yang sekiranya membutuhkan. Menarik sekali jika teman-teman tahu geneologi Kesultanan Banten ini. Sila di search postingan-postingan saya sebelumnya.
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 1995,[1] Museum adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa. Fungsi yang diberikan oleh Intenasional Council of Museum (ICOM) yang terdapat dalam Pedoman Museum Indoneisa, 2008, menambahkan adanya fungsi yang menyatakan bahwa artefak-artefak yang disimpan tersebut sekiranya dapat menunjukkan jati diri manusia dan lingkungannya saat itu, dan selain dapat dipergunakan sebagai sarana penelitian atau akademis juga hiburan bagi masyarakat.
Secara umum, Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama merupakan hasil temuan dari kegiatan penelitian dan pelestarian yang pernah dilakukan di kawasan Banten Lama yang ditemukan di Situs Banten Lama. Benda-benda tersebut berasal dari masa pra-sejarah, masa klasik (Hindu Budha), masa Islam, hingga masa kolonial.
Museum Banten lama terletak di depan Keraton Surosowan dan di sebelah Masjid Agung Mawlana Hasanuddiin. Meskipun begitu, kami mendatangi Museum yang berada dalam satu kompleks tersebut pada hari yang berbeda, yaitu keesokan harinya, karena hari itu tutup. Bersyukur juga tutup, karena perkiraan jika buka kami akan masuk, tapi tidak akan optimal karena semuanya sudah dalam kondisi kelelahan akibat kelaparan dan perjalanan sebelumnya menyusuri Danau Tasikardi, Masjid Agung dan Keraton Surosowan.
Memasuki halaman depan Museum, sebelah kanannya terdapat tembok bertuliskan Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama dan sebelah kirinya terdapat ruang satpam, yang, tidak kepikiran untuk kufoto, karena saat itu ada beberapa orang polisi. Situasi sedang pandemi, jadi penjagaan lumayan ketat. Mungkin tidak mengapa kalau mereka difoto, hanya saja aku malu. Baik, mari kita lanjut ceritanya. Cerita tentang Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Manten Lama ini insya Allah akan kubagi menjadi dua bagian: 1. Halaman Depan-Kiri dan 2. Dalam Museum. Sekarang kita akan membahas artefak yang terdapat pada halaman depan-kiri Museum dulu, ya….

Tidak jauh di sebelah ruang satpam, terdapat meriam, tumpukan batu-batu karang dari pintu gerbang dan bangunan keraton yang rubuh, peralatan penggilingan gula, dan deretan batu nisan.

- Meriam Ki Amuk
Meriam berukuran panjang 341 cm dengan diameter bagian belakang 66 cm, diameter mulut atau moncong bagian luar 60 cm dan bagian dalam 32 cm, memiliki lebar bagian yang menonjol 1,15 m. Sedikit pengukuran berbeda dari K.C. Crucg, bahwa meriam bernama Ki Amuk tersebut memiliki panjang 3,45 m, kalibernya 31 cm dan beratnya kira-kira 6 ton.[1]


Ada beberapa pendapat berbeda tentang asal usul pemberian nama Ki Amuk ini, tetapi masyarakat Banten memang meyakini, bahwa awalnya, meriam Ki Amuk ini bernama Ki Jimat dan merupakan pemberian dari Sultan Trenggono, Sultan Demak ke-3, pada tahun 1528/ 1529, kepada Mawlana Hasanuddin yang pada waktu itu menjadi sultan Banten. Istrinya, merupakan puteri dari Sultan Trenggono. Data lainnya, meriam tersebut dicor oleh orang-orang Turki dan Aceh yang dipimpin oleh seorang Portugis yang lantas berubah menjadi seorang empu yang diberi nama Koja Zainal. Data berbeda menyatakan, bahwa meriam Ki Amuk berasal dari kolaborasi Timur Tengah, Persia, dan Turki, karena pada masa itu, belum ada meriam sejenis di Indonesia.
Menariknya, terdapat tiga tulisan berbahasa Arab dalam bentuk medalion pada tubuh bagian atas meriam. Asep Saefulloh menyempurnakan hasil pembacaan yang pernah dilakukan oleh K.C. Crucg, L.C. Damais, dan Claude Guillot bersama Ludvic Kalus.
Pada baris atas tertulis aqibah al-khairi sala, sedangkan di bawahnya tertulis mah al-imani. Penggabungan kedua tulisan: aqibah al-khairi salamah al-iman yang artinya buah kebaikan adalah keselamatan iman.

Sekeliling mulut meriam bergambar simbol Surya Majapahit, yang sepertinya memberikan bukti bahwa meriam tersebut berasal dari Demak, sebagai kerajaan yang melanjutkan kekuasaan Majapahit, karena Raden Patah merupakan anak dari Prabu Brawijaya V dengan Siu Ban Ci, putri dari Kerajaan Ming. Filosofinya sendiri, hahaha lihat sendiri di internet, ya. Intinya, memuat falsafah Manunggaling kawula lan gusti: manusia itu, sejatinya hidup di dunia harus mengenal untuk apa dia dicipta di dunia. Mekanismenya adalah dengan melakukan proses pertaubatan. Dll seterusnya.

2. Bongkahan-bongkahan Batu Karang Sisa Gapura yang Rubuh
Tidak jauh dari letak meriam, terdapat bongkahan-bongkahan batu karang berukir atau berelief. Jejeran batu karang tersebut merupakan hiasan pintu gerbang Keraton Surosowan. Relief yang teridentifikasi dalam bentuk manusia, yaitu lengannya; hewan, berupa sayap dan kaki unggas; dan tumbuhan, berupa daun dan bunga. Menarik penggunaan batu karang untuk membangun keraton. Kebayang, bagaimana mengangkut karang-karang di laut yang terletak di Kecamatan Anyer menuju Banten Lama. Melihat dari google maps, sekitar 1 jam 16 menit dengan jarak tempuh 40, 5 km. Itu jarak zaman sekarang yang menggunakan kendaraan dengan kondisi jalan yang lebih baik. Bagaimana pada abad ke-16 M, ya?



3. Deretan Batu Nisan Cina
Pada halaman kiri Museum, juga terdapat deretan batu nisan berbahasa Cina. Keberadaan Cina di sepanjang sejarah Indonesia sudah tidak asing lagi, pun di Banten. Sejak pelabuhan Banten dibuka pada abad ke-16 untuk perdagangan, berbagai bangsa masuk ke dalamnya, seperti Gujarat, Benggala, Abbesinia, Turki, Arab, Pagu, dan Persia (Wangsadidjaja,1991:2).[1] Cina terbanyak tampaknya, mengingat bukti dari nisannya yang bertebaran.
Dalam dialek Hokkian, papan nisan Cina disebut Bongpay. Tulisan-tulisan di depannya mengandung karakter Han dengan makna dan nilai artistik tersendiri: menunjukkan pemilik nisan dan melambangkan bakti dari anak cucu orang yang meninggal. Bentuk makam cina dengan bongpay di depan dan sistem penulisannya yang sekarang biasa kita lihat merupakan bentuk dan sistem penulisan nisan mulai dari masa Dinasti Ming hingga sekarang. Kira-kira sudah ada sejak 600 tahun yang lalu.


4. Penggilingan Tebu
Ketika menjejakkan kaki pada akhir Sya’ban lalu, saya merasa terpesona dengan begitu banyaknya buah sawo yang memenuhi pasaran Banten. Seperti menjual jeruk saja, layaknya buah yang gampang didapat. Belum pernah melihat sebanyak itu sawo dijual di mana-mana. Ternyata, salah satu sumber daya alam Banten adalah sawo. Selain sawo, juga tebu.
Melihat alat penggilingan tebu yang juga terdapat di halaman depan kiri Museum, membuat rasa bersalah saya selama ini agak menghilang. Pasalnya, bertahun-tahun tanaman tebu hitam di rumah yang sangat besar-besar itu, saya biarkan saja tidak pernah diolah. Dipanen begitu banyak, tapi lalu dibuang begitu saja. Diberikan kepada orang lain, mereka pun tidak mengerti mau diapakan tebu itu. Untuk mengolahnya, bahkan mengupas kulitnya saja, membutuhkan effort yang cukup keras. Sekarang, tebu hitam besar di halaman belakang rumah sudah saya tebang. Sekedar mengambil satu batangnya yang ditanam di tempat berbeda, tetapi menghasilkan pertumbuhan yang tidak begitu baik. Batangnya kurus dan tidak cepat pertumbuhannya. Dia hanya sendirian. Saya lupa ketika meminta pak kebun untuk menanam tiga batang tebu sekaligus pada satu lubang, karena begitulah cara tanam tebu: tidak bisa ditanam dengan hanya satu batang pada satu lubangnya, melainkan tiga.

Tanaman tebu[1] yang menjadi salah satu sumber daya alam Banten, diolah menjadi gula pada masa Kesultanan Banten sejak abad ke-16 – 18 M. Orang Cina yang tinggal di daerah Pecinan dan Kelapa Dua mengelola penggilingan tersebut, lalu hasilnya dijual ke Batavia untuk selanjutnya diekspor ke Cina dan Jepang. Sebuah dokumen memang menyebutkan nama Clappadoa atau Kelapa Dua, yang terletak sekitar 9 KM dari Banten Lama. Menariknya, menurut Claude Guillot, dalam catatan Eropa seperti Inggris, Denmark dan Belanda, Kelapa Dua sudah berperan penting dalam meningkatkanperekonomian terkait perdagangan pada masa Kesultanan Banten. Arsip Inggris yang disimpan di India Office-London menambahkan catatan, bahwa telah terjadi perdangan antara Inggris dan orang Cina pada tahun 1635 di Kelapa Dua. Saat itu di Banten, yang menjadi raja adalah Sultan Abdulmafakir, dan sempat selama beberapa waktu tinggal di kelapa Dua. Bahkan, terdapat catatan tentang para pedagang Inggris di Banten yang pergi ke Kelapa Dua untuk membeli sebanyak mungkin gula yang dapat dimuat di kapal mereka. Memang sangat besar produksi gula di daerah Kelapa Dua.
Tidak kebayang olehku jika begitu, bagaimana menggiling tebu hingga menghasilkan gula dengan alat penggilingan seberat dan sebesar itu. Tetapi jangan khawatir, ternyata yang menggerakkannya adalah sapi. Namanya kilang, terbuat dari batuan granit: sejenis batuan beku berwarna cerah dengan tekstur kasar dan padat keras sehingga mampu menahan beban yang berat dan tahan terhadap pelapukan.
Kilang yang terdapat di halaman depan kiri di Museum Kepurbakalaan Banten ditemukan di Kampung Pamarican, Banten Lama. Batu-batunya sudah pada pecah, sehingga sudah tidak berfungsi lagi.
Kilang memiliki perlengkapan batu-batu berbentuk silindris, bulat, dan balok. Tiga batu silindris dengan gerigi yang dipahatkan pada salah satu bagian ujung atau tepian mengelilingi lingkaran batu; lainnya memiliki diameter lebih lebar, tetapi lebih rendah (Tim penelitian Arkenas 2004: 18 dalam Inagurasi 2010:30). Kilang bukan sekedar untuk memeras tebu yang diambil airnya (nira) untuk diminum, tetapi mengalami proses hingga menjadi gula. Konon, diberi nama kilang dengan mengambil inspirasi dari nama jenis minuman dari tebu yang ada pada masa Raja Balitung abad ke-9 M dan Majapahit pada abad ke-14 M.
- Watu Gilang
Aku lupa namanya, sehingga aku mencoba mencarinya di internet di laman Kemendikbud khusus Museum Kepurbakalaan Banten Lama. Watu Gilang seperti ini, selain terdapat di Museum, juga seingatku terdapat di halaman Keraton Surosowan yang sudah runtuh sebagian besar menyisakan puing-puing bebatuan, yang juga terbuat dari batu karang, tak berbentuk lagi. Watu, yang artinya batu, ditambah dengan nama Gilang, berfungsi sebagai tempat untuk penobatan sebagai raja.
Watu Gilang yang terdapat di halaman depan Museum Kepurbakalaan Banten, merupakan tempat punggawa kerajaan menyampaikan titah sultan pada masa itu. Sebelah kanan dekat pagar juga ada watu gilang, tetapi tidak tampak olehku. Baru mengetahui keberadaannya dari laman Aroengbinang. Menurut keterangan di sana, Watu Gilang yang terbuat dari batu andesit berukuran 190×121 Cm dengan ketebalan 16, 5 cm ini, merupakan watu bernama Sriman Wriwacana yang berasal dari Kerajaan Pajajaran yang Kesultanan Banten taklukkan pada tahun 1579 M. Watu tersebut dipindahkan oleh Sultan Mawlana Yusuf atas titas sang ayah, Sultan Mawlana Hasanuddiin.[2]

Pada meja resepsionis terdapat buku saku kecil tentang isi Museum yang menceritakan sejarah dan aktivitas Kesultanan Banten beserta hasil karyanya. Selain buku saku, terdapat dua leaflet yang bercerita singkat tentang situs bersejarah di Banten Lama. Mendapatkan informasi dalam ketiga bentuk tulisan tersebut, menjadikan sebuah kemewahan tersendiri, karena Museum Candi Cangkuang, Museum Sri Baduga Bandung, Museum Keraton Kasepuhan Cirebon, dan Museum Demak yang pernah kami kunjungi, tidak memfasilitasi hal sedemikian.

Author Profile
Latest entries
Sosok2023.01.20Mengenal Cyrus yang Agung (Cyrus II)
Khazanah Tashawwuf2022.03.05Pesan Imam Al-Ghazali Sebelum Mengembuskan Napas Terakhir
Banten2022.03.02Menjejak Banten (3): Ada Apa di Museum Kepurbakalaan Banten Lama?
Banten2022.03.02Menjejak Banten (2): Pendiri Empat Perkampungan Lampung di Anyer-Banten: Minak Sengaji